Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Jeruk π -Melangka Tanpa Alas Kaki- Seni sering dipahami sebatas estetika keindahan rupa, harmoni bunyi, atau bentuk yang memikat mata. Namun, pandangan semacam itu hanya menjadikan seni sebagai dekorasi, hiasan belaka yang tak menyentuh realitas sosial. Seni yang demikian berhenti pada permukaan, kehilangan daya kritisnya.
Padahal, seni bukanlah ruang netral. Ia lahir dari rahim sejarah, dari pergulatan manusia dengan kekuasaan, penindasan, dan kebebasan. Di sinilah seni menemukan makna terdalamnya: sebagai wacana kritis dan alat perjuangan.
Sejarah membuktikan, seni selalu hadir sebagai perlawanan. Puisi, teater, musik, lukisan, hingga film semuanya pernah menjadi medium untuk menantang kekuasaan yang menindas. Seni mampu membuka kesadaran, menggugat ketidakadilan, dan memberi bahasa pada mereka yang dibungkam.
Seni yang tidak melawan hanyalah dekorasi. Ia indah, tetapi kosong. Ia menenangkan, tetapi mematikan daya kritis. Sebaliknya, seni yang melawan adalah seni yang hidup, ia berdarah bersama rakyat, ia berteriak bersama kaum tertindas, dan ia menolak tunduk pada struktur yang mengekang.
Maka, ketika kita berbicara tentang seni hari ini, pertanyaan paling mendasar bukanlah “seberapa indah ia terlihat?”, melainkan “seberapa berani ia melawan?”.
Sebab bagi mereka yang percaya pada kebebasan, seni adalah melawan.
Pos. Admin
Komentar
Posting Komentar