Koalisi Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Papua
Nomor: 011 / SP-KPHHP / X / 2025
PIMPINAN MRP PROVINSI PAPUA ( Majelis Rakyat Papua) HARUS BERTANGGUNGJAWAB ATAS PENAWARAN EKSPRESI UMUM DI ABEPURA
“Kapolres Jayapura Kota Melarang Terlibat Praktik Diskriminasi Dalam Penegakan Hukum Terkait Kejadian 15 Oktober 2025 di Abepura, karena Kerusakan Tidak Hanya Ditahan Polisi dan Harta Sipil tetapi Juga Oleh Demonstran, Salah satunya Eben Tabuni, Jatuh Korban Terhadap Pelecehan Senjata Api. "
Secara hukum, Majelis Rakyat Papua (MRP) merupakan representasi budaya penduduk asli Papua, yang berwenang untuk melindungi hak-hak penduduk asli Papua berdasarkan penghormatan terhadap tradisi dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pembinaan kerukunan antar agama, sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 poin 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 2021 yang mengubah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Peran dan Tanggung Jawab MRP meliputi:
Seperti yang diatur dalam Pasal 20 (1) surat a to e Undang-Undang No. 2 Tahun 2021 MRP bertanggung jawab untuk:
• Memberikan rekomendasi dan persetujuan untuk calon gubernur yang diusulkan dalam pemilihan daerah.
• Meninjau dan menyetujui rancangan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang diusulkan oleh Parlemen Propinsi Papua (DPRP) dan Gubernur.
• Menawarkan nasihat dan persetujuan mengenai perjanjian kerjasama yang melibatkan perlindungan hak-hak Pribumi Papua.
• Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi dan keluhan masyarakat adat, kelompok agama, perempuan, dan masyarakat umum, serta memfasilitasi tindak lanjut.
• Memberikan rekomendasi kepada DPRP, Gubernur, dan Pemerintah Daerah tentang hal-hal yang terkait dengan hak-hak Penduduk Asli Papua.
Protes Damai pada 15 Oktober 2025, Sebuah Ekspresi yang Sah
Berdasarkan mandat MRP untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat, mahasiswa dan pemuda di bawah Ikatan Pelajar dan Pemuda Prihatin Tanah Pribumi Papua mengadakan protes damai dengan tema:
“Negara Darurat: Investasi dan Militerisme di Papua. "
Demonstrasi yang berlangsung pada 15 Oktober 2025 itu membidik kantor MRP di Jayapura untuk menyampaikan aspirasi kelompok.
Mengikuti prosedur hukum yang tepat, penyelenggara protes mengirimkan Surat Pemberitahuan resmi kepada polisi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berekspresi Publik, khususnya:
• Pasal 10 (1), (2), dan (3), yang mengamanatkan pemberitahuan tertulis kepada polisi setidaknya 3×24 jam sebelum demonstrasi.
Hal ini menunjukkan bahwa protes tersebut sesuai dengan mekanisme demokrasi yang dijamin oleh hukum Indonesia.
Acara di lapangan
Pada hari protes:
• Demonstran dari Kamkey dan Perumnas 3 Waena mulai berkumpul secara damai pada pukul 08:30 WIT.
• Terjadi negosiasi antara pengunjuk rasa dan polisi di persimpangan lampu lalu lintas Abepura, disaksikan Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) dan Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
• Persetujuan awalnya dicapai bagi para pengunjuk rasa untuk melanjutkan menuju Lingkaran Abepura.
Namun, ketika para pengunjuk rasa mulai bergerak sekitar pukul 11:30 WIT, di tengah curah hujan, gas air mata tiba-tiba ditembakkan, mengubah protes damai menjadi bentrokan kekerasan.
Hal ini mengakibatkan:
• Kerusakan kendaraan sipil dan fasilitas keamanan publik.
• Cedera pada Eben Tabuni, yang ditembak dan dirawat di rumah sakit umum Abepura, menjalani operasi untuk mengangkat peluru yang masuk ke perutnya dan keluar melalui lengan kirinya.
• Cedera lain pada demonstran, petugas polisi, warga sipil, dan mahasiswa, banyak yang menderita akibat paparan gas air mata.
