Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Jeruk π -Melangka Tanpa Alas Kaki- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Bahlil Lahadalia, menerima Tim Advokasi Blok B Wabu, Kamis (2/10/2025). (Supplied for Suara Papua)
Ada satu garis panjang yang harus kita ceritakan kembali. Garis itu ditulis dengan poster-poster karton di jalanan Nabire, dengan teriakan mahasiswa yang menggema di depan kantor DPRP PapuaTengah, Kamis, 17 Juni 2025, dengan langkah kaki yang tak pernah berhenti walau keringat bercampur air mata bercucuran di sekujur tubuh.
Mahasiswa-mahasiswi Papua Tengah turun ke jalan, menolak rencana eksplorasi tambang emas Blok B Wabu. Mereka tahu, emas itu bukan sekadar logam mulia. Ia adalah luka baru yang bisa memperpanjang konflik, mengusir orang dari tanahnya, dan mengulang cerita buruk yang sudah terlalu sering terjadi di tanah “Isla Del Oro”.
Dari jalanan itu, suara mereka perlahan menjelma menjadi sebuah wadah Tim Advokasi Blok B Wabu.
Tim ini bukan lahir dari meja rapat dingin, tetapi dari perlawanan dan kegetiran. Dari poster bertuliskan “Tolak Wabu, Selamatkan Intan Jaya”, dari suara serak mahasiswa yang berorasi, dari keberanian para legislator yang berani menyebut dirinya wakil rakyat
Hingga hari ini, 2 Oktober 2025, garis itu membawa mereka ke Jakarta. Di sebuah ruangan kementerian yang biasanya asing dan jauh, mereka akhirnya duduk berhadapan dengan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Pertemuan yang dulu dianggap mustahil, akhirnya terjadi.
Saya ingin menundukkan kepala dan memberi hormat kepada mereka yang membuat hari ini dicatat para leluhur:
John NR Gobai, wakil ketua IV DPRP Papua Tengah, yang membuka pertemuan dengan doa dan memastikan suara rakyat tak hanya berhenti di jalanan.
Henes Sondegau, ketua Tim Advokasi, yang konsistensinya semenjak mahasiswa berdemonstrasi hingga hari ini berbuah, bisa bertanya langsung pada menteri: apakah izin Blok B Wabu sudah keluar atau tidak?
Arnold Luis Paerong, Yulius Wandagau, Bartholomeus Mirip, para legislator yang tidak lupa bahwa jabatan hanyalah alat untuk menyampaikan suara rakyat.
Marselino Pigai dan kawan mahasiswa-mahasiwi, yang menyerahkan kajian dan sikap resmi, menunjukkan bahwa perlawanan tidak hanya lahir dari emosi, tetapi juga dari pengetahuan.
Jawaban menteri, “Izin tambang Blok Wabu belum ditandatangani.”
Lebih jauh, mengaku sebagai anak adat Papua, menteri Bahlil Lahadalia bilang tak mungkin keluarkan izin tanpa bicara dengan pemilik hak ulayat. Kalimat yang membuat seluruh ruangan dingin hening sejenak, seolah membuka ruang bagi harapan meski kita tahu, janji politik selalu bisa berubah arah.
Namun hari ini, izinkan saya menitikkan air hormat setinggi-tingginya. Bukan karena kita sudah menang, tetapi karena perjuangan panjang ini membuktikan satu hal: “Suara rakyat Papua bisa menembus tembok birokrasi Jakarta.”
Dari jalanan depan gedung DPRP yang berdebu, dari poster mahasiswa yang hampir robek, dari orasi yang diselimuti panas matahari, hingga meja menteri yang penuh dokumen, kita menyaksikan satu perjalanan, perlawanan yang konsisten bisa membuka jalan mustahil.
Saya berterima kasih kepada semua kawan yang berjuang. Kepada mahasiswa yang tidak lelah berdiri di jalan. Kepada Tim Advokasi yang tidak gentar menantang kekuasaan. Kepada anggota DPRP Papua Tengah yang hari ini benar-benar menunjukkan sebagai wakil rakyat, bukan sekadar penghuni kursi di gedung parlemen.
Dan, terutama, terima kasih kepada Tuhan, karena tanpa campur tangan-Nya, pintu hari ini tak akan pernah terbuka.
Blok B Wabu masih menjadi pertaruhan. Tetapi satu hal sudah jelas, generasi ini, mahasiswa dan legislator yang berani, telah menuliskan bab penting dalam sejarah Papua Tengah.
Hari ini kita belajar, bahwa air mata bisa jadi tinta sejarah, dan teriakan di jalan bisa berbuah pertemuan di ruang kekuasaan.
Hormat saya bagi kalian para pejuang.
Pos. Admin
Komentar
Posting Komentar