Oleh. Arya
"Tak apa, pelan-pelan saja. Jangan takut."
Aku mendekat. Merapatkan tubuh dengan tepian ranjang. Dari sini, bisa kulihat raut gelisah di wajah Kirana. Mataku bergerak mengamati jemari perempuan itu. Ia mencengkeramkan tangannya begitu erat di bibir ranjang.
"Hey, kita sudah menikah. Apa kau tak bahagia? Hm?" tanyaku sambil tetap berusaha semakin mendekat. Perlahan duduk di sampingnya. Di atas ranjang pengantin kami yang bertabur kelopak mawar merah.
"Apa kau sudah siap menerima tamu?" tanyaku lagi. Kini, jarak kami hanya tersisa satu jengkal saja.
Kirana menoleh, ia menatapku. Pandangannya berubah datar, kosong. Aku sudah tahu jawabannya. Ia belum siap. Kuletakkan telunjuk dan jempol tangan di sudut bibir sendiri. Membentuk huruf U.
"Tersenyumlah. Apa kau lupa caranya untuk tersenyum?Hm?" tanyaku lagi masih berusaha mengajaknya berbicara.
Hening.
Kirana tak juga menjawab. Hanya dua bola matanya yang beriris coklat menatap tepat ke arahku. Jantungku berdegub sangat kencang. Bukan karena rasa normal sebagai seorang pria terhadap wanita, tapi takut jika Kirana kambuh lagi. Ia akan menyiksaku atau dirinya sendiri.
"Hari ini kamu cantik, Kiran."
Tanganku berhasil menggenggam jemari Kirana yang terasa begitu dingin. Istriku itu terkesiap untuk barang sebentar, tapi ia tak menolak saat kugenggam erat. Ada gelenyar hangat yang merambati hati melihat respon Kirana. Aku tersenyum tipis.
"Tak apa. Pelan-pelan saja. Kamu akan sembuh dan kembali seperti Kirana yang kukenal dulu."
***
Kirana Larasati.
Perempuan yang baru kunikahi tadi pagi. Dalam acara resmi, tautan janji suci. Kirana adalah salah satu rekan kerjaku. Kami menikah karena sebuah 'kecelakaan.'
Ya, sebuah kecelakaan.
Malam itu. Hujan lebat mengguyur rapat sepanjang jalanan Kota Kembang. Aku sedang sibuk menyiapkan berkas laporan keuangan yang harus disetorkan besok. Seperti biasa, setiap menjelang akhir bulan aku akan lembur di kantor. Pekerjaanku sebagai salah satu staf akuntan di perusahaan berbasis kuliner, tak ayal menyita banyak waktu dan pikiran.
Hampir pukul sembilan malam saat aku keluar dari kantor. Di kota yang terkenal dengan sebutan Paris Van Java, tak sedikit warga yang masih beraktifitas di malam hari. Bahkan, jumlah pedagang dan pengunjung hiburan malam terlihat semakin padat memenuhi sisi jalanan. Sekali pun saat ini sedang hujan.
Aku masih berada di dalam mobil, melakukan perjalanan pulang. Tiba-tiba saja gawaiku bergetar hebat. Ada panggilan masuk dari Kirana. Dia ... kenapa? Tumben sekali menghubungiku?
Aku menepi sejenak untuk mengangkat panggilan.
"Hallo, kenapa Kiran?" tanyaku.
"Pranggg!
Bugh!
Tolooooonggg!
Hahaha. Lari ke mana kau, S*ndal?"
Deg!
Jantungku seketika berhenti berdetak. Napasku bagai tersekat di tenggorokan. Suara teriakan dan umpatan sahut menyahut dari seberang panggilan. Hah? Ini apa?
"Halo, Kiran! Kamu di mana? Jawab aku, hey! Jawab!"
Aku menarik pedal lalu dengan cepat kembali tancap gas. Panggilan kuloudspeaker. Otakku buntu. Pikiranku ngeblank. Suara dari arah sebrang panggilan terus memekik. Di sana, singa-singa kelaparan seakan sedang menikmati buruan. Ya Tuhan, Kirana ... dia ....
"Tolong, jangan, tolong!"
Sayup-sayup terdengar suara panik Kirana. Tidak, tidak hanya panik, dia juga ketakutan. Ada tangis histeris yang memantul-mantul. Kurahup wajah dengan kasar. Aku harus bagaimana?
Memburu waktu. Klakson berulang kali kutekan. Tanganku gemetar memegangi setir juga memegangi gawai. Telingaku panas, suara jerit pilu dan kenikmatan bergumul dari dalam benda pipih milikku.
Kirana. Aku harus cepat, tapi, tapi, harus ke mana?
Aarrggh!
Kenapa baru terpikirkan sekarang?!
Langsung kubanting setir. Putar balik menuju tempat kost Kirana. Ya, dia, dia pasti di sana!
Dari dalam gawai terdengar suara menjijikkan yang kini lebih mendominasi. Tangis di seberang sana yang semula pecah berubah senyap.
Laph!
Gawaiku mati.
Aaarrgghhh! Kenapa bisa mati?
Aku panik.
Jantungku meledak-ledak hebat!
Lebih cepat, ayolah, lebih cepat! Lebih cepat Gavin! Lebih cepat!
Setengah jam sampai akhirnya aku tiba. Benar, di dalam kamar kost Kirana. Semua hancur berantakan. Kudapati gadis itu meringkuk di bawah meja dengan luka dan memar di sekujur tubuhnya. Tak ada sehelai benang pun yang melekat di sana. Kirana membisu. Pandangannya kosong. Saat kupanggil, tak ada respon darinya. Lalu, dari situlah awal semuanya bermula. Kirana kehilangan banyak hal termasuk setengah jiwanya. Ia trauma. Terus merasa dalam tekanan dan bahaya.
Tok!
Tok!
Tok!
Ketukan dari arah pintu kamar membuyarkan lamunanku. Keping memori yang tadi tergambar di depan mata, seketika saja menghilang. Kulepaskan genggaman tangan Kirana. Tak ada respon yang berarti. Ia masih diam seribu bahasa.
Aku bangkit dari duduk. Kuperhatikan sekeliling. Memastikan bahwa tak ada benda tajam atau apa pun yang dapat membuat Kirana nekat.
"Cklek!"
Pintu kamar terbuka. Tepat di sana, Ibu mertua berdiri. Beliau menatapku dengan raut iba.
"Kenapa, Bu?" tanyaku.
"Di depan banyak tamu kamu, Vin."
"Oh, iya. Suruh tunggu sebentar, ya. Gavin keluar sekarang."
"Iya."
Ibu mengangguk. Beliau mundur dan berputar. Lengkahnya teratur meninggalkan kamarku. Aku tahu, masih ada beban berat yang menggelayut di pundak Ibu Kirana itu.
Tentang sebuah aib yang kini menjadi rahasia umum. Di mana nama Kirana sudah dikenal sebagai korban pem*rk*saan. Pelaku kabur, tanpa ada sedikit pun jejak. Sementara Kirana, terus tertahan dalam gelap pedih batinnya.
***
"Aku akan menikahinya. Tak apa. Akan kulakukan yang terbaik untuk menyembuhkan luka batinnya."
"Semua akan membaik. Percayalah, Pak. Kirana akan sembuh."
"Aku mencintainya, sungguh, tak akan berubah, walau dengan keadaan apapun."
Janji itu terus memantul di dalam bilik labirin kepala. Almarhum Bapak Kiran adalah salah satu teman satu kajianku. Meski usianya tak lagi muda waktu itu, tapi aku tahu betul bahwa beliau punya semangat yang tinggi untuk mendalami ilmu agama. Sayang, usianya harus terhenti di angka lima puluh delapan. Penyakit jantung merenggut nyawanya setelah tahu bahwa Kirana ternoda. Ya, ini tentang Kirana, putri semata wayangnya yang ternoda.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada beberapa teman kantor yang datang. Banyak yang memberi ucapan selamat, tapi tak jarang juga yang berempati. Pernikahanku dengan Kirana tak dilakukan secara meriah. Aku sengaja menunda resepsi sampai nanti istriku benar-benar sembuh dan mau menerimaku sebagai suami.
Adakah yang mau membaca kisahku? Menyembuhkan luka batin istriku yang aku tak tahu dengan apa kelak ia akan sembuh. Jika ia kembali menjadi Kirana yang dulu, maukah ia bertahan dalam pernikahan yang sama sekali tak ia rencanakan?
Beri aku waktu.
Mengulur perlahan.
Memudarkan rasa sakit itu.
Menjadikannya taman bunga di hati seorang Kirana.
Bersambung ...
Cerita Kirana sudah Tamat di KBMapp. Klik link di bawah ini untuk membaca sampai Tamat :
Luka Batin Istriku - Amaliyah Aly
Jangan lupa subscribe, ya. Seperti biasa, cerita ini nggak akan banyak bab. Mentok 20 aja, ya. uwuw...6
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/bdeadb43-9e68-5725-7458-f0ade80b6fc9?1af=1bbd70ff-232d-8034-0d4c-3610a18d5188
Poat. admind
Komentar
Posting Komentar