Oleh: MedKamp
Sejak diberlakukannya Otonomi Khusus (Otsus) pada tahun 2001 dan direvisi melalui Otsus Jilid II pada 2021 kini sudah berusia 24 tahun, Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan puluhan triliun rupiah untuk mendorong pembangunan di Tanah Papua. Jalan, jembatan, sekolah, bandara, hingga beasiswa pendidikan mulai terlihat. Namun di balik berbagai capaian fisik tersebut, Papua tetap menjadi wilayah dengan konflik bersenjata paling berkepanjangan di Indonesia, dengan pengungsian massal, korban sipil, dan ketidakpastian keamanan yang terus berulang.
Pertanyaannya kini semakin mendesak,
Mengapa konflik tidak kunjung selesai meski Otsus sudah berjalan dua dekade?
Dan bagaimana seharusnya negara menangani konflik yang telah menahun ini?
Otsus, Pembangunan Fisik Tanpa Penyembuhan Luka Sosial
Secara formal, Otsus Papua dirancang sebagai mekanisme untuk:
1). mengurangi ketimpangan pembangunan,
2). meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP),
3). menghargai hak-hak budaya dan adat,
4). serta membuka ruang politik bagi pemerintah daerah.
Namun realitas di lapangan menunjukkan paradoks. Pembangunan fisik maju, tetapi luka sosial tetap menganga.
Pengalaman pengungsian, operasi keamanan, kekerasan masa lalu, dan rasa tidak didengar membuat kepercayaan masyarakat Papua terhadap negara tetap rapuh.
Otsus memang memperbaiki infrastruktur, tetapi tidak menyentuh problem martabat, identitas, dan rasa keadilan.
Dan tanpa menjawab tiga hal itu, pembangunan apa pun tidak akan dapat meredakan konflik.
Konflik yang Terus Berulang, Siklus Tanpa Akhir
Di berbagai wilayah seperti Nduga, Puncak, Intan Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Maybrat, konflik terus berulang dalam pola yang konsisten:
1. Tindak kekerasan terjadi antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata.
2. Masyarakat sipil menjadi korban utama jatuh korban jiwa, rumah terbakar, sekolah ditutup, masyarakat mengungsi ke hutan atau daerah lain.
3. Pemerintah merespons dengan operasi keamanan lebih intensif.
4. Siklus ini memunculkan resistensi dan ketidakpercayaan dari masyarakat lokal.
5. Konflik kemudian muncul lagi dalam bentuk baru.
Model ini sudah berlangsung selama lebih dari 50 tahun, tetapi belum pernah diputus dengan pendekatan dialogis yang komprehensif.
Mengapa Otsus Tidak Menyelesaikan Konflik?
1. Akar Konflik Politik Tidak Pernah Ditempatkan di Meja Dialog
Sejarah politik Papua dari Perjanjian New York, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, hingga militarisasi sejak 1970 an menyisakan narasi ketidakadilan yang belum pernah dibicarakan secara jujur antara negara dan rakyat Papua.
Otsus berbicara tentang pembangunan, tetapi konflik Papua adalah konflik identitas dan sejarah, bukan hanya konflik ekonomi.
Selama akar sejarah tidak dibicarakan, Otsus hanya menjadi solusi teknokratik untuk masalah yang bersifat politis.
2. Kelemahan Tata Kelola, Otsus Banyak Dikelola Elite, Bukan Rakyat
Berbagai laporan pemerintah dan audit BPK menunjukkan adanya:
1). korupsi,
2). ketidakefisienan anggaran,
3). proyek fiktif,
4). serta monopoli program oleh elite politik lokal dan Nasional.
Jika dana Otsus mengalir dari pusat tetapi berhenti di meja elite (Lokal/Nasional), maka masyarakat kampung tetap hidup dalam kemiskinan.
Hal ini menciptakan dua kekecewaan,
kepada Jakarta yang dianggap tidak adil, dan kepada pemerintah lokal yang dinilai tidak amanah.
3. Pendekatan Keamanan Lebih Dominan Dibanding Pendekatan Kemanusiaan
Dalam banyak kasus, penyelesaian konflik lebih sering dilakukan dengan:
1). peningkatan operasi keamanan,
2). pembentukan pos-pos baru,
3). patroli bersenjata di kawasan pemukiman,
4). atau operasi penegakan hukum yang tidak jarang menyebabkan korban sipil.
Walau negara berkewajiban menjaga keamanan, model penanganan yang tidak sensitif terhadap konteks sosial justru memperdalam trauma masyarakat.
