Oleh; Dominggus Mampioper
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Mansinam-Melangkah Tanpa Alas Kaki-Masuknya Injil ke Pulau Mansinam 5 Februari 1855 membuka jalan bagi kedua putra Papua untuk belajar menjadi guru di Depok, Batavia 3 April 1892. Keduanya , Petrus Kafiar dan Timotius Awendu berangkat dari utusan zending di Pulau Mansinam, Manokwari.”Mereka dua sebagai orang Papua pertama yang belajar ke pulau Jawa khususnya Depok untuk mengejar cita cita,”tulis Pdt FJS Rumainum dalam bukunya berjudul “Guru Petrus Kafiar”.
Saat menggantungkan cita-citanya setinggi langit, Petrus Kafiar justru mendapat tantangan bukan dari pihak luar melainkan dari masyarakatnya sukunya sendiri. “Mana mungkin ah kamu orang hitam(hitam kulitnya) sama dengan kitorang (seperti kami) tutup saja mulut itu,”tulis mantan Ketua Sinode GKI di tanah Papua itu.
Beruntung niat Petrus Kafiar mendapat respons dan dukungan penuh dari Pdt Van Hasselt untuk merestui cita-citanya itu, bahkan terus melayani di Amberbaken. Ketika itu ada surat dari Utrechtse Zendlings Vereniging (UZV) atau perhimpunan pekabaran Injil di Utrecht Negeri Belanda.
UZV negeri Belanda meminta agar pihak zending di Mansinam mencari orang asli Papua untuk mengikuti pendidikan di seminari Depok. Maka oleh pdt Van Hasselt putra Papua yang pantas diutus Petrus Kafiar termasuk pula Timotius Awendu
Meski mendapat tantangan dari keluarga termasuk ibu Petrus, Lidya akhirnya Petrus berangkat ke Depok Batavia. Saat keberangkatan pada 3 April 1892 Petrus tidak sendirian, dia ditemani Timotius Awendu. Dua putra Papua ini melintasi laut dengan kapal api menuju ibukota Batavia dan sampai dengan selamat di Depok.
Petrus Kafiar sebelum melanjutnya pendidikannya di Seminari Depok, pernah mengenyam pendidikan di Ternate, sebuah sekolah Melayu milik pemerintah Belanda yaitu Gubernemen Kelas Dua selama satu tahun. Usai belajar di Ternate kepandaiannya terus meningkat dan tercatat sebagai satu satunya orang Papua yang pertama kali sekolah di luar tanah Papua.
Belajar di Depok
Berangkat dari Papua, sesampai di Depok kedua pelajar asal Papua ini disambut dengan tangan terbuka oleh Haneman kepala sekolah seminari Depok dan D Iken. Di seminari Depok ini banyak pula pelajar dari Maluku, orang orang Minahasa dan Sangir serta suku Batak, Nias, Sunda dan Jawa. Hanya Petrus dan Timotius yang berasal dari Papua.
Seminari Depok menjadi sekolah guru misionaris pertama di Jawa berdiri pada 1878. Hal ini membuat sekolah zending di Depok, menjadi popular saat itu, terutama di kalangan jemaat Kristen di nusantara. Seminari ini pun didukung sepenuh oleh Nederlandsch Zendeling-Genootschap. Pendidikan di Seminari Depok selama empat tahun untuk pembentukan guru pribumi agama Kristen. Guru-guru misionaris lulusan Seminari Depok inilah yang akan bekerja di stasion-stasion misi.
Selama di sana Petrus dan Timotius juga mendapat perlakuan rasial, mulai dari hinaan warna kulit sampai rambut keriting. Memang zaman itu, belum ada undang-undang yang mengatur tentang rasial .Tetapi dalam pendidikan Kristen di sana mestinya masalah ini harus dihindari dan dilarang. Apa boleh buat Petrus dan Timotius harus tahan bantingan dari penghinaan dan cemohan selama belajar di seminari Depok.
Usai menyelesaikan pendidikan guru di Seminari Depok, Petrus Kafiar kembali ke Mansinam dan tiba di sana pada 10 November 1896. Ia selanjutnya melayani di Pulau Mansinam dan membawa Injil masuk ke Pulau Supiori pada 26 April 1908 di kampung halamannya sendiri.
Peran Van Hasselt
Dikutip dari buku “Ajaib di Mata Kita” Pdt Dr FC Kamma menulis penerus Ottow dan Giessle adalah Pdt Van Hasselt senior maupun yunior (anaknya) yang mendukung dan mendorong anak anak Papua belajar di seminari Depok.
Mulai dari Petrus Kafiar, Timotius Awendu, J Ariks, Karel Koibur (1914), Willem Rumainum ayah kandung Pdt FJS Rumainum. Pendeta Van Hasselt merupakan satu satunya tokoh zending saat itu yang sangat fasih berbahasa Numfor. Apalagi di wilayah Teluk Doreri dan sekitarnya termasuk Pulau Mansinam juga berbahasa Biak dialek Numfor Doreri.
Antropolog JR Mansoben, lulusan Universitas Leiden Belanda dalam disertasinya berjudul, “Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya” (1995) dan juga tulisan Mansoben, Wor K’Bor Ritus Perlihan Suku Byak dalam bunga rampai berjudul Ritus Peralihan di Indonesia karya Prof Dr Koentjaraningrat, 1985.
Dalam dua buku itu Dr Mansoben, MA menyebutkan bahasa Biak termasuk ke dalam kelompok bahasa-bahasa Austronesia dan memiliki sebanyak 11 dialek. Namun yang jelas menurut Mansoben perbedaan dialek tidak terlalu menyolok. Sehingga orang-orang yang berlainan dialek dapat berkomunikasi dengan Wos Byak tanpa mengalami kesukaran.
Mansoben menjelaskan dialek-dialek Biak meliputi, dialek Samber, Ambroben, Sowek, Sorido, Korido, Sauyas, Biak Utara, Biak Barat, Numfor, Betew (Raja Ampat),Teluk Doreri/Manokwari.(*)
Sumber:
https://jubi.co.id/petrus-kafiar-dan-timotius-awendu-anak-papua-pertama-belajar-di-seminari-depok-1892/
Post. Admin
Komentar
Posting Komentar