Penangkapan sewenang-wenang & Kurangnya Akuntabilitas
Lima orang ditangkap Polres Jayapura pada 15 Oktober dan dibebaskan pada 16 Oktober 2025. Mereka meliputi:
1. Simon Pekey
2. Jefri Tibul
3. Yoris Alwolmabin
4. Rupi Wonda
5. Reben Kum
Hanya satu adalah warga sipil; sisanya adalah demonstran.
Meskipun demikian, tidak ada petugas polisi yang ditangkap atau diinvestigasi karena penggunaan senjata api yang melanggar hukum yang melukai Eben Tabuni.
Tanggapan Publik Kontradiktori MRP
Meskipun menerima pemberitahuan demonstrasi, MRP gagal memenuhi mandatnya untuk mendengarkan dan memfasilitasi ekspresi publik. Sebaliknya, para pemimpin MRP mengeluarkan pernyataan publik yang mengutuk protes melalui media dalam sebuah artikel berjudul:
“MRP Mengutuk Demo Ikatan Pelajar Prihatin Tanah Pribumi Papua Yang Berujung Kekacauan”
(Sumber: wartaplus.com
Pernyataan yang dibuat oleh:
• Ketua MRP, menekankan perlunya keabsahan hukum bagi kelompok mahasiswa dan mengklaim protes itu ilegal karena kurangnya izin polisi.
• Wakil Ketua MRP II, menyatakan protes itu ilegal dan tidak mewakili suara resmi Penduduk Asli Papua.
• Wakil Ketua MRP II, mengutuk perilaku “anarkis” para pengunjuk rasa.
Pernyataan ini bertentangan dengan Pasal 20 (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2021 yang mendefinisikan kewajiban MRP untuk menerima dan bertindak atas aspirasi publik.
Klaim palsu dan kesalahpahaman tentang peran hukum
Pimpinan MRP Papua:
• Menunjukkan kurangnya pemahaman yang jelas tentang kewajiban hukum mereka.
• Menyebarkan informasi yang salah (HOAX), mengklaim protes tidak memiliki izin, meskipun ada pemberitahuan tertulis resmi yang disampaikan sesuai dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998.
Permintaan Koalisi
Berdasarkan penjelasan di atas, Koalisi Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Papua menuntut sebagai berikut:
1. Presiden Republik Indonesia harus menginformasikan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan pelatihan peningkatan kapasitas kepada para pimpinan dan anggota MRP terkait peranan mereka sesuai Pasal 20 (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2021.
2. Pimpinan MRP Propinsi Papua harus bertanggung jawab atas penindasan ekspresi publik pada 15 Oktober 2025 dan harus berhenti menyalahgunakan kekuasaan mereka.
3. Ketua DPRD Propinsi Papua (DPRP) harus memanggil, menyelidiki, dan menegur Ketua MRP dan kedua Wakil Ketua karena melanggar kewajiban hukum mereka.
4. Kapolres Papua harus instruktorat Investigasi Kriminal untuk menyelidiki dan menuntut aparat kepolisian yang bertanggung jawab atas penembakan Eben Tabuni.
5. Ketua Ombudsman Indonesia, Kantor Papua harus menyelidiki maladministrasi baik oleh kepolisian maupun pimpinan MRP.
6. Kapolres Jayapura harus menahan diri dari praktik penegakan hukum yang diskriminatif terkait insiden 15 Oktober.
7. Chairperson of Komnas HAM RI and Head of Komnas HAM Papua Office must pursue legal proceedings regarding:
• Pelanggaran kebebasan demonstrasi sesuai Pasal 24 (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
• Pelecehan senjata api selama demonstrasi damai.
Siaran pers ini dikeluarkan untuk penggunaan yang tepat. Terima kasih atas perhatian kalian.
Jayapura, 17 Oktober 2025
Dengan hormat,
KOALISI UNTUK PENEGAKAN HUKUM DAN HAK-HAK MANUSIA DI PAPUA
(Members: LBH Papua, PAHAM Papua, ALDP, SKP KC Synod of the Land of Papua, JPIC OFM Papua, Elsham Papua, Yadupa, Indonesian Legal Aid Foundation (YLBHI), LBH Papua Merauke, LBH Papua Sorong Office, Kontras Papua, Tong Pu Ruang Aman)
Pos. Admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar