Oleh. Mahesa Jenar
Tetesan Air Mata Ibunda, Kota Tua, Kota Jeruk, Melangkah Tanpa Alas Kaki. Karya yang inda akan terdengar indah dan sebaliknya.
“Cukup sudah
Kau sakiti aku lagi
Serpihan perih ini
Akan ku bawa mati
Sampai kapan
Bisa membuatmu mengerti
Membuat aku bermakna
Di hatimu
Di matamu
Sayang”
Lagu 'Sudahi Perih Ini' dari d'masiv mengalun lembut di kafe ini. Melodi dan liriknya begitu menghanyutkan, menguji ketabahan dan menyayat hati. Aku hafal setiap kata pada lirik lagu ini, aku hafal semua nada falseto pada melodi lagu ini. Everything is just the way I feel. This song really kill me. Damn it.
Dan tiba-tiba aku seperti melihat kembali sosokmu berjalan masuk ke kafe ini. Langkah yang sunyi dan nyaris semenawan saat kau berjalan di atas cat walk. Meski hak sepatumu tinggi dan tajam, sama sekali tak terdengar ketukannya setiap kamu melangkahkan kaki. Bagimu setiap momen adalah spesial, meski itu hanyalah malam minggu berdua di kafe ini. Kamu selalu memadu padankan baju, clutch dan sepatumu dengan teramat pantas. Dan aku paling suka bau parfum thierry mugler angel star yang selalu menjadi parfum favoritmu, harumnya aku suka, kamu banget. Semua outfit dan parfummu sudah menjadi statementmu. Aku suka.
Aku ingat, kadang aku jemput ke rumahmu agar kita bisa bermalam minggu berdua lebih awal dan menikmati kemacetan berdua di jalanan ibukota ini. Tapi kadang kita juga datang dari rumah masing-masing untuk menghemat waktu, karena rumah kita yang berbeda kutub, aku di timur dan kamu di selatan. Kamu sosok yang mandiri, tak begitu ribet dengan hal-hal seperti ini. Tapi tentu saja kalau kita berangkat dari rumah masing-masing, aku selalu pesankan satu tempat parkir kosong di tempat paling lapang dan dekat pintu masuk, agar kamu mudah parkir dan bisa langsung masuk ke kafe ini. Di meja favorit kita pun pasti sudah tersedia es cream haagen dazs rasa salted caramel dan kudapan kesukaanmu.
Pada setiap momen kedatanganmu seperti itu, biasanya aku segera beranjak dari kursiku, menyambutmu dengan sebuah ciuman dan pelukan ringan, dan menarik kursi untukmu. Kamu pun selalu membalas dengan bisikan, ‘Kamu pria yang nyebelin romantisnya’. Kamu sampaikan kata-kata itu sambil membelai lembut tanganku. Aku selalu merinding. Selalu begitu.
Tapi semua itu tentu hanya fantasiku saat ini. Sudah lama tak pernah ada lagi perjumpaan denganmu, tidak di kafe ini, tidak juga di tempat yang lain. Antara kita sudah terbentang banyak jarak. Ada beberapa yang tak kuasa aku jangkau rentangannya —kamu dengan kehidupanmu yang baru, dan aku dengan hidupku yang membeku.
Tapi biarlah, meski hanya sendiri di sini, aku akan nikmati sekekalnya rasa ini. Menelusup semua memori di tempat ini sendiri. Mengingat-ingat betapa kita dulu selalu berbagi perhatian sepanjang waktu. Mengingat-ingat betapa dulu, akulah kebanggaan dan kebahagiaanmu. Mengingat-ingat betapa dulu, kamulah asal mula semua kebahagiaanku.
Ini malam minggu, aku hanya mau bahagia.
Post. Admind
Komentar
Posting Komentar