Pendekatan keamanan penting untuk melindungi warga, tetapi harus selaras dengan pendekatan Hak Asasi Manusia dan Dialog, bukan menggantikannya.
4. Ketimpangan Ekonomi yang Tidak Berkurang
Meskipun Papua merupakan wilayah kaya sumber daya alam, masyarakat Papua tetap menjadi minoritas dalam ekonomi modern kota.
Sumber daya alam seperti emas, kayu, gas, dan perkebunan lebih banyak berada dalam kendali perusahaan nasional dan investor luar.
Otsus belum cukup kuat untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi kepada OAP.
Tanpa penguatan ekonomi lokal, pembangunan hanya menciptakan kemakmuran untuk segelintir orang namun meninggalkan mayoritas warga adat dalam ketertinggalan.
Apa yang Harus Dilakukan?
1. Negara Harus Mendorong Dialog Damai yang Terstruktur
Papua membutuhkan dialog damai nasional, Internasional yang dimediasi oleh Pihak ketiga yang netral bukan sekadar pertemuan seremonial.
Dialog harus melibatkan berbagai pihak:
1). Pemerintah pusat
2). Pemerintah provinsi dan kabupaten
3). Gereja dan tokoh agama
4). Tokoh perempuan Papua
5). Masyarakat adat
6). Akademisi
7). Kelompok pemuda
8) Perwakilan kelompok bersenjata atau Kelompok berseberangan dengan Negara
Dialog bukan sekadar mencari siapa benar, tetapi mencari jalan damai untuk hidup bersama.
Tanpa dialog, konflik akan terus berganti nama tetapi tetap berlangsung dalam substansi yang sama.
2. Reformasi Tata Kelola Otsus Secara Menyeluruh
Beberapa pembenahan yang sangat mendesak:
a. Transparansi Anggaran Berbasis Audit Publik
Semua dana Otsus harus diawasi secara independen, misalnya melalui:
1). audit tahunan terbuka,
2). keterlibatan perguruan tinggi,
3). partisipasi masyarakat sipil,
4). laporan dana secara digital dan real time.
b. Prioritas pada Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi Rakyat
Dana Otsus harus benar-benar menyentuh:
1). sekolah kampung,
2). puskesmas terpencil,
3). fasilitas persalinan aman,
4). bisnis lokal,
5). pertanian, perikanan, dan industri adat.
c. Penguatan Kapasitas OAP
Termasuk beasiswa, pelatihan profesi, dan pengelolaan ekonomi berbasis komunitas adat.
3. Reformasi Pendekatan Keamanan
Penanganan konflik harus berprinsip:
1). prioritaskan perlindungan warga sipil,
2). minimalkan operasi di daerah pemukiman,
3). tinjau ulang pos-pos keamanan di dekat sekolah atau gereja,
4). perkuat kehadiran negara dalam bentuk pelayanan publik, bukan aparat keamanan.
Negara harus memastikan bahwa setiap tindakan keamanan dilakukan secara kemanusiaan.
4. Memperkuat Ekonomi Orang Papua
Tidak ada perdamaian tanpa kesejahteraan yang adil.
Negara perlu memastikan:
1). koperasi masyarakat adat mendapat dukungan penuh,
2). industri lokal (kopi, sagu, ikan, kerajinan, hasil hutan) berkembang,
3). ekonomi kampung diperkuat dengan akses pasar dan modal,
4) generasi muda Papua mendapatkan kesempatan kerja layak.
Ekonomi OAP harus menjadi prioritas, bukan efek samping pembangunan.
Papua Butuh Keadilan untuk Mendapatkan Perdamaian
Otsus adalah kebijakan penting, tetapi tidak cukup untuk menyelesaikan konflik panjang di Papua.
Papua membutuhkan perubahan paradigma, dari pendekatan keamanan menuju pendekatan kemanusiaan, dari pembangunan fisik menuju pembangunan martabat, dan dari pengabaian sejarah menuju rekonsiliasi yang jujur.
Selama negara belum berani membuka ruang dialog, mengakui luka sejarah, dan menempatkan masyarakat asli Papua sebagai subjek utama pembangunan, maka konflik akan terus mengulang dirinya dalam bentuk yang berbeda tetapi dengan penderitaan yang sama.
Papua tidak hanya membutuhkan dana dan pembangunan.
Papua membutuhkan keadilan, pengakuan, dan kedamaian yang lahir dari kemanusiaan.
Pos. Admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar