Langsung ke konten utama

KUMPULAN CERITA PENDEK (Cerpen)

Bab. 33
Kami diusir dari rumah sendiri sejak menjadi yatim piatu. 
Om dan Tante berniat menyingkirkan dan menguasai harta kedua orang tuaku. Aku tidak lemah! Akan kubuat mereka menyesal! 

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sudah sekitar setengah jam, tetapi masih belum ada tanda-tanda akan berhenti.

Aisha dan Faiz lebih memilih untuk diam. Mereka bahkan hanya melamun dengan tatapan kosong sepanjang perjalanan.

Mereka seperti orang linglung akibat rasa travma, takvt, dan terkejut yang bercampur menjadi satu.

Dalam pikiran Aisha terus terbayang-bayang akan kejadian saat ia melar!kan diri dari rumah dengan sang adik. Tidak hanya itu, tindakan pria jah4t yang ia temui sebelumnya pun terus mengusik pikiran. Gad!s itu merasa ingin menyerah atas kehidupan jika tak mengingat kedua adik yang jelas membutuhkannya.

“Kak, apa yang mau kita lakukan selanjutnya?” Faiz mengg0yangkan tubvh sang kakak yang sejak tadi tak bergerak dan hanya menatap ke satu arah dengan tatapan kosong.

Aisha menoleh lesu ke arah Faiz.

“Kakak nggak tahu, yang penting sekarang kita sudah jauh dari Om sama Tante,” sahut Aisha sambil mengvsap lembut rambut sang adik, gerakannya begitu pelan dan lemah.

Faiz seakan tahu apa yang dirasakan sang kakak. Ia dengan cepat bergeser dan memelvk kakak perempuan yang biasanya lemah lembut tersebut.

“Kakak jangan sed!h lagi. Ada Faiz sama Rafa yang bakal jagain Kakak nanti,” bisik Faiz yang kala itu hatinya pun sedang merasa hancvr. Ia merasa begitu lemah sebagai seorang laki-laki, melindungi adik dan kakak saja tidak bisa.

Aisha yang sejak tadi terus melamun seketika tersenyum dengan mata berkaca-kaca saat sebuah pelvkan seakan memberi ketenangan dalam hatinya.

“Kakak nggak sedih. Kakak cuma lagi mikirin apa yang harus kita lakuin nanti.”

“Kalau begitu setelah turun dari mobil ini, gimana kalau kita makan dulu, Kak?” Faiz menatap kantong plastik di tangannya.

Aisha tersenyum melihat wajah Faiz yang jelas terlihat sudah tak sabar ingin melahap makanan di dalam kantong plastik.

“Oke, nanti kita langsung makan, ya!”

Mobil masih terus melaju sedangkan Faiz sudah tidak sabar untuk makan, sehingga saat mobil tersebut berhenti di pinggir jalan sejenak, ketiganya lantas buru-buru turun tanpa memperhatikan sekeliling.

Hingga saat mobil telah melaju kembali, mereka baru sadar jika sekeliling sama sekali tak ada pemukiman dan hanya membentang hutan kecil dan ladang milik warga.

“Kak, gimana ini? Kita malah turun sembarangan. Nggak lihat sekeliling dulu.” Faiz menatap sekeliling dengan perasaan cemas.

“Nggak apa-apa jangan terlalu dipikirin. Nanti kita cari jalan keluarnya, sekarang kita makan dulu saja.” Aisha melirik ke sana kemari, mencari tempat untuk mereka beristirahat sejenak, hingga sebuah pohon besar yang terlihat teduh menarik perhatiannya. “Kita makan di sana saja.”

Faiz mengerutkan alis saat melihat pohon yang sang kakak maksud. “Tapi, pohonnya ser4m, Kak. Kalau kata orang pohon sebesar itu suka ada penunggunya.”

“Manusia jauh lebih ser4m,” sahut Aisha yang segera menuju ke pohon tersebut.

Faiz segera menyusul karena sudah tak kuasa lagi menahan lapar.

Mereka langsung membuka kantong plastik yang dianggap sebagai h4rta karun tersebut.

“Wah, makanannya banyak, Kak.”

“Jangan di makan semua. Kita nggak tau nanti malam nemu makan atau nggak.”

Faiz menghela napas panjang. Ia yang semula bersemangat mendadak menjadi lem4s.

“Tapi Faiz lapar sekali, Kak.”

“Ya sudah, kalau Faiz mau puasa nanti malam, habisin aja makanannya sekarang.”

Faiz kes4l mendengar jawaban Aisha yang baginya sedikit menyebalkan. Ia pun memilih mendiamkan sang kakak daripada harus bertengk4r di situasi seperti itu.

“Ini buat nanti malam. Kakak nggak ada niat pelit, tapi keadaan kita lagi begini,” jelas Aisha yang paham jika sang adik sedang kesal padanya.

Faiz hanya diam sambil melirik Aisha sekilas.

“Ya sudah, kalau begitu kita jalan lagi sekarang.” Aisha beranjak, sambil menggendong Rafa.

Rafa memang memiliki masalah dengan tumbuh kembang. Bocah itu masih belum bisa berbicara dan tidak terlalu aktif untuk bocah seusianya. 

Jika dulu kedua orang tuanya sedikit pusing dengan masalah tersebut, siapa sangka di tengah kondisi Aisha sekarang kekurangan Rafa malah menjadi berkah di mana b0cah tersebut seringkali diam saat sedang bersembunyi.

Mereka berjalan menyusuri jalan tanpa alas kaki, panas terik matahari membuat kaki terasa begitu menyakitkan dan perih. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana mencari pemukiman terdekat, meski Aisha sendiri tak tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

Kaki Faiz terasa melepvh, tetapi ia berusaha menahan agar tidak terlihat lem4h di depan sang kakak.

Keduanya berjalan dengan lesv, hingga saat dari kejauhan terlihat keramaian yang ternyata itu adalah pasar.

“Kak, ada pasar.” Faiz menunjuk dengan begitu semangat.

Aisha yang pandangannya sempat berkunang-kunang akibat kelelahan sontak memicingkan mata saat Faiz mengg0yangkan tangannya.

Rasa putus asa pun berubah menjadi harapan.

“Kalau begitu Faiz dan Rafa duduk di belakang pohon ini, ya! Jangan ke mana-mana. Kakak mau berusaha cari makan buat nanti malam,” titah Aisha setelah menyeret adiknya ke sebuah pohon besar yang berada di dekat mereka.

Pohon besar itu cukup untuk Rafa dan Faiz bersembunyi agar terhindar dari orang-orang yang berniat burvk.

“Tapi, Faiz pengen ikut bantu kakak.”

“Sudah, Faiz tunggu saja. Memang mau bantu gimana? Kamu masih terlalu kec!l. Kakak saja belum tentu dapat,” balas Aisha.

Aisha menjadi begitu labil dan mudah m4rah akibat stres saking tak ingin terjadi sesuatu pada adiknya.

Faiz berusaha menahan tang!s dan am4rahnya. Bagaimanapun apa yang sang kakak katakan ada benarnya.

“Kalau begitu Faiz tunggu dulu di sini. Jangan keluar, kita nggak tau bakal ketemu orang baik atau orang j4hat,” pinta Aisha sambil memegang bahu sang adik.

“Iya, Kak.”

Faiz segera berjongkok di belakang pohon sambil memeluk tubvh mungil Rafa. Sebisa mungkin b0cah itu berusaha melindungi si bungsu yang kini menjadi tanggung jawabnya.

Aisha menghela napas panjang, berusaha untuk kuat menghadapi kemungkinan terburvk yang terjadi di pasar nanti. Ia pun segera melangkah menuju pasar dengan hati dan pikiran tak karuan.

Kini Aisha telah sampai di gerbang pasar. Ia berdiri mematung karena bingung harus berbuat apa. Hingga matanya tertuju pada seorang tukang sayur yang terlihat begitu sibuk seolah membutuhkan bantuan.

“Bu, ada yang bisa saya bantu? Saya nggak apa-apa di bayar sama makanan juga.”

Wanita paruh baya berambut ikal itu langsung mengerutkan alis saat melihat kedatangan Aisha yang penampilannya terlihat seperti gemb3l.

“Sana perg!! Kamu bisa bikin pelanggan saya kabur!”

“Tapi, Bu … saya cuma mau minta kerja.”

“Sudah sana perg!! Kamu saja keliatan lem3s begitu, jangankan kerja jalan aja letoy begitu.”

Mata Aisha berkaca-kaca, baru memulai saja sudah diperlakukan seperti itu.

Sambil terus berusaha menahan air mata, Aisha menghampiri para pedagang satu persatu. Kebanyakan dari mereka sama sekali tak membutuhkan karyawan karena hanya berjualan kecil-kecilan.

Aisha merasa berkecil hati bisa mendapat pekerjaan saat itu juga. Namun, rasanya tidak mungkin juga kembali dengan tangan kosong karena ia yakin jika sang adik tengah menunggu dengan penuh harapan.

Di tengah keputvsasaannya, Aisha terus berjalan tanpa tujuan dan hanya berkeliling di sekitar pasar. Hingga sekelompok orang yang tengah berbaris tiba-tiba menarik perhatiannya, membuat harapan yang semula sirna seakan kembali memberi kekuatan di hati.

Baca kisah 
*******

Bab. 32"**
SEORANG ISTRI MENUTUPI KEMISKINAN SUAMINYA.
Ada sebuah kisah, ketika seorang suami menangis kepada sahabatnya.
Sahabatnya itu pun bertanya, "Kenapa kau menangis tersedu-sedu seperti ini?"
Sang suami menjawab, "Istriku sedang sakit demam"
Sahabatnya bertanya lagi, "Sebegitu cintanyakah kau?Sehingga istri sakit demam saja sampai menangis sangat dlm seperti ini?
Sang suami menjawab, "Kau tahu siapa istriku?".
Lalu sang suami menceritakan pada sahabatnya, Aku ini miskin, tdk punya pekerjaan tetap & setiap hari keluargaku hanya makan dngn kacang,itu pun jika aku pulang.
Jika aku tak pulang karena blm mendapat apa "untuk dimakan paling istriku hanya minum air atau berpuasa.
Suatu hari keluarga mertuaku mengundang kami untuk berkunjung ke rumahnya, kebetulan istriku berasal dari keluarga kaya.
Saat aku duduk berkumpul bersama mertuaku & keluarga yang lain di meja makan dengan hidangan yang mewah, aku tidak menemukan istriku. Lalu aku bertanya kepada ibu mertuaku,
"Dimanakah dia ibu?". Ibu mertuaku menjawab, "Istrimu sedang di dapur, dia mencari kacang.....Katanya dia sudah bosan dngn hidangan lauk & daging, sehingga dia sangat ingin makan kacang"
Ketika mendengar itu ayah mertuaku langsung memelukku sambil berkata,... "Terima kasih menantuku kau telah mencukupi nafkah anakku dngn baik, sampai "dia bosan makan daging & malah ingin mencoba makan kacang."
Saat itu dadaku tersesak, menahan tangis.
Lalu saat pulang ke rumah kami aku tak bisa lagi menahan tangis, sambil ku peluk erat istriku ...
"Betapa engkau sangat menjaga kehormatanku di hadapan orang lain wahai istriku walau pun itu orang tuamu sendiri, sedangkan aku tahu setiap hari kau hidup kekurangan disini, bahkan sampai tdk makan sama sekali."
Istriku hanya menjawab, "Aku berkewajiban menjaga kehormatanmu, Karena istri adalah pakaian suami & suami adalah pakaian istri. Karena itu istri adalah kehormatan suaminya, begitu juga pun sebaliknya suami adalah kehormatan bagi isterinya".
Allahu Akbar
☝.....Tamat

*****

Bab. 31
DULU AKU DIUSIR IBUMU, SEKARANG KAMU MAU MEMILIKI ANAK INI? ENAK AJA! 
"Pak Ian sebaiknya pulang. Pak Ian bisa lihat, King baik-baik aja dan Pak Ian nggak perlu cemas," kata Wina seramah mungkin.

Ian mengangguk pelan. "Aku akan pergi sebentar lagi. Tapi, aku mau ke toilet."

Ian beralasan. Ia masih ingin bicara dengan King. Ia melempar tatapan penuh makna pada King lalu masuk ke toilet.

Sementara itu, Wina langsung mengangkat tangannya ke kepala. Ia menoleh resah pada King. "Mama keluar bentar. Nanti Mama ke sini lagi."

King mengangguk. Ia bukan anak manja dan ia juga merasa baik-baik saja. Ia tahu, Wina tak nyaman dengan Ian dan ia justru sebaliknya. Ia ingin berdua lagi dengan pria yang masih ia curigai itu.

Begitu Wina keluar, King mengangkat sedikit kepalanya. Ia menatap ke arah pintu toilet yang juga langsung terbuka. Senyum tipis terbit di wajah boc4h itu.

"Apa Om nggak bohong? Om bisa bawain aku bola basket aku?" tanya King antusias.

Ian mengangguk. "Om bakalan nyuruh orang buat nyari bola kamu. Semoga ketemu. Kalau ketemu, besok Om anterin ke sini sekalian jenguk kamu."

King tersenyum lebar. "Om belum jawab pertanyaan aku. Apa Om adalah papa aku?"

Ian membuang napas panjang. Ia menunjuk ke arah kantong darah di tiang. "Kamu tahu, kita punya golongan d4rah yang sama. Kita juga punya wajah yang mirip. Mungkin benar ... kamu adalah anak Om."

"Jadi, aku punya papa?" tanya King lagi.

Ian merasa agak sedih meskipun ia juga merasa senang ketika tahu ia memiliki anak yang begitu menakjubkan seperti King. Entah kehidupan seperti apa yang dijalani King selama ini. Mungkin Wina berkata bahwa King tak memiliki ayah.

"Ya. Tentu aja kamu punya papa," jawab Ian. Ia mendekati King dengan menggeser kursinya. "Di mana kamu bersekolah?"

"Aku belum masuk SD. Mama belum memutuskan di mana aku harus mendaftar. Mama terlalu bingung dan banyak pertimbangan. Kami baru dua minggu di Jakarta," jawab King.

Ian mengangguk. "Om punya yayasan pendidikan. Om punya sekolah. Mungkin ... kamu bisa mendaftar ke sana."

Kedua mata King membola. Ia merasa Ian adalah pria yang sangat keren. "Aku yakin mama nggak akan setuju kalau aku sekolah di sana."

Ian tersenyum tipis dan ia juga yakin akan begitu. "Mungkin ... kamu bisa bujuk Mama kamu. Om bisa bawain formulirnya buat kamu besok sekalian nganter bolanya."

Senyum King melebar seketika. Ia akan membujuk Wina nanti. Atau mungkin, ia akan melakukan trik agar ia bisa bersekolah di sana. "Oke. Nanti aku ngomong sama mama."

***

Sementara itu di luar ruangan. Wina mulai mondar-mandir, ia baru saja menerima kabar bahwa Roki telah tiba di rumah sakit dan akan segera naik. Itu bagus, ia akan lebih mudah mengusir Ian jika ada Roki di sisinya—semoga saja.

"Win! Gimana kondisi King?" tanya Roki yang melangkah dengan setengah berlari ke arah Wina. Wina menjangkau tangan Roki. Pria itu menggenggam tangan kecil Wina erat-erat. "Dia baik-baik aja?"

"Ya, tapi ...." Wina menoleh ke pintu kamar. "Ada seseorang di sana dan aku butuh bantuan kamu."

Roki mengerutkan keningnya tak mengerti. "Seseorang? Siapa?"

Wina membuang napas panjang lalu berkata, "Ayah kandung King."

"Apa?" Roki menatap Wina bingung. "Bukannya kamu bilang kamu nggak akan kasih tahu tentang kedatangan kamu ke Jakarta apalagi tentang King kalau kamu ketemu sama pria itu?"

Baca cerita selengkapnya hanya di Innovel dan Dreame ❤ sudah Tamat yaaa... 

Judul: Dikejar Cinta Ayah Anakku
Penulis: Dyanitta 

*****

Bab. 30
DIJODOHKAN DENGAN UDIN, KUKIRA DIA CLEANING SERVICE, TERNYATA CEO GANTENG 
Siang ini aku duduk sendirian di kantin. Teman-teman satu divisi lagi pada sibuk menyelesaikan pekerjaan. Malas kalau weekend mereka harus terganggu gara-gara kerjaan yang belum kelar. 

Bu Helena itu orangnya paling disiplin di seantero jagat. Enggak bakalan tenang hidup divisi kami kalau belum kelar kerjaan. Bisa-bisa besok disuruh lembur sampai kelar.
Dari pada begitu ‘kan mending disiapkan sekalian. Biar besok bisa bebas mau apa aja. Begitu prinsip anak-anak marketing.

Kuseruput secangkir latte dingin kesukaan yang masih separuh gelas. Sambil menunggu pesanan datang. 

Bakso setan yang pedasnya kebangetan. Salah satu menu favorit andalan kantin ini. Bahkan aku yang biasanya malas mencolek kuliner satu itu, tapi demi melihat betapa menggairahkannya si bakso besar berlumur dosa, eh berlumur cabai giling maksudnya, jadi kesengsem juga.

Cabainya itu lho, bikin terbayang-bayang saat lapar. Mengalahkan bayangan pak Alif yang biasanya hinggap di jendela kamar, nempel di kaca, bertengger di langit-langit dan bersemayam di hatiku. Uhuk!

Elah, udah kayak hantu gentayangan aja tuh orang, selalu menghantui di mana kuberada. Apa itu tanda-tandanya aku kena virus merah jambu, ya? 

Nah lho, bahkan sekarang aku melihat Pak Alif tengah berjalan masuk ke dalam kantin. Eh? Ini bayangan, mimpi atau nyata sih? Tumben-tumbenan makhluk satu itu mau menginjakkan kaki di ranah pegawai sekelas diriku.

Selama aku bekerja di sini, kayaknya belum pernah lah lihat itu cowok makan di tempat ini. Menurut teman-teman divisi marketing, sih dia memang enggak pernah makan di kantin. Entahlah apa sebabnya.

Sekarang bahkan bukan Cuma pak Alif saja yang menjelma di depanku, tapi juga ulat keket yang tiba-tiba berlari dari dalam kantin. Memburu pak Alif dan langsung berniat bergelayut manja di lengannya.
Untung Pak Alif segera menghindar ke arah samping, jadi mereka enggak jadi bermesraan, meskipun justru membuat Ulat keket nyaris terjatuh ke depan.

“Aih, Sayang, apa-apaan sih?” protes Isha tak terima. Bibirnya yang tipis mengerucut monyong.

“Maaf, tapi kita bukan mahram. Jadi sebaiknya, besok-besok kamu jaga sikap, ya? Lagi pula, kamu itu kalau di kantor bawahan saya, jadi bersikaplah yang profesional.”

“Ya deh!” Gadis itu mendengkus. Wajahnya terlihat semakin kesal.

Aku tak kuat untuk tak tertawa. Meskipun tawa itu terpaksa ku redam biar enggak semua orang dengar. Terutama si ulat keket. Kan bisa dikira SMS alias senang melihat orang susah nanti, kalau ada yang mendengar aku menertawakan kemalangan si ulat keket. Takut juga kalau netizen tahu dan aku malah kena bully karena udah menertawakan penderitaan orang.

*
Pak Alif duduk di bangku deretan depan. Tepat di hadapanku dan membelakangiku yang sesekali mencuri-curi pandang padanya sambil istighfar. Diikuti oleh ulat keket yang masih saja ngambek.

“Say, emang kenapa sih kalau bukan mahram? Colek-colek dikit emang enggak boleh, ya?” tanya Isha manja. Sepertinya ia lupa soal peringatan sang bos untuk tidak memanggil dengan sebutan itu.

Idih, lebay! Panggilannya itu lho, yang bikin enggak nahan. Say say, dikira Pak Alif sayton kali. Aku menggerutu dalam hati.

“Enggak boleh, Isha.”

“Ya iya, tapi kenapa, toh enggak bakal ham1l juga ‘kan cuma gara-gara nempel doang?”

“Kalau sinyalnya kuat, bisa juga kejadian. Kamu bisa jadi ham1l gara-gara aku colek. ‘Kan kalau kamu ham1l aku bisa berabe nanti.” Pak Alif menjawab sambil melihat buku menu. Ada-ada saja. Ternyata diam-diam Pak Alif mau berseloroh juga, ya meskipun terdengar garing.

“Kamu udah jadi makan?” Pak Alif kembali bertanya setelah mereka diam beberapa detik.
 
Duh, perhatian amat, ya. Bikin panas hati aja. Ternyata sesakit ini, Cuy jadi secret admirer.

Kalau dipikir, padahal akulah jodoh rekomendasi mamanya Pak Alif, tapi kenapa jadi Isha sih yang dapat?
Terus, andai nanti Pak Alif tahu bahwa aku adalah cewek rekomendasi mamanya, apa dia juga mau terima? 

Ampun, ribet juga ternyata, ya. Padahal kemarin-kemarin, saat aku tahu bahwa Pak Alif adalah calon imam pilihan mama, hatiku benar-benar mantap dan yakin bahwa Pak Alif pasti mau menerima, tapi setelah ke depannya, aku kok malah jadi ragu.

“Woi, ngelamun!” Risa tiba-tiba sudah mengagetkanku.

“Itu bakso udah dianter, ditanya mau nambah minum lagi enggak sama Mbak kantin malah asyik bengong!”

Aku meringis. Sadar kalau ucapan risa memang benar.

“Enggak, Mbak makasih. Air putih aja cukup.” Aku berucap pada pramusaji tadi dengan wajah tak enakan.

“Eh, Ris, tuh di depan ada si ulat keket, ya?” Risa berbisik kala menyadari pak Alif dan Isha duduk berduaan seraya mengedikkan dagu.

“Iya. Mau kamu apain? Mau drama lagi kayak tempo hari di Restoran?” tanyaku penuh harap. 

Kali aja kan Risa main drama lagi kayak tempo hari. Biar hatiku yang gerah di tengah terpaan AC ini segera mereda.

“Enggak, Rim, males. Biarin aja deh mereka hari ini. Besok-besok kalau aku dah good mood, enggak bakal kubiarin mereka duduk bareng lagi kayak gitu.” 

“Kenapa kamu? Di marah sama atasan?”

“Enggak, tapi dipanggil pulang sama Ayah.” Risa cemberut.

“Kenapa gitu?”

“Disuruh segera rekomendasikan calon mantu buat dia.”

“Aelah, bukan cuma aku ternyata yang mengalami nasib menyedihkan sebagai jomblowati.” 

“Nah, itu dia, Rim. Aku bingung siapa yang bakal aku kenalin ke Ayah.” Risa menopang dagu. Sebelah tangannya membolak-balik buku menu. Padahal dia sudah pesan makanan.

“Pak Alif mau enggak?” iseng aku berbisik di telinga Risa.

“Akunya mau, tapi dia yang enggak mau.” Risa cemberut.

“Dari mana kamu tahu, kalau Pak Alif enggak mau sama kamu, kan belum ikhtiar?”

“Ya tahulah. Dia seleranya selangit.”

“Emang kamu tahu?”

“Ya tahulah. Dia kan dah pernah merit. Istrinya Pak Alif itu juga dulu kerja di kantor ini.”

Wow, ada fakta baru yang aku benar-benar baru tahu tentang istri Pak Alif. Jadi pengen tahu lebih banyak soal dia.

“O, ya? Cantik enggak orangnya?”

“Kepo!”

“Ya, kepo dikit enggak papalah.”

“Cantik pake banget.”

“Kamu kalah saing, dong?” selorohku.

“Kalau enggak kalah saing, sekarang udah jadi nyonya Alif aku.”

“Harusnya kamu pepetin dong, dia. Kayak si ulat keket.” Selorohku lagi.

“Kamu aja, gih! Kali-kali aja dia naksir sama kamu kalau dipepet terus.”

“Kagak nahan! Itu bukan caraku kali, Ris." Aku tertawa bersama Risa.

"Terus, caramu gait Pak Alif gimana?" 

"Aku mau pake jalur langit ajalah. Lebih aman dan enggak malu-maluin."

"Wah, kayaknya ada yang serius mau mepet Pak Alif nih. Bisa kalah saing dua kali ak-- 

Risa tak melanjutkan ucapannya. Ia malah menatap ke atas dengan tampang cengengesannya.

Saat aku menoleh mengikuti jejak Risa, Pak Alif malah sudah berdiri tepat di depan wajahku lengkap dengan tampang dinginnya.

“Kalian ghibahin saya?”

Aduh, kok bisa sih ketahuan ghibahin atasan, parah banget!
Lanjut gak neh? Jangan lupa komen like N' share ya. Biar Alif dan Rima makin seru.

Penulis : NurulIdun
****

Bab. 29
Cerpen Pendidikan Berkilas

Di suatu desa kecil yang terletak di lereng gunung, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Rizki. Rizki adalah seorang anak yang cerdas dan penuh semangat untuk belajar. Setiap pagi, dia selalu bersemangat pergi ke sekolah untuk menimba ilmu.

Sekolah tempat Rizki belajar adalah sebuah sekolah dasar sederhana yang dipimpin oleh seorang guru yang bijaksana bernama Pak Joko tuan tanah adat. Meskipun sekolahnya tidak memiliki fasilitas mewah, namun semangat belajar yang tinggi mengalir di setiap sudut ruang kelas.

Pak Joko tuan tanah adat selalu memberikan pengajaran yang bermutu kepada para siswanya. Dia memahami betul pentingnya pendidikan dalam mencerdaskan anak bangsa. Setiap hari, Pak Joko tuan tanah adat selalu memberikan motivasi kepada murid-muridnya agar mereka bisa menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas dan berwawasan.

Rizki sangat mengagumi Pak Joko tuan tanah adat dan cita-citanya untuk menjadi seorang guru seperti Pak Joko tuan tanah adat kelak. Dia yakin bahwa pendidikan adalah kunci untuk meraih impian dan cita-cita. Dengan semangat dan tekad yang kuat, Rizki belajar dengan giat dan rajin setiap harinya.

Ketika ujian akhir semester tiba, Rizki berhasil meraih nilai tertinggi di kelasnya. Keberhasilan itu tidak lepas dari usaha keras dan dukungan Pak Joko tuan tanah adat sebagai guru yang selalu memberikan ilmu dan motivasi kepadanya. Rizki pun semakin yakin bahwa pendidikan berkualitas adalah kunci menuju masa depan yang lebih baik.

Dari kisah Rizki, kita belajar bahwa pendidikan yang berkualitas tidak hanya bergantung pada fasilitas fisik sekolah, tetapi juga semangat belajar dan dukungan dari para pendidik. Semua anak memiliki potensi untuk meraih impian mereka jika diberikan pendidikan yang sesuai dan berkualitas.

Mari kita jadikan pendidikan sebagai prioritas utama untuk menciptakan generasi yang cerdas, kreatif, dan berkelas untuk west Papua yang lebih maju dan sejahtera.


Semoga cerpen ini dapat menginspirasi dan memotivasi kita semua tentang pentingnya pendidikan berkualitas dalam menjemput masa depan yang cerah.

Oleh: Paulo Pereire*
Eko-vinsent
Jiwaumumnetral

****


Bab. 28
Cerpen Tuan Tanah Adat bercerita kepada Cucunya. 
Tuan Tanah Adat duduk berdampingan dengan cucunya di bawah rindangnya pohon tua yang telah menyaksikan berbagai kisah di masa lalu. Dengan suara lembut, Tuan Tanah mulai bercerita kepada cucunya tentang bagaimana tanah Papua diguncang oleh kedatangan PT. Perusahaan Kapitalisme Biabab yang hanya memikirkan keuntungan semata tanpa peduli akan lingkungan dan masyarakat adat yang hidup di sana.

"Iklim sudah hancur, cucuku," ujar Tuan Tanah sedih. "Mereka datang dengan membawa alat-alat besar yang menggali dan merusak tanah kita. Sungai-sungai menjadi tercemar, hutan-hutan kita dibabat habis untuk kepentingan mereka."

Cucu menatap Tuan Tanah dengan mata penuh pertanyaan. Tuan Tanah melanjutkan, "Kita harus tegak lurus hati, cucuku. Kita harus bangkit dan melawan penjajah-penjajah modern ini. Mereka harus tahu bahwa tanah ini bukan milik mereka semata, tapi juga milik nenek moyang kita dan anak cucu kita."

"Dengan menjaga tegak hati kita dan semangat perlawanan, kita bisa mengusir mereka dari tanah kita. Kita harus bersatu sebagai satu, menguatkan ikatan kebersamaan di antara kita semua. Hanya dengan keseragaman dan tekad bulat, kita bisa mengembalikan kehijauan dan keasrian tanah Papua seperti dulu kala."

Cucu mendengarkan dengan cermat setiap kata yang diucapkan Tuan Tanah. Dalam benaknya, ia merasa bertanggung jawab untuk melindungi warisan nenek moyangnya. Bersama dengan Tuan Tanah, cucu itu pun bersumpah untuk menjadi bagian dari perlawanan, mempertahankan keutuhan tanah dan lingkungan Papua dari para penjajah modern yang hanya mengincar keuntungan pribadi.

Dengan semangat yang berkobar, Tuan Tanah dan cucunya pun bersama-sama mempersiapkan diri untuk melawan para penjajah kapitalisme yang merusak tanah Papua. Mereka percaya, dengan tegak lurus hati dan semangat perjuangan yang tak kenal lelah, mereka akan dapat melindungi warisan berharga tersebut bagi generasi mendatang.

Eko-vinsent

*****

Bab. 27
KISAH NYATA : PENGEMIS TANPA KAKI
Suatu hari, seorang anak sedang berjalan bersama ayahnya. Dia melihat seorang pengemis tua yang berkaki buntung di jalan sedang meminta-minta.

Anak laki-laki itu segera menghentikan ayahnya dan menghampiri pengemis cacat itu.
"Hai Pak, boleh tanya?" dia bertanya padanya.
"Ya, silakan" jawab lelaki tua itu.
Lalu anak laki-laki itu berkata.
“Apa yang terjadi dengan kakimu? Kenapa hilang?”

Ekspresi malu terlihat di wajah sang ayah saat dia berbisik ke telinga putranya.
"Hei nak, kamu tidak boleh menanyakan pertanyaan yang tidak pantas kepada orang lain seperti itu."

Si pengemis itu mendengarnya. Dia berhenti sejenak, lalu berkata kepada anak kecil itu.
"Kemarilah... Aku akan menceritakan sebuah cerita pendek padamu."
Anak laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Lalu orang tua itu berkata.
"Ini adalah kisah nyata tentang seorang anak laki-laki, dan kamu harus memperhatikan baik-baik."
"Oke"

Orang tua itu mulai berbicara.
“Ada seorang anak laki-laki yang mempunyai seekor keledai yang sangat dia sayangi. Dia memanggilnya Banjo, dan dia adalah teman terbaiknya.

Suatu hari, dia pergi mandi di sungai dan membawa keledai itu bersamanya untuk mandi.

Sayangnya, seekor buaya besar tiba-tiba melompat keluar dari air dan menangkap keledai itu dan menyeretnya masuk ke dalam air. Anak laki-laki itu tidak bisa menyelamatkan keledainya.

Dia menangis dan berteriak sangat keras saat menyaksikan Banjonya yang malang diseret oleh buaya ke dasar sungai. Dia sangat marah dan sedih dan merasa bahwa dia harus melampiaskan dendamnya pada buaya tersebut.

Tanpa berpikir panjang dia melompat ke sungai untuk melawan buaya ganas itu. Tapi apa yang terjadi...?! Seekor buaya lain menyerang anak itu dan menyeretnya ke dalam air... Tamat. "

Setelah mendengarkan cerita itu anak itu membelalakkan matanya dengan ngeri, lalu bertanya.
"Jadi, apa yang terjadi pada anak itu setelahnya? Atau dia juga dibunuh?"

Orang tua itu berhenti sejenak, lalu berkata.
"Selama bertahun-tahun, anak laki-laki itu telah tumbuh menjadi lelaki tua dan dia sekarang adalah aku.

Aku baru saja menceritakan kepadamu sebuah cerita tentang diriku, sehingga menjawab pertanyaanmu. Aku selamat tetapi kehilangan kedua kaki akibat kejadian itu"

Baik ayah maupun anak itu merasa miris dan sedih. Kemudian pengemis tua itu menyimpulkan.

“Cerita saya memiliki pelajaran yang kuat tentang kemarahan dan balas dendam, yang harus kamu petik. Kamu harus belajar mengendalikan amarahmu. Atau kamu akan terdorong untuk melakukan balas dendam, yang tidak hanya akan menyakiti orang lain, tetapi juga dirimu sendiri.

Saya sangat marah dan sedih saat itu, saya sangat ingin membalas dendam pada buaya itu sehingga saya tidak menyadari betapa bodohnya saya. Kemarahan dapat membuatmu mengambil tindakan bodoh yang akan kamu sesali selamanya.

Kamu tahu, jika saya mengendalikan amarah saya dan berjalan pulang setelah buaya memangsa keledaiku, aku tidak akan menjadi 'pengemis tak berkaki' yang kamu lihat hari ini.

Penting bagimu untuk belajar memaafkan orang yang menyakitimu, dan melanjutkan hidupmu. Bukan karena mereka pantas mendapatkannya, tapi karena kamu pantas mendapatkan kedamaian.

Oleh Kisah Ulama dan Sejarah Nusantara
* translate from Rams TV. 

******

Bab. 26
Kisah Sedih
Agus adalah anak muda, usia 28 tahun. Dia lulusan kampus top, jurusan top, yang masuknya susah payah, dan dia lulus dengan IPK cumlaude, alias di atas 3,5. 

Kemudian Agus mulai melamar pekerjaan. Setelah mencoba beberapa kali, dia lolos di salah-satu BUMN. Salah-satu BUMN raksasa di Indonesia. Susah payah dia lolos seleksinya. Harus mengalahkan ribuan orang. Tapi karena dia memang bermutu, dia 1 diantara ribuan itu.

Akhirnya, Agus kerja. Dia senang sekali. Gajinya pas masuk 10 juta per bulan. Semangat dia kerja. Masuk pagi2 buta, pulang jam 9-10 malam. Dia selalu aktif mengambil inisiatif, dia ikut apapun kegiatan di kantornya. Lebih2 saat bahas ttg AKHLAK, profesionalisme, kompetensi, sistem merit, dan semua hal keren. 

6 tahun kerja di sana, karirnya terus naik. Hingga jadi manajer, gajinya pun sudah 30 juta. Anak muda ini tetap seperti semula, datang pagi2, pulang jam 9-10 malam. Dia mengabdi pada BUMN. Berkarya. Berkontribusi. 

Hingga suatu hari, BUMN itu punya komisaris baru. Koruptor. Pengguna narkoba, dkk. Dan Agus disuruh nemenin komisaris2 ini melihat2 operasi BUMN. Nasib. Agus harus tetap semangat dong. Termasuk besok2, hanya soal waktu, BUMN itu punya komisaris baru yg entah apa latar pendidikannya, antah berantah, orang dalam, jalur buzzer. Bukan main, dia tetap harus semangat menemani. 

Dan lebih epic lagi, saat besok2, Agus disuruh nemenin pejabat yang berkunjung. Pejabat yg kuliah di kampus ranking 1000 lebih dunia. Pejabat yg lulus hanya dgn IPK dua sekian. Agus terbirit-birit, terkentut-kentut, harus senyum lebar, mengangguk-angguk mendengarkan titah sang pejabat.

Bahkan saat pejabat itu ngasih saran nggak masuk akal sama sekali. Saran yang gobloknya minta ampun (pertanda pejabat itu memang tidak ngerti apapun), Agus tetap harus tersenyum lebar, menjawab, "siap, Pak!"

Inilah kisah sedih itu. Banyak korbannya. Bukan cuma Agus. 

Salah siapa? Salah Agus-lah. Dia terlalu sayang dengan gaji 30 juta per bulannya. Sampai lupa, bahwa di luar sana, dia boleh jadi punya kesempatan lebih baik, dan lebih terhormat. Ngapain dia harus pulang jam 9-10 malam? 

Wassalam. Tabik.

*Tere Liye, penulis novel 'Teruslah Bodoh Jangan Pintar'
****

Bab 25 
Membawa Cinta Ke Papua I
Wanita Sunda Melayu, kelahiran tanah Jakarta, namanya Mitta. Ia harus ke Papua bertemu dengan cintanya. Mitta belajar tentang ilmu sosial selamah lima tahun dikampus dan Ia banyak membaca buku umum seperti bapanya seorang jurnalistik senior di korang Tempo. Mitta berkeinginan menulis tentang Papua setelah Ia menyelesaikan pendidikan S1 di kampus ternama di Kota Metropolitan Jakarta, Universitas Nasional [UNAS].

Setiap saat Ia memburu perkembangan ekonomi politik  yang terjadi di Papua melalui media online. Sakin tertariknya terhadap dunia Papua, Mitta berteman dekat dengan Yosep, hanya Dia orang asli Papua di angkatan mereka kuliah di kampus Unas. Yosep anak asli Papua asal Kampung Puay Sentani yang menempu Pendidikan bersama Mitta, Yosep suka membaca buku.

Satu  Minggu terakhir sebelum Mitta pergi ke Papua, dirumah, Mitta harus berdebat dengan mamanya, mamanya melarang Mitta berangkat ke Papua:

“Mama satu minggu lagi saya akan berangkat ke Papua,” Kata Mitta sambil melepas sepatu masuk kerumah.

“Untuk apa ke Papua, disana daerah kongflik,” Larang mamanya.

“Saya mau bertemu Cinta,” Balas Mitta

“Mitta, kamu gila?,” Marah mamanya melarang Mitta.

“Cukup mama, hidup besok adalah hidup saya,” Ucap Mitta kepada mamanya dan masuk kamar.

“Ini mama, dengar Mitta,” Balas mamanya mengejar Mitta ke kamar.

“Cukup mama, satu Minggu Lagi, Bye…!!,” Balas Mitta sambil menutup pintu kamar dan diam.

Mitta lahir 22 Oktober 1993, lahir di ibu kota Indonesia, Jakarta. Bapaknya telah almarhum pada sepuluh tahun yang lalu. Seluruh hidup bapaknya habis didunia kertas dan pena, hidupnya berakhir dengan jurnalistik tempo yang dikenal terbaik. Mita Ingin menjadi bapaknya.

Mama Mitta seorang pengusaha yang cukup sukses di wilayah Jakarta, memiliki rumah yang bagus dan memiliki mobil dan motor lebih dari satu, tapi mamanya telah menikah dengan pria keturunan tionghoa di Jakarta, seorang pengusaha kelas satu diwilayah ibu kota Indonesia, mereka miliki beberapa ruko dan hotel berbintang lima di Jakarta.  Tapi lain bagi Mitta, pikiran Mitta biasa saja, Ia ingin hidup sederhana seperti kata-kata bapaknya sebelum meninggal.

Hari sabtu malam Mitta sudah siap rapi, beberapa buku bacaan sudah dalam tas, baju tidak banyak, secukupnya. Ia akan tinggalkan rumah bersama mamanya demi cinta yang perna hadir walaupun hanya singkat dalam waktu yang tidak diduga:

“Mama, sudah satu minggu lewat dan saya harus berangkat,” Jelas Mitta tanpa ragu kepada mamanya.

“Mitta kamu mau cari apa di Papua, bahaya disana,” Jelas mamanya menahan Mitta tidak ke Papua.

“Sudahlah mama, saya ingin hidup disana,” Balas Mitta kepada mamanya.

“Oke, nanti pulang cepat kalau ada apapa, bentar nanti cek, mama nanti krim uang jalan,” Balas mamanya biarkan Mitta ke Papua.

“oke mama, makasih, da…da…mama.” Balas Mitta pamit dari rumah naik mobil.

Mitta sudah  kenal sama Yosep selamah lima tahun, anak Papua yang suka buku sosial juga, Yosep satu jurusan dengan Mitta di kampus Unas. Selamah mereka kuliah, mereka sering diskusi di cafe tentang ilmu sosial dan pengetahuan umum. Setelah mereka berpisah dua tahun lebih dari Jakarta. Yosep sudah lama di Papua menikah dengan perempuan Papua namum berpisah karena maut yang datang tak dipangil, rupanya mereka akan bertemu di Papua dan itu janji di malam terakhir sebelum paginya Yosep akan berangkat dari kos warna biru nomor 05:

Telfon masuk di hpnya Yosep, “Halo Mitta,”.

“Saya sudah dalam pesawat tujuan Jayapura”, Jelas Mitta kepada Yosep.

“Serius ini?,” Kaget Yosep.

“Yosep, ia Ini serius, besok pagi jemput saya,” Balas Mitta, singkat.

“Ya..Mitta, sama siapa?,” Tanya Yosep lagi.
“Sendiri,” balas Mitta. 
 
“Kenapa kamu datang?, nanti tinggal dimana?,” Tanya lagi Yosep.

“Sudah jemput saya besok pagi, ini janji kita Yosep, igat kan?”, Singkat Mitta.

“Ia baik,” Yosep.

Pagi jam 09:23 Waktu di Sentani Papua, cuaca sungguh baik menyambut Mitta injak tanah Papua. Yosep sudah berdiri di pintu keluar di gedung Bandar Udara Sentani, Jayapura, Papua. Penampilan Yosep berubah selamah  dua tahun lebih di Papua, Dia jarang merapikan rambut dan jenggot selayaknya di Jakarta waktu kuliah. Yosep kebanyakan tinggal di kampung, jarang ke kota dan Yosep suka kesunyian di kampung Puay Sentani Timur, Jayapura, Papua. Kampung yang menempel dibibir Danau Sentani.

Mata Yosep melihat Mitta keluar memegang coper dan gendong tas yang sering Mitta pakai dulu semasa kuliah di Jakarta,“Hey..Mitta,” tiga kali Yosep memanggil, hampir Mitta lupa pada Yosep:

“Hai, Yosep”, Balas Mitta melihat Yosep, Mitta Memeluk.

“Kamu sudah berubah Yosep, ” Ucap Mitta melempar senyuman pertama.

Ia, begitulah,” Balas Yosep membalas tersyenyum.

Yosep membantu pegang coper”, Ayo kita jalan”, ajak Yosep ke Mitta.

“Ayo, Mobilmu dimana?”, Tanya Mitta.

Kaget Yosep, “Ya..Mitta, saya tidak punya mobil, saya hanya punya motor Jupiter lama”, balas Yosep.

“Okey, Ayo, ” Balas Mitta dengan semangat.

Motor yang sedikit lambat, tidak seperti beberapa motor yang kuat di kota Jayapura. Sampai di parkiran Motor:

Yosep menunjukkan motornya,” Lihat Mitta, ini motor saya, kamu harus pake Mobil nanti saya sesuaikan dengan motor”

“Yosep, kamu pikir apa?, lima tahun kita bersama dikampus Unas di Jakarta, Kamu kan sudah tau saya, kan saya suka hal-hal yang sederhana begini, apapun kita bersama disini” Jelas Mitta kepada Yosep.

Ajak Yosep,”Ayo, kita berangkat”

Coper coklat berdiri memanjang di depan, Yosep menyetir motor, kota Jayapura cerah, melaju pelang, Yosep dan Mitta. Yosep masih bigung dan merasah aneh, Mitta akan kemana dan urusan apa ke Papua, Ia lupa kalau malam terakkir mereka tidur di kos adalah malam yang sangat special untuk Mitta, Yosep hanya biasa saja:

“Mitta, saya antar kamu kemana?, saya harus pergi ke kampung saya, bapa saya sakit di kampung”, Tanya Yosep setelah bertanya-tanya dalam hati.

Singkat Mitta, “Saya ikut kamu Yosep”

Yosep bertanya,” kamu ke Papua urusan apa?”

“Yosep, kamu dengar, saya ini temanmu, saya hanya lagi belajar jatuh cinta dengan orang Papua, Emanya tidak boleh saya jatuh cinta sama orang Papua”, Tegas Mitta.

Yosep kaget dan berbisik dalam hati, ternyata Mitta cari cinta di Papua tapi tidak, bagi Mitta Yosep adalah cintanya, Ia ke Papu demi Yosep setelah melihat story Yosep, Ia lajang setelah Istri dua anak itu meninggal karena musibah longsor di Kaki gunung Siklop Sentani. Aduh saya suka Mitta dari dulu waktu di Jakarta, tapi saya punya anak satu, Istri saya sudah meninggal terkena musibah longsor. Rumah saya jauh dari sederhana, gubuk dengan papan tripleks dan sebagian daun seng bekas.

Balas Yosep,”Okey tapi rumah saya tidak layang Mitta, kamu bisa munta-munta disana”

Balas Mitta, “Dimana pun layak bagi kamu Yosep, itulah saya bisa tinggal disana”,

“Mitta kamu tinggal di Hotel saja?,” Minta Yosep.

“Tidak Yosep, kita kerumahmu saja,” Minta Mitta tetap ke rumahnya Yosep.

Rumah Yosep di Kampung Puay Sentani Timur, kampung yang menempel di danau Sentani, tempat Yosep lahir dan besar disana. Yosep perna memiliki Istri namun meninggal tertimbung longsor pada 16 Maret 2019 sementara Istrinya pergi bermalam dikeluarga bersama anak keduanya yang masih balita, meninggal bersama balita dibelukan mamanya.

Yosep tinggal bersama bapaknya yang telah lansia berumur 79tahun dan anak pertama Yosep yang sudah empat tahun:

“Rumah agak jauh dan sunyi dari kota,” Jelas Yosep.

“Saya suka Yosep, ramai salah satu alasan saya tinggalkan Jakarta,” Balas Mitta.

Setelah satu jam diatas motor menuju kampung, Yosep dan Mitta sampailah dirumah, di kampung Puay yang sunyi dibibir Danau Sentani.
Bapa Yosep sedang duduk makan pinang depan teras rumah:

”Siang anak,” balas bapa Yosep setelah Yosep dan Mitta beri salam dari pintu masuk mata jalan.

“Lihat Mitta, inilah gubuk kami yang tidak layak, seharusnya kamu harus nginap tempat yang lebih baik,”. Jelas Yosep sambil menunjukkan kondisi rumah.

“Yosep, cukup kamu bicara begitu, saya sudah bilang tadi, ini yang saya suka,” Tegas Mitta kepada Yosep lagi.

Yosep terdiam dan menggajak Mitta memandanggi danau yang teduh dan cantik dibalik rumah. Mitta kagum dengan wajah danau sentani:

“Cantik sekali danau Sentani, ” Mitta merasah jiwanya terobati.

“Ia, inilah danau sentani, ” Singkat Yosep.

“Yosep anak mu yang ditinggalkan Ibunya dimana?,” Tanya Mitta setelah duduk.

Yosep kaget dan berkata dalam pikiranya, Mitta tahu darimana tentang ini semua, Yosep ingin menyembunyikan semua itu tapi tidak, Mitta sudah tahu:

“Kok, Mitta tau?,” Tanya heran,  Yosep.

“Ia tahulah, jejakmu berlebihan di facebook,” Balas Mitta.

Nampaknya Mitta sudah ikuti Yosep di platform media facebook:

“O…ia begitulah,” Balas Yosep memandanggi danau, sedih.

“Kamu tunggu disini saya siapkan papeda kita makan”, Yosep berdiri dan masuk kerumah, dapurnya.

Bapaknya sudah menanti untuk bertanya di dapur:

“Yosep, Itu perempuan apa yang kamu bawah datang, suruh Dia pulang bapa tidak punya Uang Yosep,” Tanya bapaknya dengan tegas.

“Bapa itu saya punya teman kuliah dulu di Jakarta,” Jelas Yosep.

“O…..ia pikir ko punya maitua baru jadi bapa bilang,” Balas bapaknya.

“Kalau maitua kenapa jadi bapa?,” Tanya Yosep gegas menyiapkan papeda untuk makanan siang.

“Yosep, ko igat, jangan sentu Dia, bapa tidak punya Uang dan tidak mau malu depan banyak orang,” Jelas bapaknya kepada Yosep.

“Bapa Dia itu anaknya orang kaya di Jakarta, mamanya pengusaha besar di Jakarta dan bapa keduanya orang China, pengusaha sukses juga,” jelas Yosep.

“Makanya itu, pasti mereka tidak setuju sama kau Yosep,kamu hanya anak kampung dan tidak punya apapa, rumah hanya di kampung, dapat uang lima ribu saja tidak mampu sehari, Yosep Igat, kita ini keluarga yang miskin,” Bapa Yosep berkata keras dalam sedih. Yosep terdiam:

“Bapa mantu sudah cukup, saya suka kehidupan yang sederhana seperti ini walaupun bapa dan mama saya orang kaya di Jakarta. Ayahku seorang yang hidup sederhana seperti kalian tapi mama saya tidak, bapa saya sudah meninggal waktu saya kecil, mama saya menika lagi dengan pria china yang kaya raya, Ayah saya mendidik saya harus mencintai yang sederhana dan saya suka suka Yosep sejak kami kuliah di Jakarta dan saya sudah mencintai Yosep bapa,” Jelas Mitta membela diskusi serius antara Yosep dan bapaknya di dapur, Ia mendegar dibalik pintu dan Mitta tersentu dan Ia harus menjelaskan perasahanya ke bapanya dengan bercucur linang air mata. Yosep dan bapaknya terpaku diam. Dengan sedih yang mendalam, Mitta memeluk Yosep:

“Yosep, saya punya Uang di rekening, mama selalu krim setiap minggu, saya punya banyak uang direkening hari ini. Tapi tidak Yosep, perasahaan saya tidak mampu saya amputasi dengan uang, sudah lama saya suka kamu dan puncaknya dimalam itu, itulah alasan utama saya harus bertemu kamu dan tinggal disini bersama,” Jelas Mitta sambil memegang tanggan Yosep.

Yosep diam terkunci, tidak menduka hal ini, tapi Dia ingat waktu masa kuliah selalu bersama Mitta semenjak semester satu, Ia Ingat perna bersama Mitta, tidur di kosnya sebelum Yosep pulang jedah satu minggu ke Papua. Yosep menjadi orang pertama yang menyentu tubuh Mitta. Mitta sulit melupakan Yosep selain Ia sakit hati waktu Yosep mempostin photo bersama istrinya di facebook:

“Bapa, besok kita renovasi rumah dan kita lengkapi semua,” Jelas Mitta kepada bapanya Yosep.

“Makasih anak, tapi kamu tidak pura-pura mencintai Yosep?,” Tanya bapaknya Yosep.

“Tidak bapa, Yosep cinta pertama saya, Dia mengganjari saya hal-hal yang berbedah dan tidak lama lagi kita menikah,” Balas Mitta sambil melihat Yosep, Yosep tersyum.

Anak Yosep namanya Lena pulang dari sekolah, Ia menyapa selayaknya anak sekolah pulang kerumah:

“Bapa sudah pulang,” Pangil Lena memeluk Yosep, bapaknya.

“Itu siapa bapa?,” Tanya Lena kecil setelah wajah mengarah ke Mitta.

“Mari peluk mama,” Sambut Mitta kepada Lena kecil.

Lena kecil langsung memeluk Mitta, Lena sudah lama rindu seorang mama seperti mamanya yang telah lama pergi karena musibah bersama adik kecil Lena. Dalam pelukanya Lena, Mitta berkata, kita akan hidup bersama Lena, saya mama kamu, hidup dalam natural alam bersama kesederhanaan hidup kita disini. Inilah keluarga yang saling mencintai kebahagiaan dan masa sulit nantinya.

Satu bulan lamanya mereka hidup di kampung Puay seperti satu keluarga yang telah kembali bertemu. Mitta sudah renovasi rumah serta melengkapi isinya. Mitta juga membeli motor untuk akses ke kota.

Sore matahari mulai tenggelam di pundak perbukitan Papua diseberang danau Sentani, diatas kota Sentani. Yosep dan Mitta duduk di pinggiran danau sentani:

“Yosep, saya sudah hamil lima bulan, saatnya saya harus beritahu orang tua saya di Jakarta,” Kata Mitta memandanggi wajah berjengot, Yosep.

“Ayo, telfon sekarang,” Balas Yosep memeluk Mitta.

Telfon masuk ke handphone mamanya, trik…trik…trikk.

“Mitta ayo pulang, sudah lama kamu di Papua, bahaya lho, ” Jelas mamanya.

“Mama, Mitta minta maaf, saya sepertinya mencintai Papua dari Jakarta dan mama tahu, saya ke Papua mencari Cinta Sejahtiku,” Jelas Mitta kepada mamanya.

Mamanya kaget,”Apa, Mitta mencari cinta Sejatinya?,”

“Ia mama, saya ke Papua bukan karena Ilmu saya sebagai seorang sarjana antropologi tapi, saya ke Papua mencari Cintaku waktu kami kuliah, Dia Pria hitam yang sederhana, saya cinta lebih dari segalanya,” Balas Mitta kepada mamanya.

Mamanya sedikit aneh dan bertanya, “Jadi, Cintamu laki-laki Papua,”

“Ia mama benar, saya mencintainya”, Balas Mitta sambil memandanggi Yosep dari dalam pelukanya.

Mamanya terdiam dan Mitta berkata lagi:

”Mama pasti tidak bisa lupakan bapa yang sudah meninggal tinggalkan saya karena Dia pria pertama bagi mama,”

“Ia Mitta benar,” Balas mamanya dengan lembut.

“Mitta juga demikian, dan itulah saya ke Papua demi cintaku,” Jelas Mitta kepada mamanya.

“Saya minta maaf mama, saya sudah hamil lima bulan dan ini cucu dari mama, Dia akan memanggil nene,”, Jelas Mita.

Mamanya kembali heran dan bertanya,” kamu hamil?,”

“Ia mama,” Balas Mitta.

“Mana Bapanya yang kamu cinta itu,” Tanya mamanya.

Minta memberikan handphone kepada Yosep:

”Hallo mama, saya minta maaf,” Kata Yosep.

“Kamu pria hebat, kita akan berjumpa,” Singkat mamanya Mitta kepada Yosep dan mamanya langsung matikan hanphone.

Mitta menelpon lagi ke mamanya:

” Hallo Mitta,” Balas mamanya.

“Mama marah saya dan Yosep?, Ini bukti cinta kita mama,” Jelas Mitta kepada mamanya.

“Mitta, mama akan ke Papua,” Singkat mamanya.

“Ia mama, kami dua harus menikah secepatnya,” Balas Mitta.

“Mama akan urus semua dan jaga bayi kecil kita,” Jelas mamanya sambil Ia memimpin rapat di kantor perusahaanya di Jakarta.

“Makasih mamaku,” Singkat Mitta.

“Ia,” Tutup mamanya.

Dua minggu kemudian, mamanya tiba di Papua, Ia memanggil Mitta ke penginapan, di hotel Green Abe. Mitta bersama Yosep berangkat ke Abe. Mamanya salam Yosep tak berkata apapun, Mama Mitta perintakan untuk menikah dua hari kedepan karena mamanya harus kembali Jakarta secepatnya.

Hari Rabu pagi, semua teman Yosep dan warga di kampung menghadiri acara pernikahaan antara Yosep dan Mitta di kampung Puay, sangat meriah. Mitta menggubah hidup Yosep lebih baik bersama kadar cinta yang Ia miliki.

Beberapa kampung disekitar kampunya bersama telah merayakan. Besoknya mama Mitta akan kembali ke Jakarta, Ia meninggalkan 40milyar untuk Mitta dan Yosep:

“Mitta, nanti buat usaha dan hidupkan beberapa kaluarga untuk kemajuan ekonomi micro di daerah sini,” Kata mamanya kepada Mitta dan Yosep.

“Nanti telfon jika perlu,” Kata mamanya sambil Ia naik mobil kembali ke penginapan.

Cinta Mitta mengubah beberapa kampung di sekitar kampunya Yosep, jalan-jalan dibagun menggunakan Uang pribadi dari Mitta dan Yosep, beberapa kios dibinah oleh Yayasan Ekonomi yang Mittal dan Yosep bangun untuk warga kampung dari beberapa kampung yang bisa muda dijangkau. Anak mereka lahir, anak laki-laki, nenenya memberi nama PABUTA artinya PAPUA BUTUH CINTA. Nenenya berharap dengan kekayaan mamanya yang akan jatuh ke tanggan Mitta dapat menggubah Papua dari hati dan pikiran.

“Hey,..PABUTA, pemimpin masa depan Papua yang lahir dari rahim perempuan melayu,” Gemas nenenya dirumah sakit Dok dua Hollandia Jayapura Papua.

[Cerita Fiksi]

Sumber : 
https://mrnomen5.
wordpress.com/2020/11/27/
membawa-cinta-ke-papua/
🍁🍁🍁


Bab. 24
KISAH Mengharukan...
Seorang Suami Hendak Melalukan Hubungan Intim Dengan Istri nya, Namun Istrinya Ternyata Telah…

Pria ini berpikir bisa selalu memeluk erat seorang wanita yang dia nikahi dan yang pernah memberi kebahagian dalam hidupnya.
Dia pernah bersumpah untuk selalu membuat istrinya bahagia seumur hidupnya.

seiring berjalannya waktu, pria bernama Chang yang dulu statusnya hanya seorang buruh.
Kini telah menjadi kepala bagian, lalu membuat perusahaan konstruksi sendiri.

Sekarang perusahaannya semakin besar dan terkenal, godaan terhadap dirinya pun semakin banyak.
Malam itu, dia membalikkan badan istrinya, hanya sekedar ingin berhubungan suami istri.

Namun dia menyadari, kini istrinya semakin menua, tubuh yang langsing kini sudah berisi, kulitnya pun tidak halus lagi.
Jika dibandingkan dengan sejumlah wanita cantik di sekelilingnya, dia hanyalah seorang wanita desa yang kusam, keberadaan istrinya mengingatkannya pada masa lalu yang sederhana.

Dia berpikir, pernikahan ini sudah mencapai titik akhirnya.
Dia menyetorkan uang sebesar satu juta yuan ke rekening istrinya, agar istrinya dapat membeli rumah yang nyaman di pusat kota.
Dia bukanlah pria yang tak berperasaan, tidak mengatur kehidupan istrinya selanjutnya, dia merasa kurang tenang.
Akhirnya dia pun meminta untuk bercerai.

Istrinya duduk di hadapannya, dengan tenang mendengar alasan perceraiannya, mata istrinya pun terlihat tenang.
Namun mereka telah menikah 20 tahun, dia tahu betul semua tentang isrinya, dia tau bahwa tatapan tenang istrinya, sebenarnya menyimpan rasa perih yang teramat dalam di dalam hati.

Dia tiba-tiba menyadari bahwa dia sangat kejam.
Hari yang telah ditentukan untuk berpisah pun tiba.

Hari itu sesuatu terjadi pada perusahaannya, ia menyuruh istrinya agar menunggu di rumah sebentar.
Saat siang hari, ia akan kembali membantu istrinya pindahan.

Pindah ke rumah baru yang telah dibelinya itu, dan 20 tahun pernikahan mereka berakhir sampai disini.
Sepanjang pagi, hatinya sangat gelisah.

Begitu siang tiba, ia segera kembali ke rumah. Namun rumah sudah sepi, istrinya telah pergi.
Di atas meja ia mendapati, kunci rumah yang ia belikan untuk istri, buku tabungan yang nilainya satu juta, dan sepucuk surat yang ditulis oleh istrinya untuk dia.

Ini adalah surat pertama yang ditulis oleh istrinya untuk dia:

“Aku sudah pergi, kembali ke rumah orangtua di kampung ku.
Semua selimut sudah aku cuci, dan juga sudah dijemur, aku menaruhnya di rak sebelah kiri, saat musim dingin tiba, jangan lupa mengeluarkannya.

Semua sepatu kulit sudah ku semir, jika robek kamu bisa pergi ke toko sol sepatu dekat rumah.
Kemeja di lemari bagian atas, kaos kaki dan tali pinggang di laci bawah.

Saat beli beras, ingat beli merek Jin Xiang, pergilah ke supermarket, di sana tidak akan ada merek yang palsu.
Xiao Sun setiap minggu akan datang untuk bersih-bersih, jangan lupa berikan gaji dia setiap akhir bulan.
Oh ya, jika ada baju yang sudah tak terpakai, berikanlah pada Xiao Sun, dia akan mengirimkannya ke kampung, keluarga mereka akan sangat senang.

Setelah aku pergi, jangan lupa minum obat, lambung mu kurang sehat, saya sudah menyuruh orang membelikan mu obat lambung dari Hong Kong, seharusnya cukup untuk setengah tahun.

Dan lagi, kamu selalu lupa membawa kunci saat keluar rumah, aku sudah menitipkannya pada resepsionis, jika kamu lupa lagi, ambilah di sana.

Saat pagi, jangan lupa tutup jendela sebelum keluar rumah, air hujan yang masuk akan membahasi lantai.
Aku sudah membuatkan pangsit untuk mu, saat pulang, masaklah itu.”

Setiap huruf yang ditulis istrinya sangat tidak rapi. Namun setiap katanya bagaikan peluru yang menusuk ke dada secara bertubi-bertubi.

Dia perlahan menuju dapur, memasak pangsit yang sudah disiapkan.

Dia tiba-tiba berpikir akan 20 tahun yang lalu, dia berdiri di antara tumpukan tiang dan menjadi buruh semen.
Tidak jauh dari tumpukan tiang tersebut ada suara yang berteriak memanggil namanya sambil membawakan pangsit, mengingatkannya akan suara yang membawakan kebahagiaan itu; mengingatkannya akan rasa puas setelah memakan pangsit itu.
Seakan baru saja melewati sebuah pesta; mengingatkannya akan masa dimana ia mengucapkan sumpah, “aku akan membuat wanita ku bahagia.”

Dia berbalik menuruni tangga dan segera masuk ke mobil.

setengah jam, ia sampai ke stasiun kereta dan mendapatkan istrinya hendak masuk ke kereta menuju kampungnya.
Dengan nada yang tinggi ia berkata, “Kamu mau kemana?! Aku begitu lelah kerja setengah hari ini, dan tidak ada nasi di rumah, istri macam apa kamu? Keterlaluan, cepat ikut aku pulang!”

Dia terlihat sangat galak dan kasar (kompensasi dr penyesakannya)

Istrinya pun dengan mata yang basah, mengikutinya dari belakang dan ikut pulang ke rumah.
Perlahan-lahan, air mata istrinya menjadi bunga mekar.

Istrinya tidak tahu, suaminya yang berjalan di depan juga sedang menangis.

Saat perjalanan dari rumah menuju stasiun kereta, ia sangat ketakutan, takut juga tidak menemukan istrinya lagi, takut kehilangan istrinya.

Dia memarahi diri sendiri, begitu bodoh, hendak mengusir istri sendiri, ternyata kehilangan istrinya, seperti kehilangan tulang rusuk, begitu sakit. Pengalaman ini, membuat hubungan mereka semakin erat setiap harinya.

Sayangilah istri anda karena kehilangan seorang istri yang baik hatinya sama saja seperti kehilangan tulang rusuk. Istri yang baik akan menemani engkau hingga engkau sukses dan kaya raya. Namun setelah engkau kaya raya, janganlah engkau berpaling dari mereka dan menggangap mereka tidak lagi berguna.

Learning :

“kesetiaan seorang wanita diuji ketika sang pria tidak mempunyai apa-apa, dan kesetian seorang pria diuji ketika ia telah mempunyai segalanya".

🍁🍁🍁


Bab. 23
"AMOY3 CINTA NATALIA"

(Cinta Hancur Karena Amoye Gagal Perawan Natalia)

Natalia adalah bocah kecil yang dewasa, dia lahir dan besar di panbar (obano). Natalia sudah kuliah semester 4-5 di Nabire Papua, gadis kecil ini sudah mengenal dunia cinta melalui film sinetron, drama korea dan cerita-cerita teman di sekolah. Natalia mulai gelisa dengan cinta, ingin merasakan cinta di dunia pacaran seperti teman-teman di kelasnya. Amoye adalah pria kecil yang berkelahiran di kampung Dagouto kabupaten paniai. Amoye juga sebagai lelaki sederhana hidup dalam masyarakat.

Sudah hampir dua tahun di kota eropa, Natalia dan Amoye sudah saling kenal dan saling melirik ditenggah aktivitas di kota Nabire, namun bukan dengan perasaan cinta tetapi hanya sebatas saling melirik seperti biasa.

Amoye ingin Natalia harus tegur saat sekilas saling melewati, karena beberapa kali tiba-tiba bertemu, Natalia semakin senyum-senyum, namun Amoye tidak berpikir sejauh itu tapi cukup amoye sayang Natalia karena Amoye belum ada perasaan untuk menjatuhkan melainkan Natalia adalah darah dan dangingku, Amoye biasa saja. boca perempuan barat itu sungguh semakin suka sama Amoye dan amoye pun sayang sama Natalia karena sering bertemu melihat gaya Amoye yang menyukai hati Natalia. Amoye ingin Natalia harus lebih suka sama dia, dan menjalani hubungan lebih dekat dari teman biasa.

Suatu sore hari ada pertemuan di ruang perpustakaan Nabire papua. tentunya perpustakaan itu dipenuhi dengan anak-anak muda. gadis wanita barat cantik itu mandi rapi, jelana jans panjang ketat, varfum tebal mulai melangka ke ruang perpustakaan itu untuk cari buku cinta, tetapi dalam pikiran kecilnya Natalia, dia ingin tampil bedah dihadapan Amoye, pria kecil yang gagah dan ganteng itu. 

sesampainya di hadapan amoye, Natalia melihat Amoye sedang berjalan dari arah selatan ke utara bersama teman-temanya. tidak lama pake lama, Natalia langsung berjalan menuju ke arah yang lebih dekat ke Amoye mote datang.

Amoye melihat Natalia dengan pandangan yang berbeda, dan kali ini Natalia berhasil mencuri perhatihan Amoye lebih dari biasanya. setelah itu Amoye bertanya kepada temannya yang lagi jalan bersama" kawan itu ade siapa?, walaupun Amoye sering melihatnya dia tapi bertanya lagi.

temannya jawab" itu ade wanita barat obano sering laki sebut dia, wanita pedis, cerewet tapi hati baik, kakanya Maga, sering tinggal di asrama Paniai jalan kelapa dua Nabire owapa. keesok harinya Amoye penasaran dan mulai tidak sabar lagi melihat Natalia di ruang baca, Amoye pergi ke asrama Paniai Nabire, untuk bertemu Natalia dan berkenalan lebih dari sekedar mengenal. sesampainya di asrama, wanita natalia tunggu di jalan depan asrama, namun mata Amoye berjalan melihat-lihat nampaknya gadis cantik itu datang arah mana.

Amoye semakin gelisa, Amoye sudah bertekat harus bertemu dengan wanita barat Natalia, Amoye terus keliling komplek asrama Paniai Nabire itu untuk mencari Natalia. Amoye melihat Natalia sedang berdiri di jalan besar tanpa dengan teman bermain dia. Amoye tidak pikir panjang langsung pergi kepada Natalia dan berkenalan lalu minta nomor hpnya, Natalia kaget saat itu, seakan tidak percaya dengan itu. Amoye sudah berkenalan dan dapat nomor handphone Natalia cantik itu. Amoye bahagia sekali dan natalia juga.

Amoye dan natalia semakin dekat, pertemuan pun sering terjadi, suatu hari pekan siang hari yang baik Amoye ajak Natalia jalan-jalan keliling di Nabire Papua. Sambil jalan-jalan santai bercerita diatas motor, Amoye tembak Natalia menjadi pacarnya, Natalia tidak terima dan menolak karena Natalia sudah jatuh hati sama lelaki lain sejak pertama kali melihat Amoye di sekilas pandangan, bukan yang baru. sama juga saat Amoye melihat Natalia pertama kali di perpustakaan, sungguh Amoye tertarik dengan rayuan tubuh Natalia di petan siang itu.

Natalia sudah mengenal perasaan cinta dan bagimana orang berpacaran, keesok siang harinya Amoye jemput Natalia pakai motor pribadinya lalu ajakan seperti kemaring lalu, tong baku ajak agak jauh dari perkotaan, di Nabire Papua terjadi ajakan itupun sehari full dari jam 12 siang sampai dengan jam 6 sore. romantisme nampak ketika sunset picah diufuk timur. malam sudah datang, Amoye dan natalia bergegas untuk pulang. dalam perjalanan menuju kerumah Natalia. Natalia polo mati, seakan Amoye adalah cinta mati terakhirnya Natalia. dalam perjalanan pulang, Amoye  bertanya" sayang nata wae, dirumah siapa-siapa yang ada sekarang?",jawab Natalia" tidak ada orang hanya aku saja". Kata Amoye," kemana orang tua kamu?." a mereka lagi ke kampung, saya jaga rumah jadi tidak ikut berangkat naik ke Paniai", kata Natalia wanita barat itu.

Jawab Amoye" bagimana saya tinggal sama kamu malam ini, saya temani". kata Natalia"oke sayang tidak papa". sesampainya dirumah, benar-benar rumah kosong, Natalia putar teh dan masak untuk makan minum bersama, seakan rumah sendiri dan sudah berkeluarga.

setelah makan dan minum, Amoye yang sudah dewasa itu mengajak Natalia untuk bercinta, namun Natalia sungguh takut karena itu adalah hal yang baru bagi Natalia. dengan memaksa Amoye terus meminta agar bercinta sebagai tanpa kesatuan cinta mereka, namun Natalia tetap pada prinsip dan tetap menolak keras.

karena Natalia tidak mau dan menolak dengan keras kepala, Amoye sungguh marah dan ingin pulang meninggalkan rumah, walaupun sudah jauh malam. Natalia dengan menyesal berharap untuk Amoye tetap bersama Natalia dan tidak memilih untuk pulang. akan tetapi Amoye tidak segan-segan karena merasah tidak dihargai cintanya, akhirnya Amoye pulang walaupun Natalia tahan dengan sungguh berharap.

Amoye pulang dengan kekecewaan, tiba sampai di rumah, Amoye sms dengan kondisi emosional tinggi, sayang kenapa kamu tidak mau bercinta sama saya, saya ini cinta kamu?." kata Natalia" saya juga sayang kamu Amoye, tapi kamu harus tau kalau saya tidak ingin kehilangan perawanan karena saya mau kuliah sampai selesai".

Kata Amoye"okelah sayang Natalia, kamu cari yang mengerti kamu sudah, mungkin saya punya banyak kuranggan" tulis amoye dengan menyesal. Amoye minta putus sama Natalia di malam itu juga. sungguh mati, Natalia sakit hati dengan cara ini. banyak kata minta maaf dari Natalia lewat zmz dan WA di krim untuk Amoye namun tetap saja Amoye tidak ingin kembali. Amoye sudah marah dan cintainya sudah hancur sebelum melangkah lebih jauh dalam hubungan cintanya mereka.

Sekitar tiga tahun lamanya Natalia sudah smester 6-7 Amoye sudah selesai. Amoye dengar gosip orang di sekitar dia berteman, Natalia sudah pacaran lama dengan temannya Amoye yang adalah lelaki barat, namanya Nogei, saat Amoye bertemu nogei, Amoye banyak bertanya tentan perjalanan cinta mereka dua, banyak hal nogei cerita tentan Natalia dari yang nogei menggambil makota keperawananya sampai hal lainya.

mendegar itu semua, dalam hati Amoye sungguh sakit dan bencih sama Natalia karena telah menghinatinya dengan sikap yang bodoh. beberapa bulan kemudian Amoye dapat kabar kalau nogei sudah putus sama Natalia hanya karena masalah sepele.

Beberapa bulan lagi, melalui nomor baru dari Natalia menghubunggi Amoye untuk kembali dengan berkata-kata halus," Amoye saya minta maaf".Amoye tidak merespon apa yang Natalia berkata via sms WA itu. beberapa hari kemudian Natalia minta bertemu sama Amoye lagi, katanya, Natalia mau cerita semua. Terus,

Amoye tergerak hatinya untuk bertemu dan saat mereka dua bertemu, Natalia banyak cerita dan minta maaf karena dia telah kehilangan keperawanannya. Amoye hanya berkata." selamat e.. saya hanya orang biasa, bahwalah cintamu kepada orang yang tepat yang kau sudah mengerti dia daripada saya", selamat menjalani kuliah sampai selesai kuliah Natalia.

Dengar itu Natalia menanggis hancur, seakan air mata adalah jawaban, pada hal hanya penyesalan yang ditanggisi oleh Natalia. Natalia sangat sedih dan menyesal, tetapi Amoye tidak mampu toreransi karena Natalia sudah menghinati walaupun Amoye cinta sama Natalia. Amoye adalah pria kecil yang dewasa asal kampung WIDOGAI PUGAIDA, Amadi tidak akan perna merayu hingga kembali bersama Amoye lagi. 

         *Episode lanjut!*
*Cerpen: Abet Mote*📖🖋️🥀
🍁🍁🍁


Bab 52.
Cerita Rakyat Papua 
ASAL USUL CENDERAWSIH VERSI (FAK-FAK)
Di daerah Fak-fak tepatnya, pegunungan Bumberi hiduplah seorang perempuan tua bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama anjing itu mendapatkan makanan dari hutan berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk hidup. Mereka berdua hidup bebas dan bahagia di alam.

Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk mencari makan. Perjalanan yang cukup memakan waktu belum juga mendapatkan makanan. Anjing itu merasa lelah karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah mereka berdua pada suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah. Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan menyuguhkannya kepada anjing betina yang sedang kelaparan. Dengan senang hati, anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina itu merasa segar dan kenyang.

Namun, anjing itu mulai merasakan hal-hal aneh di perutnya. Perut anjing itu mulai membesar. Perempuan tua itu memastikan bahwa, ternyata sahabatnya (anjing betina) itu bunting.Tidak lama kemudian lahirlah seekor anak anjing. Melihat keanehan itu, si perempuan tua itu segera memungut buah pandan untuk dimakannya, lalu mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh sahabatnya. Perempuan tua itu melahirkan seorang anak laki-laki. Keduanya lalu memelihara mereka masing-masing dengan penuh kasih sayang. Anak laki-laki diberi nama: Kweiya.

Setelah Kweiya menjadi besar dan dewasa, dia mulai membuka hutan dan membuat kebun untuk menanam makanan dan sayuran. Alat yang dipakai untuk menebang pohon hanyalah sebuah pahat (bentuk kapak batu). Karenannya, Kweiya hanya dapat menebang satu pohon setiap harinya. Ibunya ikut membantu dengan membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah untuk membersihkan tempat itu sehingga asap tebal mengepul ke langit. Setiap kali, hutan lebat itu dihiasi dengan kepulan asap tebal yang membumbung tinggi. Keduanya tidak menyadari bahwa mereka telah menarik perhatian orang dengan mengadakan kepulan asap itu.

Konon ada seorang pria tua yang sedang mengail di tengah laut terpaku melihat suatu tiang asap yang mengepul tinggi ke langit seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan langit. Dia tertegun memikirkan bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap misterius itu. Karena perasaan ingin tahu mendorongnya untuk pergi mencari tempat di mana asap itu terjadi. Lalu ia pun segera menyiapkan diri dengan bekal secukupnya dan dengan bersenjatakan sebuah kapak besi, ia pun segera berangkat. Pria itu berangkat bersama seekor kuskus yang dipeliharanya sejak lama. Perjalanannya ternyata cukup memakan waktu. Setelah seminggu berjalan kaki, akhirnya ia mencapai tempat di mana asap itu terjadi.

Setibannya di tempat itu, ternyata yang ditemui adalah seorang pria tampan membanting tulang menebang pohon di bawah terik panas matahari dengan menggunakan sebuah kapak batu berbentuk pahat. Melihat itu, ia menghampiri lalu memberi salam: “weing weinggiha pohi” (artinya selamat siang) sambil memberikan kapak besi kepada Kweiya untuk menebang pohon-pohon di hutan rimba itu. Sejak itu pohon-pohonpun berjatuhan bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang beristerahat di pondoknya menjadi heran. Ia menanyakan hal itu kepada Kweiya, dengan alat apa ia menebang pohon itu sehingga dapat rebah dengan begitu cepat.
Kweiya nampaknya ingin merahasiakan tamu baru yang datang itu. Kemudian ia menjawab bahwa kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu ringan untuk dapat menebang begitu banyak pohon dalam waktu yang sangat singkat. Ibunya yang belum sempat melihat pria itu percaya bahwa apa yang diceritakan oleh anaknya Kweiya memang benar. Dan karena Kweiya minta disiapkan makanan, ibunya segera menyiapkan makanan sebanyak mungkin. Setelah makanan siap dipanggilnya Kweiya untuk pulang makan. Kweiya bermaksud mengajak pria tadi untuk ikut makan ke rumah mereka dengan maksud memperkenalkannya kepada ibunya sehingga dapat diterima sebagai teman hidupnya.

Dalam perjalanan menuju rumah Kweiya memotong sejumlah tebu yang lengkap dengan daunnya untuk membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di dekat rumah, Kweiya meletakkan, “bungkusan tebu” itu di luar rumah. Sewaktu ada dalam rumah Kweiya berbuat seolah-olah haus dan memohon kepada ibunya untuk mengambilkan sebatang tebu untuk di makannya sebagai penawar dahaga. Ibunya memenuhi permintaan anaknya lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi ketika ibunya membuka bungkusaan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat seorang pria yang berada di dalam bungkusan itu. Serta-merta ibunya menjerik ketakutan, tetapi Kweiya berusaha menenangkannya sambil menjelaskan bahwa dialah yang mengakali ibunya dengan cara itu. Harapan agar ibunya mau menerima pria tersebut sebagai teman hidupnya, karena pria itu telah berbuat baik terhadap mereka. Ia telah memberikan sebuah kapak yang sangat berguna dalam hidup mereka nanti. Sang ibu serta merta menerima baik pikiran anaknya itu dan sejak itu mereka bertiga tinggal bersama-sama.

Setelah beberapa waktu lahirlah beberapa anak di tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua orang tua itu menganggap Kweiya sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak yang lahir kemudian dianggap sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam perkembangan selanjutnya dari hari ke hari hubungan persaudaraan antara mereka semakin memburuk karena adik-adik tiri dari Kweiya merasa iri terhadap Kweiya.

Pada suatu hari, sewaktu orang tua mereka sedang mencari ikan, kedua adiknya bersepakat mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya sehingga luka-luka. Karena merasa kesal atas tindakan kedua adiknya itu, Kweiya menyembunyikan diri di salah satu sudut rumah sambil meminta tali dari kulit pohon “Pogak nggein” (genemo) sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka pulang ditanyakan di mana Kweiya tetapi kedua adik tirinya tidak berani menceritakan di mana Kweiya berada. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak perempuan yang sempat menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya kepada kedua orang tua mereka. Mendengar cerita itu si ibu tua merasa ibah terhadap anak kandungnya. Ia berusaha memanggil-manggil Kweiya agar datang. Tetapi yang datang bukannya Kweiya melainkan suara yang berbunyi: “Eek..ek, ek, ek, ek!” sambil menyahut, Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada kakinya lalu meloncat-loncak di atas bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke atas salah satu dahan pohon di dekat rumah mereka.

Ibunya yang melihat keadaan itu lalu menangis tersedu-sedu sambil bertanya-tanya apakah ada bagian untuknya. Kweiya yang telah berubah diri menjadi burung ajaib itu menyahut bahwa, bagian untuk ibunya ada dan disisipkan pada koba-koba (payung tikar) yang terletak di sudut rumah. Ibu tua itu lalu segera mencari koba-koba kemudian benang pintalan itu disisipkan pada ketiaknya lalu menyusul anaknya Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang tinggi di hutan rumah mereka. Keduanya bertengkar di atas pohon sambil berkicau dengan suara: wong, wong, wong, wong, ko,ko, ko, wo-wik!!

Dan sejak saat itulah burung cenderawasih muncul di permukaan bumi di mana terdapat perbedaan antara burung cenderawsih jantan dan betina. Burung cenderawasih yang bulunya panjang di sebut siangga sedangkan burung cenderawasih betina disebut: hanggam tombor yang berarti perempuan atau betina. Keduanya dalam bahasa Iha di daerah Onin, Fak-fak.

Adik-adik Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu meresa menyesal lalu saling menuduh siapa yang salah sehingga ditinggalkan ibu dan kakak mereka. Akhirnya mereka saling melempari satu sama lain dengan abu tungku perapian sehingga wajah mereka ada yang menjadi kelabu hitam, ada yang abu-abu dan ada juga yang merah-merah, lalu mereka pun berubah menjadi burung-burung. Mereka terbang meninggalkan rumah mereka menuju ke hutan rimba dengan warnanya masing-masing. Sejak itu hutan dipenuhi oleh aneka burung yang umumnya kurang menarik di bandingkan cenderawasih.

Ayah mereka memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh mengganti warna bulu, namun mereka tidak mau. Ayah mereka khawatir bulu yang indah itu justru mendatangkan mala petaka bagi mereka. Dia berpikir suatu ketika orang akan memburuh mereka termasuk ketiga anaknya yang lain. Ayah merasa kecewa kerena mereka tidak mengindahkan permintaan mereka untuk berubah bulu. Kini Ayahnya kesepian dan sedih, ia melipat kedua kaki lalu, menjemburkan dirinya ke dalam laut dan menjadi penguasa laut “Katdundur”.R

Sumber: Penyesuaian dari Depdiknas–Cerita Rakyat Papua, (1983;23-26)
Sumber, Hapana Quen

Post. Admin
🍁🍁🍁



Bab. 51
Pendidikan Dasar DWI Bahasa Di Pedalaman Irian Jaya 
Danielo Constantine Ajamiseba dan Ide Pendidikan Dasar Papua Dwi Bahasa (1), Betapa bersyukurnya saya. Saat membuka-buka koleksi dokumen berdebu di sebuah perpustakaan pemerintah, saya menemukan satu artikel sangat penting dari salah satu intelektual Papua terpenting pada masanya, seorang linguis bernama Dr. Danielo Constantine Ajamiseba. Bapa dia saat itu menjadi dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih, Jayapura. 

Bapa Danielo menulis artikel berjudul, "Pendidikan Dasar Dwi Bahasa di Pedalaman Irian Jaya". Artikelnya menjadi bagian dari Buku Kenangan Dua Puluh Lima Tahun Universitas Cenderawasih yang diterbitkan pada tahun 1987. 

Sejak tahun 1980an, pendidikan dasar di Irian Jaya pada masa itu, tidak disesuaikan dengan konteks sosial budaya dan situasi lingkungan hidup sehari-hari dari para peserta didiknya, dalam hal ini adalah anak anak Papua.

Ajamiseba (1987) mengutip tulisan dari Greiwe (1973) yang melakukan penelitian di Asmat menuliskan bahwa sekolah-sekolah dasar yang dibuka mengikuti "sistem tradisional" masyarakat Barat. Tidak ada perhatian terhadap kebudayaan dan masyarakat Asmat dalam program pendidikan, dan tidak ada usaha untuk menyesuaikan sekolah atau persekolahan itu dengan kehidupan di Asmat. 

Masalah ini bertitik tolak dari pandangan bahwa pendidikan dan kurikulum impor yang diterapkan di Asmat maupun di wilayah lain di Irian Jaya ketika itu berlaku bagi semua daerah terlepas dari perbedaan suku bangsa dan daerah. Hal ini dibuat dengan tujuan agar para siswa lulus ujian masuk ke sekolah-sekolah lanjutan menengah dan bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup di kampung.

Situasi ini menyebabkan banyak anak-anak Irian (Papua) di daerah pedalaman terpaksa putus sekolah karena tidak sanggup menghadapi perubahan yang drastis. Mereka mengalami frustasi dan perasaan tidak tenang. Mereka merasa diasingkan dari lingkungan sekitarnya karena pendidikan yang diperolehnya tidak membantunya untuk memulai hidupnya kembali dengan suatu dorongan yang baru di kampung.

(Bersambung)
I Ngurah Suryawan dikutip tulisan (DR.D.C. Ajamiseba.
🍁🍁🍁

Bab. 50
𝘼𝙆𝙐 𝙄𝙉𝙂𝙄𝙉 𝙄𝘽𝙐 𝙋𝙐𝙇𝘼𝙉𝙂
Zhang Da sejak ia berusia 10 tahun anak ini ditinggal pergi oleh ibunya yang sudah tidak tahan lagi hidup susah  bersama suaminya yang sakit keras dan miskin. 

Semenjak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang ayah yang sakit, tidak bisa bekerja dan tidak bisa berjalan.

Kondisi ini memaksa seorang bocah yang pada waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. 

Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk ayahnya dan juga untuk dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang tidak murah untuk dicari seorang anak kecil untuk diminum ayahnya.

Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai.

Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. 

Dari rumah sampai sekolah ia harus berjalan kaki melewati hutan kecil. 
Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, ia mulai mencari segala sesuatu yang bisa dimakan baik berupa daun-daunan, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. 
Dia jadi tau tumbuhan mana yang bisa dimakan, walaupun terkadang lidahnya dan perutnya tidak dapat menerimanya.

Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. 

Hasil kerjanya sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk ayahnya.

Hidup seperti ini ia jalani selama 5 tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat. 

Ia merawat ayahnya semampunya menggendongnya ke WC, menyeka dan sekali-sekali memandikannya, ia membuat bubur, dan segala urusan ayahnya dia kerjakan dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.

"Hidup harus terus berjalan, katanya.
Ia merasa harus memikul tanggung jawab untuk meneruskan kehidupannya dan ayahnya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dialami dan dikerjakannya".

Anak hebat bernama Zhang Da ini berasal dari Tiongkok, pada Januari 2006 mendapat penghargaan tinggi dari pemerintahnya karena dinyatakan telah melakukan sebuah perbuatan yang luar biasa. 

Di antara 9 orang peraih penghargaan itu, ia merupakan satu-satunya anak kecil yang terpilih dari 1,3 milyar penduduk Tiongkok.

Yang membuatnya dianggap luar biasa ternyata adalah perhatian dan pengabdian pada ayahnya, ia rela bekerja keras dan pantang menyerah, serta perilaku dan ucapannya yang menimbulkan rasa simpati.

Ketika mata para pejabat, pengusaha dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, pembawa acara bertanya kepadanya :
“Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang sangat kamu inginkan untuk hidupmu? 
Berapa dana yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, atau kamu mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa saja yang kamu inginkan sebut saja, di sini ada banyak orang penting yang hadir yang siap membantumu !

"Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!”

Beberapa saat Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar ia pun menjawab :
“𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘢𝘶 𝘪𝘣𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪. 𝘐𝘣𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩, 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘵𝘶 𝘢𝘺𝘢𝘩, 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘪 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘐𝘣𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪𝘭𝘢𝘩!"

Semua yang hadir pun spontan menitikkan air mata karena terharu. Tidak ada yang menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. 

Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan ayahnya, mengapa ia tidak minta dana yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya?

Mungkin apa yang dimintanya itulah yang paling utama bagi dirinya. 
Aku ingin Ibu kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat pertama melihat ibunya pergi meninggalkan dia dan ayahnya.

■Kisah ini bukan saja mengharukan namun juga menimbulkan kekaguman. Seorang anak berusia 10 tahun dapat menjalankan tanggung jawab yang berat selama 5 tahun. Kesulitan hidup telah menempa anak ini menjadi sosok anak yang tangguh dan pantang menyerah.
Zhang Da boleh dibilang langka karena sangat berbeda dengan anak-anak modern. Saat ini banyak anak yang segala sesuatunya selalu disedikan orang tuanya. Karena alasan sayang, orang tua selalu membantu anaknya, meskipun sang anak sudah mampu melakukannya.

1 korintus 13:4-6
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Ia tidak  bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.

Keluaran 20:12 
Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.

Ikuti terus Kata Alkitab
🍁🍁🍁

Bab 49
JANGAN MENIKAH DI BULAN SURO, NANTI PERNIKAHANNYA GAGAL
 "Mas, hari ini aku pulang telat karena di salon ada rombongan anak-anak panti asuhan yang praktek potong rambut," ujarku saat kami tengah menikmati sarapan pagi. 

     Aku memang bekerja sama dengan pengelola panti asuhan untuk memberikan les gratis potong rambut untuk anak-anak yang ingin belajar. Supaya mereka memiliki ketrampilan saat besar nanti. Meski masih anak-anak, mereka begitu mudah menerima pelajaran. 

    "Iya, nggak pa-pa, Sayang. Lagi pula, Mas juga ada lembur hari ini." 

     Aku menolehnya, merasa heran karena hampir setiap hari Mas Arka ada lembur. Bahkan hari minggu pun dia masih ada kerja. Rasanya ada yang tidak beres dengan Mas Arka. Pikiranku jadi menerka-nerka. Mungkinkah ia berbohong? Tapi untuk apa? 

     "Lembur lagi?" 

    "Iya. Beberapa staf mengundurkan diri karena menikah dan juga melahirkan. Jadi pekerjaanku semakin banyak," jawabnya. 

     Ia sudah diangkat menjadi manager di kantornya. Tapi, apakah pekerjaannya menjadi semakin bertambah. Aku memang kurang mengerti tentang pekerjaan kantoran, karena aku hanya lulusan SMA. Jadi aku tidak tahu alasannya itu benar atau tidak. 

     Beruntung aku memiliki keterampilan di salon kecantikan. Dulu aku mengikuti les di salon sekaligus bekerja di sana. Setelah satu tahun, pemiliknya mempercayakan padaku untuk memegang salah satu cabang salonnya. Dan kini, aku sudah memiliki salon sendiri hadiah pernikahan dari Mas Arka. 

     "Aku akan langsung pulang kalau sudah selesai, apa nanti Mas makan malam di rumah?" 

      "Sepertinya Mas nggak bisa makan malam di rumah, Sayang. Nanti jangan menunggu Mas. Ya sudah, Mas berangkat, ya." Ia mengecup keningku, aku mencium tangannya karena ini adalah rutinitas kami saat pagi hari sebelum sama-sama berangkat bekerja. 

     Mobil Mas Arka sudah meninggalkan halaman rumah. Aku segera mengambil kunci mobil dan menuju salon. 

    "Selamat pagi, Bu," sapa Yeni, Kinta dan Inka, ketiga pegawai salonku. 

     "Pagi. Anak-anak panti belum ke sini, Yen?" 

     "Tadi Ibu Panti menelpon, katanya mereka tidak jadi ke sini karena ada keluarga Ibu Panti yang meninggal. Jadi mereka pergi ke rumah duka." 

     "Oh, begitu. Ya sudah." Aku masuk ke ruanganku. Rupanya anak-anak panti itu tidak jadi ke sini. Padahal aku senang sekali melihat wajah anak-anak itu. Biasanya mereka akan datang bersama-sama dan menjadi model untuk praktek kakak-kakaknya yang lebih besar. 

    Baru mengenyakkan bokong, ponselku bergetar. Rupanya ada notif dari grup wh*tshapp keluarga suamiku. Kalau bukan karena mama mertua sendiri yang memasukkanku, aku kurang suka ikut grup itu, karena mereka selalu membicarakan tentang keturunan. Sementara aku belum juga hamil. 

    Ya, meski usia pernikahan kami terbilang masih baru, karena belum genap satu tahun, tapi mama selalu menyindir soal kehamilan. 

     [ Rasanya senang sekali, akhirnya yang ditunggu sudah ada hasilnya. ]
  
    Foto bergambar ranjang. Entah apa maksudnya. Tapi sepertinya mama mertuaku sedang bahagia, sehingga mengunggah foto itu di grup keluarga. Sontak foto itu mendapat beberapa tanggapan dari saudara-saudaranya. Ada yang bertanya apa maksudnya, ada yang mengucapkan selamat. 

     Rasanya aku penasaran. Apa aku pergi ke rumah mama saja, ya. Ah, iya. Lebih baik aku ke sana. Sudah lama juga tidak ke sana. 

     "Yen, salon aku tinggal ya. Nanti kuncinya bawa saja." 

     "Baik, Bu." 

     "Oh, ya. Aku pinjam motormu ya. Nanti kamu pulang bareng Inka." Lagi-lagi Yeni mengangguk. Rasanya lebih cepat kalau bawa motor.

     Aku melajukan motor dan ke swalayan terlebih dahulu. Membawakan mama mertua beberapa makanan dan keperluan dapur. Namun saat hendak membayar di kasir, aku melihat Mas Arka membawa belanjaan yang begitu banyak. 

     Dua keranjang dorong penuh dengan segala produk. Namun yang membuatku menyernyit, ada susu ibu hamil di sana dengan berbagai varian rasa. Untuk siapa Mas Arka membeli susu ibu hamil. Dan kenapa juga dia tidak di kantor. Padahal ini jam kerja. 

    Tiga kantong belanjaan besar sudah di tangan. Mas Arka keluar dari swalayan. Aku dibuat penasaran dengan semua barang belanjaan itu. Aku menaruh keranjang belanjaanku dan memberikannya pada pegawai swalayan. 

     "Maaf tidak jadi beli. Ini untuk Mbak, maaf merepotkan." Aku memberikan lembaran uang pada pegawai itu karena harus menyusun kembali barang belanjaan yang tidak jadi kubeli. 
    
     Tidak ingin kehilangan jejak, aku segera menghidupkan motor dan melajukannya mencari mobil Mas Arka. Aku memakai jaket dan helm, mungkin Mas Arka tidak menyadari jika aku berada di belakang mobilnya saat ini. 

    "Lhoh, Mas Arka mau ke mana? Ini kan jalan menuju rumah Mama," gumamku.

      Huh, aku sudah berpikir yang tidak-tidak padahal. Tapi susu tadi ..., tidak mungkin kalau susu itu untuk mama. Tapi untuk siapa? Apa di sana ada saudaranya yang menginap. 

    Lebih baik aku lihat dulu siapa yang ada di sana. Nanti baru aku akan masuk setelah itu. 

     Mobil berhenti di halaman rumah. Aku tidak langsung membelokkan motor, tapi menunggu Mas Arka turun dari mobil. Setelah ia menurunkan barang-barang belanjaannya, ia masuk ke dalam rumah. Aku mematikan mesin motor dan mendorongnya memasuki halaman, lalu turun.

    "Mama senang sekali, Arka. Akhirnya kamu akan jadi seorang ayah!" 

     Degh! 

     Ayah? Apa maksud semua ini? Mas Arka menjadi ayah? Bukankah aku belum hamil, tapi kenapa mama bilang Mas Arka akan menjadi ayah? Atau .... 

    "Iya, Ma. Aku juga nggak nyangka bisa hamil secepat ini. Mas Arka memang tok cer!" 

      Degh! 

     Suara siapa itu? Maksudnya apa ini? Mas Arka tok cer? Apa yang sudah terjadi sebenarnya. Apa susu ibu hamil tadi untuk wanita yang ada di dalam. Ya Allah, rasanya tubuhku lemas sekali. Dada terasa sangat sesak. Apa kamu sudah menodai pernikahan kita, Mas? 

     Jika iya, kenapa tega sekali kamu. Padahal aku selalu menuruti semua keinginanmu. Bahkan aku sering mengajakmu periksa tapi kamu nggak mau, tapi sekarang ada perempuan yang mengaku hamil. 

     Dan mama, mengapa ia begitu tega menutupi ini dariku. Bukankah dia juga seorang wanita. 

      Aku sudah tidak sanggup lagi berlama-lama. Aku harus mencari tahu siapa perempuan itu. Meski hati rasanya luluh lantak, aku putuskan mengintip ke jendela samping. 

     Dengan hati berdebar, aku berusaha tenang dan melihat siapa yang bersama Mas Arka dan Mama. "Kalian jangan lupa, nanti sore sudah ada janji dengan dokter Marla." 

     "Iya, Ma." 

     Kulihat, perempuan itu menyandarkan kepalanya di bahu suamiku. Sesaat kemudian, dia menoleh dan aku menyembunyikan wajahku. Ternyata dia ....
  
       ***

       Dalam hitungan orang Jawa, Bulan Suro merupakan Tahun Duda (Taun Dudho). Yaitu bulan dimana tidak boleh dilakukannya pernikahan, karena akan membuat pernikahannya tidak berlangsung lama, dan berakhir perceraian. Namun, aku melanggarnya. 

      Kukira, semua itu hanyalah mitos belaka. Tapi ternyata, kehidupan rumah tanggaku tak semulus yang dibayangkan. Akankah pernikahan ini berakhir?

   - Aisyah Ais 
Promosi cerita novel 
🍁🍁🍁

Bab 48
"Kisah Hypatia, Filsuf Yunani"
Hypatia, Filsuf Yunani yang Dikuliti Hidup-hidup dengan Kerang. Pengetahuan bisa menjadi hal yang luar biasa, namun dalam kasus filsuf dan matematikawan kuno Hypatia dari Alexandria, hal itu juga membawa kehancuran baginya. 

Hypatia adalah salah satu intelektual terpenting Kekaisaran Bizantium pada abad ke-4, dan dia juga seorang wanita. Kisahnya menginspirasi sekaligus menakutkan. Hypatia lahir sekitar tahun 355, ketika kekaisaran Romawi baru saja terpecah, meninggal- kan Aleksandria dalam keadaan tidak terhubung dengan kerusuhan agama dan sosial. Penganut semua agama – Kristen, Yahudi, dan penyembah berhala – kini hidup bersama dalam perselisihan terus-menerus. 

Selama beberapa dekade berikutnya, bentrokan yang terus-menerus terjadi akan menghapus lebih banyak lagi isi perpustakaan saat mereka berjuang untuk menentukan batas-batas baru mereka. Kota Aleksandria di Mesir didirikan oleh Alexander Agung pada 331 SM - sekitar 600 tahun sebelum Hypatia lahir. 

Alexandria menjadi wilayah yang canggih secara budaya di dunia dalam waktu yang cukup singkat. Kota ini bukan hanya kota yang indah, namun juga terdapat Perpustakaan Alexandria, yang berisi lebih dari setengah juta gulungan kuno. Kota ini penuh dengan artefak dan menjadi tempat di mana intelektualisme dapat berkembang, meskipun tingkat ketidaktahuan, perbudakan, kekerasan, dan perselisihan agama terus terjadi. 

Alexandria menawarkan manusia kesempatan untuk melepaskan diri dari ketakutan, dan merangkul sesuatu yang lebih besar dari dirinya melalui kekuatan pikiran. Dan dalam kasus Hypatia, ia adalah seorang perempuan pemikir tingkat tertinggi, seorang guru, dan seorang penemu, tetapi dia juga seorang penyembah berhala dan tidak takut untuk mengutarakan pendapatnya dalam lanskap separatisme agama, konflik, dan ketakutan.

Menjadi seorang wanita yang cerdas, cantik, dan kuat tidak dapat menyelamatkannya dari nasib mengejutkan yang akan ia temui di tangan bangsanya sendiri. Di masa berbahaya ketika ilmu pengetahuan dan agama sering diadu satu sama lain, justru pengetahuan dan keberaniannyalah yang menjadi sasarannya. Kehidupannya yang cemerlang tidak akan berarti apa-apa, karena bentrokan antara orang-orang berkuasa menjadikannya salah satu kambing hitam paling tragis dalam sejarah. 

Hypatia memiliki banyak pengagum, salah satunya adalah gubernur sipil kota tersebut, Orestes. Dia sebagian besar adalah seorang penyembah berhala dan sering bersekutu dengan komunitas Yahudi, yang tidak ingin menyerahkan seluruh Alexandria kepada gereja Kristen. Meskipun keyakinannya rumit, ia mendukung pemisahan gereja dan negara, dan membela Hypatia dan ayahnya Theon. 

Tentu saja, Cyril dan Orestes berselisih, khususnya pada saat orang-orang Yahudi memulai konflik kekerasan dengan orang-orang Kristen. Akibatnya, Cyril menyerang orang-orang Yahudi secara agresif dan mengusir mereka dari kota, menjarah rumah dan kuil mereka. Orestes terkejut dan mengadu kepada pemerintah Romawi di Konstantinopel.

Cyril mencoba meminta maaf atas keputusannya yang gegabah, namun Orestes menolak rekonsiliasi dan kemudian menjadi sasaran pembunuhan oleh 500 biksu Cyril yang jahat.

Meskipun Hypatia tidak terlibat langsung dalam proses ini, dia adalah teman Orestes dan memiliki kepausan dalam bidang teologi non-Kristen - dua hal yang membuatnya menjadi sasaran empuk sekte yang semakin marah.

Dalam perjuangan politik yang didominasi laki-laki, masuk akal untuk menargetkan perempuan yang tidak menerima cara-cara paradigma dominan, namun menggunakan kecerdasannya untuk meragukan pengabdian mereka.

Hypatia adalah wanita yang cerdas dan berprestasi - sesuatu yang tidak biasa bagi wanita pada masa itu. Wanita seperti Hypatia sangat ditakuti oleh banyak orang di Aleksandria. Karena itu, dan fakta bahwa dia percaya pada paganisme – banyak yang menuduhnya menyembah Setan. Dia harus dibungkam untuk selamanya.

Seorang hakim bernama Peter the Lector mengumpulkan rekan-rekannya yang fanatik agama, dan memburunya saat dia dalam perjalanan dari memberikan ceramah di universitas. Mereka merenggutnya dari kereta dan mulai merobek pakaiannya, menarik rambutnya melewati jalan-jalan kota.

Kelompok tersebut kemudian menyeretnya ke gereja terdekat di mana mereka menelanjanginya dan mengambil apa pun yang mereka temukan untuk menghancurkannya. Dalam hal ini adalah genteng dan cangkang tiram yang diletakkan di sekitar bangunan yang baru dibangun.

Bersama mereka, mereka merobek dagingnya dari tubuhnya, mengulitinya hidup-hidup atas nama seluruh umat Kristen. Jenazahnya kemudian dirobek dan dibakar di altar.

Universitas Alexandria, tempat dia dan ayahnya Theon mengajar, dibakar habis sebagai tanda intoleransi. Setelah pembunuhannya, terjadi eksodus massal para intelektual dan seniman yang mengkhawatirkan keselamatan mereka sendiri.

Rasa kekuatan Kristiani yang baru muncul muncul di kota besar ini, Terkadang kematian adalah simbol yang bertahan dalam ujian waktu.

Ratusan tahun setelah pembunuhannya, Hypatia - seorang intelektual bergaya Renaisans yang membela pemisahan gereja dan negara - terus hidup, terkait dengan perjuangan kebebasan.

Hayati
🍁🍁🍁

Bab 47
Angin kencang Hutan Rimba Menyapu Bersih
Dalam setiap hembusan angin yang menyapu dedaunan, dia merasakan kesejukan jiwa yang mengalir di dalamnya. Di tepian sungai yang riaknya menggema di hatinya, dia menemukan ketenangan yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.

Denis adalah seorang pemuda yang dulu hidup di tengah hiruk-pikuk kota besar. Namun, dia telah memutuskan untuk meninggalkan segala kesenangan masa mudanya, ia memilih untuk menggenggam senjata melawan penjajah dan hidup dalam kedamaian alam liar.

Di balik hari harinya mengitari rimba raya, Denis masih membawa luka yang tak terobati. Ada sosok yang tetap merindukannya di kota: Celin, kekasihnya. Celin adalah seorang gadis yang cantik, yang dengan berat hati memilih kuliah untuk membangun masa depannya yang cerah. Denis mengerti keputusan itu, tetapi rindu akan kebersamaan mereka tak pernah berhenti menggelayuti hatinya.

Di bawah langit malam yang penuh bintang, cahaya bulan memantulkan kilauan di permukaan air yang tenang, mencerminkan kerinduannya yang dalam. "Celin," gumam Denis pelan, "Aku harap engkau bahagia di kota sana. Aku tahu keputusanmu tak mudah, dan aku tak ingin menjadi beban bagimu."

Denis melanjutkan perjalanan hidupnya sebagai gerilyawan rimba dengan tekad yang teguh. Setiap hari, dia belajar dari alam yang mengajarkannya kebijaksanaan dan ketekunan. Dia mengenal setiap pohon, sungai, dan binatang sebagai sahabat sejatinya. Mereka adalah saksi bisu atas janjinya untuk menjaga hutan dari perampokan penjajah yang berusaha mengambil sumber daya alam dengan rakus.

Suatu hari, ketika Denis sedang berkeliling menjaga perbatasan rimba, dia menemukan para pekerja proyek jalan yang dengan alat alat berat untuk merampok hutan dan kekayaan alam dan menggusur warga. Hati Denis berdetak kencang, dan api semangatnya membara. Dengan keberanian yang meluap, dia melawan para penjajah dengan ilmu yang telah dipelajarinya dari alam.

Tubuh Denis menjadi samar-samar dalam gerakan cepatnya. Dia melompat seperti kijang, menyelinap seperti ular, dan melawan dengan kekuatan yang mengguncang. Para penjajah terkejut oleh keberanian dan keahliannya. Dalam pertempuran yang sengit, Denis berhasil mengusir penjajah-penjajah itu dari hutan. Alam pun tersenyum puas melihat janji Denis yang terpenuhi.

Setelah pertempuran selesai, Denis kembali ke pondok markas di tengah hutan. Wajahnya yang lelah memancarkan kepuasan yang tak terhingga. Dia meletakkan senjatanya dengan penuh hormat, lalu menghembuskan nafas lega. "Terima kasih, alam," ucap Denis dengan tulus, "Aku takkan pernah menghianati janjiku padamu."

Denis melihat langit senja yang indah dengan rasa syukur. Celin tetap ada di hatinya, tetapi dia tahu bahwa cinta sejati tak pernah memaksa. Dalam kedamaian hutan, dia menemukan kekuatan dan arti hidup yang sebenarnya. Dan meskipun Denis melupakan kesenangan masa mudanya di kota dan melepaskan Celin kekasihnya, dia menemukan kedamaian yang tak ternilai di alam rimba yang kini menjadi tempatnya pulang.

Tahun-tahun berlalu, dan Denis terus melanjutkan perjuangannya sebagai gerilyawan. Namun, takdir berkata lain ketika dia terluka parah dalam sebuah pertempuran di sebuah desa kecil. Pendarahan yang tak terkendali membuatnya kehilangan kesadaran, dan dia berusaha bertahan hidup dengan segenap tenaga yang tersisa.

Dalam keadaan yang penuh keputusasaan, Denis diselamatkan oleh seorang warga desa yang berhati baik. Warga itu, tanpa ragu, membawanya ke rumah pegawainya yang terletak di dekat desa. Ternyata, rumah itu adalah milik tetangga Celin, yang sekarang telah menjadi seorang direktur rumah sakit.

Celin, yang tidak tahu identitas pasien yang terbaring tak sadarkan diri di salah satu ruang rawat, merasa ada sesuatu yang familiar dengan sosok tersebut. Tetapi, wajah Denis yang terluka parah membuatnya sulit untuk mengenali kekasih masa lalunya. Denis pun sadar akan hal ini, dan dia memilih untuk menutupi wajahnya dengan sehelai kain putih.

Berhari-hari Denis menghabiskan waktu dalam keadaan tak sadarkan diri di rumah sakit tersebut. Celin yang mengurusnya tanpa menyadari siapa sebenarnya pasien itu, tetap memberikan perawatan yang cermat.

Namun, takdir kembali menguji mereka. Suatu pagi, ketika Celin masuk ke ruang rawat tempat Denis dirawat, dia terkejut melihat tempat itu kosong. Denis telah hilang tanpa jejak. Celin, yang merasa bingung dan terkejut, berusaha mencari tahu apa yang telah terjadi.

Celin memeriksa rekam medis dan melihat bahwa pasien yang tidak diketahui identitasnya itu telah sembuh dan diperbolehkan pulang. Hatinya berbunga-bunga ketika dia menyadari bahwa orang yang telah dia rawat selama ini adalah Denis, kekasihnya yang dulu. Rasa cemas dan kerinduan mendalam memenuhi hatinya.

Dalam usahanya mencari tahu keberadaan Denis, Celin mulai menyelidiki dengan tekun. Dia memeriksa catatan rumah sakit, menghubungi teman-teman dan kenalan Denis, dan berkeliling mencari jejak-jejak yang bisa membawanya kepada kekasih yang hilang itu.

Hari demi hari berlalu, dan Celin tidak menyerah dalam pencariannya. Dia percaya bahwa jika mereka memang ditakdirkan bersatu, mereka akan bertemu lagi di suatu tempat. Kehadiran Denis dalam hidupnya telah membuka matanya akan kekuatan cinta dan tekad yang tulus.

Akhirnya, setelah berbulan-bulan mencari, Celin menerima sebuah surat dari seorang teman Denis yang memberikan petunjuk tentang keberadaannya. Denis telah kembali ke hutan, ke tempat di mana dia merasa hidupnya memiliki makna yang sebenarnya.

Dengan hati penuh harap dan semangat, Celin memutuskan untuk mengikuti petunjuk tersebut dan menemui Denis di hutan. Dia tahu bahwa akan ada tantangan dan rintangan di depan mereka, tetapi dia juga tahu bahwa cinta mereka adalah kekuatan yang tak terkalahkan.

Dan pada akhirnya, dalam suatu pagi yang cerah, Celin menemukan Denis di tengah rimba yang indah. Keduanya saling memandang dengan rasa bahagia dan lega. Denis, dengan luka-lukanya yang telah sembuh, menyambut Celin dengan tangan terbuka.

Mereka berpelukan erat, mengungkapkan rindu dan cinta yang selama ini mereka simpan. Celin mengaku bahwa dia tak pernah melupakan Denis, dan Denis menjelaskan mengapa dia memilih kembali ke alam liar, tempat di mana dia merasa hidupnya memiliki tujuan yang lebih besar.

Kisah Denis gerilyawan rimba dan Celin yang memilih kuliah demi masa depannya memang diwarnai perpisahan dan kehilangan. Namun, cinta mereka tak pernah padam dan akhirnya membawa mereka kembali bersatu di tengah alam yang mereka cintai. 

Dalam pelukan mereka yang erat, Denis dan Celin merasakan kehangatan dan kedamaian yang tak ternilai. Mereka mengetahui bahwa mereka telah menemukan tempat mereka di dunia ini, di antara kehidupan yang liar dan cinta yang tulus.

Cinta Bersemi di Rimba Raya
(Kenangkan Saya)
🍁🍁🍁

Bab 46
MENANTU CELAMITAN
"Mak, Emak beli bakso? Buat aku mana?" Mila keluar dari dalam kamarnya, rambutnya masih acak-acakan, sepertinya ia belum mandi.

Mila membongkar kantong belanjaan yang kuletakan didapur begitu saja, belum sempat menaruh sayuran yang kubeli tadi kedalam kulkas.

Wanita yang baru enam bulan menjadi menantuku itu duduk didepanku, bukan menatapku, namun menatap semangkuk bakso yang baru saja kumakan satu biji.

"Nggak ada, Mil. Emak nggak beli, tadi Mega yang traktir Emak," ujarku menjelaskan, mulutku  sibuk meniup sepotong bakso yang masing mengepulkan uap panas, kemudian memakannya.

"Enak, Mak?" tanya Mila, yang kuyakini hanya basa basi saja. Aku tau dia menginginkan bakso yang sedang kumakan.

Mendadak perutku kenyang, hilang sudah selera makanku karena ditungguin Mila.

Aku mendorong mangkok yang masih terlihat penuh itu, karena aku baru memakan dua biji saja.

Aku bangkit dari dudukku, meninggalkan Mila sendiri di meja makan. Lebih baik aku membereskan belanjaanku.

"Lho, Mak. Udah selesai makannya? Buat Mila saja ya, kalo Emak udah nggak mau." 

Selalu begitu, setiap aku makan sesuatu pasti menantuku selalu saja celamitan, aneh!
Apa dia tak merasa malu selalu meminta padaku.

Awalnya aku selalu menawarinya saat aku makan atau kebetulan jajan. Tapi lama kelamaan sikapnya menjengkelkan. Tanpa malu ia meminta padaku ataupun pada Mega.

"Habiskan saja, Mil. Kalo memang kamu lapar, apa dua bungkus mi instan belum cukup membuat perutmu kenyang?" Aku setengah berteriak, tanganku sibuk memasukan sayuran satu persatu kedalam kulkas.

"Lho, Emak tau dari mana kalo aku habis makan mi?" tanya Mila, ia melenggang begitu saja melewatiku, meletakan mangkok bekas makan bakso begitu saja di wastafel.

Baru beberapa detik sudah habis satu mangkok bakso, aku menggeleng.

"Itu piring bekas mi goreng, belum kamu cuci."

Tadi sebelum berangkat kepasar, kupastikan wastafel tak ada piring kotor, tapi sekarang ada panci dan piring kotor disitu.
Belum lagi sampah bungkus mi yang belum ia buang di tempat sampah.

Nggak mungkin Angga, anakku sekaligus suaminya. Karena ia sudah pergi bekerja sejak jam tujuh pagi.

"Hehe, iya Mak. Mila yang tadi bikin mi, soalnya laper banget." ucapnya cengengesan.

Tangannya mengambil sebotol air dingin dari kulkas dan membawanya pergi, pasti mau menonton televisi. Aku sudah paham kebiasaanya.

"Jangan dibiasain minum air dingin, Mil." 

"Udah kebiasaan, Mak. Nggak enak kalo nggak dingin." ujarnya, melenggang begitu saja.

Aku melanjutkan aktifitasku, memotong wortel dan kentang serta daun bawang. Kemudian memotong sepapan tempe menjadi beberapa bagian.

"Assalamualaikum, Mak..." terdengar suara Mega memanggil.

"Waalaikum salam, Emak lagi didapur." Aku berteriak pada anak sulungku, Mega.

Aku memasak sayur sop dan tempe goreng untuk menu makan siang sekaligus makan malam nanti.

"Emak lagi ngapain? Ko masak sekarang sih, bukannya tadi sudah makan bakso, emang belum kenyang?" tanya Mega, ia meletakkan sop buah yang tadi kami beli dipasar.

"Itu juga, kenapa si Mila jam segini sudah tidur didepan tivi, Mak. Bukan bantuin Emak masak." Mega menggerutu, sambil tangannya menuang sop buah dalam teko kecil.

"Ketiduran kali, kekenyangan habis makan mi goreng dua bungkus, terus makan bakso." ujarku.

Kumatikan kompor karena sop yang ku buat sudah matang dan duduk menikmati sop buah yang dibelikan Mega.

"Jadi Emak nggak makan baksonya?"

"Makan sama sama tadi," jawabku sekenanya.

"Nggak usah bohong, Mak. Mega tau Emak orangnya gimana."

Ya, Mega tahu kebiasaanku, aku  tak pernah mau makan sepiring berdua apalagi sepiring rame-rame. Entahlah, tak pernah aku melakukan itu, apalagi berbagi sendok dengan orang lain, aku tak bisa.

"Lho, lagi kumpul disini. Wah ada es buah, minta ya, Mak."  

Mila mengambil segelas sop buah yang ada di depanku, kemudian meminumnya hingga tersisa buahnya saja.

"Hoii... celamitan banget jadi orang, itu punya Emak. Kenapa kamu minum, Mil?" Mega terlihat sangat kesal melihat kelakuan adik iparnya itu.

"Kan aku udah bilang minta, Mbak. Lagian Emak juga nggak keberatan tuh."

"Tapi itu punya Emak, lagian kamu tadi sudah ngabisin bak---"

"Sudah-sudah kenapa jadi ribut sih."  Aku berusaha melerai mereka berdua, bisa panjang urusanya kalo tak dipisah.

Aku menyuruh mega pulang kerumahnya. Akupun ingin beristirahat sejenak. Mendengar mereka selalu berdebat membuatku sering sakit kepala.

**

Sore ini aku sedang duduk diteras, mengobrol ringan dengan Mega dan juga Yati tetanggaku. Begitupun dengan Mila, ia ikut mengobrol bersama kami. 

Terlihat motor memasuki halaman rumahku. Rupanya Angga pulang dari tempat kerjanya. Mila segera bangkit menghampiri suaminya, mengulurkan tangan dan men c i u m tangan Angga takzim.

"Kamu sudah pulang, Mas." ujar Mila. Dan Anggapun mengangguk, seraya membuka helm dan meletakkannya di spion motor.

"Dek, aku beli martabak, dimakan bareng-bareng ya," ujar Angga, memberikan sekotak martabak manis pada istrinya.

"Iya, Mas. Biar Mila salin ke piring, ya." 

Angga turun dari motornya, menghampiriku, meraih tanganku dan men c i u m punggung tanganku takzim.
Sementara Mila langsung masuk kedalam rumah.

"Lancar, Nak kerjanya?" tanyaku, 

"Alhamdulillah, Mak. Berkat doa Emak, kerjaanku selalu lancar,"

Kami mengobrol cukup lama, tapi Mila tak juga keluar membawa martabak yang katanya hanya memindahkan ke piring.

Anggapun masuk kedalam rumah, aku dan Mega mengikutinya dari belakang.

"Astaga, Mila.... kamu laper apa gimana? Masa hanya tersisa kotaknya bagini!" Teriak Angga membuat Mila terkejut dan menjatuhkan sepotong martabak sisa gigitannya.

Angga menarik lengan istrinya, terlihat Mila meringis kesakitan mungkin Angga terlalu kencang memegang tangan istrinya. Angga membawa Mila masuk kedalam kamar mereka, menutup pintunya dengan rapat.

 Aku menghembuskan nafas kasar, ku urut dada ini dengan tanganku, “Astagfirulloh... pasti Mila kena marah adikmu, Ga.”

“Lah, memang dia salah kok, Mak. Masa martabak segitu banyak bisa habis dalam sekejap. Itu namanya rakus, nggak inget dirumah ini ada orang lain.” ucap Mega, ia menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi.

“Hus, kalo ngomong. Dia juga adikmu, Ga. Jangan begitu, kalo Mila nggak betah tinggal disini bagaimana,” aku ikut duduk disamping anakku.

Aku berusaha bersabar dengan kelakuan menantuku itu, aku harap ia bisa berubah. Akupun pernah jadi seorang menantu, jadi aku tahu rasanya. Aslinya Mila baik dan penyayang, entah kenapa celamitan dan sifat malasnya yang terlalu mendominasi.

“Ya bagus dong, Mak. Emak jadi nggak harus mikirin menantu celamitan kaya dia lagi, Emak nggak harus makan ati tiap hari karena kelakuannya.”

“Mega! coba kalo posisimu seperti Mila, apa kamu mau diperlakukan begitu?”

“Mak, perlakuan kita tergantung kelakuandia Mak. Aduh Emak terlalu sabar ngadepin orang kaya Mila. Aku yang lihatnya saja sudah pengen tak ajak g e l u d lho, Mak.”

Aku tak menghiraukan ucapan Mega, semakin dijawab anak itu akan semakin berbicara kemana-mana, persis Almarhum Bapaknya.

 Kirei_yuriku
🍁🍁🍁


Bab 45
Istri Mana yang Bisa Tenang Mendapati Suami Tidak  PuIang SeIama Dua Hari (Maduan Saja Belum Terjadi.
Mereka baru saja menikah, bahkan beIum rituaI maIam pertama. Sepanjang maIam, perasaan Britania berantakan. Matanya tak mampu terpejam, raganya pun enggan diistirahatkan. Bayangan Nayaka menari-nari daIam ingatan.

Hingga menjeIang subuh, sepasang pengIihatannya tetap terjaga. Kantuk yang biasa bermanja-manja seperti memusuhi. Tak sekaIipun hingga menyapa. 

“Apa terjadi sesuatu pada Kak Yaka? Semakin ke sini, aku makin cvriga. Suami mana yang tega meninggaIkan istrinya sendirian. Kami baru menikah, harusnya saat ini masa-masa buIan madu yang indah.” 

Britania mend'sah. IeIah merebah, dia menegakkan raganya. Duduk sembari mendekap seIimut, sepasang mata meneraw*ng jauh. Mereka berteman sejak beIia. Diam-diam mencintai pria yang Iebih tua enam tahun dari usianya itu sejak SMA. Entah sudah berapa banyak surat dan hadiah yang dikirimkan ke kantor Nayaka hingga akhirnya cinta berbaIas.

Tiba-tiba, pria dingin dengan sejvta misteri itu meIamarnya dan menyampaikan niat baik untuk menikah. Mereka sempat berhubvngan seIama beberapa buIan hingga memantapkan hati menjadi sepasang suami istri.

“SeIama ini ... tidak ada yang aneh dengan Kak Yaka. Dia baik waIau tak terIaIu perhatian. Tapi, sejak duIu Kak Yaka memang begitu, ‘kan?”

Ters-ret daIam Iamunan, pikiran Britania berkeIana jauh. Hingga suara dent'ng pesan masuk disusul dengan dering panggiIan meny-retnya kembaIi ke aIam nyata. Menyambar gawai di atas nakas dengan ogah-ogahan, wanita muda dengan mata panda itu terbeIiak mendapati sang mami yang menghubvngi.

“Ioh? Mami?”

Britania meIirik jam di dinding. Jarum jam sebentar Iagi menyentvh angka Iima. Di Iuar, pekat perIahan jadi remang-remang.

“Ada apa, ya? Apa terjadi sesuatu?”

MenempeIkan gawai di teIinga, Britania tegang menanti jawaban dari seb'rang. Suara Iemah Mami Lila membuat jantvng berdetak dua kaIi Iebih kencang.

“Mi, ada apa?”

“Bri, kamu sudah bangun?”

“Ya, Mi. Apa ada masaIah?”

“Mami mendadak sesak. Pundak juga terasa b'rat. Apa kamu bisa ke sini?”

“Ioh?” Britania membeku.

“Perasaan Mami tidak enak, Bri. KebetuIan, Papi keIuar kota. Tidak ada siapa-siapa di rumah.” Suara Mami Lila, Iemah. “Suamimu masih tidvr?” tanyanya Iagi.

Britania bingung. Dipindainya sisi ranjanq yang ditidvri Nayaka. Sudah dua hari area itu tak berpenghuni. Suaminya tak puIang ke rumah sehari seteIah pernikahan mereka.

“Em, tidak apa-apa, Mi. Kak Yaka masih tidvr. Aku ke sana sendirian saja.”

Britania meIompat turun dari tempat tidvr seteIah menyibak seIimut dengan k'sar. Dia tak bisa menunda terIaIu Iama. Sejak setahun IaIu, maminya memang mender'ta Da'rah t'nggi. 

“Mami ... jadi ... tak enak dengan Yaka, Bri.” Suara Mami Lila tersengaI-sengaI.

“Tidak apa-apa, Mi. Kak Yaka juga mengerti.” Britania berIari menuju ke waIk in cIoset. Dia panik. Tak mau sampai terjadi sesuatu pada Mami.

⚘️⚘️⚘️

“Mami bisa jaIan sendiri?”

Britania duduk di baIik kemudi, meIirik wanita yang meIahirkannya ke dunia itu duduk Iemas di sebeIah. Tiba-tiba, Da'rah Mami Lila naik mendadak. Pusing dan pundak terasa b'rat.

“Pusing, Bri.” Mami Lila bersandar dengan mata terpejam. Diremas-remasnya peIipis untuk meredam sak't kepaIa.

“Ya sudah, aku minta kursi r°da ke daIam. Mami di sini duIu, jangan keIuar.”

“Hmm. Jangan Iama-Iama, Bri. Takvtnya ....”

“Aku tidak Iama.”

Britania menatap gedung rumah sak't yang menjadi tempat Iangganan maminya setiap sebuIan sekaIi. Mami Lila seIaIu cek up untuk memastikan kondisi tubvhnya yang tak Iagi prima. Ada banyak penyak't bersarang.

“Aku ke Iobi duIu, Mi.” Wanita dengan wajah berhias kantuk itu membuka sabvk pengaman. 

Baru saja membuka pintu mobiI, Britania tertegun. Sepasang matanya menangkap pemandangan yang membuat hati terpecut.

“Itu bukannya Kak Yaka?” 

Mengernyit, sepasang mata Britania menyipit. Tujuh meter dari mobiInya terparkir, dia meIihat pria yang sudah dua hari tidak puIang ke rumah. Tidak sendiri, suaminya itu tengah bersama wanita cantik berambut cokeIat. TerIihat m'sra, keduanya saIing bertukar senyuman dan tawa. JaIan beriringan, tangan saIing menggenggam.

“Aku tidak mungkin saIah orang. Itu benar-benar Kak Yaka.”

Perhatian Britania terpusat pada wanita yang terIihat manja bergeIayut di Iengan Iaki-Iaki yang diduga suaminya itu. 

“Tapi, bukannya Kak Yaka ada urusan di kantor? Kenapa bisa ke sini?”

Tak berkedip, pemandangan yang beIum diyakininya benar itu mampu membuat perasaan berantakan. Kaki urung meIangkah turun, sepasang mata terus mengama£i pergerakan dua anak manusia yang menyeLinap di baIik barisan mobiI yang terparkir.

“Aku harus memastikan. Tidak mungkin aku saIah Iihat, ‘kan?”

Bermaksud mengejar, niat Britania harus tertunda ketika Mami Lila bersuara. “Masih beIum, Bri? KepaIa Mami tambah berputar. Ini ... rasanya Ieher beIakang Mami juga b'rat.”

“Ha!” Britania meIirik ke sebeIah. Wanita paruh baya yang sempat terabaikan oIehnya. “Mami tunggu di sini, aku ke daIam sekarang. Wajah Mami itu pucat sekaIi.”

BerIari keIuar, hati Britania terbeIah. SesekaIi, dia masih meIihat ke arah Iaki-Iaki dan perempvan yang diduganya Nayaka. Namun, dari posisinya tak dapat terIihat jeIas. Penampakan pasangan itu terhaIang oIeh d-retan kendaraan.

Setengah jam berIaIu, Britania yang baru seIesai mengurus maminya itu kembaIi keIuar. Sejak tadi perasaan tak karuan. Dia terus teringat dengan sosok maskuIin yang begitu mirip dengan suaminya. Berdiri di depan Iobi, dia tak menemukan apa yang dicari.

“Apa aku teIepon saja? Dari pada berprasangka ternyata saIah orang, Iebih baik aku pastikan.”

Jantvng berdetak kencang, tangan Britania gemetar. Berdiri menantang siIaunya matahari pagi, dia tak peduIi dengan panas yang menyengat kuIit. BuIir keringat terIihat membanjiri wajahnya yang tak kaIah pucat dengan sang mami.

“Kak, kamu di mana?” Suara Britania bergetar saat Nayaka menyambut panggiIannya dengan nada datar.

“Maaf, Bri. Aku masih ada urusan. BeIum bisa puIang sekarang.” Nayaka meIirik wanita yang sedang meringkuk di sebeIahnya. Dia terp*ksa membawa Quenna ke rumah sak't seteIah demam wanita itu tak kunjung turun.

“Oh, memangnya di mana?” Britania bertanya seraya menajamkan pendengarannya. Samar-samar, dia mendengar suara deru kendaraan dan kIakson bersahut-sahutan.

“Aku ... Iagi ada meet'ng.”

“Meet'ng? Tapi, aku dengar suara mobiI, Kak.”

“Ya, meet'ng-nya di restoran. Pas posisinya dekat pinggir jaIan.” Nayaka berdusta. “Sudah, aku usahakan puIang cepat. SeteIah meet'ng ... Iangsung. Aku janji, Bri.”

Britania menarik napas panjang. Dia tak mencecar tanya Iebih jauh. Nayaka sudah menutup pembicaraan dan meninggaIkannya dengan perasaan mengambang.

⚘️⚘️⚘️

MembeIokkan mobiI ke peIataran apartemen yang dihuni Quenna, Nayaka menghentikan kendaraan hitam tersebut tepat di depan Iobi. Tak Iama terIihat dia turun dan berIari keciI untuk membantu Quenna membukakan pintu mobiI. Wanita itu masih Iemah dan butuh dipapah.

Namun, baru saja tangannya meriah knop pintu, seseorang menarik pundaknya dari beIakang. 

“Kvrang ajar!” 

Sebuah pukuIan menghantam rahang Nayaka. Tanpa persiapan, Iaki-Iaki tampan itu hanya bisa menerima kepaIan tangan tersebut dengan sukareIa.

Nayaka
🍁🍁🍁


Bab 44
MENIKAHIKU HANYA DEMI KETURUNAN, KEMUDIAN JIKA ANAK ITU LAHIR AKU AKAN DICERAIKA
Jovan telah memberikannya semua fasilitas mewah: rumah, kendaraan, usaha orang tuanya di Bogor, dan juga fasilitas lainnya. 
Tsania tahu, ia tak bisa berkutik bila sudah membahas orang tuanya. Hanya bisa menurut dan terpaksa menandatangani kesepakatan pernikahan tersebut. Ia tahu bahwa setelah melahirkan, ia harus rela diceraikan oleh Jovan karena pria itu hanya menginginkan seorang anak darinya.

“Kalau memang kamu hanya menginginkan seorang anak, kenapa harus menikahiku? Cari saja perempuan yang ingin menyewakan rahimnya untukmu, Mas!” ucap Tsania seraya menatap Jovan penuh dengan keb3ncian.

“Mama tidak ingin punya cucu hasil dari luar nikah. Untuk itu, lebih baik aku nikahi kamu, setelah itu kita berpisah. Kamu jangan khawatirkan anak kita kelak. Dia akan baik-baik saja dan segera melupakan kamu,” jawab Jovan dengan suara dingin.

Begitu menvsvk jantung mendengar bahwa Jovan hendak memisahkan dia dengan anaknya kelak. 
Rencana itu sudah direncanakan dengan sangat matang oleh lelaki itu. Tsania sudah dijebak, dan akting Jovan begitu sempurna hingga membuat perempuan itu masuk ke dalam perangkapnya.

“Sejah4t dan sebusvk itu hati kamu, Mas. Hanya menginginkan seorang anak dariku, kemudian meninggalkanku tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.” Tsania geleng-geleng kepala, air mata tak henti-hentinya mengalir. 

“Lebih baik kamu ceraikan aku sekarang juga, Mas!”

Jovan tersenyum menyeringai. “Oh, yaa? Kalau ingin aku ceraikan sekarang juga, bayar semua ut4ngmu, biaya pelatihan, rumah, dan tempat usaha orang tuamu. Jabatan kamu akan jadi taruhannya. Di mana pun kamu bekerja, jangan harap ada yang mau menerimamu. Namamu akan aku bl4cklist di semua perusahaan!” ancamnya dengan suara yang penuh keb3ngis4n.

Tsania terdiam, hatinya h4ncur berkeping-keping. Tidak ada jalan keluar yang mudah dari mimpi burvk ini. 

Namun, di tengah kepedihan dan kekecewaan, ia tahu bahwa suatu saat, ia harus menemukan cara untuk bangkit dan melepaskan diri dari cengkeraman Jovan. 

Malam itu, dalam kesedihan yang mendalam, Tsania bertekad untuk tidak membiarkan dirinya terus-menerus terperangkap dalam kejamnya permainan cinta palsu ini.

Di hadapannya, Jovan James Harden, pria dengan banyak perusahaan yang tersebar di berbagai bidang—dari properti, konstruksi, tekstil, baja, batu bara hingga perhiasan—berdiri dengan angkuh. Dengan kekuasaannya, ia mampu memerintahkan semua pengusaha untuk tidak pernah menerima Tsania sebagai karyawan di perusahaan mereka, apa pun bagiannya.

Tsania kembali tak berkutik, hanya menatap nanar wajah suaminya itu. Perasaan tak berdaya menyelimuti hatinya, membuat air mata menggenang di sudut matanya.

“Jangan menunda kehamilan. Lebih cepat lebih baik!” ucap Jovan tegas, suaranya dingin dan tanpa kompromi.

“Lalu, kalau aku tidak bisa memberimu anak, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Tsania seraya mengusap air matanya yang mulai jatuh. “Kamu akan mencer4ikan aku? Iya?”

Jovan menatapnya dengan tatapan yang penuh ejekan. “Kenapa tidak bisa h4mil? Semua perempuan bila sudah dig4uli, pasti akan h4mil. Kecuali kamu m4ndul!”

Tsania menelan salivanya dengan pelan, perasaan sakit dan marah berbaur menjadi satu. “Aku baru sadar. Kamu mengg4uliku terlebih dahulu agar aku tidak bisa berkutik dan pergi setelah diberikan surat kesepakatan itu. Agar aku h4mil, kemudian memberimu anak.” Tsania tersenyum getir seraya mengusap air matanya.

“Pintar. Kamu memang perempuan paling pintar yang aku kenal. Jadi istri yang baik dan sekretaris yang baik. Jangan pernah memberi tahu hal ini kepada siapa pun sampai kita cerai nanti. Aku sudah punya alasan kenapa kita bercerai nanti.”
Tsania menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah suaminya itu, hatinya terasa hancur mendengar kata-kata yang begitu dingin dan tanpa perasaan. “Bahkan hal itu pun sudah kamu persiapkan? Seolah-olah semuanya akan berjalan dengan mulus?” Tsania kembali berlinang air mata.

Selengkapnya di aplikasi Innovel/ Dreame
Baca setiap bab tanpa skip berikut komentar positif sebagai dukungan untuk author

Siti Nurhayah
🍁🍁🍁


Bab 43
"Cinta Beda Kasta: Legenda Baturaden yang Abadi"
Di lereng Gunung Slamet yang hijau, terhampar sebuah kadipaten bernama Kutaliman. Di sana, Adipati Kutaliman memerintah dengan bijaksana bersama sang istri dan putri mereka yang jelita, Dewi Sulasih. Namun, di balik kemegahan istana, tersembunyi kisah cinta yang tak terduga.

Batur Gamel, seorang pemuda gagah yang bertugas mengurus kuda-kuda kerajaan, memiliki hati yang tulus dan tangkas dalam pekerjaannya. Setiap fajar, ia selalu pertama kali bangun untuk memastikan kuda-kuda dalam kondisi prima, dan setiap senja, ia menjadi yang terakhir meninggalkan kandang setelah memastikan semua kuda telah terkandang dengan baik.

Suatu hari, saat Dewi Sulasih berjalan-jalan di taman istana, seekor ular berbisa melintas di hadapannya. Batur Gamel yang kebetulan lewat, dengan sigap melompat dan menyelamatkan Dewi Sulasih dari gigitan maut. Sejak saat itu, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara mereka.

Mereka sering bertemu diam-diam di bawah rindangnya pohon beringin tua, berbagi cerita dan tawa. Cinta mereka bersemi, namun terhalang oleh jurang status yang menganga. Batur Gamel hanyalah seorang pembantu, sementara Dewi Sulasih adalah putri seorang adipati.

Ketika Dewi Sulasih dinyatakan hamil, istana Kutaliman diguncang oleh skandal. Adipati Kutaliman dan istrinya merasa terhina dan marah, namun di balik kemarahan itu, mereka juga merasakan kesedihan mendalam. Mereka ingin melihat putri mereka menikah dengan kehormatan, bukan tercela karena cinta terlarang.

Namun, cinta Batur Gamel dan Dewi Sulasih tak dapat dipisahkan. Mereka memutuskan untuk meninggalkan istana dan hidup bersama di sebuah desa yang kini dikenal sebagai Baturaden. Di sana, mereka hidup bahagia, meski harus melepaskan segala kemewahan dan status.

Batur Gamel dan Dewi Sulasih, kini terasing dari keramaian istana, menemukan kedamaian di desa Baturaden. Mereka membangun rumah kecil di tepi sungai, dikelilingi oleh pohon-pohon bambu yang rindang. Kehidupan mereka sederhana, namun penuh dengan kehangatan dan cinta.

Dewi Sulasih melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Galuh. Anak itu tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan bijaksana, mewarisi kebaikan hati ayahnya dan kecantikan ibunya. Raden Galuh sering mendengar kisah tentang asal-usulnya, dan ia bertekad untuk menghormati pengorbanan kedua orang tuanya.

Waktu berlalu, dan Raden Galuh tumbuh menjadi pemuda yang dihormati di desanya. Ia memiliki keinginan untuk menyatukan kembali keluarganya yang terpisah. Dengan penuh keberanian, ia pergi ke istana Kutaliman untuk berbicara dengan kakek dan neneknya.

Adipati Kutaliman dan istrinya, meskipun masih merasa luka, tidak dapat menyangkal bahwa Raden Galuh adalah darah daging mereka. Mereka melihat bayangan putri mereka dalam diri Raden Galuh dan akhirnya memaafkan Batur Gamel dan Dewi Sulasih.

Keluarga itu bersatu kembali, dan Adipati Kutaliman memberikan restu kepada Batur Gamel dan Dewi Sulasih. Mereka diundang kembali ke istana, bukan sebagai pembantu dan putri yang tercela, tetapi sebagai keluarga yang dihormati.

Legenda Baturaden ini mengajarkan kita tentang kekuatan cinta, pengampunan, dan pentingnya keluarga. Hingga kini, cerita ini terus diceritakan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menginspirasi banyak orang untuk menghargai nilai-nilai tersebut.

Dan begitulah, Baturaden tidak hanya menjadi tempat yang indah dengan pemandangan alamnya yang memukau, tetapi juga menjadi simbol cinta yang abadi dan pengampunan yang tulus. Kisah Batur Gamel dan Dewi Sulasih terukir dalam hati setiap orang yang mendengarnya, menjadi warisan budaya yang tak lekang oleh waktu.

🍁🍁🍁

Bab 42
AKU TERPAKSA MENJADI PEMUAS NAFSU DOSENKU AGAR AKU TETAP BISA KULIAH 
10 juta bukan uang yang sedikit. Adelia mungkin bisa memegang uang dengan jumlah sama jika Adelia menggabungkan 4-5 bulan gaji Raden. Itu pun jika tidak ada potongan apapun.

Kini Adelia bisa memiliki uang itu dalam 1 kali penampilan?!

Adelia diam berpikir sejenak sambil Adelia memetik kukunya. Ada perasaan tidak tega saat Adelia mengingat wajah lelah sang suami yang harus bekerja keras di luar sana.

Setelah beberapa saat akhirnya, "Oke, Pak. Saya setuju. Dimana kita akan melakukannya?" Adel tanpa ragu lagi.

"Sekarang. Di sini saja. Kamu mau makan atau minum apa dulu? Biar saya pesankan. Setelah itu saya mungkin akan mengunci ruangan saya." Erwin bangkit dengan sangat cepat membuat Adelia gugup.

"Hmm, saya air putih saja, Pak." Adelia menelan ludahnya dengan cukup berat. Dalam hati Adelia, wanita itu sudah pasti berkali-kali mengucapkan permohonan maaf untuk sang suami.

"Hanya air putih? Kalau gitu, di sini ada banyak, Del. Kamu gugup ya?" Erwin mengerti situasi Adelia, namun entah kenapa dia malah bertanya.

Adelia mengangguk tunduk tanpa mengeluarkan suara sedang Erwin terus memantaunya dengan tatapan mengerikan. Seperti predator yang menangkap mangsa.

Setelah memastikan ruangannya terkunci dan tidak ada celah untuk siapa pun mengintip, baru lah Erwin memulai aksinya.

Syukurnya di ruangan Erwin tidak dipasang CCTV, jadi mereka aman. Tapi Erwin juga tidak ingin rugi. Diam-diam Erwin menyelipkan sebuah kamera perekam di ruangan itu agar dirinya memiliki sesuatu untuk dijadikan senjata atau uang nanti.

"Hmm, Del. Biasanya suami kamu pulang jam berapa?" Tanya Erwin memulai dengan perlahan membelai rambut Adel yang masih dengan posisinya.

"Kadang sore, Pak. Kadang malam juga, tergantung situasi." Adelia melirik singkat dosennya itu dengan jantung yang berdebar keras. Jemarinya berkeringat menggumpal.

Erwin yang melihat itu pun mengerti. "Santai saja, Del. Relax. Kita gak akan lama-lama kok untuk kali pertama ini. Kamu juga masih bisa pulang mungkin lebih awal dari suami kamu."

Mendengar itu, Adel mengingat jika sebelumnya Adel mengatakan bahwa Adelia akan mengunjungi rumah orang tuanya. Adelia tak bisa membayangkan jika Raden pergi ke sana juga untuk menjemputnya namun dirinya tidak ada.

Ini akan menjadi masalah besar jika orang tuanya tau.

Tapi jika Adelia bilang kalau Adelia sedang pergi bersama temannya untuk tugas kelompok, mungkin Raden akan mengerti.

Adel sudah punya alasan jika pulang terlambat nanti.

Di sisi lain, entah kenapa hari ini Raden merasa tidak enak. Raden selalu kepikiran dan mengingat Adel. 

"Apa aku kangen ya?" Pikirnya lucu seraya Raden berusaha fokus untuk mengajar anak les di jadwal akhirnya hari ini.

"Setelah ini aku harus ke rumah ibu mertuaku untuk menjemput istriku." Pikirnya lagi mengingat tadi pagi Adelia mengatakan kalau Adel ingin mengunjungi rumah orang tuanya.

Kembali ke ruangan Erwin. 

Setelah pemanasan yang canggung, kini Adelia sudah berbaring menggantung di atas meja Erwin dengan pakaian yang sudah acak-acakan.

Adelia sudah mengajukan permintaan tadi agar Erwin tidak melucutinya dan Erwin mengabulkannya.

Raut wajah Adelia kacau dengan emosi campur aduk. Takut, sedih dan gugup menjadi satu. 

"Saya 'masuk' ya, Del." Erwin memulai penyatuan mereka dengan posisi Erwin berdiri di sisi meja antara kedua paha Adelia yang terbuka sudah tanpa pengaman.

"Tenang aja, Del. Saya sudah pakai pengaman kok, ya." Erwin menenangkan lagi.

Jleb!

Adelia menitihkan air matanya seraya menahan isakannya. Akhirnya dirinya mengkhianati Raden.

Sejenak, perasaan itu Adel tutup rapat karena kini Adelia merasakan sensasi yang amat sangat berbeda. Perlahan Adelia mulai mabuk dan terbawa suasana mengikuti permainan Erwin yang entah bagaimana pandangan Adelia melihat sosok Erwin adalah Raden.

Lenguhan dan desahan yang tertahan membuat Erwin kian bersemangat dan memacu cepat hingga dirinya mendapat pelepasan dalam waktu kurang dari 1 jam.

Huffttt...

Nafas lega terdengar jelas keluar dari mulut Adel sedang Erwin kemudian segera membersihkan 'miliknya dengan tisu lalu membenahi pakaiannya yang juga acak-acakan.

Adel juga sama, Adel juga segera membersihkan diri dengan tisu lalu merapikan kembali pakaiannya walaupun penampilannya tidak lagi terlihat sama.

Adel terlihat lusuh, sedih dan lelah. Namun Adel berpura-pura kuat di hadapan Erwin. Menunggu Erwin memberikan uangnya, Adelia memakai lipstiknya agar tidak terlalu pucat.

Setelah Erwin selesai berpakaian, Erwin meraih ponselnya yang ada di laci meja dengan wallpaper yang sudah tertutupi banyak notifikasi panggilan tak terjawab dan juga pesan.

"Mana rekening kamu, Del. Saya akan transfer," ujar Erwin yang ekspresinya kali ini flat.

Adel segera meraih ponselnya dari dalam tas dan membuka m-banking-nya kemudian menyerahkannya pada Erwin.

"Oke. Sudah masuk ya, Del. Terimakasih untuk hari ini. Kalau kamu masih capek atau pegal karena kita bermain di atas meja, besok kamu boleh ambil cuti saja. Lagian saya juga besok tidak masuk kelas." Jelas Erwin menyerahkan ponsel Adelia dengan wallpaper foto pernikahannya.

"Baik, Pak. Terimakasih, saya pamit." Adel segera memasukkan ponselnya ke dalam tas dan hendak pergi.

"Oke. Hati-hati ya, Sayang." Erwin tersenyum licik sedang Adelia yang kaget tiba-tiba berhenti dan menoleh singkat.

Adelia keluar dari ruangan Erwin dengan perasaan was-was takut tertangkap orang lain. Karena kampus Adel ini memang dibuka sampai malam karena untuk mahasiswa kelas malam.

Di sisi lain, Erwin tersenyum jahat memeriksa kameranya yang sudah pasti merekam adegan panas mereka tadi.

"Uang 10 juta bukanlah apa-apa dibanding ini, Adelia. Kehidupan kamu kedepannya akan bergantung dengan ini." Gumam Erwin tertawa psikopat. 

Drrrtttt... Drttt....

Ponsel Adelia terus berdering ketika Adelia berjalan menuju gerbang kampus. Adelia berharap, Raden tidak ada di sana.

Dengan cepat Adelia membuka ponselnya dan menjawab telepon itu.

"Del, ikat rambut kamu tertinggal. Saya akan simpankan dulu. Lusa kamu ambil ya."

Sial, ternyata itu dari dosen genitnya Adelia.

"Iya, Pak. Tolong simpankan," jawab Adelia buru-buru menutup panggilan karena Adelia harus menghubungi Raden.

"Halo, Mas. Kamu dimana?" Syukurnya Raden menjawab cepat panggilannya.

"Oke, ini aku jalan pulang ya. Iya, Mas. Aku ada tugas kelompok yang harus selesai hari ini juga karena besok dosenku tidak masuk." Adelia sangat lancar berbohong agar Raden tidak curiga.

Sesampainya di rumah.

Raden terlihat duduk sendirian di depan rumah mereka dengan segelas kopi di atas meja. Melihat Adelia turun dari sebuah mobil yang Raden tebak adalah taksi online, segera Raden bangkit bersiap menyambut Adelia yang terlihat kelelahan. 

"Assalamualaikum, Mas." Adelia dengan cepat segera mencium tangan sang suami seperti biasa sedang Raden juga langsung mencium kening Adelia.

"Waalaikumsalam. Ayo masuk," jawab Raden menggandeng Adelia masuk ke dalam rumah.

Bukan Ayam Kampus 
🍁🍁🍁


Bab 41
THE HARDEST PART OF MARRIAGE YOU WON'T BE TOLD
Marriage is sweet when you examine it from a far, of those who have successful marriage or the lovey-dovey of newlyweds, but when you enter into, you will discover that what is behind number six is more than number seven. 

Many prepare so well for the romantic aspects of marriage, but very few groom themselves for the realities in marriage. Do you know that the hardest part of marriage plays a dominant role in marriage than the romantic moments?

However, what breaks marriage isn't the lack of romance, but the couple's inability to withstand the hardest part of marriage. 

There are some hard things about marriage that you are not likely to be told, but I will only share 5 of them with you.

1. Staying faithful
It's easy to abstain from sex as singles if you have not tasted how sweet sex is, but it's very difficult to stay faithful in marriage when you are denied sex for no just reason. 

The temptation to commit adultery is greater than the temptation to fornicate as singles. 

Because you now know how sex taste, seduction would come from those who are willing to give you or have a fling with you. In some cases, when your spouse becomes cold on sex matters, there are several others who want to give you a hot and sizzling sex. 

You need more discipline to stay faithful in marriage to your spouse emotionally, and sexually especially in this age when cheating has become a norm. 

If you have not been faithful to stay sexually pure now that you are single, it will be very difficult for you to master it when you are married. 

Marriage doesn't cure adultery, self control does! 

2. Sexual Issues
See, it is wise that you keep yourself sexually pure till marriage - purity in thoughts, action and word. All those who are deceiving you that who virginity epp only want to destroy you. 

One of the hardest part about marriage which many cannot come by is on the issue of sex. One partner is a novice while the other is an Emeritus professor in lovemaking; one has a high sexual libido while the other can stay for months without it and still feel sane. 

Virginity helps you to be sexually discipline, it prevents you from undue and ungodly exposure to sex that could either make you hate it with perfect hatred or make you a maniac in it. 

3. Money matters
Since it's said that money answers all things, money also destroys many things. As money can spice up love in marriages, it can also ruin it. 

What is your perception about money? 

Can you pull your purse together or separately? 

As a woman, do you have the warped mentality of my money is my money, but your money is our money? 

As a man, are you ready to work and earn a living or you want to live on your wife's income while dictating how the money will be spent without bringing anything to the table? 

Can you open up to your partner about your financial life without secretly building an estate in the village while you feed on his or her money like a parasite? 

Until you two resolve this before marriage and in marriage, it is hard enough to crack the nut of your marital bliss. 

4. Unmet expectations
If you have been dreaming of having her remain a slim shady, but eventually after pregnancy, she became a size 15, how would you cope? 

If he had been the romantic and available man, but after marriage, the quest for green pasture took him miles away, can you survive this? 

It is wise and better to prepare for the toughest part of marriage so that you can cope with them when they come, surely they will come. As much as you prepare for sunshine, don't forget to prepare for storms when they come before rain falls. 

5. Handling differences 
Whether you agree or not, handling differences is one of the leading causes of divorce in marriage. Many marriages fail due to irreconcilable differences. 

How do you plan to reconcile your differences in marriage should they come? 

If he presses the toothpaste from the middle, and she had been raised to be meticulous by pressing it neatly from the base, can you tolerate this? 

If she likes the food cold or warm, and you prefer it hot with steaming heat, can you adjust? 

These and many others are the toughest part of marriage that you must brace up for. Wedding is just a day or two event but marriage is a lifetime journey. 

More than the excitement of the married life, more than the grandeur wedding ceremony, have you been transformed by the renewing of your mind to face any challenge in marriage when they come? 

Delay in child bearing, loss of job, relocation, in law issues, financial crisis, trying times or spiritual issues may come; you need to be prepared for whichever one life throws at you so you don't chicken out when they come. 

Marriage is haaaard, I'm not scaring you; it's just one of those truths you might not likely be told or you don't want to hear. Finding the right person to marry is hard, but staying married is the hardest in the face of life's realities. 

As much as you are preparing for the romantic sides, brew your mind for the hardest part so you can stand having done all when the flood descend, when the rain falls and the wind beats upon your union.

Followers @all

Terjemahan:

BAGIAN TERSULIT DALAM PERNIKAHAN TIDAK AKAN DIBERITAHU ANDA
Pernikahan itu manis bila dikaji dari jauh, dari pernikahan yang sukses atau kemesraan pengantin baru, namun ketika masuk ke dalamnya, Anda akan menemukan bahwa yang ada dibalik angka enam lebih dari angka tujuh. 

Banyak orang mempersiapkan diri dengan baik untuk aspek romantis dalam pernikahan, namun sangat sedikit yang mempersiapkan diri menghadapi kenyataan dalam pernikahan. Tahukah Anda bahwa bagian tersulit dalam pernikahan memainkan peran dominan dalam pernikahan daripada momen romantis? 

Namun, apa yang merusak pernikahan bukanlah kurangnya romansa, namun ketidakmampuan pasangan untuk menanggung bagian tersulit dalam pernikahan. 

Ada beberapa hal sulit tentang pernikahan yang kemungkinan besar tidak akan diberitahukan kepada Anda, namun saya hanya akan membagikan 5 di antaranya kepada Anda. 

1. Tetap setia
Sangat mudah untuk tidak melakukan hubungan seks sebagai lajang jika Anda belum merasakan betapa manisnya seks, namun sangat sulit untuk tetap setia dalam pernikahan ketika Anda ditolak berhubungan seks tanpa alasan yang jelas. 

Godaan berzina lebih besar dibandingkan godaan berzina saat masih lajang. 

Karena Anda sekarang sudah tahu bagaimana rasanya bercinta, rayuan pasti datang dari orang-orang yang bersedia memberikan Anda atau menjalin hubungan asmara dengan Anda. Dalam beberapa kasus, ketika pasangan Anda bersikap dingin terhadap urusan seks, ada beberapa orang lain yang ingin memberikan Anda seks yang panas dan mendesis. 

Anda memerlukan lebih banyak disiplin untuk tetap setia dalam pernikahan dengan pasangan Anda secara emosional, dan seksual terutama di usia ini ketika perselingkuhan sudah menjadi hal yang biasa. 

Jika Anda belum setia untuk tetap murni secara seksual saat Anda masih lajang, akan sangat sulit bagi Anda untuk menguasainya ketika Anda sudah menikah. 

Pernikahan tidak menyembuhkan perzinahan, pengendalian diri menyembuhkan! 

2. Masalah Seksual
Lihat, adalah bijaksana jika Anda menjaga diri Anda murni secara seksual sampai menikah - kemurnian dalam pikiran, tindakan dan perkataan. Semua orang yang menipu Anda bahwa keperawanan epp hanya ingin menghancurkan Anda. 

Salah satu bagian tersulit dalam pernikahan yang tidak bisa dilakukan oleh banyak orang adalah masalah seks. Salah satu pasangannya adalah seorang pemula sementara yang lainnya adalah seorang profesor Emeritus dalam bidang percintaan; yang satu memiliki libido seksual yang tinggi sementara yang lain dapat bertahan berbulan-bulan tanpa libido tersebut dan masih merasa waras. 

Keperawanan membantu Anda untuk disiplin secara seksual, mencegah Anda dari paparan seks yang tidak semestinya dan tidak saleh yang dapat membuat Anda membencinya dengan kebencian yang sempurna atau membuat Anda menjadi maniak di dalamnya. 

3. Uang itu penting
Karena dikatakan uang menjawab segalanya, uang juga menghancurkan banyak hal. Meskipun uang dapat meningkatkan cinta dalam perkawinan, uang juga dapat merusaknya. 

Apa persepsi Anda tentang uang? 

Bisakah Anda menyatukan dompet Anda atau secara terpisah? 

Sebagai seorang wanita, apakah Anda memiliki mentalitas keliru bahwa uang saya adalah uang saya, tetapi uang Anda adalah uang kami? 

Sebagai laki-laki, apakah Anda siap bekerja dan mencari nafkah atau ingin hidup dari penghasilan istri sambil mendikte bagaimana uang akan dibelanjakan tanpa membawa apa-apa? 

Bisakah Anda terbuka kepada pasangan Anda tentang kehidupan finansial Anda tanpa diam-diam membangun perkebunan di desa sementara Anda memakan uangnya seperti parasit? 

Sampai Anda berdua menyelesaikan masalah ini sebelum menikah dan dalam pernikahan, cukup sulit untuk memecahkan inti kebahagiaan perkawinan Anda. 

4. Harapan yang tidak terpenuhi
Jika Anda memimpikan dia tetap langsing, namun akhirnya setelah hamil, dia menjadi berukuran 15, bagaimana Anda mengatasinya? 

Jika dia adalah pria yang romantis dan siap sedia, namun setelah menikah, pencarian padang rumput hijau membawanya bermil-mil jauhnya, dapatkah Anda bertahan dari hal ini? 

Adalah bijaksana dan lebih baik untuk mempersiapkan bagian terberat dalam pernikahan sehingga Anda dapat mengatasinya ketika hal itu datang, pasti hal itu akan datang. Sebisa mungkin Anda bersiap menghadapi sinar matahari, jangan lupa bersiap menghadapi badai ketika datang sebelum hujan turun. 

5. Menangani perbedaan
Setuju atau tidak, menangani perbedaan adalah salah satu penyebab utama perceraian dalam pernikahan. Banyak pernikahan gagal karena perbedaan yang tidak dapat didamaikan. 

Bagaimana Anda berencana untuk mendamaikan perbedaan Anda dalam pernikahan jika hal itu terjadi? 

Jika dia menekan pasta gigi dari tengah, dan dia telah dididik untuk berhati-hati dengan menekannya dengan rapi dari pangkalnya, dapatkah Anda mentolerirnya? 


Jika dia suka makanannya dingin atau hangat, dan Anda lebih suka makanan panas dengan panas mengepul, bisakah Anda menyesuaikannya? 

Ini dan banyak lainnya adalah bagian terberat dalam pernikahan yang harus Anda persiapkan. Pernikahan hanyalah peristiwa satu atau dua hari tetapi pernikahan adalah perjalanan seumur hidup. 

Lebih dari kegembiraan hidup pernikahan, lebih dari kemegahan upacara pernikahan, sudahkah Anda diubahkan oleh pembaharuan pikiran Anda untuk menghadapi tantangan apa pun dalam pernikahan ketika tantangan itu datang? 

Keterlambatan dalam melahirkan anak, kehilangan pekerjaan, relokasi, masalah hukum, krisis keuangan, masa-masa sulit atau masalah spiritual mungkin terjadi; Anda harus bersiap menghadapi kehidupan apa pun yang menimpa Anda sehingga Anda tidak takut ketika hal itu datang. 

Pernikahan itu sulit, aku tidak membuatmu takut; itu hanyalah salah satu kebenaran yang mungkin tidak akan diberitahukan atau tidak ingin Anda dengar. Menemukan orang yang tepat untuk dinikahi memang sulit, namun tetap menikah adalah hal tersulit dalam menghadapi kenyataan hidup. 

Sebanyak Anda mempersiapkan diri untuk sisi romantis, persiapkan pikiran Anda untuk bagian tersulit sehingga Anda dapat bertahan melakukan semua saat banjir turun, saat hujan turun, dan angin menerpa persatuan Anda. 

 Followers @all #
🍁🍁🍁


Bab 40 
Warisan Suami yang Meninggal
Pada zaman dahulu kala, hidup seorang perempuan kaya bernama Nyai Bagendit di salah satu desa yang terletak di Jawa Barat. Nyai Bagendit hidup seorang diri dengan kekayaan melimpah dari warisan suaminya yang meninggal.

Dari kekayaan yang dimiliki, Nyai Bagendit kerap merasa takut akan jatuh miskin. Hal itu membuatnya menjadi seseorang yang kikir. Terlebih lagi, Nyai Bagendit memiliki perangai yang kurang ramah kepada warga sekitar.

Nyai Bagendit akan berkenan membantu warga yang sedang kesulitan dengan catatan terdapat ganti bunga yang sangat tinggi. Kemudian, apabila warga telat membayar utang tersebut maka akan mendapat diperlakukan kasar oleh orang suruhan Nyai Bagendit dan bahkan menyita sisa kekayaannya.

Beberapa perangai buruk Nyai Bagendit pun membuatnya kerap tidak disukai oleh warga sekitar. Ditambah lagi dengan sifatnya yang senang memamerkan harta kekayaan kepada warga sekitar.

Pada suatu hari, Nyai Bagendit sedang bersantai di halaman rumahnya sambil menghitung kekayaan uang dan emasnya. Kemudian datanglah seorang kakek tua yang berjalan dengan sebuah tongkat.

Kakek tersebut merupakan seorang pengembara yang meminta sedikit air minum kepada Nyai Bagendit. Namun, Nyai Bagendit menolak dan justru memaki kakek tersebut dengan kasar lantas mengusirnya.

Setelah diperlakukan tidak mengenakkan, kakek tersebut merasa sedih dan kecewa. Kemudian ia menancapkan tongkatnya di depan rumah Nyai Bagendit sambil mengingatkan wanita kaya tersebut mengenai pelajaran yang akan diterimanya.

Melihat hal tersebut Nyai Bagendit tidak menghiraukan dan hanya mengejeknya dengan tertawa. Kemudian ia pun masuk ke dalam rumah untuk meninggal kakek tersebut di luar.

Setelah itu, kakek tersebut mencabut tongkat yang ditancapkannya yang kemudian memancarkan air yang sangat deras. Air yang memancar tersebut menyebabkan banjir pada desa yang ditempati Nyai Bagendit. Para penduduk desa pun berlarian untuk menyelamatkan diri.

Sementara itu kakek pengembara menghilang entah ke mana. Nyai bagendit pun terlambat menyadari kedatangan banjir dan lebih memilih untuk menyelamatkan kekayaannya.

Akhirnya, Nyai Bagendit pun meminta pertolongan sembari membawa sekotak uang dan emas. Naasnya tidak ada orang yang mendengar Nyai Bagendit karena warga sudah menyelamatkan diri terlebih dahulu.

Nyai Bagendit pun tenggelam bersama seluruh kekayaannya dan banjir pun semakin meluap sampai akhirnya membentuk sebuah danau. Kemudian danau atau situ tersebut diberi nama Situ Bagendit.

Situbagendit
Legenda 
🍁🍁🍁

Bab 39
Suku Bajo, Penyelam dan Pengembara Laut nan Ulung.
Suku Bajau (Bajo) telah lama dikenal sebagai orang-orang laut yang andal. Mereka hidup di atas dan di bawah hamparan perairan. Mengapung dan menyelam di sana. Anak kecil sampai orang dewasa.
Di Indonesia, Suku Bajo bisa ditemui di perairan Kalimantan Timur (Berau, Bontang), Kalimantan Selatan (Kota Baru), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo), Sapeken, Sumenep, dan wilayah Indonesia timur lainnya.

Orang Bajo dikenal bisa lebih tahan lama menyelam di air. Mereka disebut-sebut bisa tahan sampai 13 menit di kedalaman 60 meter tanpa alat bantu nafas atau oksigen.

Jika tanpa alat bantu nafas, rata-rata manusia awam hanya bisa bertahan 30 sampai 60 detik di dalam air. Rekor terlama bertahan di dalam air tanpa alat bantu napas diraih oleh penyelam asal Denmark, Stig Severinsen, yaitu 20 menit. Itu pun diraih dengan pelatihan yang rutin dan terencana.

Koordinator Kelompok Studi Maritim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dedi Supriadi Adhuri, menyebut kemampuan itu adalah hasil adaptasi dari kebiasaan Orang Bajo yang hampir 24 jam hidup di laut.

"Secara fisik mereka beradaptasi juga. Mereka dibanding dengan suku bangsa lain di Indonesia, bisa bertahan di dalam laut lebih lama," ucap Dedi kepada CNNIndonesia.com.

Berdasarkan jurnal penelitian Cell mendeteksi adanya mutasi DNA pada limpa di Orang Bajo.

Saat seseorang menyelam dan menahan nafas, maka akan terjadi reaksi. Detak jantung melambat, pembuluh darah menyempit dan limpa berkontraksi. Kontraksi pada limpa itu berfungsi untuk menghemat energi saat seseorang kekurangan oksigen.

Berdasarkan jurnal tersebut, limpa Orang Bajo kemungkinan lebih besar, sehingga kuat untuk berada di dalam air dalam jangka waktu yang lama.

Suku Bajo - yang warganya sebagian besar memeluk agama Islam, mempunyai banyak sebutan. Sebagian menyebut mereka orang laut. Orang Jawa menyebut mereka Bujuus. Orang Melayu menyebutnya Celates.

Di perairan Selat Makassar, mereka disebut Bajau atau Bajo. Sementara itu, mereka sendiri menyebut dirinya Orang Sama.

Dedi mengatakan, awalnya orang Bajo memang tinggal di perahu, mengapung di lautan. Namun, semakin ke sini Orang Bajo mulai banyak yang tinggal di daratan.

"Ada yang sudah hidup di pesisir. Yang hidup di daratan. Sebagian rumah biasanya masih di atas air," ujarnya.

Menembus batas-batas
Bicara mengenai Orang Bajo adalah bicara tentang pengembara lautan. Meski, asal usulnya belum diketahui secara pasti.

Tak hanya di Sulawesi, Indonesia, Suku Bajo juga ada yang ditemukan bermukim di perairan Sabah, Malaysia, dan Tawi-Tawi serta Mindanao, Filipina.

Ada yang menyebut orang Bajo berasal dari Filipina dan ada juga yang menyebut dari Malaysia. Namun, sejak berabad-abad mereka hidup di lautan secara nomaden.

Sejarawan dari UIN Raden Intan Lampung, Rahman Hamid, banyak mempublikasikan penelitiannya mengenai sejarah maritim, salah satunya membahas pengembaraan orang Bajo.

Secara umum, Rahman mengatakan banyak yang menganggap asal usul Orang Bajo yaitu dari Semenanjung Malaka, lalu berimigrasi ke berbagai penjuru Nusantara. Namun, ada juga yang mengatakan orang Bajo berasal dari Sulawesi Selatan dan menyebar ke wilayah lainnya.

Ia mengakui rekam jejak orang Bajo memang belum bisa dideteksi secara pasti. Namun, bisa ditelusuri melalui hubungannya dengan beberapa kerajaan di Nusantara seperti Kerajaan Malaka, Luwu Siang, Makassar dan Bone.

Pada masa kerajaan Malaka, abad ke-15. Puluhan Orang Bajo mengiringi Raja Parameswari ketika pindah dari Tumasik (Singapura) ke Muar. Saat itu, Orang Bajo menemukan tempat di Sungai Bertam. Sungai itu kemudian menjadi Malaka.

"Mereka merupakan kekuatan bahari yang sangat diandalkan, baik terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam khususnya," kata Rahman dalam Jurnalnya yang diterima 

Kutipan, CNNIndonesia.com
🍁🍁🍁


Bab 38 
Keluarga Semut Yang Bijaksana
(Dongeng Mengarang Sendiri)
Deru suara kaki kuda memecah kesunyian pagi. Debu mengepul menambah nuansa polusi udara di halaman sebuah istana. Rupanya pagi itu sedang berlangsung acara latihan berkuda bagi para prajurit baru. Istana yang megah dengan warna dominan keemasan, menambah kesan kemakmuran dan kesejahteraan di negeri tersebut.

Kerajaan itu bernama Panjirawit, kerajaan makmur yang dipimpin oleh seorang raja adil dan bijaksana. Nama Panjirawit memang tidak pernah ada di dalam buku sejarah manapun, karena penulis dongeng memang mengarangnya sendiri. 

Selain memimpin negerinya dengan adil dan bijaksana, sang raja juga sangat terkenal akan kebiasaannya yang unik, dia sangat suka memberikan makanan kepada para binatang dimanapun dia berada. Sang raja memang seseorang penyayang binatang dan melarang segala bentuk perburuan binatang di negerinya tersebut.

Suatu hari, saat sang raja berjalan-jalan di sebuah perkampungan, raja beristirahat di bawah sebatang pohon berlubang. Secara tidak sengaja sang raja melihat empat ekor semut yang sedang berkerumun di dekat lubang pohon tempatnya berteduh. Karena penasaran, sang raja pun bertanya pada salah satu semut yang ada disitu.

"Wahai semut, apa yang sedang kamu lakukan disitu, dimana rumahmu?" tanya raja. 

"Hamba sedang istirahat sebentar disini, lubang pohon inilah rumah kami, hamba dan anak istri hamba sedang mencari makanan, Baginda. Tetapi, sampai sekarang hamba belum juga mendapatkannya," jawab semut.

Hati sang raja sangat tersentuh dan iba mendengar jawaban si semut, kemudian sang raja bertanya lagi.

"Berapa banyak makanan yang kalian butuhkan untuk makan setahun?" tanya raja lagi.

"Tidak banyak... Hanya sepotong roti sudah cukup untuk kami sekeluarga, Baginda," jawab semut.

"Jika begitu.... Baiklah, aku akan memberi kalian sepotong roti. Ikutlah denganku ke istana," kata raja.

Kemudian keluarga Semut itu pun ikut sang raja ke istana. Mereka tampak sangat gembira karena akan segera mendapatkan makanan.

Sesampainya di istana, raja memasukkan sepotong roti ke dalam tabung kaca yang berventilasi. Selanjutnya, dia memasukkan keluarga semut itu ke dalam tabung tersebut. Lalu raja mengantarkan kembali keluarga semut tersebut ke pohon berlubang tempat tinggalnya. Sebelum meninggalkan keluarga semut, raja berkata pada keluarga semut tersebut.

"Roti itu adalah roti yang istimewa, roti khusus dari istanaku. Ia akan kuat dan aman dikonsumsi sampai beberapa tahun kedepan. Sekarang, aku akan menutup tabung ini selama setahun. Tabung ini ada lubang udaranya. Jadi, kalian akan tetap bisa bernapas dan tidur dengan nyaman di tabung ini. Setahun lagi aku akan datang dan membuka tutupnya," kata raja.

"Baik, Baginda. Hamba akan tinggal di dalam tabung ini selama setahun bersama anak istri hamba," kata semut.

Setelah memasukan tabung kaca tersebut ke lubang pohon, sang raja pun pulang ke istananya. Waktu pun berlalu. Kini, sudah setahun keluarga semut tinggal di dalam tabung. Sang raja pun ingin menepati janjinya. Dia akan datang menemui keluarga semut untuk membuka tutupnya.

Setelah beberapa lama, sampailah sang raja di pohon berlubang tempat semut dan keluarganya tinggal. Dimasukannya tangan sang raja untuk meraih tabung kaca di lubang pohon tersebut. Perlahan, dikeluarkannya tabung kaca yang dulu dia simpan. Sang raja pun menyapa keluarga semut yang ada didalamnya.

"Wahai semut, bagaimana kabar kalian?" tanya raja. 

"Hamba dan keluarga hamba baik-baik saja, Baginda." Jawab semut.

Raja kemudian melihat ke dalam tabung lebih seksama. Ternyata, roti yang dia berikan masih sisa setengah. "Kenapa rotinya masih tersisa, kenapa tidak kalian habiskan?" tanya raja.

"Hamba sengaja berhemat. Hamba takut Baginda lupa membuka tabung ini. Kalau Baginda lupa, hamba masih punya persediaan roti untuk setahun lagi. Untunglah Baginda tidak lupa." kata semut menjelaskan.

Raja tersenyum sambil berkata, "Kau semut yang hebat. Kau pandai berhemat untuk mempersiapkan keadaan yang sulit. Aku akan mengabarkan ini pada rakyatku. Mereka harus bisa mencontohmu untuk tidak hidup boros."

Setelah membuka tutup tabung tersebut, Raja pun pulang ke istananya dengan membawa ilmu dan pelajaran yang sangat berharga dari keluarga semut yang tinggal di sebatang pohon berlubang.

Pesan moral yang dapat dipetik dari Dongeng ini adalah tentang Berhemat. Kita harus berhemat sekarang agar hidup kita tidak sulit di masa datang. Makanlah dengan bijak dan tidak berlebihan.

Cerita.Dongeng 
Gabel
🍁🍁🍁


Bab 37 
Juno dan Dido - Ingin Sekolah
Pagi terlihat sangat semarak, musim bunga mekar menghiasi hamparan luas di tengah hutan belantara. Penulis menyebutnya taman hutan suka cita.

Di taman yang luas dan penuh bunga warna-warni itulah, hidup seekor lebah bernama Juno yang rajin dan seekor semut hitam bernama Dido yang tekun. Mereka berdua bersahabat karib, selalu menghabiskan waktu bersama, menjelajahi taman, dan saling membantu. Suatu hari, saat mereka asyik bermain di antara kelopak bunga yang harum, mereka melihat seekor belalang hijau bernama Keike sedang mengajar anak-anak belalang lainnya di bawah pohon rindang.

Juno dan Dido terpesona melihat Keike yang begitu pintar dan penuh semangat dalam menjelaskan berbagai hal kepada murid-muridnya. Mereka berdua ingin sekali belajar seperti anak-anak belalang itu. Rasa ingin tahu dan semangat mereka untuk belajar membuncah.

"Dido," bisik Juno kepada Dido dengan mata berbinar, "Ayo kita tanya Bu Keike, bolehkah kita ikut sekolah di sini?"

Dido mengangguk antusias, hatinya dipenuhi harapan dan tekad. Mereka berdua pun mendekati Keike dengan langkah mantap dan menanyakan dengan sopan.

"Bu Keike," tanya Juno dengan suara lembut, "Apakah kami boleh ikut sekolah di sini bersama anak-anak belalang lainnya?"

Keike, yang terkenal ramah dan penyayang, tersenyum lebar dan berkata dengan penuh semangat, "Tentu saja boleh, Juno dan Dido! Saya senang sekali kalian ingin belajar. Ilmu pengetahuan adalah kunci untuk membuka pintu dunia yang indah dan penuh petualangan."

Juno dan Dido bersorak kegirangan. Sejak saat itu, mereka berdua rajin mengikuti pelajaran bersama anak-anak belalang. Setiap hari, mereka bangun pagi-pagi, penuh semangat untuk belajar hal-hal baru. 

Meskipun mereka berbeda jenis dengan anak-anak belalang, Juno dan Dido tidak pernah merasa minder atau kesulitan. Mereka selalu bersemangat dan berusaha keras untuk memahami semua pelajaran. Keike pun selalu sabar dan telaten dalam mengajar mereka, menyesuaikan metodenya dengan gaya belajar mereka yang unik.

Di kelas, Juno terkenal dengan kemampuannya yang luar biasa dalam menghafal dan memahami berbagai informasi. Dia bagaikan spons yang menyerap ilmu dengan cepat. Kemampuannya dalam mengolah informasi dan mengemukakan pendapatnya dengan jelas selalu membuat Keike dan teman-teman belalang kagum.

Sementara Dido, meskipun bertubuh kecil, memiliki tekad yang besar dan semangat pantang menyerah. Dia selalu ulet dalam mengerjakan tugas dan tidak pernah mudah putus asa. Ketelitiannya dalam mengamati detail dan kegigihannya dalam menyelesaikan masalah menjadikannya aset berharga bagi kelas.

Bersama Keike dan teman-teman belalang, Juno dan Dido menjelajahi dunia ilmu pengetahuan yang luas dan menarik. Mereka belajar tentang cara memilih buah yang aman untuk dimakan, membaca musim, menulis tanda, dan berbagai macam hal lainnya. Setiap hari, mereka dikelilingi oleh tawa, rasa ingin tahu, dan semangat belajar yang tak pernah padam.

Lambat laun, Juno dan Dido menjadi murid yang pandai dan cerdas. Mereka bahkan sering membantu teman-teman belalang lainnya yang mengalami kesulitan dalam belajar. Keike pun sangat bangga dengan kemajuan Juno dan Dido. Dia melihat potensi besar dalam diri mereka dan selalu mendorong mereka untuk terus belajar dan berkembang.

Suatu hari, Keike mengadakan ujian akhir untuk semua muridnya. Juno dan Dido mengerjakan semua soal dengan penuh semangat dan ketelitian. Mereka tidak gentar menghadapi soal-soal yang sulit karena mereka telah dipersiapkan dengan baik oleh Keike dan tekad mereka sendiri yang kuat.

Hasilnya, Juno dan Dido mendapatkan nilai yang sangat bagus, bahkan yang terbaik di antara semua murid. Keike sangat senang melihat hasil kerja keras mereka. Dia pun memberikan hadiah sepotong roti dan gulali kepada Juno dan Dido sebagai tanda penghargaan atas prestasi mereka. Juno dan Dido menerima hadiah itu dengan penuh rasa bahagia dan haru. Mereka berterimakasih kepada Keike atas semua bimbingan dan pelajarannya yang berharga.

Kisah Juno dan Dido membuktikan bahwa semangat belajar dan kerja keras dapat mengantarkan kita untuk mencapai kesuksesan. 

Terlepas dari perbedaan yang kita miliki, kita semua bisa belajar dan meraih cita-cita. Seorang guru yang baik seperti Keike dapat membantu murid-muridnya untuk berkembang dan mencapai potensi terbaik mereka. 

Juno dan Dido terus belajar dan tumbuh, menjelajahi dunia dengan penuh rasa ingin tahu dan semangat. Mereka menjadi inspirasi bagi teman-teman mereka dan membuktikan bahwa dengan tekad dan kerja keras, mimpi apa pun dapat diraih.

Cerita ini dapat memberikan beberapa pelajaran penting bagi kita:

Pentingnya memiliki semangat belajar dan kerja keras, Juno dan Dido menunjukkan kepada kita bahwa dengan semangat belajar dan kerja keras, kita dapat mencapai apa pun yang kita inginkan.

Cerita Dongeng
Fabel 
🍁🍁🍁

Bab 36 
Keluarga Tupai - Berkah Sebutir Telur
Hutan tampak lengang, kabut dingin menyelimuti dengan udaranya yang menusuk tulang. Tidak seperti biasanya, kali para binatang tampaknya enggan keluar dari sarangnya. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya sambil menikmati makanan yang telah mereka kumpulkan sebelum musim dingin tiba.

Seperti yang dilakukan oleh keluarga tupai, meskipun mereka belum sempat mengumpulkan persediaan makanan, musim dingin yang telah tiba memaksa mereka untuk tetap tinggal di dalam rumah. 

Malam itu keluarga Tupai sedang berkumpul di meja makan. Namun, malam itu, persediaan makanan mereka tinggal satu butir telur.

“Kita hanya memiliki satu butir telur. Itu tidak akan cukup untuk kita berempat,” kata Ibu Tupai.

“Tidak apa, Ibu. Kita bisa membaginya untuk berempat.” Jawab Ayah Tupai.

“Aku lapar sekali, Ibu. Masak saja satu telur itu,” kata Anak Tupai.

Mendengar itu, Ibu Tupai dengan sedih mengambil satu telur persediaan terakhir mereka. Ia bermaksud menggoreng telur itu. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu rumah mereka. Ayah Tupai bergegas membukakan pintu. Ternyata yang datang adalah seekor Kelinci.

“Ada apa, Kelinci?” kata Ayah Tupai.

“Aku ingin meminta bantuamu. Anakku sakit karena sudah tidak makan selama dua hari, sedangkan kami sudah tidak punya persediaan makanan lagi. Bolehkah aku minta satu saja telurmu untuk anakku yang sakit?” mohon Kelinci.

Ayah Tupai merasa kasihan kepada Kelinci. Ia pergi ke dapur dan berbicara kepada istrinya. Untungnya, Ibu Tupai belum memasak sebutir telur tersebut. Dengan ikhlas, Ayah Tupai memberikan satu telur terakhir itu kepada Kelinci.

“Berikanlah telur ini kepada anakmu. Aku berdoa semoga ia cepat sembuh,” kata Ayah Tupai.

“Terima kasih banyak, semoga kau selalu diberikan kebaikan dalam hidupmu,” jawab Kelinci, lalu berlari pulang dengan perasaan bahagia.

Melihat perbuatan Ayah Tupai, kedua anak Tupai memarahinya. “Ayah, kenapa Ayah memberikan satu telur kita kepada Kelinci? Kami juga sangat lapar.”

“Bersabarlah, Nak. Kelinci lebih membutuhkan telur itu daripada kita. Ayah akan berusaha keluar dan mencari makanan,” kata Ayah Tupai.

Tiba-tiba, Ibu Tupai terdengar berteriak kaget di dapur. “Ayah, lihat! Kita punya telur yang sangat banyak!”

Ayah Tupai dan kedua anaknya segera bergegas ke dapur. Alangkah kagetnya mereka saat melihat ada banyak sekali telur disana.

“Dari mana datangnya telur-telur ini?” tanya Ayah Tupai. Ibu Tupai menggeleng tidak tahu.

Sebuah suara tiba-tiba terdengar. “Karena keikhlasan dan perolongan kalian membantu Kelinci, aku ganti sebutir telur kalian dengan seratus satu telur.”

Keluarga Tupai pun mengucapkan terima kasih dan bersyukur bahagia. Mereka bisa makan dengan kenyang malam itu. Istri Tupai pun meminta suaminya untuk mengantarkan beberapa telur ke rumah kelinci yang tadi meminta sebutir telur milik mereka. 

Berkah sebutir telur, membuat mereka semua merasa bahagia.

Pesan Moral :
Kebaikan dan Keikhlasan:
Keluarga Tupai menunjukkan kebaikan hati dengan memberikan telur terakhir mereka kepada Kelinci yang membutuhkan, meskipun mereka sendiri juga lapar.

Saling Menolong:
Keluarga Tupai membantu Kelinci yang sedang kesulitan tanpa pamrih. Tindakan saling menolong ini menunjukkan rasa empati dan kepedulian terhadap sesama.

Bersyukur:
Keluarga Tupai bersyukur atas berkah yang mereka terima dari burung hantu. Rasa syukur ini penting untuk dimiliki agar kita selalu merasa bahagia dan puas dengan apa yang kita miliki.

Selain itu, dongeng ini juga menunjukkan bahwa kejujuran dan kebaikan hati akan selalu mendapatkan balasan yang baik.

Cerita Dongeng 
Fabel
🍁🍁🍁


Bab 35 
Dirinya Sibuk Tak ada Waktu 
Wanita itu berjalan masuk ke dalam ruangan kekasihnya. Baru hari ini dia bisa menemui Ramos. Biasanya lelaki itu selalu saja menghindar dan mengatakan bahwa dirinya sibuk, sehingga tak ada waktu. 

"Ada apa?" Ramos melipat kedua tangannya di dada seraya menatap intens kekasihnya itu. 

"Malam ini ayah dan ibu mengundang kamu makan malam di rumah, membahas soal pernikahan kita!" Rania masih keukeh ingin menikah dengan Ramos. Ia benar-benar tidak mau kehilangan sosok lelaki yang duduk di kursi roda itu. 

"Mau membahas apa lagi? Bukankah sudah aku katakan, aku ingin menunda pernikahan ini," jawab Ramos menjelaskan dengan tegas dan penuh penekanan seraya menatap Rania tanpa ekspresi. 

"Tapi, kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba menunda pernikahan kita? Semua sudah dipersiapkan Ramos! Ini bukan candaan," jelas Rania yang masih berusaha menjelaskan semuanya. 

Ramos tak menjawab, lelaki itu seperti sedang berpikir keras. Mungkin dia memang harus mengambil tindakan yang tegas untuk bukan hanya menunda, tetapi juga ingin membatalkan yang artinya dia tidak akan menikahi Rania. Lagian sekarang Ramos sudah mencintai Rachel dan tidak ada lagi Rania di hatinya. 

"Baik! Aku akan datang malam ini," jawab Ramos. 

Rania tersenyum, seakan menemukan lampu hijau untuk bisa kembali memeluk hangatnya tubuh Ramos. 

"Terima kasih, Sayang!" Tanpa tahu malu wanita itu memeluk kekasihnya. 

"Jangan sembarangan, Rania!" hardik Ramos mendorong tubuh sang kekasihnya. Ia merasa jijik saat wanita itu menyentuhnya. 

"Ramos!" Rania menatap tak percaya dengan penolakan Ramos. Pertama kalinya, lelaki itu menolak dirinya dan bahkan tak mau disentuh. Apa salahnya? Apa yang salah dengan Ramos? Apakah Ramos sudah tak mencintainya seperti dulu? 

"Sebaiknya kamu keluar dari ruangan aku! Aku masih memiliki banyak pekerjaan," usir Ramos seraya mengibaskan tangannya seakan enggan menatap wanita yang ada di depannya ini. 

Rania berdiri seraya mengepalkan tangannya dengan kuat. Buku-buku tangan wanita itu terlihat memutih menahan emosi dan juga amarah yang terasa membuncah dalam dada. Napasnya memburu dengan mata yang memerah, bahkan urat-urat lehernya terlihat jelas bermunculan. 

"Kamu jahat, Ramos!" Setelah berkata ia berlalu di sana. 

Ramos menghembuskan napasnya dengan kasar. 

"Rachel." Entah kenapa dia jadi teringat pada sang istri. "Aku berharap kamu bertahan denganku, meskipun akan banyak orang yang memisahkan kita."

Sebelum menjadikan Rachel pilihan hatinya. Ramos sudah mengambil keputusan yang paling tepat, sebab ia tahu bahwa hubungannya dan Rachel akan ditantang oleh ribuan orang. Bukan dia tidak tahu, bagaimana kehidupan istrinya itu selama ini. Oleh sebab itulah, Ramos ingin memastikan bahwa kehidupan sang istri jauh lebih baik saat bersamanya. 

"Aku harus hati-hati. Jangan sampai Rania menyakiti Rachel dan calon anakku," gumamnya. 

Dalam hidup Ramos, ia pun tak pernah terpikir akan jatuh cinta Rachel, lalu melupakan dengan begitu saja perasaannya pada Rania.

"Hans!" 

Tidak lama kemudian Hans masuk ke dalam ruangan Ramos, seolah siap mendengarkan perintah dari tuan mudanya itu. 

"Iya, Tuan Muda. Ada yang bisa saya bantu?" Hans membungkuk hormat. 

"Malam ini aku akan bertemu dengan keluarga besar Rania. Persiapkan semua penjagaan karena aku akan membawa Rachel dan memberitahukan tentang pernikahan serta bayi yang ada dalam kandungan istriku!" titah Ramos dengan tatapan mata yang begitu tajam. 

Hans terkejut mendengar perintah dari tuannya itu. Apa Ramos tidak salah bicara? Apa benar dia akan mengatakan soal pernikahannya dan Rachel pada Rania? 

"Anda yakin, Tuan?" Hans menatap tak percaya, seakan ia meragukan perintah sang tuan. 

"Aku yakin dengan keputusanku, Hans. Dengan begitu, Rania tidak akan menganggu aku lagi," sahut Ramos. 

"Tapi, bagaimana jika nanti nona Rania malah menyakiti nona muda, Tuan?" 

Deg 

* * * 

"Kak, ini bagaimana?" tanya Rachel setelah keluar dari ruangan ganti. 

"Tidak! Itu terlalu terbuka, Sayang. Kamu tidak boleh pakai pakaian aneh seperti itu," tolak Ramos mengibaskan tangannya. 

Ramos sengaja mendatangkan tukang desainer yang akan merancang baju untuk mereka di acara malam nanti. Ia ingin memperkenalkan pada keluarga besarnya, bahwa Rachel adalah wanita yang dia pilih untuk menjadi pendamping hidupnya hingga usia menjemput.  

"Kakak, aku sudah lelah terus berganti baju dari tadi," protes Rachel mengeluh. Bagaimana tidak, kakinya sudah pegal gara-gara bolak-balik kamar ganti. Setiap baju yang dia coba, pasti tidak cocok dengan selera Ramos. 

Ramos tersenyum gemas. Sudah hampir lima kali istrinya itu berganti pakaian tetapi tidak ada yang cocok di mata lelaki itu. 

"Kakiku keram terlalu lama berdiri," renggek Rachel memijit-mijit betisnya. Apalagi sejak hamil, ia memang mudah sekali merasa lelah. 

"Sebentar, Sayang!" ucap Ramos. "Tolong, bawa ke sini baju-baju yang ku pesan tadi!" perintahnya kepada desainer yang sengaja dia datangkan dari luar kota. 

"Ini, Tuan!" 

Ramos mengambil salah satu baju tersebut dan menatapnya dengan senyum.

"Sayang, pakai ini saja!" perintahnya. 

"Itu baju apa, Kak. Kenapa seperti putri duyung? Bungkus saja wajahku sekalian!" protes Rachel mencebik kesal. 

"Pakailah, Sayang! Jangan membantah ucapan suamimu," ujar Ramos terkekeh pelan melihat istrinya yang menggerutu. 

Para pelayan yang ada di sana tersenyum gemas melihat kemesraan suami istri itu. Betapa beruntungnya Rachel diperlakukan bak ratu oleh Ramos, idaman semua wanita. Apalagi dinikahi pria kaya raya yang memiliki kekayaan hingga ratusan triliun. 

Rachel masuk lagi ke dalam ruangan ganti. Jika ini masih tidak cocok, maka dia akan mengamuk dan menjambak wajah suaminya. 

"Sebenarnya mau pergi ke mana sih? Kenapa aku harus pakai baju semewah ini?" protes Rachel. 

* * * 

Rania tersenyum menatap pantulan dirinya di depan cermin. Malam ini dia terlihat cantik dengan gaun mewah dan mahal dilapisi dahan mutiara asli, membungkus tubuh rampingnya. 

"Aku benar-benar cantik. Mana mungkin Ramos akan menolakku?" ucapnya penuh percaya diri. 

Rania kembali menyeringai licik. Ramos akan segera menjadi miliknya. Malam ini, akan dia buktikan pada lelaki itu bahwa Ramos akan menyesal karena sudah berani menunda pernikahan mereka. 

"Sayang!" Merry masuk ke dalam kamar sang istri. 

"Bu, bagaimana?" Rania memamerkan lekuk tubuhnya yang memesona di depan sang ibu. 

"Kamu benar-benar cantik, Sayang!" puji Merry berdecak kagum. "Ramos pasti akan terpesona sama kamu," sambungnya kemudian. "Dengan begitu, Ramos akan segera melamar kamu dan menikah denganmu. Kamu sebentar lagi akan menjadi nyonya Ramos!" Wanita paruh baya itu terkekeh, ada tawa sumbang yang keluar dari bibirnya. Padahal dalam hati dia benar-benar ingin menolak anaknya menikah dengan Ramos. Namun, demi menguasai kekayaan lelaki itu maka dia akan memberikan restu yang panjang. Bahkan tak sabar menjadi bagian dari kehidupan Ramos. 

"Tentu saja, Bu," sahut Rania. 

"Ayo, sebentar lagi mereka datang!" 

Malam ini, tanpa persetujuan dan pengetahuan Ramos, Ozawa dan Johan mengadakan acara pertunangan antara Ramos dan Rania. Tentu saja mereka tak memberitahu Ramos karena tidak ingin lelaki itu nantinya menolak. Sebagai seorang ayah dan mertua, mereka akan lakukan apa saja untuk kebahagiaan anak-anak mereka. Namun, tanpa keduanya ketahui justru itulah yang nanti akan melukai hati anak-anak yang mereka sayang.

Para tamu undangan tampak sudah berdatangan. Ada kolega bisnis Ozawa dan juga Johan di sana. Ada Merry dan Eliza yang tak sabar menjadi besan karena memang sejak dulu, mereka begitu menginginkan Ramos dan Rania menikah serta hidup bahagia seperti pasangan sempurna lainnya. 

Tak lupa Rania juga meminta para wartawan berdatangan untuk meliput hari bahagia itu. Sebagai seorang publik figur dan apalagi namanya memang sudah dikenal banyak orang, tentu Rania tak mau melewatkan hal yang membuatnya begitu bahagia. 

Ramos juga pria muda dan berpengaruh yang terkenal dalam kalangan dunia bisnis. Walaupun kondisi kakinya yang tak bisa berjalan seperti dulu, tetapi tidak menurunkan performa dan kepopuleran dirinya sebagai seorang pengusaha muda yang memiliki wajah tampan dan rupawan. 

"Ramos, lihatlah, Sayang. Ketika aku sudah bertindak, kamu tidak akan bisa menolak dan berbuat apa-apa," ucap Rania tersenyum melihat banyaknya tamu undangan serta para teman-teman sosialita yang berdatangan untuk sekedar memberikan ucapan selamat. 

Jauh di sana, tampak Johan tengah berbincang-bincang dengan lawan bisnisnya. Namun, pikiran dan tatapan matanya terlihat kosong seperti tak memiliki gairah atau semangat untuk acara pertunangan anak tirinya itu. 

"Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah. Ayah gagal menjadi orang tua. Maafkan Ayah juga yang sudah menghancurkan kebahagiaanmu. Ketahuilah Ayah menyayangimu, tulus dan sepenuh hati. Walaupun Ayah sendirilah yang menciptakan luka di hati kamu!" batin Johan. 

* * *. 

"Kakak!" Rachel merengut kesal. 

"Kenapa lagi, Sayang? Itu sudah bagus!" Ramos menahan tawa ketika melihat wajah kesal istri kecilnya. 

"Bagus dari mana? Kenapa tidak mata dan wajahku sekalian ditutup," protes Rachel mencebik. 

Bagaimana tidak? Pakaian yang di pilih suaminya sangat tertutup. Gaun sepanjang mata kaki dan dengan lengan panjang sampai pergelangan dan leher yang tertutup. Rachel menyebutnya baju putri duyung.  

"Anak kita sesak," sambungnya kemudian dengan wajah kesalnya. 

"Sudahlah, Sayang, jangan banyak protes. Pakai saja!" ucap Ramos tersenyum tanpa dosa. "Bayi kita masih kecil, bagaimana mungkin dia sesak di dalam sana?" Lelaki itu geleng-geleng kepala salut mendengar alasan tak masuk akal dari istri kecilnya. 

Rachel memakai gaun mewah pilihan suaminya. Walaupum bentuknya seperti putri duyung, tetapi Rachel tetap cantik saat memakai gaun tersebut. Rambutnya sengaja digerai indah. Poni depannya juga bertengger rapi. Sedikit jepit rambut ala-ala Korea ditempelkan pada rambut atasnya. Kalung, anting, serta gelang ikut menghiasi bagian tubuhnya yang lain. Tentu saja Ramos tak mau main-main dalam merias istrinya. 

Rachel benar-benar cantik. Wajahnya imut, polos dan juga menggemaskan. Maklum, masih mahasiswa kedokteran dan usianya juga baru menginjak 20 tahun. Tentunya aura kecantikan wanita itu begitu terpancar dan terlihat menggemaskan. 

"Kakak, apakah aku sudah cantik?" Rachel berlenggak-lenggok di depan sang suami. 

Ramos mematung melihat penampilan istri kecilnya. Dia tak berkedip dengan mulut terbuka lebar. Dia tak menyangka wanita itu adalah istrinya. Istri kecilnya. Istri mudanya. Usianya masih muda.

"Sayang, kita tidak jadi pergi saja," ketus Ramos. Entah kenapa perasaannya tiba-tiba tidak enak, seolah merasakan akan terjadi sesuatu. 

Seketika raut wajah Rachel berubah dengan kening mengerut heran. "Lho, memangnya kenapa, Kak?" tanya Rachel tak habis pikir. 

"Aku tidak sudi kamu dilihat banyak orang. Lagian kenapa kamu cantik sekali sih malam ini?" gerutu Ramos yang tak terima. Pasti di sana nanti akan banyak yang menatap istri kecilnya itu dengan damba dan penuh keinginan. 

Rasanya Ramos tidak rela membawa sang istri keluar takut jika banyak pria yang akan menatap perempuan itu dengan damba. Padahal ini hanya pertemuan dua keluarga yang tentunya tidak melibatkan banyak orang. 

Rachel menggelengkan kepalanya salut. Suaminya ini pencemburu akut. Andai saja Ramos bisa berjalan sudah pasti wanita itu akan dikurung dan tidak bisa ke mana-mana. 

"Iya sudah, ambil saja plastik dan bungkus wajahku, Kak," ujar Rachel malas. 

"Lain kali kalau kita mau keluar kamu tidak perlu cantik begitu. Jangan berdandan lebih bagus." 

Rachel mendelik mendengar ucapan suaminya. Luar biasa sekali pria yang dia juluki singa berdarah dingin itu. 

Rachel mendorong kursi roda suaminya untuk keluar dari kamar mereka. 

Hans dan para pelayan benar-benar terpesona dengan pasangan suami istri itu. Jika saja Ramos tidak lumpuh sudah pasti mereka akan dijuluki Couple Goals dengan sejuta pesona.

Sementara Ozawa dan Eliza sudah berangkat duluan sejak tadi sore. 

"Jangan menatap istriku seperti itu, Hans!" hardik Ramos menatap asistennya tajam. 

"M-maaf, Tuan." Hans dan para pelayan langsung menunduk takut dengan tatapan tajam Ramos. 

Di perjalanan wajah Ramos masih ditekuk pria itu terlihat begitu kesal. Bagaimana tidak kesal, assisten dan para pelayan laki-laki di mansionnya menatap sang istri dengan damba seakan ingin menerkam istrinya itu hidup-hidup.

Sumpah demi apapun, lelaki itu menyesal meminta istrinya merias diri. Jika dia tahu istrinya akan secantik itu lebih baik dia tidak usah saja merias Rachel.

Rachel mengigit bibir bawahnya menahan tawa. Suaminya kalau cemburu wajahnya tampak imut dan juga menggemaskan. 

"Kamu pasti senang 'kan karena ditatap damba oleh laki-laki?" tuding Ramos sambil melipat kedua tangannya di dada.

Wanita itu malah semakin tersenyum menggoda. Dia suka melihat wajah lelaki itu yang ditekuk kesal. Rachel tak canggung lagi menghadapi sifat suaminya yang cemburuan. Bukankah hal itu sudah biasa? 

"Cie cemburu?" ledek Rachel seraya menunjuk wajah sang suami. Lalu tertawa mengejek. 

"Siapa yang cemburu?" kilah Ramos memalingkan wajahnya melihat keluar jendela kaca mobil. 

Tubuh lelaki itu membeku ketika sang istri memeluknya dengan erat.

"Kakak Tenang saja. Sekalipun banyak pria normal yang bisa berjalan menyukaiku, hatiku takkan bisa dibagi karena sudah diborong habis oleh Kakak. Bagaimana bisa aku berpaling dari suami tampanku ini?" goda Rachel memeluk suaminya dari samping sambil dengan jahilnya dia mencolek hidung sang suami.

"Dasar gombal!" Ramos berusaha menahan tawanya. Wajahnya merah merona dan salah tingkah dengan ucapan istri kecilnya. 

"Biarin 'kan sama suami sendiri. Tidak dosa, 'kan?!" seru Rachel memeluk suaminya sambil bersandar di bahu suaminya itu.

Ramos tersenyum lalu mengecup ujung kepala istrinya. 

"Bertahanlah di sampingku, Sayang. Jangan pergi, apalagi hilang," ucapnya dalam hati. 

Ramos!" renggek Rania. 
🍁🍁🍁


Bab. 35 
ISTRI KECIL MILIK TUAN BISU 
"Ehm ...." Dinda menggumam panjang. Ia tak tahu apakah ia harus jujur atau tidak. Namun, ia memutuskan untuk menggeleng pelan. "Aku kenal sedikit dengan Daniel."

Kevin mengangguk kali ini. "Daniel bukan adik kandungku. Kami lahir dari ibu yang berbeda."

"Kayak aku dan Irish?" Dinda bertanya lagi.

"Nggak. Aku lahir dari istri sah papa. Tapi, ibu Daniel akhirnya berhasil menggantikan posisi mama," jawab Kevin.

Dinda ternganga. Yah, mereka berbeda. Kevin lahir dari istri sah. Sedangkan Dinda lahir dari r4 him pelayan yang kabarnya berhasil mengg0da tuannya di tempat kerja.

"Aku nggak bermaksud menghina," kata Kevin.

Dinda mengangguk. "Aku nggak tersinggung. Aku udah bilang, sebenarnya aku nggak tahu kalau aku anak orang kaya. Papa menjemput aku setelah Irish kabur. Aku hanya cadangan bagi papa."

Kevin menatap Dinda dengan ekspresi sedih. Ia tak menyangka Dinda hidup seperti itu. Ia sendiri tak memiliki kehidupan yang baik. 

"Aku minta maaf." Kevin membuat isyarat setelah mereka saling diam lagi.

"Kenapa?" tanya Dinda terkejut.

"Aku udah k4sar tadi. Aku udah menganggap kamu wanita yang haus uang. Aku cuma ... aku nggak mudah mempercayai orang baru," kata Kevin.

Dinda tersenyum. "Aku mengerti. Mas nggak perlu cemas. Aku sama sekali nggak peduli dengan harta benda."

Kevin mengangkat alisnya. Ia mulai menilai Dinda adalah gadis baik, tetapi ia belum bisa mempercayai gadis itu. Dinda bisa merasakan itu. Namun, ia yakin Kevin pasti akan mempercayainya suatu hari nanti. Sebab Dinda tahu Kevin bukanlah pria jahat. Kevin baru saja mengobati luka bakarnya. Bahkan membawakan makan malam. Padahal, itu tak perlu.

"Kenapa kamu tersenyum gitu?" tanya Kevin yang menyadari bahwa Dinda tengah nyengir.

"Aku tahu Mas adalah orang baik," ucap Dinda.

Kevin berdiri. Ia membuang napas panjang. "Kamu jangan mengira begitu. Kalau kamu mengharapkan sesuatu dari pernikahan ini, jangan. Aku udah bilang pernikahan ini nggak ada artinya kecuali karena urusan bisnis."

Dinda mengangkat bahunya. "Mungkin, kita nggak bisa jadi suami-istri normal. Tapi, mungkin kita bisa temenan."

Tubuh Kevin bergerak seperti orang yang tengah tertawa. Namun, tak ada suara yang keluar. "Aku nggak bisa temenan sama kamu."

Dinda mendecih. "Bisa, Mas hanya harus mencoba. Dan aku pasti akan jadi teman yang baik."

Kevin cemberut dan Dinda membalasnya dengan senyuman. Diam-diam, Kevin berdebar karena senyuman manis Dinda.

Note: Kevin bicara dengan isyarat, ya

Selengkapnya ada di aplikasi Innovel dan Dreame ya, Kak. Jangan lupa tap love! 

Dian Puspitasari
🍁🍁🍁


Bab 34 
Penghianatan Yang Dilakukan Kekasih dan Sahabatku Membuatku Akhirnya Membeli Pria Bayaran Dan Kami Menghabiskan Malam Indah Bersama Padahal Aku
Lyra mengedipkan matanya berkali-kali mencoba fokus pada ruangan tempat di mana dia bangun, ini bukan kamarnya sampai Lyra bingung dan tidak terbiasa dengan pemandangan yang disuguhkan setelah bangun tidur.

"Selamat pagi, Nona." 

Satu sapaan suara pria dari samping mengetuk halus gendang telinga Lyra. Wanita itu melirik ke samping tempat suara itu muncul dan dia baru menyadari ternyata dari tadi dia dipe-luk seorang pria, pantas saja dia merasa hangat dan nyaman sampai-sampai masih belum sadar kalau dia tidak memakai pakaian sama sekali.

Lyra beringsut menjauh sedikit dari Damian yang memeluknya. Dia menatap Damian sesaat setelah itu memejamkan matanya kembali mengingat kejadian tadi malam, Lyra memang ma-buk, tapi dia ingat semuanya.

"Selamat atas kelulusanmu," bisik Damian.

Pipi Lyra memerah, dia paham betul apa maksud Damian ditambah kekehan geli seperti mengejeknya yang belum pernah melakukan hal itu.

Lyra melupakan pert*ngkarannya dengan mantan sahabat dan mantan tunangannya kemarin, rasa s*kit itu langsung terobati dengan kehadiran Damian, tapi Lyra tidak sadar akan hal itu.

"Apa itu air yang disediakan untukku?" tanya Lyra, matanya menangkap segelas air putus di meja samping Damian.

"Iya ...," jawab Damian agak merasa aneh.

"Bisa tolong kau ambilkan?" mohon Lyra.

Damian tidak mengatakan apa pun dan langsung melakukan perintah Lyra, walaupun dalam hatinya bertanya-tanya seperti apa kepribadian wanita yang memesannya, dia terus membandingkan Lyra dengan wanita lain yang pernah memesannya.

'Kau terlalu sopan untukku,' batin Damian.

Dengan hati-hati Damian membantu Lyra duduk dan membiarkannya minum perlahan. Damian bisa melihat dari samping detail ukiran wajah Mira, sangat cantik dan masih sangat muda, itulah penilaian Damian.

"Terima Kasih ...."

Tangan Damian agak gemetar menaruh gelasnya kembali setelah mendengar itu, dia merasa aneh sekali dengan ucapan Lyra barusan, di hatinya langsung tertanam sesuatu yang mengganjal, bahkan Damian juga tidak bisa mengartikannya.

'Apa selama ini aku tidak pernah mendapatkan kata terima kasih ...? Ya, tidak pernah! Hanya wanita ini yang mengatakan hal itu,' ucap Damian dari dalam hatinya.

"Kau belum pergi?" tanya Lyra.

Damian menggeleng, mengulas senyumnya yang manis di hadapan Mira. "Waktuku belum habis, aku akan pergi nanti ketika waktuku sudah habis, masih ada 2 jam lagi," jawab Damian.

Lyra kembali menidurkan dirinya yang begitu lelah, matanya mulai memejam kembali.

"Nona ... waktuku masih banyak, jika kau menginginkannya lagi katakan saja," ucap Damian.

Lyra menggeleng pelan dengan mata yang masih terpejam. "Tidak, aku kelelahan, kau benar-benar monster," balas Lyra.

Damian terkekeh melihat balasan wanita muda yang tengah tiduran di sampingnya, baru kali ini ada wanita yang bicara dengannya seperti teman.

Lyra baru menyadari kalau hanya dia yang tel*njang sedangkan Damian sudah memakai celananya, Lyra menghela napas lelah takut untuk keluar dari r*njang.

"Nona ...." Damian mencoba memeluk Lyra dengan sangat lembut.

Lyra yang merasakan Damian menci-um pipinya berkali-kali merasa berdebar, menghabiskan malam dengan pria asing hanya karena emosi sesaat adalah ide gi-la yang tidak pernah terpikirkan olehnya.

Kecupan Damian menurun ke leher, membuat jantung Lyra semakin berdebar tidak karuan. Lyra membuka matanya dan memposisikan dirinya menghadap Damian.

"Kau tidak perlu melakukan lebih, aku sudah cukup puas," ujar Lyra.

"Baiklah, aku hanya akan mendekapmu sampai waktuku habis." Damian menyingkap lembut rambut yang menghalangi wajah Lyra kemudian memeluknya.

Tapi Lyra mendongakan kepalanya menatap Damian lekat, pria yang ditatap menyadari dan menatap Lyra balik.

"Ada apa?" tanya Damian.

"Siapa namamu ...?" 

Damian mengernyit tidak mengerti, semua hal pertama kali yang dia alami sekaligus bersama Lyra, dari mulai ucapan terima kasih, sopan dan kali ini hanya Lyra yang menanyakan namanya.

"Itu rahasia," balas Damian.

"Kenapa rahasia? Bukankah nama itu perlu diketahui dan tidak perlu dirahasiakan," keluh Lyra.

Damian terkekeh geli melihat respon yang menggemaskan dari Lyra. "Iya, rahasia. Ini rahasiaku, aku tidak akan memberitahukan namaku pada semua wanita yang memesanku," ungkap Damian.

Lyra merengut, padahal dia suka sekali mengobrol dengan Damian. Lyra merasa cocok dan juga merasa dekat padahal ini pertemuan pertama mereka.

"Bagaimana aku akan memanggilmu? Dan bagaimana aku akan mencarimu?" Tiba-tiba pertanyaan yang tidak seharusnya terlontar dari bi-bir Lyra.

'Bod*h! Memangnya kenapa aku harus mencarinya?' gerutu Lyra dalam hati.

"Kau begitu menyukaiku, ya? Tenanglah kau bisa datang ke sini karena aku selalu di sini tiap malam," jelas Damian.

"Lalu namamu siapa ...?"

Satu sentilan mendarat di dahi Lyra membuat sang empunya meringis kesakitan.

"Sudah aku bilang rahasia, kenapa mengotot sekali," ujar Damian disertai tawa renyah yang keluar dari mulutnya.

Setelah tawanya berhenti, Damian merasa jadi aneh dan mulai bertanya-tanya lagi, apa dia pernah tertawa seperti ini ke semua pelanggan sebelumnya?

"Waktuku sudah habis, Nona. Aku akan keluar." Damian menyingkap selimut yang menutupi kakinya dan menyambar bajunya di lantai.

"Setidaknya katakan padaku bagaimana harus bertemu denganmu lagi," protes Lyra.

"Aku sudah jelaskan, kau datang ke sini malam hari ...." Damian membuka pintunya perlahan.

Kemudian Damian berbalik menatap Lyra yang masih memegangi selimut di d*danya menutupi tubuhnya yang tak terbalut apa pun.

"Kau bisa mengatakan pada pela-yan di sini jika ingin bertemu denganku lagi ... Sebut saja aku nomor sembilan," ucap Damian.

"Tunggu—"

Dering telepon berbunyi bersamaan dengan bantingan pintu dari Damian. Lyra hanya bisa menghela napas lelahnya dan merutuki dirinya yang terlihat seperti sedang mengejar-ngejar pria baru dikenal.

"Telepon dari siapa, sih?!" gerutu Lyra.

Lyra menyambar ponselnya di samping dan segera mengecek nama yang tertera di layar ponselnya. Segera dia mengangkat dengan perasaan malas.

"Aku akan pulang nanti, tidak perlu bawel begitu, Pa."

***

Lyra berjalan tertatih-tatih merasakan sakit di bagian int*mnya, dia tidak tahu kalau rasanya akan sangat sakit seperti ini, bagian lututnya sangat pegal dan kakinya gemetar seakan tidak kuat menopang berat dirinya sendiri. Butuh waktu agak lama sampai dia masuk ke mobilnya.

"Hah ... br*ngs*k! Aku tidak pernah tahu kalau akan ses*kit ini!" gerutu Lyra sambil menutup pintu mobilnya.

"Nomor sembilan itu benar-benar luar biasa ... bagaimana ada pria seperti monters begitu yang sama sekali tidak merasakan lelah sama sekali."

Lyra tersenyum dalam pejamannya mengingat bagaimana dia menghabiskan malam penuh kenik-matan dengan Damian, tidak sadar Lyra menggigit bibirnya sendiri, terbayang menyentuh perut berotot milik Damian yang sangat mengg*da dengan ukiran sempurna.

"Astaga ... subuh-subuh begini pikiranku sudah kot0r!"

🍁🍁🍁


Bab 33 
MISTERI DESA TANPA SUARA AZAN 
Jalan setapak yang dilalui Wuri melintasi rumah orang tua Wuri bagian belakang. Sebenarnya lebih dekat, hanya saja, kondisi jalan yang jarang dilewati orang membuat jalan setapak tersebut ditumbuhi rumput dengan ketinggian sekitar tiga puluh sentimeter dan menyulitkan Wuri untuk melangkah.

Akhirnya, Wuri sampai juga dihlaman belakang rumah orang tuanya. Langkah Wuri seketika terhenti. Rumah orang tuanya tampak seperti tak berpenghuni. Rumput liar tumbuh di beberapa bagian teras belakang. Wuri meletakkan barang bawaannya, kemudian berkeliling mengitari rumah itu. Kini dia berada didepan rumah. Kondisinya lebih parah. Beberapa genteng tampak jatuh dilantai teras. Wuri berjalan mendekat dan mencoba mengucap salam. Tapi hasilnya nihil tak ada sahutan dari dalam rumah sama sekali.

Dia kemudian mengintip lewat jendela, sekalipun ada tirainya yang menghalangi, Wuri masih bisa melihat isi rumah melalui celah tirai yang tersibak. Barang-barangnya masih sama seperti delapan tahun silam, hanya saja lantainya sangat kotor dan dindingnya dipenuhi rumah laba-laba. Wuri mencoba membuka pintunya, ternyata terkunci. Wuri akhirnya memilih pergi dan kembali ke tempat dia menaruh barang bawaannya. 

Hatinya berkecamuk dan menyimpan banyak pertanyaan. Kemana bapak dan ibunya? Kenapa rumah kosong dan seperti lama tidak ditinggali? Padahal selama ini hampir tiap bulan Wuri mengirim surat dari pondok dan selalu dibalas. Lalu siapa yang membalas?

Wuri mengangkat barang bawaannya dan berjalan kearah rumah disamping rumah orang tuanya yang berjarak kurang lebih seratus meter. Rumah itu adalah rumah pakdhe dan budhenya. Kondisinya berbanding terbalik dengan rumah kedua orabgtuanya. Rumah pakdhe dan budhenya tampak lebih bagus dari terakhir Wuri melihatnya. Halamannya yang luas sangat bersih dan rapi. Pohon mangga yang dulu sering Wuri panjat, kini sudah besar dan tinggi, membuat suasana teduh dan sejuk. Apalagi di siang hari yang terik seperti sekarang.

Wuri memasuki teras rumah rumah besar itu dan mengetuk pintunya.

Tok ... tok ... tok.

"Assalamualaikum ! Pakdhe, Budhe ... "

"Iya ... sebentar," sahut seseorang dari dalam rumah. Terdengar suara langkah kaki menuju pintu.

Kriieettt ...

Pintu terbuka. Seorang perempuan paruh baya muncul dari dalam. Orang itu terbelalak menatap Wuri.

"Wuri? Kamukah itu, Nduk?"

"Iya, Budhe, ini Wuri."

Budhenya Wuri yang bernama Sumi itu memeluk Wuri, sesekali wajahnya menatap Wuri untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Sosok didepannya itu benar-benar Wuri, keponakannya yang sudah sangat lama tidak pulang. Budhe Sumi melepas pelukannya dan mengajak Wuri masuk rumah. Wuri disuruhnya duduk disalah satu kursi yang terletak di ruang tamu.

Budhe kemudian masuk ke dalam mengambil minuman dan kue untuk Wuri. Saat sendirian, Wuri memperhatikan sekeliling ruang tamu Budhe Sumi. Bentuknya masih sama, tetapi perabotannya sudah banyak yang berubah, termasuk kursi yang didudukinya. Sandarannya berupa ukiran naga seperti yang dia lihat digapura masuk desa tadi.

"Kapan kamu datang, Nduk?"

Pertanyaan Budhe Sumi membuat Wuri lupa soal ukiran naga.

"Iya, Budhe?"

"Kapan kamu datang?"

Budhe Sumi mengulang pertanyaannya, tangannya meletakkan nampan berisi dua cangkir teh hangat dan satu toples roti panggang.

"Baru saja, Budhe. Oh ya, apa ayah sama ibu pindah, kok, rumahnya sepi kayak nggak ditempati?"

"Lho, bukannya ayah dan ibumu menyusul kamu ke pondok?"

"Tidak ada, budhe. Sudah hampir tiga tahun Wuri tidak dijenguk sama ayah maupun ibu."

"Masa', sih Nduk?"

"Iya, Budhe, Wuri tidak bohong. Makanya Wuri pulang mau melihat keadaan ayah sama ibu langsung. Kalau surat, sih, hampir tiap dua bulan sekali ayah dan ibu mengirimnya untuk Wuri. Tapi, isinya ya cuma kabar biasa, tidak ada yang penting apapun, termasuk pindah rumah."

Budhe Sumi semakin heran dengan jawaban Wuri. Kini dia pindah duduk disamping Wuri. 

"Wuri, beberapa tahun yang lalu ada sebuah mobil pick up yang menjemput ayah sama ibumu, pas Budhe tanya mau kemana, kata kernetnya, mereka di charter sama ayah dan ibu kamu untuk pindahan. Ayah dan ibu kamu mau pindah disebelah pondok tempat kamu menuntut ilmu, gitu Nduk."

"Tapi, kok, ayah sama ibu tidak cerita apa-apa disurat yang mereka kirim. Lagi pula, kalau memang pindah dekat pondokan Wuri, kenapa ayah sama ibu tidak pernah menengok Wuri di pondok? Selama Wuri mondok, baru dua kali ayah sama ibu menengok, pertama pas mengantar aku mondok dan yang kedua pas aku sakit, kira-kira 2 tahun setelah ditengok yang pertama. Setelah itu ayah dan ibu tidak pernah lagi datang sama ibu, hanya suratnya saja yang selalu datang."

Wuri bercerita panjang lebar. Budhe Sumi mendengarkan dengan penuh keheranan. 

"Terus mereka kemana, Budhe?"

Wuri kembali bicara. Kini dia menanyakan keberadaan ayah dan ibunya.

"Budhe juga tidak tahu, Nduk."

"Terus Wuri gimana Budhe?"

Wuri tampak kebingungan dengan kenyataan yang dihadapi. Ayah dan ibunya sama sekali tidak punya saudara lain, selain Budhe Sumi. Budhe Sumi sendiri merupakan kakak dari ibunya. Wuri kini mulai terisak kecil. Harapannya bisa bertemu dengan orang tuanya, jauh panggang daripada asap.

"Sudah, Nduk. Jangan menangis, kamu boleh tinggal disini sesuka hatimu, sampai keberadaan ayah dan ibumu diketahui. Nanti kita pikirkan bersama apa jalan keluarnya, kita tunggu pakdhemu pulang."

Budhe Sumi mendekap Wuri didadanya. Tangannya mengelus pucuk kepala Wuri yang tertutup kerudung. Wuri sedikit tenang dipwrlakukan begitu baik oleh budhenya itu.

"Sekarang, kamu bawa barangmu ke kamar itu. Istirahatlah, kamu pasti lelah."

Budhe Sumi berkata lagi, tangannya menunjuk sebuah kamar yang berada disamping ruang tamu. Wuri menurut. Dia keluar untuk mengambil barang-barangnya dan membawanya masuk ke kamar. Dia kemudian menutup pintunya, selanjutnya dia membaringkan diri diranjang yang lagi-lagi, kepala ranjangnya berhias ukiran naga!.

Penulis : putrimimpi 
🍁🍁🍁

Bab. 32 
PERJUANGAN PAPUA MERDEKA
Tahun 1998 - 1999 tanah Apahapsili gempar nyata "PASUKAN KOTEKA". Derap langkah nan gagah perkasa tak tertandingi. Satu juta jumlah pasukan khusus yang dinamai "PASUKAN KOTEKA". Berkoteka dan Panah berikatan anakpanah di bahu kiri.

Tegap lurus dan gagah perkasa menggagap. Disiplin tingkat dewa tanpa harus menunggu dipanggil atau dipaksakan atau terpaksa melainkan kesadaran nurani adanya panggilan iman (keputusan iman nurani) demi Bangsa dan Negara Papua sejuta " PASUKAN KOTEKA" terbentuk dan siaga satu. 

Irama lagu yang dikumandangkan adalah "LASKAR KRISTUS MAJU, MASUKLAH PERANG..." (YESUS OTSI LALIG'-IPTEG TOG AWUL ULUG..). Roh dari lagu ini sungguh membakar semangat "PASUKAN KOTEKA" sekaligus semangat melayani "PASUKAN KEM" sehingga pagi, siang, sore, dan malam tidak pernah terasa capek, haus, lapar, mengantuk, bahkan tidak pernah menyerah justru "PASUKAN KEM" (Pasukan Perempuan) siap sedia dan setia senantiasa melancarkan layanan segala makanan serta minuman sehingga tetap hidup dikala itu. 

Saya salah satu kanak-kanak yang pernah menyaksikan betapa dasyatnya kekuatan dan semangat Roh nurani "PASUKAN KOTEKA" menyala-nyala. Lapangan terbang perintis Misionaris Apahapsili dijadikan menjadi tempat memamerkan kemampuan tempur. Tua-tua adat, Tokoh-tokoh adat, dan Ksatria-ksatria adat yang konon memiliki segudang pengalaman strategi perang telah bersatu dikala itu juga saking banyaknya pasukan lapangan 3 kilo meter sekalipun ditutupi masa "PASUKAN KOTEKA".

Dipangkatkan Pasukan Khusus karena "PASUKAN KOTEKA" merupakan sekumpulan Tetua-tetua adat, Tokoh-tokoh adat, dan Ksatria-ksatria adat yang konon adalah Pelaku strategi dan Pelaku perang gerilya. Memiliki ilmu alam dan penguasaan medan perang. Kini, kekuatan itu ditelan ruang dan waktu bersama usia mangkatnya orangtua yang berjiwa patriot Bangsa Papua juga berintegritas Merdeka. Itu inti dari perjuangan Papua Merdeka dari dan oleh "PASUKAN KOTEKA".
Berkaitan erat perjuangan Papua Merdeka dari dan oleh " PASUKAN KOTEKA" & "PASUKAN KEM" di Apahapsili, tentu foto berikut di bawah mengingatkan saya perjuangan murni dimasa Theys Hiyo Eluay sungguh semua ciptaan yang bernafas di atas tanah Papua ini berbicara turut andil dalam perjuangan Papua Merdeka. Setelah ditumbangkannya Pejuang Papua Merdeka ialah Theys H. Eluay, saat itupula segalanya menjadi senyap karena Roh kebangkitan nurani yang bernyala-nyala ikut dikuburkan bersama almarhum Theys. 

Hingga kini belum nampak sesosok Theys Hiyo Eluay di atas tanah Papua. Termasuk "PASUKAN KOTEKA" dan "PASUKAN KEM" lenyap bersama ruang dan waktu kematian tokoh revolusioner dan Bapak Papua Merdeka. 

Semoga kita tetap berjuang sampai Papua Merdeka karena Indonesia tidak seutuhnya bahkan tidak merdeka komprehensif. Foto berikut adalah mewakili semangat juang Papua Merdeka dari dan oleh "PASUKAN KOTEKA" & "PASUKAN KEM" Apahapsili. 

🍁🍁🍁

Bab. 31
TERIMA KASIH TELAH MERAWATKU...
Laki-laki Prancis ini waktu bayi dirawat dan diasuh oleh seorang PRT. Ketika ia sudah dewasa dan kaya ia kembali mencari pengasuh yang merawatnya 38 tahun lalu tersebut. Rupanya ia sangat terkesan dengan asuhan dan cinta kasih yang ia terima dari pengasuhnya tersebut.

 Alhamdulillah pria Prancis itu bisa bertemu kembali dengan pengasuhnya tersebut di Pantai Gading, Afrika Barat. Ia tentu saja sangat gembira. Ia lalu memberinya hadiah 10 juta Franc (sekitar 180 M) dan memberinya gaji bulanan sebagai rasa terima kasihnya telah dirawat, diasuh, dan dicintai dengan sepenuh hati sewaktu masih kecil.

Sungguh kisah tentang cinta kasih dan balas jasa yang indah dan menakjubkan. 

Saya jadi ingat cerita seorang teman yang bertemu dengan suami dan istri di Bandara Changi, Singapura. Suami dan istri tersebut sedang berlibur ke tiga negara, Singapura, Malaysia, dan Bangkok. Dan mereka dibiayai sepenuhnya oleh salah seorang mantan murid si istri yang dulunya guru SD.

Jadi kisahnya adalah Bu Guru SD ini pernah menolong seorang siswa yatim yang sangat miskin. Si anak sering tidak masuk dan kalau masuk selalu lemah dan tidak bisa konsentrasi. Ketika ditanya ternyata dia selalu kelaparan dan tidak selalu bisa makan setiap hari karena begitu miskin. Oleh gurunya ia pun selalu dibawakan sarapan dan setiap pulang sekolah diajak ke rumahnya untuk ikut makan siang di rumahnya. Si anak membalas budi dengan ikut membersihkan rumah atau mengerjakan apa saja yang bisa ia lakukan. 

Si Guru sering membawakan makanan, pakaian, atau apa saja kebutuhan si anak untuk dibawa pulang. Hal ini berlangsung terus sampai si anak SMA dan pindah ke Jawa karena dapat beasiswa. Mereka lalu putus hubungan.  

Ternyata si anak bisa melanjutkan sampai kuliah dan lulus lalu bekerja di Singapura. Karena prestasinya bagus ia lalu di pindah ke Eropa. Tidak lama kemudian ia memutuskan keluar dan mendirikan usaha sendiri. Usahanya berhasil dan ia jadi kaya raya . 

Begitu ia punya kesempatan untuk pulang ke Indonesia maka ia segera mencari ibu guru yang membantunya dulu. Sekaranglah waktunya untuk membalas budi kepada Ibu Guru yang telah menyayanginya sejak kecil tersebut. Berbagai macam hadiah telah ia berikan kepada Ibu Guru yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri itu. Liburan ke tiga negara itu hanya salah satu hadiahnya.

Saya selalu terkesan dengan kisah semacam ini karena itu membuat kita yakin bahwa kebaikan akan selalu membuahkan kebaikan, baik berupa materi atau pun dalam bentuk lain. Itu sebabnya saya selalu mengingatkan pada teman-teman guru agar selalu berbuat baik pada murid-muridnya, utamanya memang yang perlu diperhatikan dan perlu ditolong. 

Siapa lagi yang akan menolong, memerhatikan, dan menyayangi mereka kalau bukan para gurunya sendiri yang sudah seperti orang tua mereka sendiri di sekolah. Sekolah adalah ladang yang sangat besar untuk kita, para guru, untuk menanam benih kebaikan pada murid-murid kita. Tidak semua orang punya ladang luas untuk menanam benih kebaikan seperti para guru. Dalam hal ini para guru sangat beruntung dibandingkan dengan profesi lain. 

Balikpapan, 15 Juni 2024
Satria Dharma

🍁🍁🍁

BAB. 30 
TERNYATA ART YANG AKU GANGGU ITU BUKAN SEORANG GADIS, JANDA ATAUPUN BEKAS WANITA MALAM, TAPI DIA ADALAH JANTUNG ❤️ 
Ini hari ke dua puluh tiga setelah kejadian. Jantungku seperti dipompa laju mengetahui Elisa belum haid. Pikiranku semakin kacau, tidurku tidak nyenyak dan pola makanku pun tidak teratur. Bahkan tidak bernafsu walaupun sekadar ngemil.

"Jangan terlalu dipikirkan, Li. Santai." Pada saat jam istirahat, Randy datang dan mengajak keluar. "Jangan takut. Toh, yang tahu hanya aku seorang. Mana mungkin aku bocor? Atau barangkali kamu sudah tidak mempercayaiku?" lanjutnya.

"Bukan begitu. Kamu teman paling bisa dipercaya. Yang aku takutkan sebenarnya suami Elisa. Bagaimana jika dia tahu istrinya misalnya tiba-tiba hamil lantas menyebarkan pada semua orang? Kerugianku tak hanya kehancuran namaku, tapi itu berdampak pada perusahaan. Aku tidak siap kehilangan segalanya. Pusing aku," kataku panjang lebar.

"Haish, kamu itu!" Randy memakan suapan terakhirnya, minum lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi restoran tempat kami sekarang. "Buang jauh-jauh pikiran negatifmu. Semua yang kamu takutkan tidak akan pernah terjadi kecuali hamil atau tidaknya Elisa, aku tidak bisa menjamin. Tapi soal perusahaan, aku sangat yakin semuanya tetap akan baik-baik saja."

Aku masih diam dengan sejuta pikiran negatifku ketika Randy menyodorkan makanan di hadapan. Sejak kapan dia memesan itu?

"Ayolah, makan dulu. Jaga kesehatanmu," ucapnya.

"Aku tidak lapar."

"Aku sudah capek-capek memesannya untukmu. Kamu benar-benar tidak mau makan? Kalau tidak, kubuang saja ke tong sampah." Randy menarik piring itu dan mengangkatnya. Ia berdiri, siap membawa piring berisi makanan itu untuk dibuang. 

"Ya, sudah sini." Pada akhirnya aku memintanya dan makan sampai habis. Tak bisa dipungkiri, ternyata perutku sangat butuh.

"Bagaimana kalau Elisa kita bawa ke rumah sakit? Atau kamu bayar dokter datang ke rumah?" 

Aku menatap pada Randy. "Buat?"

"Buat apalagi kalau bukan untuk memeriksa Elisa?" 

Setelah berpikir beberapa detik, ya sepertinya ide Randy yang satu ini cukup menarik. Aku harus memanggil dokter ke rumah untuk memeriksa Elisa. Jadi, aku tak harus deg-degan menunggu hasil terlalu lama.

Begitu semua pekerjaan selesai, aku menemui dr. Farhana, memintanya memeriksa Elisa di rumah. Jam tujuh malam kami sampai di rumah. Pada dr. Farhana—dokter yang sering menangani keluargaku di rumah sakit—aku meminta ia duduk menunggu sementara aku memanggil Elisa di dapur.

"Kamu siap-siap sekarang. Ada dr. Farhana yang akan memeriksamu," kataku, memberikan perintah sekaligus memberitahu.

"dr. Farhana? Maksudnya? Sebentar Tuan." Ia tampak terkejut lalu dengan gerakannya yang lincah, ia mengotak-atik layar hape. 

Tak berselang lama hape ia serahkan padaku. "Maksud Tuan, dr. Farhana yang ini?"

Aku meraih hape tersebut, melihat foto yang ditunjuk dalam galerinya.

"Ya. Kamu kenal?" 

"Maaf, Tuan. Saya tidak ingin diperiksa dia. Maaf." Elisa berlari ke kamar dan menguncinya dari dalam. 

Ada apa? Kenapa Elisa seperti ketakutan?
Bersambung 

🍁🍁🍁

Bab 29 
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU 
"Mas, aku loyo banget. Tidur duluan, ya.”

“Iya, Sayang. Mas mau buru-buru balik kerja,” ucap Gito kepada sang istri sambil mengecup kening wanita yang tampak pucat pasi di pembaringan. 

“Kamu malam ini benar-benar dahsyat, Mas. Tenagaku habis-habisan. Kamu minum obat kuat?”

“Enggak, Sayang. Mas, pergi dulu, ya.”

“Kiss bibir, dong!”

Gito pun menuruti kemauan Dinda. Sesaat kemudian, sang istri telah tertidur pulas dengan bibir tersungging manis.

▪▪▪¤○°○¤▪▪▪
Jam 07.30 WIB

“Assalammu'alaikum!” Suara Gito membangunkan isterinya. Pria ini merasa keheranan, lampu teras masih hidup dan korden rumah masih tertutup.

‘Tok tok tok!’

“Assalammu'alaikum, Sayaaaang!”

Gito berjalan memutar ke samping rumah lalu mengetuk jendela kamar yang masih tertutup.

‘Tok tok tok!’

“Assalammu'alaikum, Sayaaaang!”

Beberapa saat menunggu, terdengar daun jendela dibuka.

“Wa'alaikumussalam, Mas?”

“Sayang, kok baru bangun? Tumben kesiangan. Sakit?”

“Badanku meriang. Mas bawa kunci, kan?”

“Ketinggalan di rumah Ibu, saat antar jamu sebelum berangkat kerja.”

Bukannya semalam Mas Gito masuk rumah dengan kunci itu? Ah, pasti mau godain aku ini, pikir Dinda dengan muka berseri.

“Ayo ke depan, Mas. Aku bukain pintunya,” ucap Dinda dengan senyum simpul mengingat percintaan mereka semalam yang menggelora.

Gito merasa keheranan dengan gelagat Dinda. Selain dilihat wajahnya pucat pasi, cara berjalan sang istri mengakang membuat Gito bertanya-tanya. Ada apa dengan istrinya?
Gito gegas menuju depan, Dinda bersandar di salah satu sisi kusen. Pria berseragam satpam ini menghampiri sang istri lalu meraba kening Dinda.

“Panas sekali,” ucap Gito lalu merangkul sang istri untuk diajak masuk.

“Gak apa, Mas. Aku senang, kok.”

“Sakit kok senang. Mas mandi dulu, habis itu kita ke dokter.”

“Aku kesiangan belum masak. Aku bikinin mie instan, ya?”

“Boleh kalo badan kamu masih kuat. Atau mampir ke warung sebelum ke dokter.”

“Ya, deh.”

“Sana, cuci muka dulu! Mas mau bikin kopi dulu, ngantuk.”

Dinda segera melangkah masuk kamar mandi, sedangkan Gito ke dapur menjerang air. 

“Gak usah lama-lama di kamar mandi. Tambah sakit entar.”

“Iya, Mas. Cuci muka doang ini.”

Tak lama kemudian Dinda telah keluar dari toilet. Gito sedang mengaduk kopi saat sang istri memeluknya dari belakang. Tubuh Gito ikut menghangat tertempel badan Dinda yang panas.

“Badan kamu panas banget, Sayang,” ujar Gito sembari berbalik dan memeluk tubuh Dinda.

Sang istri merapatkan kepala ke dada Gito.
Bau keringatnya kok lain, ya? tanya Dinda dalam hati sambil membuka kancing baju Gito lalu menciuminya kulit tubuh suaminya.
Kok aneh? Yang semalam bau kasturi gitu, ya, pikir Dinda masih terbayang permainan mereka semalam yang begitu menggairahkan.

Hingga berapa kali mereka melakukan, Dinda tak mampu mengingatnya. Tenaga terkuras dalam semalam. Permainan sang suami lain dari malam biasanya. Dinda tersenyum bahagia.

“Mas, mau minum kopi dulu. Habis itu mandi. Tuh, Mas udah bikinin teh hangat untuk kamu.”

“Makasih, ya, Mas.”

Mereka mengurai pelukan. Dinda duduk di kursi, sedangkan Gito berdiri. Mereka menikmati minuman hangat masing-masing. Kopi masih separo gelas, Gito segera beranjak ke kamar mandi. Ia tak ingin sang istri bertambah parah sakitnya.

Tak lama kemudian terdengar bunyi guyuran air dari dalam kamar mandi. Dinda beranjak pelan ke kamar untuk mengambil baju sang suami. Area pangkal paha terasa nyeri buat berdiri apalagi berjalan.

Akhirnya, dengan langkah tertatih-tatih bisa mencapai kamar dan berhasil membawa sebuah kemeja lengan pendek dan celana jeans. Sesampai depan pintu toilet, ia mengetuk pintu toilet.

“Mas, ini gantinya.”

Pintu toilet terbuka sedikit, Dinda segera mengulurkan baju itu. Ia kemudian kembali duduk melanjutkan meminum tehnya. Sekitar sepuluh menit kemudian, Gito telah keluar dengan badan lebih fresh. Bau sabun mandi menguar dari tubuh pria ini.

“Kok belum ganti baju, Sayang?” tanya Gito sambil duduk di samping sang istri. Ia lalu menyesap habis kopinya. 

“Habisin teh dulu. Mumpung masih hangat. Aku ganti baju sekarang.”

Dinda segera bangkit dengan berpegangan pinggir kursi. Tampak ia meringis. Gito yang tak tega melihat istrinya kesakitan lalu menggendong Dinda. Sesampai kamar tubuh sang istri dibaringkan di atas pembaringan. 
Nafsu kelakian Gito mendadak tersulut melihat ekspresi sang istri yang terlihat sangat menggairahkan tapi nurani melarang. Istrinya dalam keadaan sakit dan perlu segera diobatkan.

“Biar Mas yang ambilin baju. Pake yang mana?”
“Baju terusan motif bunga mawar, Mas.”

“Siap, Cantik.”
Gito segera menuju lemari pakaian lalu membuka pintunya. Tangan kekar pria ini sibuk memilah di antara tumpukan baju. Akhirnya menemukan baju yang diinginkan oleh sang istri. Sebuah sweater diambilnya juga dari gantungan baju. Gito melangkah ke arah Dinda lalu meletakkan kedua pakaian di kasur.

“Mas tinggal ke toilet bentar.”
“Iya, Mas.”

Gito keluar kamar lalu menuju toilet. Dinda pelan-pelan bangun lalu turun dari pembaringan dan segera berganti pakaian. Kini, ia berjalan keluar kamar menuju ruang tengah dan duduk menunggu suaminya. Gito keluar dari toilet dan menghampiri sang istri.

“Mau digendong Mas?”
“Enggak. Kayak bayi.”
“Ya, gak papa. Mumpung Mas masih kuat ini.”

Dinda hanya tersenyum lalu berusaha berdiri dan dibantu oleh Gito. Dengan dipapah oleh Gito akhirnya Dinda berhasil sampai di teras. Dinda mengulurkan kunci rumah kepada suaminya. Gito segera beranjak mengunci pintu. Mereka pun berangkat ke dokter dengan berboncengan. Sementara itu dari celah pintu rumah kosong yang keropos tampak bola mata besar mengintai pasangan barusan.
“Aaahhh!” Desahan penuh amarah terdengar dari dalam.

Tbc ....
Gimana kelanjutan cinta segitiga di antara mereka?
Ikuti akun: FB. CITRA RAHAYU BENING agar tak ketinggalan update cerita dan bab terbaru.

Baca selengkapnya di
KBM App: 
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU 
Author: CITRA AYU BENING 

Good Novel:
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU 
Author: Citra Rahayu 

🍁🍁🍁

Bab. 28 
SAHABAT SEJATI 
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, tinggalah dua orang sahabat bernama Budi dan Ani. Mereka sudah bersahabat sejak kecil, selalu bermain dan belajar bersama. Budi adalah anak yang ceria dan pemberani, sedangkan Ani adalah anak yang pendiam dan penyayang.

Suatu hari, Ani jatuh sakit dan tidak bisa sekolah selama berminggu-minggu. Budi merasa sedih dan kesepian tanpa Ani. Dia setiap hari menjenguk Ani dan membantunya mengerjakan tugas sekolah. Ani pun sangat senang ditemani Budi.

Suatu ketika, Ani dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa dia harus pindah ke kota lain bersama orang tuanya karena pekerjaan ayahnya. Ani sangat sedih dan tidak ingin berpisah dengan Budi. Budi pun berusaha menghibur Ani dan berjanji akan selalu menjadi sahabatnya meskipun mereka berjauhan.

Beberapa tahun kemudian, Budi dan Ani tumbuh menjadi dewasa. Mereka tetap menjalin komunikasi dan saling mendukung meskipun jarang bertemu. Budi menjadi seorang dokter yang berdedikasi tinggi, sedangkan Ani menjadi seorang guru yang penuh kasih sayang.

Pada suatu hari, Budi mendapat kabar bahwa Ani mengalami kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit. Budi segera bergegas ke kota tempat Ani tinggal. Saat bertemu Ani di rumah sakit, Budi melihat Ani sangat lemah dan pucat. Budi pun terus menemani Ani dan memberikan semangat kepadanya.

Berkat dukungan Budi dan doa dari banyak orang, Ani akhirnya pulih dari sakitnya. Budi dan Ani pun sangat bersyukur atas persahabatan mereka yang kuat dan tahan lama. Mereka berjanji akan selalu saling menjaga dan membantu satu sama lain, meskipun mereka telah menjalani hidup yang berbeda.

#Love

🍁🍁🍁

Bab. 27 
Ibu Pulang Dengan Senyuman Terindah
Ada pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku. Sebuah video berdurasi beberapa menit. Aku memutar video itu. Terlihat wajah yang sangat kukenal. Ibu.

Matanya terpejam, wajahnya terlihat tenang. Tampak ada senyuman kecil menghiasi bibirnya. Namun, ada yang aneh, ibu tidak bergerak. Tubuhnya terbaring di atas tandu, dikelilingi oleh petugas medis dan beberapa jamaah haji.

“Bu,” gumamku dengan suara parau, serta air mata yang mulai menggenang. Jantung ini berdebar kencang. Tangan ini gemetar, tak sanggup melanjutkan menonton video.

Ting!

"Assalamualaikum, Nak. Ini teman ibu. Ibumu baru saja berpulang ke rahmatullah setelah menyelesaikan tawaf. Mohon tabah dan kuat, ibu pergi dengan senyuman. Insya Allah husnul khotimal.”

Aku tak bisa membalas pesan tersebut. Tak bisa juga membendung air mata yang mulai membasahi pipi. Dalam hati berharap ada kesalahan. Berharap ini hanya sebuah mimpi buruk. Namun, saat video itu kembali diputar, kenyataannya semakin jelas. 

Aku meraih guling dan memeluknya erat, sembari membayangkan wajah ibu yang tersenyum. Senyuman yang sama yang menjadi saksi bisu dari kepergiannya dan tidak akan pernah kembali. Meski senyuman itu membawa ketenangan, tapi rasa sakit atas kehilangan begitu dalam.

Aku menarik napas panjang, mencoba sedikit menenangkan diri. Kemudian, menulis pesan balasan, meskipun ibu tidak akan pernah membacanya. 

“Waalaikumsalam, tolong sampaikan pada ibu, 

Terimakasih untuk segalanya. Terimakasih untuk pengorbanannya selama ini. Saad akan selalu mendoakan dan merindukan ibu. 

Bu, mohon sampaikan pada Allah, agar meridhoi Saad untuk bertemu dengan ibu di surga. Supaya Saad bisa melihat senyuman ibu. Bisa memeluk ibu dan bercerita di pangkuan ibu. 

Ibu sekarang pasti lagi bahagia. Jadi Saad tidak mau merusak kebahagian ibu dengan air mata. Saad sayang sama ibu.”

Aku meletakan ponsel di kasur, lalu berdoa. Memohon agar diberi kekuatan untuk menjalani hidup tanpa ibu. Aku tahu ibu sedang berada di tempat terbaik di sisi Allah, dengan senyuman terindah. Tapi, aku juga tahu kalau rasa rindu ini akan selalu ada. Sementara senyuman terakhir itu akan menjadi kenangan terindah yang menemaniku sepanjang hidup.
Sekian

🍁🍁🍁

Bab. 26 
Mendidik Revolusi Negeri yang Sejati 
Di sebuah desa kecil bernama Kita Lati, terdapat seorang guru yang bernama Budi. Budi bukanlah seorang guru biasa, melainkan seorang pendidik yang penuh semangat dan mempunyai visi besar untuk menciptakan revolusi sesungguhnya di negerinya.

Desa Kita Lati adalah desa yang penuh dengan nilai-nilai luhur, tetapi belakangan ini banyak anak-anak muda yang terpengaruh oleh budaya luar dan mulai melupakan akar budaya dan nilai-nilai luhur nenek moyang mereka. Budi merasa perlu untuk melakukan sesuatu agar anak-anak muda di desanya tidak melupakan identitas dan esensi sejati dari negeri mereka.

Setiap pagi, sebelum matahari menyingsing, Budi sudah berada di halaman sekolah dengan senyuman ramahnya. Ia tidak hanya mengajar mata pelajaran formal, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan rasa cinta tanah air kepada murid-muridnya. Budi percaya bahwa untuk menciptakan revolusi sesungguhnya, generasi muda harus memiliki pemahaman yang kuat akan sejarah dan budaya serta kecintaan kepada tanah airnya.

Melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler, Budi mengajak murid-muridnya menelusuri sejarah desa mereka, mempelajari kearifan lokal, dan mengembangkan keterampilan yang dapat berguna bagi masyarakat. Mereka belajar bercocok tanam, membuat kerajinan tangan berbahan alami, serta mendalami seni tradisional seperti tari dan musik daerah.

Semangat dan dedikasi Budi mulai membuahkan hasil. Anak-anak muda di desa Kita Lati pun mulai menyadari pentingnya melestarikan budaya dan nilai-nilai luhur nenek moyang mereka. Mereka menjadi lebih peduli terhadap lingkungan dan memahami

#Jiwaumumnetral
Eko-vinsent

🍁🍁🍁

BaB. 
25  TIAP ADA YANG MELAMAR, SELALU DIA YANG DILIRIK. KALAU AKU NGGAK LAKU, EMANG SALAHKU?
Maya menghirup banyak oksigen untuk menenangkan hatinya yang gusar, lalu berjalan santai menghampiri sepasang ibu dan anak itu.

'Kalian keterlaluan.'

Langkah Maya kian terdengar jelas di telinga Yuni dan Ardi. Keduanya yang awalnya asyik bercakap-cakap, seketika mengatupkan bibir, menoleh ke sumber suara. Sekilas Maya sempat melihat ada gurat kegugupan di wajah mereka.

"Eh, Nak Maya ... kamu mau kemana, Sayang?" 

Yuni berusaha menampilkan ekspresi biasa saja, sayangnya raut kikuk itu masih tetap terlihat.

"Mau beli gula ke warung seberang, Bik," balas Maya yang meredam bara dalam hatinya, ingin rasanya ia memaki. Tapi ini bukan waktu yang tepat.

"Loh ... kok, Bibi? Panggil Ibu sajalah. Sebentar lagi, saya 'kan, jadi Ibu mertua kamu, Nak." Yuni beramah tamah.

"Maaf Bik, Maya nggak terbiasa." Maya berusaha tersenyum. "Kalau begitu Maya permisi dulu Bik, Mas Ardi." 

Tak lupa ia menganggukkan kepala sebelum benar-benar meninggalkan keduanya. Mau bagaimanapun mereka adalah tamu di rumah ini. Ia haruslah bersikap sopan.

"Cih, sombong. Lihat, Bu. Modelan kayak gitu aja mau Ibu jadikan mantu. Padahal nggak ada bagus-bagusnya sama sekali dilihat dari mana pun," kata Ardi lirih. 

Maya masih bisa mendengar ucapan itu dengan jelas. Ia tak bisa membayangkan akan seperti apa jadinya, jika ia benar-benar menikah dengan pria semacam itu.

Yuni meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Hust ... tutup mulutmu!"

***

Semua orang telah berkumpul lagi di ruang tamu, termasuk Maya yang baru saja kembali dari dapur dengan membawa seteko penuh teh manis hangat. Mereka mulai bercengkrama kembali, membicarakan tentang kelanjutan rencana perjodohan.

"Sebelumnya Maya minta maaf. Bolehkah jika Maya berbicara sedikit?" 

Maya bertutur cukup kencang untuk menyita perhatian semua orang.

"Tentu saja boleh Nak Maya, banyak pun tak apa," balas Yuni ramah diselingi dengan tawa.

"Mau bicara apa, Nduk?" Bhanu menatap hangat Maya yang duduk di sampingnya.

"Begini Pak, Mbah, Bibik, Mas Ardi, dan Raras. Maya minta maaf sekali lagi, jika Maya ...." Maya menunduk.

"Kenapa Nduk?" Bhanu mulai tak sabar.

Maya menjatuhkan tatapannya ke karpet warna hijau yang menjadi alas tempat duduk di ruangan ini.

"Maya tak bisa melanjutkan perjodohan ini." 

Setelah menyelesaikan kalimatnya, ia pandangi satu per satu orang-orang di sekelilingnya yang tampak terperanjat.

"Kamu itu kenapa sih, Maya?" sentak Sastri yang marah. Ada pendar kecewa yang sangat kentara dari kedua bola matanya.

"Alasannya kenapa Nduk, bapak pengen tahu?" Meski bukan bentakan, tapi ucapan Bhanu dipenuhi penekanan. 

"Sejujurnya Maya tidak berkenan dengan alasan di balik niat Mas Ardi memperistri Maya. Maya sudah dengar semua pembicaraan Bibik dan Mas Ardi di teras tadi." Maya menatap lekat-lekat Yuni dan Ardi. 

Yuni terlihat kikuk, sedangkan Ardi sebaliknya. Pemuda itu berbalik menatap Maya dengan nyalang. Tak ada secuil pun rasa bersalah yang bersarang di wajahnya.

"Eee ... p-percakapan apa Nak Maya? Tadi, kita 'kan cuma mengabari sanak saudara saja. Nggak ngomong gimana-gimana tuh. Sepertinya kamu salah dengar yang berujung salah paham. Iya 'kan, Ardi?" Yuni menepuk bahu Ardi, berharap putranya turut membelanya. 

Sayangnya pria berpipi lebar itu justru bergeming.

Maya menatap ta j 4m keduanya. "Percakapan yang isinya tentang nikahi Maya, ambil warisannya, lalu c4mpakan." 

"Itu ... tadi cuma ...." Yuni mencoba beralasan, tetapi belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Ardi menyambar.

"Sudahlah, Bu. Perempuan kayak dia ada banyak. Ibu tak perlu merangkai kalimat indah untuk membujuk dia jadi mantu Ibu. Ardi nggak mau tidur sekasur dengan perempuan kayak gini, lihat wajahnya yang h4 n cur setiap hari, yang ada sakit mata Ardi. Bayangin dia jadi istri Ardi aja rasanya sudah merinding" Ardi memarahi ibunya yang begitu gigih menginginkan Maya.

"Ardi ...," bentak Yuni. Ia tak bisa membiarkan rencananya rusak begitu saja.

"Stop, Bu. Jangan Ibu teruskan membujuk dia, nanti jadi besar kepala. Dan kamu Maya, jangan sok kecakepan. Kamu pikir, aku suka sama kamu. Jawabannya adalah enggak." Ardi berbicara lantang di depan semua orang.

"Sebenarnya kalian ini ada apa?" Bhanu tampak kebingungan. Tadi setuju dan baru beberapa menit berlalu, Ardi dan Maya sudah berubah pikiran. "Setengah jam yang lalu semua pihak setuju dengan perjodohan ini. Kenapa sekarang mendadak berubah?"

"Bilang sama putri Bapak yang bu r uk rupa itu, bukan dia yang menolak saya, Pak. Tapi saya lebih dulu nggak srek sama dia. Jadi jangan sok cantik." Ardi menegaskan kembali.

Maya tertawa lirih sambil menutup bibirnya yang cukup berisi. Ternyata kemarahan Ardi lantaran gengsi. Gengsi telah ditolak perempuan bu r uk rupa seperti dirinya. Se bu r uk itukah sosoknya di mata orang pria itu? 

"Lalu mau kamu gimana Nak Ardi?" Dengan suara tenang, Bhanu meminta kejelasan.

"Ya kalau dijadikan istri, udah pasti saya memilih Raras," ucap Ardi jumawanya.

"Iiiih ... akunya yang ogah. Tunangan aku aja ganteng dan kaya. Kenapa aku harus banting setir nikah sama kamu, haaa?" Sontak saja Raras mendelik kesal. 

Bukankah bapaknya tadi telah mengatakan bahwa ia sudah memiliki tunangan. Kenapa Ardi nekat sekali berkata seperti itu?

"Kalau boleh tahu, apa di rumah Bu Yuni ada kaca?" 

"Maksudnya gimana ini, Pak Bhanu?" sambar Yuni yang heran. Saat anak-anak berseteru, Bhanu malah bertanya hal lain.

"Apa anak Ibu ini nggak pernah ngaca, dia seperti apa?" ucapnya pada Yuni. 

"Apa kamu tak memiliki kekurangan hingga kamu berani mengatai putriku dengan seenaknya? Ngaca kamu!" Bhanu menyentak Ardi dan melepaskan kedongkolan yang dipendamnya sejak tadi.

Pria paruh baya itu selalu sibuk bekerja dari pagi sampai petang hingga tak sempat memperhatikan keluarga. 

Ketika menyaksikan Maya di hi na secara halus dalam upaya perjodohan sebelumnya, ia tak berani melakukan pembelaan apapun. Tapi tidak untuk kali ini. Ardi sudah sangat kelewatan. Sastri, Raras, dan Maya bahkan sampai tercengang dengan perubahan sikap itu. 

"Mau tampan atau kaya bukan berarti boleh menghina. Lebih baik diri banyak berkaca agar tidak semena-mena. Sekarang saya minta supaya kalian pergi dari sini!" tegas Bhanu kembali.

Ardi begitu marah dengan perlakuan Bhanu. Pemuda berkumis tipis itu berani mer3ndahkan tapi amat tak suka bila ia sampai dir3ndahkan, seperti yang terjadi sekarang. Ardi pun berdiri, menghampiri Bhanu, mencengkram kerah orang yang tadinya sempat menjadi calon mertuanya.

Sedangkan tangan kiri Ardi mengep4l rapat. Ia ingin melayangkan sebuah ti n ju4n pada wajah Bhanu. Amarahnya kini tengah memuncak. 

Seolah siap meladeni sikap Ardi, Bhanu turut berdiri, membuat Ardi mendongak bila menatap Bhanu yang lebih tinggi. Meski tak lagi muda, Bhanu masih terlihat bugar dan juga kekar. Besar kemungkinan Ardi akan kalah telak jika sampai berke l4 hi dengan pria paruh baya itu. 

Akhirnya Ardi mengurungkan niatnya. Ia lepaskan cengkramannya pada Bhanu dengan kesal, mencoba pasrah akan pengusiran yang diberikan Bhanu padanya dan sang ibu.

Dengan gontai, ia bangkit, beringsut pergi diikuti Yuni. 

"Jangan harap kamu bisa mendapatkan jodoh untuk gadis bu r uk rupa itu, Bhanu. Ia tak akan laku," teriak Yuni, tak terima dengan perlakuan Bhanu pada putranya hingga tak lagi menyebut pria paruh baya itu dengan sebutan 'Pak'. Ia sangat jengkel.

"Maya akan kunikahkan dengan pemuda tulus yang jauh lebih baik dari putramu. Maya adalah gadis berhati baik. Kelak ia akan berjodoh dengan pemuda yang baik pula." 

"Untuk mewujudkannya, silakan tidur dulu, Bhanu," teriak lantang Yuni. "Kamu hanya bisa melakukannya dalam mimpi. Kamu bakal menyesal sudah menolak putraku. Dasar keluarga ang kuh."

"Pergi kalian!" pekik Bhanu lagi.

Ardi dan ibunya mulai berjalan menuju pintu utama. Namun, suara kencang seseorang dari teras rumah tiba-tiba menghentikan langkah mereka.

"Tunggu! Apa seperti ini caramu memperlakukan tamumu, Bhanu?" Semua orang menatap sang pemilik suara.

***
 Sudah TAMAT di KBM App.
 Judul : MENDADAK JADI KEMBANG DESA
Penulis : MyaRira

🍁🍁🍁


Bab. 24 
AYAH LANTARKAN ANAKNYA SEJAK BALITA 

Seorang teman saya adalah anak yang ditelantarkan ayahnya sejak balita.
Ibunya berjuang membesarkannya dengan susah payah jadi buruh cuci dan tani. Dia pun sering ikut membantu ibunya. Waktu SMP, ibunya meninggal dunia. Dia pernah mencoba menemui ayahnya yang tinggal di daerah lain. Tapi ayahnya tidak mau menerima karena sudah punya istri dan anak lagi.

Dia disuruh pulang ke rumah ibunya. Sejak itu dia berhenti sekolah dan memilih jadi buruh tani di kampungnya dan hidup dalam keadaan serba kekurangan. Sampai mandi dan mencuci saja di sungai dan tidak pernah pakai sabun. Tapi karena ada program paket B dan di desanya, dia bisa meneruskan SMP.

Setelah lulus paket C, dia mencoba peruntungan melamar kerja dan diterima menjadi cleaning service. Kehidupannya mulai lebih baik. Sampai dia dapat lowongan kerja di tambang, bisa punya rumah sendiri, lalu menikah di usia 35an.

Tiba2, ayahnya datang dan menginap. Katanya cerai dengan istrinya dan diusir, karena rumah yang ditempati adalah rumah istrinya. Sebagai anak, tidak masalah ayahnya menginap. Tapi ternyata tidak pulang-pulang. Sedangkan istrinya agak risih dirumah bersama mertuanya yang tidak bekerja.

Jadi dia coba bicara pada ayahnya. Tapi ayahnya tidak terima dan bilang, mau tinggal disana karena harta anak adalah harta orang tua juga.

(Salah satu komentar di postingan saya)

.

Banyak kejadian begini? Banyak. Di mana kalau si anak ini menolak bapaknya pasti akhirnya dapat cap anak durhaka oleh orang-orang di sekitarnya. Apalagi kalau bapak/ibu yang menuntut diurusi ini modelan playing victim. Jual cerita sedih kemana-mana dengan tujuan orang-orang menghakimi anaknya. 

Sudahlah kecilnya nggak diurus, nggak dapat kasih sayang dan pendidikan yang layak, setelah dewasa dihakimi masyarakat pula. Terkesan tak adil, tapi banyak yang mengalami ini. 

Nah, tapi Tuhan tetap maha adil. 

Pernah kah terlintas pertanyaan kenapa orang tua yang menelantarkan anak, biasanya di masa tua seperti dipaksa keadaan kembali menemui anak yang ditelantarkannya? 

Karena itu adalah obat bagi si anak. Sesuai dengan keadilan Tuhan.

Kembalinya orang tua ke anak itu adalah obat dari segala luka-luka si anak di masa lalu. Bisa jadi orang tua yang kembali pulang benar-benar menyesal, tapi jika tidak menyesal pun, dia sedang membawa hadiah jalur langit untuk anak yang dilukainya. 

Awalnya pasti terasa pahit bagi si anak karena seakan dipaksa memaafkan, apalagi saat dia terpaksa mengurus orang tua yang sudah melukainya. Tapi kalau dia akhirnya mampu memaafkan dan ikhlas merawat, percaya deh, Tuhan akan mengangkat derajat si anak (dengan kelimpahan materi dan kebaikan) setelah kepergian orang tuanya. Bahkan bisa jadi sebelum orang tuanya meninggal dunia. 

Saya sudah melihat teman/saudara/orang yang saya kenal, diangkat derajatnya karena sempat mengurus orangtua/mertua yang dulu kurang baik dengan ikhlas. Saya yakin di luar juga sudah banyak contohnya. 

Jadi haruskah seorang anak dipaksa memaafkan orang tuanya? Bagaimana kalau lukanya terlalu dalam yang bahkan untuk melihat wajah orang tuanya saja dia sudah nggak sanggup?

Memaafkan kesalahan orang tua (atau orang lain) bukan berarti harus kembali berdekatan dan sering berinteraksi dengan orang tersebut. Maafkanlah mereka demi kedamaian batinmu sendiri. Karena kalau kita terus menerus memupuk kebencian dan dendam, yang sakit adalah hati dan pikiran sendiri. Yang nantinya akan mengundang berbagai penyakit dalam tubuh, juga akan menghambat rasa syukur dan bahagia dalam diri. 

Terhambatnya rasa syukur dan kebahagiaan, akan memancing hal-hal negatif dalam hidup, seringnya kesialan, penyakit berat dan tersendatnya rezeki. 

Ituh. 

🍁🍁🍁


Bab. 23 
CERITA LITERASI BERSAMA ALAM
Post: Eko-vinsent
Dongeng: "Si Eko-vinsent dan pelindung alam yang Membawa Makna"

Di sebuah hutan yang lebat dan hijau, tinggallah tuan tanah kecil bernama Eko-vinsent. Eko-vinsent adalah pelindung yang yang ceria dan senang bersahabat dengan semua makhluk hutan. Namun, suatu hari, musim kering panjang datang, mata air di hutan kering, dan semua makhluk hidup di hutan menjadi kelaparan.

Eko-vinsent yang peduli dengan keadaan tersebut memutuskan untuk pergi menemui Penguasa Alam, yaitu Raja Hujan pelindung alam keramat, untuk memohon agar hujan segera turun dan menghidupkan kembali hutan yang kering itu. Dengan tekad yang bulat, Eko-vinsent pun memulai perjalanan panjangnya ke istana Raja Hujan pelindung alam tanah keramatnya.

Selama perjalanan, Eko-vinsent bertemu dengan berbagai makhluk hutan lainnya -- dari burung hingga kupu-kupu. Setiap kali bertemu, Eko-vinsent pikiran pengetahuan muncul bercerita tentang kondisi hutan yang kering dan meminta mereka agar juga ikut berdoa agar hujan turun segera. Semua makhluk hutan bersimpati dan turut mendoakan Eko-vinsent dalam perjalanannya.

Akhirnya, setelah melewati ujian dan rintangan yang berat, Eko-vinsent sampai di istana Raja Hujan pelindung alam tanah kerabat. Dengan hati yang penuh harap, Eko-vinsent memohon kepada Raja Hujan pelindung alam untuk mengirimkan hujan ke hutan yang kering itu. Raja Hujan yang bijaksana mendengarkan permohonan Eko dengan penuh perhatian.

Raja Hujan tersenyum pada Eko-vinsent, lalu berkata, "Eko, kamu telah menunjukkan keberanian dan kepedulianmu terhadap alam dan makhluk-makhluk di dalamnya. Karena itu, aku akan mengirimkan hujan yang penuh berkah ke hutanmu."

Tidak lama kemudian, awan hitam mulai menggelapkan langit, petir menyambar, dan hujan pun turun dengan derasnya.

#Jiwaumumnetral
Eko-vinsent

🍁🍁🍁


Bab. 23 
KISAH NYONYA BESAR DAN BUDAKNYA
Dahulu pada tahun 1678 di Batavia (Jakarta) telah hidup keluarga  Van Mook, Ia merupakan Jaksa, ia juga mempunyai seorang Istri dan seorang Budak bernama Anthony yang berasal dari Ambon. 

Pada suatu hari, ketika Anthonya sedang rebahan dihalaman rumah Majikannya, ia dibangunkan oleh Margarita, Sang Nyonya rupanya mengagumi ketampanan Anthony, dengan alasan ingin curhat, Nyonya besar itu kemudian mengajak Anthony masuk ke kamar sang Nyonya. Anthony dipaksanya untuk menemaninya tidur.

Margarita sendiri merupakan seorang Belanda yang kesepian, sebab suaminya yang bekerja sebagai Jaksa itu sibuk dengan urusannya sendiri tanpa mempedulikan Margarita, oleh karena itu Margarita kemudian melampiaskan kesepiannya itu pada Anthony.

Setelah dimasukan kedalam kamar Majikannya, Antony seperti gemetaran, takut akan terjadi hal yang tidak-tidak, sebab bagaimana umumnya waktu itu, seorang budak yang beranai memasuki kamar istri tuannya bisa dihukum gantung, apalagi menidurinya.

Tapi Nyonya Margarita rupanya sudah kalap, ketika Anthony diperintahkan untuk menjamahnya, Anthony hanya mematung dan ketakutan, Anthony dibentank, bahkan kata-kata kotor keluar dari Margarita. Sang Nyonya bahkan mengancam, jika Anthony tidak mau melayaninya dalam hubungan badiniyah, maka ia akan membuangnya ke Tanjung Harapan. Sebaliknya jika ia mau melayani sang Nyonya, ia akan mendapatkan sirih, anggur dan sepuluh gobong emas.

Sejak saat itu, hubungan Badaniyah antara Margarita dan Anthony dilakukan berulang-ulang dikala sang Nyonya menginginkannya, bahkan Anthony harus memenuhi segala hasrat Margareta kapanpun ia mau, siang atau malam. Tapi was-was selalu menghantui Anthony, ia takut ditembak tuannya van Mook jika ketahuan.

Rasa was-was dan tidak nyaman yang dirasakan oleh Anthony membuatnya gundah, ia bahkan pernah mengutarakan rencana pembunuhan Margarita pada gundiknya, namun lagi-lagi ia merasa takut. 

Begitulah mental budak waktu itu, lemah dan tidak berdaya. Yang hanya mereka pikirkan adalah besok bisa hidup atau tidak, besok akan dibuang atau dijual tuanya atau tidak, begitulah fikir dari seorang Budak.

Suatu hari Van Mok muntah-muntah, seperti keracunan setelah memakan hidangan sarang burung yang disuguhkan Anthony, mendapati hal ini Anthony merasa was-was, ia takut Nyonya Margarita merencanakan pembunuhan Van Mook dengan menggunakan tangannya, ia kemudian memutuskan untuk melarikan diri ke Banten, ia melarikan diri ke wilayah Kesultanan Banten yang kala itu belum ditaklukan VOC dengan bekal ratusan gobong uang emas yang ia dapat dari hasil melayani nafsu Nyonya Margarita.

Setelah sampai di Banten, Anthony kemudian memberikan  Uang Gobong emas kepada Raja Wangsa Pati di Banten untuk meminta perlindungan, Raja Wangsa ini merupakan salah satu pejabat kesultanan Banten. Namun untuk memenuhi syarat-syarat perlindungan dari Banten, Anthonya harus menceritakan kronologis pelariannya ke Banten. Di Banten inilah kemudian kisah pemersan yang dilakukan oleh Margarita kepadanya dituliskan, sebagai bahan pembelaan. 

Meskipun alasan Anthony sudah lengkap dan dituliskan oleh Raja Wangsa Pati, ia diharuskan memiliki seorang saksi, dan membuat surat pernyataan dari saksi, mendapati tuntutan harus adanya seorang saksi, kemudian Anthony berniat kembali ke Batavia mencari saksi, namun belum sampai menemukan saksi, ia kemudian di tangkap Belanda.

Van Mook kemudian memenjarakan Anthony, ia dipenjara di daerah pembuatan garam. Van Mook yang sebagai seorang Jaksa itu kemudian juga meminta Anthony di Introgasi.

Micahhel Slomons, seorang serdadu penjaga memaksa Anthony untuk buka mulut, serta harus mengakui segala keslahannya, karena telah melarikan diri dan dianggap melakukan pencurian dan rencana merancuni tuan Mook. Tapi Anthony menjawab lantang.

“ Baik, jika tuan mau mendengar kebenaran dari mulut saya, ambil tinta dan pena. Saya akan mengakui semuanya meski saya harus mati karenanya”.

Begitulah akhir ceritanya, setelah pengakuan Anthony yang juga dituliskan dalam hasil Intrograsi Serdadu VOC Belanda itu dilaksanakan, tidak diketahui nasib Anthony selanjutnya, apakah ia dibunuh atau dibuang.

Kisah di atas, dapat anda baca pada buku karya Henk Nemije, yang berjudul Batavia enn KolonieeSamleving in de 17 deww. Balans:  Amsterdam. hlm 297

🍁🍁🍁


Bab. 22 
Aku digauli seolah telah dijual kepada CEO itu
Tubuh gadis itu tersentak, saat lelaki yang telah menjadi suami nya itu kini menggauli nya. 

Ia hanya bisa bergetar sembari mengeluarkan lenguhan kasar, sebab tubuhnya yang saat ini telah di sentuh sempurna oleh sang Suami. 

"Ash... Ja-jangan mas!"

"Jangan apa? Kau adalah istriku, sudah sewajibnya kau melayani diriku Lina!" ucapnya kini tampak menggertak. 

"Lagi pula aku telah membelimu dari ayahmu, dulu saat aku lumpuh memang aku seolah tidak mengharapkan mu tapi kini, kau adalah milikku!"

Lina hanya bisa pasrah, saat kini pakaiannya di buka total oleh sang suami, hingga tubuh mulus nanti indah kini terpampang nyata. 

"Saat aku buta memang aku tidak bisa melihat tubuh indahmu ini, tapi sekarang aku bisa menikmatinya dengan puas!"

"Ah... Mas Rafael!"

"Terus sebutkan namaku, yang keras sayang! Aku menyukainya!" 

Ia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah menjadikan diri istri yang patuh terhadap suami. 

"Aku ikhlas mas, jika ini semua demi kebahagiaan mu!"

"Tentu, memuaskan suami adalah kewajiban seorang istri! Lagi pula kau menikah denganku dulu yang buta dan lumpuh karena hartaku bukan?"

"Tidak mau, aku menikahimu karena lillahi taala, bukan karena uang itu."

"Halah omong kosong, wanita sepertimu ini sama saja dengan yang lainnya! Hanya menginginkan hartaku saja bukan! Dasar munafik! Lepas saja jilbab mu kau berlagak sok suci padahal sifat mu amat buruk!"

"Astaghfirullah mas, aku sama sekali tidak seperti itu! Bahkan jika kau ingin aku mengembalikan mahar itu, aku akan mengembalikan mahar itu sekarang juga!" ucapnya dengan air mata yang mengalir. 

Semua Orang Semua Orang

🍁🍁🍁


Bab. 21 
KISAH NYONYA BESAR DAN BUDAKNYA
Dahulu pada tahun 1678 di Batavia (Jakarta) telah hidup keluarga  Van Mook, Ia merupakan Jaksa, ia juga mempunyai seorang Istri dan seorang Budak bernama Anthony yang berasal dari Ambon. 

Pada suatu hari, ketika Anthonya sedang rebahan dihalaman rumah Majikannya, ia dibangunkan oleh Margarita, Sang Nyonya rupanya mengagumi ketampanan Anthony, dengan alasan ingin curhat, Nyonya besar itu kemudian mengajak Anthony masuk ke kamar sang Nyonya. Anthony dipaksanya untuk menemaninya tidur.

Margarita sendiri merupakan seorang Belanda yang kesepian, sebab suaminya yang bekerja sebagai Jaksa itu sibuk dengan urusannya sendiri tanpa mempedulikan Margarita, oleh karena itu Margarita kemudian melampiaskan kesepiannya itu pada Anthony.

Setelah dimasukan kedalam kamar Majikannya, Antony seperti gemetaran, takut akan terjadi hal yang tidak-tidak, sebab bagaimana umumnya waktu itu, seorang budak yang beranai memasuki kamar istri tuannya bisa dihukum gantung, apalagi menidurinya.

Tapi Nyonya Margarita rupanya sudah kalap, ketika Anthony diperintahkan untuk menjamahnya, Anthony hanya mematung dan ketakutan, Anthony dibentank, bahkan kata-kata kotor keluar dari Margarita. Sang Nyonya bahkan mengancam, jika Anthony tidak mau melayaninya dalam hubungan badiniyah, maka ia akan membuangnya ke Tanjung Harapan. Sebaliknya jika ia mau melayani sang Nyonya, ia akan mendapatkan sirih, anggur dan sepuluh gobong emas.

Sejak saat itu, hubungan Badaniyah antara Margarita dan Anthony dilakukan berulang-ulang dikala sang Nyonya menginginkannya, bahkan Anthony harus memenuhi segala hasrat Margareta kapanpun ia mau, siang atau malam. Tapi was-was selalu menghantui Anthony, ia takut ditembak tuannya van Mook jika ketahuan.

Rasa was-was dan tidak nyaman yang dirasakan oleh Anthony membuatnya gundah, ia bahkan pernah mengutarakan rencana pembunuhan Margarita pada gundiknya, namun lagi-lagi ia merasa takut. 

Begitulah mental budak waktu itu, lemah dan tidak berdaya. Yang hanya mereka pikirkan adalah besok bisa hidup atau tidak, besok akan dibuang atau dijual tuanya atau tidak, begitulah fikir dari seorang Budak.

Suatu hari Van Mok muntah-muntah, seperti keracunan setelah memakan hidangan sarang burung yang disuguhkan Anthony, mendapati hal ini Anthony merasa was-was, ia takut Nyonya Margarita merencanakan pembunuhan Van Mook dengan menggunakan tangannya, ia kemudian memutuskan untuk melarikan diri ke Banten, ia melarikan diri ke wilayah Kesultanan Banten yang kala itu belum ditaklukan VOC dengan bekal ratusan gobong uang emas yang ia dapat dari hasil melayani nafsu Nyonya Margarita.

Setelah sampai di Banten, Anthony kemudian memberikan  Uang Gobong emas kepada Raja Wangsa Pati di Banten untuk meminta perlindungan, Raja Wangsa ini merupakan salah satu pejabat kesultanan Banten. Namun untuk memenuhi syarat-syarat perlindungan dari Banten, Anthonya harus menceritakan kronologis pelariannya ke Banten. Di Banten inilah kemudian kisah pemersan yang dilakukan oleh Margarita kepadanya dituliskan, sebagai bahan pembelaan. 

Meskipun alasan Anthony sudah lengkap dan dituliskan oleh Raja Wangsa Pati, ia diharuskan memiliki seorang saksi, dan membuat surat pernyataan dari saksi, mendapati tuntutan harus adanya seorang saksi, kemudian Anthony berniat kembali ke Batavia mencari saksi, namun belum sampai menemukan saksi, ia kemudian di tangkap Belanda.

Van Mook kemudian memenjarakan Anthony, ia dipenjara di daerah pembuatan garam. Van Mook yang sebagai seorang Jaksa itu kemudian juga meminta Anthony di Introgasi.

Micahhel Slomons, seorang serdadu penjaga memaksa Anthony untuk buka mulut, serta harus mengakui segala keslahannya, karena telah melarikan diri dan dianggap melakukan pencurian dan rencana merancuni tuan Mook. Tapi Anthony menjawab lantang.

“ Baik, jika tuan mau mendengar kebenaran dari mulut saya, ambil tinta dan pena. Saya akan mengakui semuanya meski saya harus mati karenanya”.

Begitulah akhir ceritanya, setelah pengakuan Anthony yang juga dituliskan dalam hasil Intrograsi Serdadu VOC Belanda itu dilaksanakan, tidak diketahui nasib Anthony selanjutnya, apakah ia dibunuh atau dibuang.

Kisah di atas, dapat anda baca pada buku karya Henk Nemije, yang berjudul Batavia enn KolonieeSamleving in de 17 deww. Balans:  Amsterdam. hlm 297

Repost by. Febi Silawingastara

🍁🍁🍁


Bab 20 
KISAH HIDUP JHON RAMBO
Akhirnya produser setuju dan menjadikan Sylvester Stallone tokoh utama dalam film tersebut, namun hanya dengan bayaran $20.000 untuk naskah cerita ditambah $340 perminggu sesuai upah minimal seorang aktor. Setelah dipotong biaya-biaya, komisi agen, dan pajak, ia hanya mendapat penghasilan bersih $6.000 bukannya $325.000

Ini adalah kisah sylvester stallone atau bisa disingkat “sly”. Sly sadar, setelah 1500 kali penolakan, naskah film Rocky yang dibuatnya mungkin satu satunya pintu gerbang untuk menjadi peran utama, karena itu ia tidak mau melepas peran Rokcy untuk orang lain.

Sekalipun ber-budget rendah US$1.000.000 dan dibintangi aktor tidak terkenal saat itu, yaitu Sylvester Stallone sendiri, film ini meledak di pasaran dan menghasilkan uang senilai US$ 200.000.000 atau 200 kali lipat

Dari film Rocky yang dibintanginya, Sylvester Stallone dinominasikan meraih Academi Award sebagai aktor terbaik. Film tersebut memenangkan tiga Oscar untuk film terbaik, sutradara terbaik dan skenario film terbaik.

Setelah Rocky, kesuksesan terus mengiringinya selama beberapa dekade ke depan. Ia kembali sukses menjadi ikon action movie dalam karakter Rambo. Pemuda keturunan itali ini menjadi ikom machismo (kejantanan) dalam film action Holywood.

Ia menjadi aktor pencetak box office terbesar didunia sepanjang tahun 1970 sampai 1990. Serial Rocky (Rocky 1-5) dan Rambo (1-4) meraih hampir US$1 miliar, dan menjadikan Stallone seoarng bintang film internasional termahal.

Apa yang dicapainya kini merupakan buah keteguhannya mempertahankan mimpi untuk menjadi bintang film. Seandainya ia merelakan naskah Rocky dibintangi orang lain mungkin ia mendapat US$325.000 untuk naskahnya tapi ia kehilangan peluang, yang mungkin satu-satunya, untuk menjadi bintang utama.

Tentang penolakan yang dialaminya ia berkata :

….saya anggap penolakan seperti orang meniupkan terompet di telinga untuk membangunkan kita bukan untuk mundur.

By. Kaki Abu

🍁🍁🍁

Bab. 20 
SI KRIBO HITAM MANIS
Carita dari PNG
Usianya mendekati separuh baya, rambut talingkar kribo, sebuah noken Papua Nieuw Guinea (PNG) menggantung di lengannya.
Dandanannya sederhana namun rapih, ia memancing metaku untuk tidak beralih darinya. Di stasiun kereta Helmond Centraal Kota Helmond, di Negeri Kincir Angin.

Seolah ada kontak batin matanya pun tertuju pada sa. Dan dia pun tersenyum manis. Dia cantik, sa pu hati berbisik kagum. Jujur saja sa penasaran dan kagum.

Saat melihatnya, sa benar-benar rasa dan sadar bahwa sudah belasan tahun sa kehilangansa pu dunia, kehilangan bagian terpenting dari sa pu diri.

Sa telah terlempar jauh keluar dari sa pu masyarakat tercinta, sa telah terbuang jauh dari kitong punya komunitas dan budaya Melanesia. Perlahan sa melangkah mendekati dia, dengan senyum tanpa ragu sa kase tangan. Tong dua jabat tangan.

“Yu blong Manus Island o Samarai?” sa tanya dia dengan bahasa Pigin.

“Wai na yu tok olsem?” jawa jibnya dengan senyum.

“Fes mi ting olsem yu blong PNG, bikos long bilum yu karim raun na seken long en, yu iluk olsem meri Manus o meri Samarai.”

Tenkyu tru, Sista blong mi. Mi stap long taim long PNG tasol asples blong mi em i West Papua. Mi kam long Biak Ailan.”

Aaaaaahhhh…ternyata sa pu dugaan meleset.

Semula sa kira de dari Pulau Manus atau Samarai di PNG ternyata bukan. Dia berasal dari West Papua. Dan lebih lagi dia dari tempat asal mama saya. Bangga, senang, terharu… semua berbaur jadi satu.

Sa benar-benar senang dengan pertemuan ini. Tong tra buang waktu, cerita mengalir macam air dengan tong pu gaya sendiri. Kadang dengan logat Papua, kadang dengan Tok Pisin, kadang dengan Bahasa Belanda dan kadang juga dengan Bahasa Inggris. De maklum karena sa pu Bahasa Indonesia tra betul satu dan sa pu logat Papua juga masih patah-patah.

Awalnya sa masih malu-malu untuk pake logat Papua karena sa bicara tabula bale, tapi de bilang, “Ade, tra usah pake malu-malu segala. Hajar saja, yang tra beres itu nanti Kaka yang bereskan.

🍁🍁🍁

Bab. 19 
Sepanjang Jalan Air Mata Marni Membersih Bibir
Sepanjang jalan air mata Marni terus saja menetes tidak bisa berhenti meski bibirnya terus saja bergumam, merasa kesal, hari ini bukan saja menyakiti tapi menusuk jantungnya sangat dalam.
Sudah cukup rasa sabar itu, meski ada pepatah mengatakan kesabaran adalah sekolah kehidupan, dan kelulusannya adalah kematian, oh tidak, dia tidak mau mati dulu, anak-anak masih kecil, terlebih anak bungsunya yang masih berusia lima tahun.
Marni sudah tidak bisa lagi mengekspresikan perasaannya, hari ini adalah air mata terakhir, untuknya yang lemah, karena besok tidak ada Marni yang bodoh lagi.
"Raisa akan tinggal di rumah ini bersama dua anaknya."
Ucapan suami kikirnya masih saja terngiang di telinga, dan itu membuat hatinya panas, hanya Tuhan tempat dia mengadu, kali ini dia sudah memutuskan tidak akan mendoakan kebaikan, kemakmuran untuk suaminya, tapi sebaliknya, mungkin Tuhan akan langsung mengabulkan doa yang lain buat suaminya. 
Sepuluh meter lagi sampai sekolah putrinya,  Marni menyusut wajahnya dengan ujung kerudung, agar tidak terlihat jejak air mata yang sedari tadi tidak berhenti mengalir.
Keringat bercampur air mata, entah apa yang terjadi pada wajahnya, selam lima tahun dirinya sudah tidak lagi berhias diri, bahkan memandang wajah dan tubuhnya, ada rasa nyeri dalam dada, dulu dia cantik, dan kini hanya tulang dan kulit legam yang menonjol.
Dari kejauhan tampak Aisyah sedang berdiri menunggunya, sementara sekolah itu sudah tampak sepi. Hanya terlihat beberapa anak saja yang belum dijemput.
" Sudah dari tadi ya, Nak?" tanya Marni seraya mengajak bersalaman pada putrinya.
"Iya, Bu," jawab Aisyah singkat.
"Bu Lala, terimakasih, maaf jika Ais bikin repot." Marni mengucapkan rasa terimakasih, pada guru putrinya, tak lain adalah putri dari bu Amar, tetangganya.
"Sama-sama, Bu. Ais, putri yang baik, penurut juga pintar, saya tidak repot," balas Lala, sopan.
Aisyah masuk sekolah PAUD adalah atas rekomendasi mamanya, dan meringankan bayaran sekolah dengan alasan ada bantuan dari pemerintah.
Mereka tahu Marni tidak pernah berkumpul dengan wali murid lainnya, dan tidak suka bergosip.
"Alhamdulillah, jika Ais, tidak merepotkan, kami pamit dulu ya, Bu," ucap Marni.
"Bu Marni, sekalian mau jualan ya? sambil bawa Ais?" tanya Lala, penasaran dan kasihan pada gadis kecil itu jika harus berkeliling kampung jalan kaki.
"Iya Bu Lala, sekalian pulang tapi mau jualan dulu ke kampung sebelah, semoga aja ada rejeki di sana."
"Jika berkenan, Ais, pulang sama saya saja, Bu, kasian, nanti sore saya antar pulang ke rumah," saran Lala, yang merasa tidak tega pada anal kecil itu. Dia sendiri sangat suka pada Aisyah yang cantik dan pendiam, tapi sekali belajar mudah mengerti.
"Tapi..."
"Sudah ya, Bu, saya juga mau pulang, biar Ais main sama saya, di rumah banyak buku, mungkin dia suka baca," sela Lala.
"Baiklah,  terimakasih Bu Lala," ucapnya pasrah.
"Ais, sayang, di rumah Bu Lala, jangan nakal ya, tidak boleh merepotkan, ibu jualan dulu, doakan supaya baju-bajunya laris dan nanti kita makan enak." Marni berbisik pada akhir kalimatnya, dia tidak mau siap pun mengetahui kesusahan dari bibirnya, walau begitu tanpa dia bicara semua sudah tahu.
Lala membawa putrinya pulang, artinya dia akan berada di rumah bu Amar sampai sore. Sedangkan Marni melanjutkan perjalanan menuju kampung sebelah, berkeliling menjual pakaian anak-anak.
Semua pakaian itu milik tetangganya yang bernama Nek Sri, begitulah orang memanggilnya.
"Bu Marni baru keliling lagi?" tanya ibu muda yang merupakan langganannya.
"Aisyah ga diajak?" lanjutnya.
Di kampung itu, Marni cukup terkenal, selain ramah dan baik,  juga tidak segan membantu orang meski dia sendiri dalam kesusahan.
"Iya, Bu, barangnya baru datang, dan tiga hari ini hujan terus," balasnya tak kalah ramah.
"Aisyah, diajak sama ibu gurunya, nanti sore diantar pulang."
"Baiklah, gelar lapak sini saja, kayanya Bu Marni lelah, biar saya yang wa tetangga yang lain untuk datang."
Marni hanya tersenyum, tidak banyak dia mencari untung, hanya seribu sampai tiga ribu rupiah dari satu pakaian yang terjual.
Para langganan Marni sendiri sudah cocok padanya, mereka tahu, bahwa dia  tidak mendapatkan untung banyak, media sosial semakin canggih, mereka juga tahu harganya, dan Marni menjual itu dibawah  harga pasar.
Benar saja, dalam hitungan lima belas menit, banyak warga yang datang, dan saling protes jika dirinya baru datang.
Inilah kebahagiaan Marni, meski dalam keadaan tidak punya, mereka sangat menghargainya,  tidak sekalipun merendahkan.
Dalam hitungan jam saja, jualan Marni sudah tinggal sedikit.
Marni sedang sibuk melayani warga kampung sebelah,  sedangkan Aisyah kini sedang berada di meja makan, bersama Lala dan mamanya.
Gadis kecil itu menatap sendu kearah meja makan, diam dan terlihat bingung.
"Ais, sayang, mau makan dengan apa?" tanya Bu Amar. Senyumnya yang hangat membuat gadis kecil itu tidak merasakan takut atau canggung.
Gadis kecil itu menggeleng, bingung, melihat banyak makanan dan lauk di meja makan.
"Ini apa?" tanya Aisyah polos, menunjuk ayam goreng, dengan malu-malu.
Ibu dan anak itu saling tatap, keduanya saling diam, atas pertanyaan Aisyah. Banyak  pertanyaan yang tak mungkin  tidak ada jawabannya.
"Ais, tidak tahu itu lauk apa?" tanya Lala lembut, sambil senyum. Namun, hatinya ikut teriris, atas apa yang terjadi pada hidup muridnya.
Gadis manis itu menggeleng pelan.
"Itu ayam goreng, kalau ini udang campur sayuran, ikan asin kesukaan Mama Amar, sayur sop baso." Lala menjelaskan dengan jarinya, satu persatu dia tunjuk dan gadis itu terlihat bingung.
Bu Amar semakin merasa sedih, melihat gadis kecil itu tidak tahu ayam goreng.
"Sayang, sudah pernah makan ayam goreng?" tanya Lala lagi. gadis muda itu semakin penasaran pada anak didiknya.
"Belum pernah semuanya," ungkap anak itu polos.
"Ais, jika di rumah makannya sama apa saja?" tanya Bu Amar.
"Nasi jagung, ikan asin, ada sambal tapi Ais tidak boleh makan, karena pedas."
Jleb.... Lala dan ibunya kaget, itu artinya rumor dan gosip selama ini benar.
"Makan sama apa lagi, sayang?" rasa penasaran Bu Amar, pada kehidupan tetangganya.
"Jika ibu punya uang, beli tempe, tahu, itu saja, sayur labu, daun pepaya, dan singkong, ada di belakang rumah, tinggal ambil."
Jawaban yang sangat menyakitkan, segitu kikir dan pelit ayahnya, padahal semua tahu, pria itu punya enam toko sembako yang sangat ramai, juga sering terlihat makan di resto mahal bersama janda beranak dua.
"Dasar suami gila, enak sendiri, taunya anak istri kelaparan, dan menderita," ucapnya dalam hati.
Bu Amar dan warga lainnya adalah langganan Agus, dan pria itu selama ini berkata baik, mencukupi makan anak istrinya dengan layak. Kenyataanya semua itu bohong.
"Awas saja, pria itu akan mendapat balasannya," ucap Bu Amar dalam hati. Dia tahu apa yang harus dilakukan, untuk membuat pria itu sengsara.
"Melihat Aisyah yang sangat lahap memakan nasi dan ayam goreng, Lala menitikkan air matanya, selama ini, dia hanya melihat sekilas jika anak-anak sedang makan siang.
"Bu Lala, nasi tanpa campur jagung sangat enak, ayam goreng juga enak sekali, nanti Ibu jangan bilang sama abang Arman dan bang Andi ya, kalau Ais udah makan enak, kalau tahu, mereka akan sedih."
Gadis kecil itu berceloteh sambil menggigit tulang paha ayam, sampai bersih. Namun, dia juga tidak meminta lagi, seolah tahu diri, dan mungkin ajaran Marni, sehingga anak sekecil Aisyah sudah tahu sopan santun dan malu.
"Ais, tambah ayam lagi,  atau udang?"
"Terimakasih, Bu, Aish sudah kenyang," ucapnya, tapi tangannya masih menggenggam tulang paha ayam yang sudah bersih dari sisa daging.
Meski memaksanya menambah lauk, tetap saja gadis kecil itu menolak, dan porsi makannya sedikit. Entah apa yang terjadi dalam rumah itu, Marni selalu menutupinya dan selalu berkata, "Baik."
Setelah makan siang, Lala dan Ais, masuk kamar, lagi gadis kecil itu tertegun, melihat kamar ibu gurunya sangat bagus dan nyaman. Berbeda dengan kamar ibunya yang dingin, hanya ada lemari plastik dan kasur busa yang sudah tipis.
"Ais, sini, ibu punya baju-baju kecil, punya Luna, pasti muat deh," ajak Lala pada anak muridnya.
Ragu-ragu Aisyah melangkahkan kakinya masuk ke kamar ibu gurunya, dia takut pakaian dan kakinya mengotori lantai.
"Ais, ini semua baju bekas milik adik ibu yang bernama Luna, dia sekarang sudah besar, tapi tidak tinggal di rumah ini, sekolahnya di pesantren, nanti kapan-kapan ibu kenalin ya," ucap Lala, mencairkan suasana.
"Bajunya seperti baru, Bu," jawab Aisyah.
Satu dus besar itu baju adik Lala, tapi ada juga yang baru, dan sengaja dia selipkan diantara pakaian milik Luna.
"Ais sangat senang, dapat baju ganti, ibu sangat baik pada kami, tapi ayah sering marah kalau pulang, aku takut, Bu."
"Hmm. Ayah Ais, sering pulang?"
"Dulu iya, sekarang tidak, kalau pulang saat kami sudah tidur, pas kami bangun ayah sudah pergi lagi."
"Sabar ya, sayang, Ais harus jadi anak pintar dan rajin belajar, salat dan mengaji juga, biar jika sudah besar bisa menjadi apa ya?"
"Apa Bu guru?" tanya balik Aisyah.
"Cita-cita Ais apa?"
"Dokter."
"Wow hebat, kenapa pilih dokter?"
"Kalau ibu sakit, biar Ais bisa obati."
Lala sangat terharu, lalu memeluk Aisyah dengan erat, mereka tahu, jika ibunya bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup.
"Sayang, dalam dus ini ada baju muslim, buat ngaji nanti, nanti pakai ya," dia ingat anak-anak mengaji setelah ashar, jadi Lala berinisiatif akan mengantarkan Ais ke mushola, lalu ke rumah Marni sambil membawa dus pakaian. 
Tepat pukul tiga sore, Marni sudah sampai di rumah nek Sri. Setor hasil jualan,  kejujuran wanita itu sudah teruji, semua hasil jualan dia berikan pada nek Sri, dan dia akan menerima berapa pun yang dikasih oleh pemilik barang itu.
"Marni, kamu hebat, semua barang ini habis, padahal sangat banyak lho," ucap Nek Sri, bangga.
"Alhamdulillah, Nek, rejeki dari Allah, saya jug ga keliling, cuma gelar lapak di rumah warga dan semua pada datang." Akunya.
"Modal, dan ini buat kamu, lima ratus ribu," ucap Nek Sri.
"Ini kebanyakan, Nek," tolaknya.
"Ingat, ini rejeki anak kamu, jangan ditolak, nanti saya akan belanja lagi, dan kalau kamu mau, ruko kecil depan rumah, pakai saja, tidak perlu mengontrak,  dari pada lapuk dan kotor."
"Terimakasih, begitu banyak kebaikan Nenek yang saya terima, say tidak bisa membalasnya, hanya doa yang saya punya."
"Sudah, jika kamu mau pakai, tinggal bilang saja, bagus juga buat buka laundry kecil-kecilan."
Ucapan Nek Sri, mampu membuat Marni berpikir lebih keras lagi, rejeki dari Tuha begitu beruntun, kemarin mesin cuci, sekarang ruko, semakin sadar dan harus banyak lagi bersyukur.
Nek Sri mencoba membuka pikiran wanita muda itu, dengan jalan seolah tidak ada kata sengaja, dia juga sengaja memborong pakaian, untuk dijual kembali, dan dia sendiri hany mengambil modalnya saja.
Membantu wanita beranak tiga itu tidak bisa secar langsung,  harga diri dan rasa malumy begitu tinggi, meski lapar sekalipun dia tidak pernah mengemis.
"Marni, jika si Agus bawa janda itu ke rumah, tolak saja, mereka kumpul kebo."
"Apa Nek? artinya belum menikah?"
"Wanita itu hanya mau duitnya saja, mana mau dinikahi pria kikir macam dia! jika mereka maksa, ancam saja mau lapor Rt."
Marni terdiam dan matanya seketika berkunang-kunang....
Bersambung.....
Agus ternyata kumpul kebo...tapi valid ga ya..?
dan
Marni kenapa matanya, apa mau pingsan karena lapar..?

🍁🍁🍁


Bab. 18 
Anak Tinggalkan Ibu di Kampung Halaman Hanya karena Cinta 
Siapapun yang menulisnya, Terimakasih karena telah mampu membuat saya terharu... 😢😢😥😥😭😭😭
Ingat Ibu....
Sudah dua tahun ini emak ikut tinggal di rumahku, emak yang sudah sepuh dan berusia tujuh puluh tahun lebih. Dulu emak tinggal berdua dengan bapak di desa, tapi semenjak bapak pergi mendahului emak, aku gak tega meninggalkannya sendirian, kuajak emak ke rumahku di kota.
Awalnya mas Ardi, kakak tertuaku sempat mengajak emak tinggal bersamanya tapi gak lama karena istrinya keberatan dengan emak yang makin hari makin rewel dan banyak maunya.
"Mbakmu kadang sudah nahan hati dengan kelakuan emak, Dik, cerewetnya minta ampun," keluh mas Ardi ketika mengantar emak ke rumahku.
Semakin senja tingkah emak seolah melampiaskan rasa ketika muda dulu. Emak dahulu terlalu menurut pada bapak dan gak pernah ada maunya, sekarang ketika tua rasa yang dahulu ia tahan dengan mudah ia ungkapkan.
"Nasi goreng pakai bumbu instan kayak gini gak enak."
"Pakaian jangan di-laundry, gak bersih, enak nyuci sendiri."
"Anakmu itu jajan terus, gak sehat entar batuk."
"Untuk apa beli hiasan dinding, buang-buang uang."
"Kalau hari Minggu jangan kesiangan, jangan pemalas."
Setiap hari, selalu saja omelan emak mewarnai hari-hariku. Ketiga anakku kadang kena sasaran ocehan emak, ada-ada saja yang salah di matanya.
"Dengarkan saja, Dik, gak usah diladeni, wajar orang tua," nasehat suamiku ketika aku mengeluhkan sikap emak yang kadang menjengkelkan.
"Kadang aku emosi juga, mas, kalau lama-lama kayak gini."
Suamiku tersenyum dan mencubit pipiku. "Alhamdulillah kita masih diberi nikmat merawat orang tua, jangan sampai kelak kita menyesal ketika dia sudah tiada."
Aku bergeming, benar juga.
***
Hari Senin pagi, suamiku masih dinas di luar kota, kebetulan yang bantu di rumah terlambat datang. Anak-anak rewel, mandi pun harus ribut, sarapan mesti berantem dan pakai seragam lambatnya setengah mati.
"Ayo, Nak, buruan entar mama terlambat," ucapku gusar. Jam delapan pagi ini ada rapat di kantor.
Semalam aku gak enak badan, batuk dan pilek mungkin kecapekan karena sudah tiga hari begadang mengerjakan laporan.
"Nak, cangkul kita dimana ya?" tanya emak ketika aku sedang memakaikan sepatu si bungsu.
"Gak tahu, Mak, tanya Bi Inah saja di belakang," jawabku. Ada-ada saja emak ini, dikala orang sibuk pagi-pagi dia sibuk nanyain cangkul.
"Kata Bi Inah dia gak tahu," ucap emak lagi.
"Cari di belakang, Mak," jawabku kesal. Apa mendesaknya coba mencari cangkul di jam genting seperti ini.
"Aisyah ayo nak buruan." Aku memanggil putriku yang dari tadi tak keluar kamar. Waktu semakin bergerak meninggalkan angka tujuh, aku semakin gelisah.
"Bentar, Ma, masih nyari buku PR semalam, gak ketemu," jawab Aisyah.
"Mama tunggu lima menit, adikmu sudah di mobil semua. Kalau kamu belum keluar kami tinggal."
"Nak, kamu cari dulu cangkul, toh kamu belum pergi," ucap emak gusar.
Aku bergeming, malas menanggapi emak.
"Nak, ingat dulu dimana kamu naruh cangkulnya." Emak mendesak, raut wajahnya pun terlihat kesal.
Aisyah putriku berlari keluar rumah, ia segera masuk ke mobil.
"Aku dan anak-anak berangkat ya, Mak." Aku mengambil punggung tangan emak dan menciumnya cepat.
Emak menarik lenganku, "cari dulu cangkulnya," ucap emak.
"Entar sore ya, Mak. " Aku tersenyum, berusaha sabar.
"Emak mau sekarang!" Emak membentak.
"Mak, aku ini sudah terlambat, hari ini ada rapat, kalau persentasiku gagal bisa gawat. Emak jangan buat masalah dong, untuk apa coba nanya cangkul sekarang? Wajar saja kalau istri mas Ardi gak betah sama emak kalau rewel kayak gini." Aku beranjak meninggalkan emak, masuk mobil dan membanting pintunya. Kesal.
Sekilas kulihat emak terdiam dengan mata yang berkaca.
Jantungku berdetak cepat seolah ada yang mengejar, napasku terasa sesak dan kedua mataku memanas. Baru kali ini aku membentak emak, sebelumnya aku berhasil menahan diri dari kerewelan emak namun kesabaran ada batasnya. Meledak sudah amarah ini.
"Mama jangan kasar gitu dong sama nenek," ucap Aisyah putriku.
Aku diam.
"Biasanya kan mama sabar," Yusuf putra keduaku menimpali.
"Nenek bilang dulu waktu kecil mama orangnya rewel, kalau nanya gak bisa stop, tapi nenek suka. Itu artinya mama pintar kata nenek. Terus mama juga orangnya kalau ada mau gak bisa ditunda dan nenek bilang itu bagus artinya mama orangnya gigih." Aisyah berkata pelan.
Aku bergeming kehilangan kata-kata. Anakku benar, bukankah sifat emak dan aku kini sama? Kami sama-sama rewel, banyak maunya, selalu gigih bila ada keinginan tapi hanya ada satu yang membedakan. Emak menganggap sikapku ini sebagai sebuah anugrah dan dengan senang hati menerimanya, tapi aku? Dengan mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tak ada pembicaraan lagi di mobil hingga ketiga anakku turun dan masuk ke gerbang sekolah, ketiganya melambaikan tangan dengan mata yang juga berkaca. Emak yang bagiku rewel itu adalah kesayangan bagi putra putriku.
Aku menepuk setir mobil berkali-kali, sepuluh menit lagi pukul delapan, bila memacu kendaraan dengan cepat maka aku masih bisa ke kantor tepat waktu. Tapi ada yang mengganjal di hati, sebuah rasa berjudul penyesalan.
Baru dua tahun emak di rumah, emak pun tak sakit-sakitan, masih bisa makan, minum dan membersihkan diri sendiri, hanya sedikit rewel saja. Tapi aku, anak yang telah sembilan bulan dikandungnya, dua tahun disusui, belasan tahun dirawat dan disekolahkan hingga akhirnya menikah pun masih tetap menyusahkan. Begitu mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tubuhku bergetar dengan napas yang tersendat, tumpah sudah air mata ini. Emak.
***
Aku segera memarkirkan mobil di garasi dan berlari ke kamar emak. Persetan dengan rapat dan persentasi, aku harus segera memohon maaf emak. Paling-paling pekerjaanku akan diambil alih oleh teman kantor dan tahun ini gak dapat bonus. Itu gak penting, hati emak lebih berharga dari apapun, tak kan kubiarkan retak dan hancur.
Kedua mataku menyisir kamar emak yang kosong. Kemana emak? Aku berlari ke dapur.
"Mana emak, Bi?" tanyaku pada Bi Inah yang sedang mencuci piring.
"Di halaman belakang, Bu, entah lagi apa tapi kayaknya dari tadi ngucek-ngucek mata terus kayak nahan nangis gitu."
Segera aku ke halaman belakang rumah dimana banyak tanaman emak tumbuh subur. Emak sedang menggali sesuatu dengan pisau kecil ketika aku menghampirinya.
"Lagi apa, Mak?" tanyaku.
Emak menoleh dan tersenyum. "Gak ngantor?"
Aku menggeleng, "gak enak badan," bohongku.
"Emak tadi mau minta cangkul buru-buru karena mau gali jahe merah ini. Semalam emak dengar kamu batuk gak berhenti jadi emak mau buat wedang jahe biar bisa kamu minum sebelum berangkat kerja makanya tadi emak buru-buru." Emak masih menggali tanah dengan pisau kecil.
Aku bergeming.
"Mak gak berani pakai pisau dapur kamu, kan pisau mahal nanti rusak kalau kena tanah makanya tadi cari cangkul."
Ah bodoh, apa ini, dadaku kian sesak.
"Untung ketemu pisau kecil ini, peninggalan bapakmu dulu, ini emak sudah dapat banyak jahenya." Emak menunjukkan lima ruas jahe merah di telapak tangannya. Ia beranjak dan tersenyum. "Kamu istirahatlah, nanti wedang jahenya emak antar ke kamarmu. "
Ya Allah, ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Duhai hati alangkah mudah syetan merasuki diri, betapa rapuh pertahanan diri, durhakalah aku yang telah melukai hati wanita baik ini.
Aku segera berlari dan memeluk tubuh kurus emak. "Maafkan aku, Mak, maafkan, aku salah sudah membentak emak. "
Emak memegang pundakku dan tersenyum. "Gak apa." Emak kembali memelukku dan menepuk pundakku. "Istirahat lah, kamu lelah," bisik emak.
*_Setiap orang tua akan sangat bahagia menghabiskan waktu merawat anaknya namun sebaliknya tak semua anak memiliki ketulusan dalam merawat orang tuanya walau hanya hitungan tahun.*_
*Itulah ibuku ibumu ibu kita*
_*Alhamdulillah Allah Taala memberi ibu kita umur panjang, sehingga kita bisa berbakti padanya*_
_*ibu ibu ibu bapak*_

🍁🍁🍁

Bab. 17 
SI CANTIK PENUNGGU KALI
Hari itu aku dan temanku pergi ke sungai tempat pemandian yang biasa di jadikan tempat wisata oleh warga setempat, tempat wisata itu tak pernah sekalipun sepi pengunjung, bahkan saat sore hari, masih ada para muda-mudi yang nongkrong di sana.
Namun akhir akhir ini tempat itu terlihat sedikit sepi tak seperti biasanya.

"Tumben ya, sepi icha."

"Iya na, nggak seperti biasanya, ada apa ya," ucapku kebingungan.

Dari kejauhan terlihat seorang wanita tua yang sedang mencari kayu bakar, ku putuskan untuk mendekatinya dan bertanya kepadanya perihal sepinya tempat wisata ini.

"Mbah, selamat siang."

"Siang sayang, ada apa."

"Gini Mbah, kok tumben ya tempat pemandian ini sepi tak seperti biasanya."

"Kamu belum dengar kabar ya," ucapnya sambil mengerutkan keningnya

"Kabar apa Mbah."

"Beberapa hari yang lalu ada seorang gadis yang di jadikan tumbal di sungai ini." 

"Tumbal?"

"Iyaa, jasadnya ditemukan mengambang di sungai ini dengan di kelilingi oleh bebatuan di sekitar."

"Di batu itu juga terdapat bekas lilin yang sudah  meleleh, entah dia korban pesugihan, atau dia penganut ilmu hitam, tidak ada yang tau."

"Dan sejak hari itu para pengunjung sering mendapatkan gangguan oleh para mahluk tak kasat mata."

"Itulah sebabnya sungai ini menjadi sangat sepi."

"Oh begitu ya Mbah, padahal tadi sudah rencana mau berendam di sungai itu untuk menghilangkan stress."

"Kalian ini dari mana."

"Kami dari kota Mbah, aslinya orang kampung sini, di sana cuman kerja saja, kalo libur ya pulang kampung," ucap temanku Nana

"Oh sebaiknya kalian pulang saja, sungai ini belum di bersihkan oleh ketua adat, takutnya kalian malah di ganggu."

"Iya Mbah, kami pulang saja."

Aku dan temanku yang akan segera pulang, mendapati seorang gadis cantik berpakaian serba putih yang sedang mandi di sungai.

"Cha, itu ada pengunjung yang datang dan mandi di sungai, kita ikutan yuk," ucap Nana sambil menarik tangan ku.

"Enggak ah na, perasaan ku mulai nggak nyaman, ayo kita pergi pulang saja."

Gadis cantik itu secara perlahan menoleh kebelakang melihat ku dan temanku dari tempat pemandian itu.

Dari kejauhan terlihat matanya yang sayup melihat ke arah ku, kedua pipinya yang tampak kemerahan dan bibir nya yang merah muda membuat ku merasa terpesona dengan kecantikan nya.

Perlahan, Tampa sadar tubuh ku bergerak dengan sendirinya menuju air tempat gadis itu berdiri.

"Neng, kalian ngapain masih di situ, cepat pulang."

Suara Mbah yang ku temui barusan menyadarkan ku dan temanku, Tampa sadar tubuh ku sudah berada di tengah sungai dan hampir saja tengelam, dan gadis yang ku lihat barusan telah menghilang entah kemana.

"Icha, ayo, kita harus segera pergi dari tempat ini," ucap Nana, sambil menarik lenganku untuk segera pergi dari pemandian itu.

"Ayo, Cha."

"I iya na, ayo."

Entah kenapa hatiku begitu sakit rasanya saat mengetahui gadis itu telah menghilang. Nana dan aku langsung pergi meninggalkan tempat pemandian itu, di perjalanan pulang aku sempat menoleh ke belakang dan melihat gadis itu berdiri di sela sela batu kali yang sangat besar itu, seakan memanggil ku untuk menghampirinya lagi.

Tamat

🍁🍁🍁

Bab. 16. 
"JIKA ANDA MENCARI YANG SEMPURNA, MAKA ANDA AKAN KEHILANGAN YANG TERBAIK" !
Sepasang Suami Istri Sedang Makan, Si Istri Membuka Pembicaraan.

Istri : “Suamiku sayang, bolehkah aku usul ???”

Suami : “Boleh istriku sayang, silahkan !!! ”.

Istri : “Saya ingin kita menulis kekurangan pasangan kita masing2 di kertas kosong... agar kita bisa saling intropeksi diri. tapi janji, tidak ada yang boleh tersingung. Bagaimana sayang” ???

Suami : “Baik istriku...”

Sambil tersenyum manis Sang istri kemudian pergi mengambil 2 lembar kertas kosong dan 2 pulpen.

Tiga Puluh menit kemudian...
Istri : “Sayang saya sudah selesai menulisnya... apakah engkau juga sudah??? ”

Suami : “Iya , saya juga sudah selesai !!!”.

Istri : “Baiklah, sekarang tukar kertas kita. Jangan dibuka dulu. Nanti kita baca secara terpisah.

Suami : “Iya sayang!!! ” Sambil kecup istri.

Istri : “Suamiku, Silahkan buka kertasnya dan baca di kamar. saya akan mbaca di dapur"

Suami langsung membuka kertas & membacanya.

Setiap membaca tulisan mengenai kekurangannya, air matanya tidak bisa dibendung, mengalir di setiap sudut matanya. Karena ternyata begitu banyak kekurangan pada dirinya.

Sementara itu, di dapur sang istri juga membuka kertas. Tak lama kemudian sang istri menghampiri suami ke kamar dengan raut muka masam,

Istri : “Bagaimana suamiku, engkau telah membacanya ???”

Suami : “Sudah istriku, maafkan aku yang tidak bisa sempurna mendampingimu … maafkan aku,” air matanya semakin deras mengalir

Istri : “Iya suamiku, tapi mengapa engkau tidak menulis apapun dikertas itu ??? Padahal aku telah menulis segala kekuranganmu...”

Suami : “Istriku tercinta, tahukah engkau ... aku mencintaimu apa adanya, Sehingga aku melihat kekuranganmu adalah kelebihanmu dan aku tahu DIA menciptakan setiap manusia dengan berbagai kekurangannya, untuk itu aku sebagai suamimu akan menjadi pelengkap untuk menutupi kekurangan istriku... aku mencintaimu karena DIA memilihmu sebagai pendampingku”.

Sambil menangis dan berbisik lirih di telinga sang istri, Sang istri pun tak sanggup menahan tangis mendengar ucapan dari sang suami yang begitu sangat mencintainya.

Banyaknya pertengkaran suami istri sebab utamanya adalah *EGOIS* saling menuntut cinta, saling meminta diperhatikan, saling minta disayang, gengsi meminta *maaf duluan jika melakukan kesalahan*, tidak mau berlomba memberi yang terbaik duluan, yang berakibat hilangnya rasa syukur dan rasa menerima apa adanya.

Mari kita cintai pasangan kita apa adanya Dan BUKAN ada apanya

Tidak ada manusia yang sempurna, Tiada juga Istri atau Suami yang serba sempurna tapi bila kau mendambakan kehidupan yang sempurna maka Cintailah Suamimu/Istrimu dengan cara yang Sempurna..

🍁🍁🍁

Bab. 15, 
Istri Yang Dirindukan
Oleh, Isna Arini 
Kucerai dia setelah menghabiskan malam pernikahan kami, untuk membalas sakit hati karena dia mempermainkanku. 

Namun siapa sangka, yang terjadi sebenarnya adalah ...

Matahari pagi bersinar melewati celah gorden apartemen milik Evan. Setelah papanya tahu dia menceraikan dan mempermainkan sebuah pernikahan, ia diusir dari rumahnya. Meksipun begitu, Evan masih tetap bekerja di anak perusahaan milik papanya. Dia memang orang yang ahli di bidangnya, bagaimanapun juga perusahaan itu membutuhkan keahliannya.

Evan mengerjapkan matanya, sejak merasa dikhianati dan di permainkan oleh Anin, ia makin jauh dari Tuhannya. Evan memijit pelipisnya, kepalanya terasa sakit. Sudah beberapa bulan ini dia mengalami insomnia, tertidur selalu menjelang dini hari dan akan bangun dalam keadaan kepala pusing. 

Hampir satu tahun berlalu sejak kejadian itu, tapi rasa sakitnya tetap membekas. Sedalam cintanya pada Anin sedalam itulah rasa sakit yang dideritanya, dan hingga saat ini dia tidak berniat untuk dekat lagi dengan wanita manapun meksipun mamanya trus berusaha menjodohkannya kembali.

Hari ini Evan berencana untuk memeriksakan diri ke Nathan, temannya seseorang dokter yang dulu sering dia ajak pergi ke yayasan. Setelah menikahi Anin dan melakukan hal buruk padanya, Evan tidak pernah lagi pergi kesana. Semua hal yang dulu pernah dia lakukan di yayasan itu di handel oleh asisten pribadi papanya. 

Bukan tanpa alasan dia tidak ingin pergi kesana, pertama dia tidak ingin bertemu Anin karena Anin juga mengajar disana. Kedua, jika Anin buka mulut tentang hubungan mereka, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana pada pimpinan yayasan yang sudah menikahkan mereka. Evan benar-benar menjadi seorang pengecut setelah semua peristiwa itu.

Bergegas Evan mandi dan membersihkan diri, kemudian berganti pakaian dan sarapan seadanya dengan roti tawar di baluri selai. Setelah siap dia segera pergi kerumah sakit tempat Nathan bekerja, dia sudah membuat jadwal dengannya. 

Sesampainya dirumah sakit, Evan langsung pergi ke ruangan Nathan karena ia datang tepat waktu sesuai janji ketemu. 

"Apa yang kamu keluhkan bro?" Nathan bertanya dengan santai pada sahabatnya itu. Ia merasa hasil pemeriksaan Evan baik-baik saja tidak ada masalah, dia mengira sahabatnya ini bukan fisiknya yang sakit tapi jiwanya. 

"Aku gak bisa tidur beberapa bulan ini?" jawab Evan malas.

"Kenapa? sibuk ngurus anak dan istri?" tanya Nathan dengan tergelak.

"Apaan sih loe Tan?" sunggut Evan.

"Ya sejak menikah kamu gak pernah ngajak aku lagi ke yayasan itu, bahkan kita udah jarang banget ketemu. Dan kamu sembunyikan istrimu itu seperti barang berharga, seolah-olah akan di ambil orang lain. Yaa walaupun sebenarnya, mau juga sih aku mengambilnya jika kamu tak mau sama dia," kelakar Nathan. 

Evan melotot ke arah sahabatnya, merasa tidak senang dengan ucapnya barusan. Apa lagi dia menyinggung akan mengambil Anin jika dia sudah tak mau.

"Awas kamu berani macam-macam sama dia!" ancam Evan. 

Bagaimanapun juga ia tak rela jika mantan istrinya bahagia dengan laki-laki lain, apa lagi itu sahabatnya sendiri. 

"Bagaimana anak kalian? sudah lahir dong?" tanya Nathan. 

Nathan malah terus membicarakan keluarga Evan, mungkin dari situ dia akan dapat jawaban tentang sakit yang diderita temannya. Jika dia menyuruh Nathan datang ke pisikolog langsung, pasti laki-laki itu akan memakinya seketika itu juga.

"Anak?" lirih Evan hampir tak terdengar.

"Iya anak, sebulan setelah kalian menikah aku melihat dia masuk ke ruangan obgyn sendirian. Tentu istrimu itu hamil dong?" 

Ucapan Nathan barusan sukses membuat jantung Evan berdetak lebih cepat dari jantung orang dalam keadaan normal. 

"Kapan kamu melihatnya?" cecar Evan.

"Sekitar sebelas bulan yang lalu, kenapa? sepertinya kamu kok kaget begitu?"

"Siapa dokter yang bertugas saat itu?" Bukan menjawab pertanyaan Nathan tapi Evan malah bertanya hal lain.

"Ada apa ini? kenapa reaksimu seperti itu sih. Ada apa sebenarnya?" tanya Nathan curiga. 

"Aku enggak bisa menceritakannya sekarang, cari tahu siapa dokter yang bertugas saat itu," titah Evan.

"Kamu menyuruhku bro? kamu pikir aku asisten atau sekertaris kamu yang kamu bisa perintah sesuka hati? sanalah cari tahu sendiri dibagian informasi," tolak Nathan.

"Mana bisa begitu, kamu harus menolongku!"Evan berkata sambil menarik tangan Nathan dengan paksa.

Mau tidak mau akhirnya Nathan mengikuti kemauan Evan, jika tidak maka dia tak akan bisa bekerja seharian ini. Mereka pergi ke bagian informasi, dan dengan bantuan Nathan dapat juga nama dokter yang bertugas saat itu. Teknologi memang membantu memudahkan urusan semua orang sekarang.

Entah kebetulan atau keberuntungan, dokter yang bertugas saat itu adalah Aletta temannya juga. Dahulu saat sekolah menengah atas, mereka berlima adalah sahabat yang dekat. Namun setelah kuliah, mereka mengambil jalan masing-masing sesuai profesi yang ingin mereka geluti.

Evan mengambil kuliah jurusan arsitektur, Nathan dokter umum, Aletta dokter kandungan, Bella menjadi pengacara dan Malik mendapatkan beasiswa kuliah di negara Piramida. 

Setelah mendapat informasi, Evan segera meninggalkan Nathan dengan sejuta pertanyaan dan mencari Aletta, karena Aletta tidak ada jadwal praktek hari ini. Evan sibuk dengan ponselnya menghubungi Aletta. 

"Letta, kamu dimana? aku ingin ketemu," ucap Evan tanpa basa-basi setelah sambungan telepon terhubung.

"Ya udah aku kerumah," ucap Evan kemudian mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya. 

Tanpa menunggu lagi, Evan segera memacu kendaraannya menuju rumah Aletta. Dia sangat ingin tahu tentang kebenaran cerita Nathan, apa benar Anin hamil. Kalau memang hamil, kenapa tidak mencarinya untuk meminta tanggung jawab seperti apa yang di katakan mamanya. 

Kalau tidak hamil untuk apa pergi ke dokter kandungan, apa dia terus memeriksakan diri pada Aletta apa cuma sekali. Jika Anin benar-benar hamil harusnya dia sudah melahirkan sekarang. Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam otaknya yang tidak ada jawaban atas itu. 

Setelah lama berkendara, akhirnya Evan sampai juga dirumah Aletta. Setelah di persilahkan masuk oleh pembantu rumah tangganya, Evan menunggu Aletta di ruang tamu dengan tidak sabar. 

"Letta, apa wanita ini memeriksakan diri padamu?" Segera setelah Aletta datang dihadapannya dia menyodorkan foto Anin yang ada di smartphone miliknya sambil bertanya pada temannya itu. 

Evan memang masih menyimpan foto Anin meskipun hanya satu. Foto Anin yang dia ambil diam-diam saat tersenyum dengan manis dan berbincang dengan Meysha. Jarak mereka yang tidak berdekatan saat berbincang, membuat Evan bisa mengambil gambar Anin seorang. 

"Apaan sih kamu ini, datang-datang langsung tanya pertanyaan gak jelas. Kamu pikir pasienku cuma satu orang saja!" sunggut Aletta.

"Ah benar juga apa yang kamu bilang," desis Evan lemah. 

Bahkan rasa kagetnya membuat otaknya tidak bekerja sebagaimana mestinya. 

"Memangnya siapa wanita itu?" tanya Aletta.

Evan diam tidak menjawab, memang pernikahannya yang di lakukan dengan tergesa-gesa itu hanya di hadiri oleh orang tuanya dan Nathan sebagai saksi dari pihak laki-laki karena Nathan juga sudah sering datang kesana bersamanya. 

Alibinya untuk segera menikah secara agama karena takut berzina membuat semua berjalan mulus, semua orang juga tahu menikah secara agama itu sudah sah. Tapi karena hidup di negara yang memiliki aturan hukum dan administrasi, maka sebagai warganya harus mengikuti segala peraturannya untuk memudahkan segala urusan dan dapat perlindungan hukum bagi istri maupun calon anak dari hasil pernikahan tersebut. 

"Bisakah kamu membantuku melihat data wanita ini, aku akan mengirimkan fotonya dan data dirinya, kira-kira dia memeriksakan diri pertama kali sekitar sebelas bulan yang lalu," pinta Evan dengan memelas.

"Tapi siapa wanita itu?" tanya Aletta lagi.

"Aku tidak bisa memberitahukan itu padamu saat ini, aku mohon tolonglah. Ini sangat aku butuhkan."

Aletta menarik nafas dalam-dalam," Baiklah, tapi kamu harus menunggu," ucap Aletta.

"Berapa lama?" 

"Seminggu," jawab Aletta.

"Lama sekali Letta, apa tidak bisa lebih cepat?"

"Itu sudah lama berlalu Evan, apalagi sepertinya aku tidak pernah melihatnya. Mungkin dia hanya sekali datang padaku!" Aletta berkata dengan kesal. 

"Baiklah, aku tunggu. Aku pergi dulu," Evan berpamitan dengan wajah lesu. 

Aletta hanya bisa menggeleng kepalanya melihat kelakuan temannya, datang padanya hanya ingin menanyakan hal itu, segitu pentingnya kah wanita itu. Siapa dia, Aletta menjadi penasaran.

Setelah keluar dari rumah Aletta, Evan berpikir untuk pergi ke rumah yang dia tinggalkan untuk Anin. Evan berpikir daripada lama menunggu bukankah dia bisa saja datang kesana langsung untuk memeriksanya. Jika tidak masuk, setidaknya dia bisa melihat dari jauh. 

Evan berkendara dengan kecepatan tinggi, ia begitu penasaran dengan mantan istrinya itu. Apakah Anin benar-benar hamil, begitu mudahnya kan wanita itu hamil hingga sekali saja mereka melakukannya langsung tumbuh benih di rahimnya. 

Evan memarkirkan kendaraannya cukup jauh dari rumah Anin, pandanganya lurus ke arah halaman rumah yang terlihat kotor tidak terawat. Perlahan dia keluar dari mobilnya dan mendekati rumah itu. 

Pagar rumah hanya di kunci dengan selot hingga siapapun bisa membukanya. 

"Kenapa rumah ini seperti lama tidak dihuni?" bisiknya dalam hati.

Segera dia berjalan kearah pintu dan hendak membukanya tapi ternyata terkunci. Dia ingat memiliki kunci cadangan yang ia simpan. 

Sejak kapan Anin pergi dari rumah ini, kemana dia pergi. Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. 

🍁🍁🍁

Bab. 14 
Aku Sangat Mencintai Zakia." Kalimat Awal yang Keluar dari Mulut-Nya.
Aku terus memutar otak untuk bisa mengimbangi permainan licik Zakia. Meski tadi malam mas Bian memintaku untuk melayaninya, tapi aku yakin dia masih bingung dengan perkataanku dan tidak mudah baginya untuk meragukan ucapan Zakia.

Bagaimana caranya agar aku memanfaatkan hari libur ini supaya bisa keluar bersama mas Bian. Apa harus aku potong bagian belakang hak tinggiku lalu meminta mas Bian mengajakku membeli yang baru di mall? Ah, tidak. Kalau bermain licik seperti ini, apa bedanya aku dengan Zakia. 

Main cantik dan elegan, itu yang harus aku lakukan.

***

"Mas, mau kemana?" teriakku tatkala melihat mas Bian hendak keluar.

Katanya hari libur, kok, dia sudah bersiap untuk pergi sepagi ini.

"Mas Bian mau ke makam Bapak, Sa, "sahut Zakia yang tiba-tiba muncul di belakangku.

"Setiap ada proyek besar, mas Bian selalu meminta restu ke makam bapak," jelasnya.

Kami bertiga sudah berada pada jarak terdekat.

"Aku boleh ikut?" tanyaku sekilas melirik Zakia yang nampak melongo.

"Mau apa?" Mas Bian heran.

"Iya, Sa. Nanti kamu bosan. Mas Bian bisa berjam-jam kalau pergi ke sana," Zakia menimpali. 

Dari mimik yang ia tunjukan, tersirat ada rasa cemburu kalau sampai aku ikut serta. Ini kesempatanku membuatnya kesal.

"Gak, apa-apa. Sekalian aku akan ngaji di sana."

Mas Bian menyetujuinya. Aku diperbolehkan ikut. Sebelum Zakia membual dengan aktingnya, aku langsung bergegas mengambil tas dan masuk ke mobil. Dari balik kaca, wajah cemberut penuh kekesalan terlihat jelas terpancar di wajah Zakia. Sungguh ini pemandangan yang indah.

Skor masih belum imbang. Aku yang sudah di fitnah sebagai wanita dzolim belum puas sebelum Zakia mengakui semuanya dan meminta maaf padaku.

***

Surah yasin sudah tiga kali aku baca, namun mas Bian belum juga mengajakku pulang. Di depan sebuah nisan bertulis nama Adi Baskoro, ia hanya mematung tidak sepatah katapun yang terucap.

Sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan? Menurutku hanya membuang waktu, duduk disebuah makam tanpa menyuguhkan doa untuk yang sudah almarhum. Ritual aneh kalau hanya untuk sebatas berziarah.

Beranjak lebih dulu, aku duduk dibangku panjang di bawah pohon dekat pintu masuk pemakaman umum. Seorang berpakaian lusuh mendekat.

"Menunggu siapa, bu?" tegur nya.

"Suamiku, pak," jawabku sembari menunjuk ke arah mas Bian.

"Apa pak Bian bercerai dengan bu Zakia?"

Aku menggeleng sambil tersenyum, "Aku istri keduanya," jelas ku.

Lelaki sepuh itu manggut-manggut. Mungkin dia sudah kenal dengan mas Bian dan Zakia. Atau mungkin dia juru kunci penjaga TPU ini.

"Bu Zakia memang tidak pernah datang ke sini semenjak kecelakaan itu. Padahal anak-anak sekitar makam selalu menunggu kedatangannya, walau cuma sebulan sekali," lirihnya sebelum mengayunkan langkah.

"Kenapa anak-anak itu menunggu Zakia, pak?" cegahku berhasil membuatnya berbalik lagi.

"Setiap ke sini Bu Zakia selalu membagikan amplop berisi uang untuk mereka," tutur sang Bapak.

"Oh, ya. Bu Zakia pernah kecelakaan?" selidikku.

"Ibu belum tahu? Kecelakaan itu kan yang membuat dia lumpuh."

Mendengar penuturan bapak ini, aku jadi ingat dengan perkataan Zakia tentang pengorbanan yang ingin di beri penghargaan sebuah kesetiaan. Apakah cerita ini saling berhubungan.

"Bapak tahu kejadian sebenarnya?"

"Tentu, kecelakaan itu ..."

"Lisa! Ayok, kita pulang!" Belum sempat bapak itu menjelaskan, mas Bian sudah keburu datang dan mengajakku untuk pulang.

***

Sehabis dari makam, aku meminta mas Bian menemaniku berbelanja. Awalnya risih ketika dia selalu memegangi tanganku, tetapi dari sikapnya aku jadi tahu, kalau dia adalah suami yang perhatian juga bertanggung jawab terhadap istri. Pantas saja Zakia merasa tersisih, mungkin dalam benaknya mas Bian sudah melupakan kenangan terindah bersamanya dengan menikahi wanita lain. Yaitu aku.

"Mas, boleh aku menanyakan sesuatu?"

Sebelum mobil sampai rumah, aku sengaja mengajak ngobrol mas Bian seputar hubunganya dengan Zakia.

"Apa?"

"Kenapa Zakia bisa lumpuh? Dan maaf, bukankah dalam keadaan seperti itu kamu masih bisa menggaulinya?"

Mas Bian tidak langsung menjawab, pandangan ia luruskan keluar kaca mobil. Seperti sedang berusaha merangkai kata yang tertumpuk dalam benak hendak di tumpahkan.

"Aku sangat mencintai Zakia." Kalimat awal yang keluar dari mulutnya.

"Tiga tahun lalu...."
🍁🍁🍁

Bab. 13 
"Cerita Rakyat Papua Tom & Regi"
Masih ada Tom di hati Regi, begitu pun sebaliknya ❤️✍🏿
-------

Wirewit… wirewit… datanglah seekor bangau besar lalu menerbangkan Regi (Belanda). Sayangnya ketika tiba di depan pintu gerbang kota itu, prajurit penjaga pintupun bertanya, dimana sahabatmu Tom (Papua)? Regi menceritakan semua yang telah terjadi namun sang penjaga pintu tak mengijinkannya masuk kecuali Regi harus kembali mengajak Tom yang pernah bersama-sama bermimpi pergi ke "Kota Emas" tersebut.

-------

"Cerita Rakyat Papua Tom & Regi"

Bagi masyarakat asli papua, buku cerita Kota Emas yang ditulis I.S. Kijne adalah kisah amat menyenangkan. Buku cerita tersebut menjadi satu literatur wajib sekolah-sekolah dasar saat itu di seantero Tanah Papua.
Konon Tom dan Regi sebagai tokoh dalam cerita tersebut dikisahkan hidup harmonis dan bersahabat erat dengan Kasuari, Tuturuga, Gajah, Bangau dan seekor burung mungil bernama Kris Ekor Kipas.

Suatu Ketika Regi putri cantik berambut panjang dengan pita kupu-kupu tersimpul rapih, bertengkar dengan sahabat karibnya Tom seorang anak kampung karena dalam suasana bermain si Tom tak sengaja menabrak boneka kesayangan Regi, bernama Sarinah. Malangnya seketika itupun kepala Sarinah pecah berantakan. Kejadian ini membuat Regi naik pitam dan mengusir Tom yang kemudian pergi menyendiri disudut kampung dipinggiran hutan yang sepi.
Seorang diri, Regi bermain dan ia teringat impian bersama Tom yang gemar bercelana tali pendek dan tak bersepatu ketika menyaksikan sunset di tepi pantai. Kala itu merekapun bercita-cita pergi ke Kota Emas tempat yang indah diseberang sana.
Regi berpikir bagaimana caranya ia akan tiba di Kota Emas yang pernah diimpikan bersama sahabatnya si rambut keriting itu. Tiba-tiba saja muncul di depan Regi seekor burung mungil, Kris Ekor Kipas dan berkata, ambilah satu bulu dari ekorku, bila kau menemui jalan buntut maka bulu tersebut dapat dielus-elus kemudian sebutkan, wirewit… wirewit…

Regi menuruti petunjuk itu, singkat cerita ketika tersesat di hutan maka ia mengelus-elus bulu burung itu dan memanggil wirewit… wirewit… tiba-tiba saja seekor gajah datang menolongnya. Ketika tiba di tepi pantai dan Regi tak dapat menyeberanginya, teringat ia akan pesan si kris ekor kipas, wirewit… wirewit… muncullah seekor Tuturuga dari dalam laut dan membawanya ke seberang pulau. Saatnya akan terbang menuju kota emas, kembali Regi memanggil wirewit… wirewit… datanglah seekor bangau besar lalu menerbangkan Regi. Sayangnya ketika tiba di depan pintu gerbang kota itu, prajurit penjaga pintupun bertanya, dimana sahabatmu Tom ? Regi menceritakan semua yang telah terjadi namun sang penjaga pintu tak mengijinkannya masuk kecuali Regi harus kembali mengajak Tom yang pernah bersama-sama bermimpi pergi ke kota emas tersebut.

Regipun berusaha mendapatkan Tom dan segera berdamai kemudian mengajaknya kembali menemui penjaga pintu kota impian itu. Keduanya diijinkan masuk dan selanjutnya penuh persahabatan yang erat dengan suasana gembira dapat menikmati keindahan Kota Emas, kota yang diimpikan ketika menyaksikan sunset ditepian pantai.
Wirewit… wirewit… Kris Ekor Kipas penunjuk jalan itupun masih ditemukan hidup bersarang dan berkembang biak dalam rawa-rawa seantero Tanah Papua.

Suara alam Kris ekor kipas membawa pesan rekonsiliasi dari Tanah Papua… wirewit… wirewit… Hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang…

Amsterdam Belanda, 20 Maret 2024
Kumpulan Marinir Veteran 1961-1962 yang pernah bertugas di West Papua.

🍁🍁🍁

Bab. 12 KENDARAAN UNTUK MANTAN ISTRI SUAMIKU
"Rin, sepertinya itu suara Ibu," ucap Mas Andri.

"Ya, aku tahu. Ibu, kok gak bilang dulu kalau mau ke sini?"

"Aku juga tidak tahu. Rin, aku mohon, kamu jangan bilang apa-apa sama Ibu, tentang kita. Apalagi kalau bilang, kamu minta cerai dariku. Jangan, ya, Rin," pinta Mas Andri. 

Matanya menatapku lembut, dan dengan penuh damba. 

Sejenak aku terhipnotis oleh tatapan matanya yang teduh dan sayu. Namun, dengan cepat aku membuang pandangan. Aku tidak mau, hatiku goyah oleh bujuk rayunya dia.

"Rin, pliiiisss." Mas Andri menangkupkan kedua tangan di da*da.

"Akan aku pikirkan," kataku seraya bangkit dari duduk.

Aku berjalan ke ruang tengah, menemui Ibu mertua yang baru saja datang.

"Waalaikumsalam. Ibu, kapan sampai?" tanyaku. 

Aku menghampiri wanita itu dan mencium takzim punggung tangannya.

"Baru saja, Nduk. Sehat, kamu?"

"Alhamdulilah, Bu."

"Andri mana? Ini baju kenapa di luar?" Ibu menunjuk pada pakaian Mas Andri yang berserakan di teras dan di ruang tengah.

"E ... itu ...."

"Itu karena tadi ada semut, Bu. Jadi, aku dan Rini keluarin dari lemari." Mas Andri datang dan langsung menjawab pertanyaan Ibu. 

Seperti yang aku lakukan pada Ibu, ia pun mencium tangan wanita yang telah melahirkannya itu.

Ibu tidak datang sendirian, ia datang bersama kedua adik Mas Andri. Aku belum terlalu akrab dengan kedua adik iparku, karena jarak serta pernikahanku yang masih terbilang baru. Aku pun belum pernah berkunjung ke Magelang, tempat asal suamiku.

Ah, jangankan untuk datang ke sana, sekarang ini dekat dengan Mas Andri pun aku sudah tidak mau lagi. Kedatangan Ibu dan saudara Mas Andri pun, sepertinya akan menambah sakit hatiku.

Bukan karena mereka jah*at, tapi karena aku harus pura-pura baik-baik saja di depan mereka. 

Apa aku bisa? Sedangkan aku termasuk tipe orang yang tidak bisa menyembunyikan perasaan. 

Kalau aku nantinya kelepasan di depan ibunya Mas Andri, itu tidak akan jadi kesalahan, 'kan? Toh, memang Mas Andri-lah yang salah. Sudah melakukan kesalahan lebih tepatnya.

"Mbak, sehat?" tanya Ari–adik laki-laki Mas Indra. Dia mengulurkan tangan untuk bersalaman. 

Aku pun mengulurkan tanganku, tapi ada sesuatu yang bergerak saat tanganku dan tangannya bertemu. Ari, dia menggelitik telapak tanganku menggunakan jari telunjuknya.

Aku menatap wajah itu, dan ....

Ting ting ....

Dia mengedipkan sebelah mata saat pandangan kami bertemu.

Wah, ada yang tidak beres dengan anak ini. Sepertinya dia menderita cacingan.

Segera aku menarik tanganku, lalu bersalaman dengan adik bungsu Mas Andri, yang bernama Iriana.

"Ambil baju Mas-mu, Ra. Simpan ke kamarnya," ujar Ibu memberikan perintah pada anak bungsunya.

"Eh, gak usah. Biar aku saja." Segera aku mengumpulkan semua baju Mas Andri, aku membawanya masuk ke dalam kamar, dan menyimpannya di atas kasur. 

Huft ... lagi-lagi aku gagal mengusir Mas Andri. 

"Ibu, Ira, kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh. Kalau mau istirahat, silahkan istirahat di kamar sebelah, ya." Aku keluar dari kamarku, dan langsung menghampiri mereka di ruang tengah.

Ibu dan Ira langsung mengangguk, dan pergi ke kamar yang aku tunjuk.

"Ari istirahatnya di sini saja, ya. Soalnya kamar di rumah ini cuma ada dua," kataku dengan tidak enak. Tapi untungnya adik Mas Andri itu paham.

"Tenang, Sayang. Ari ini bukan tipe lelaki yang pemilih. Apalagi untuk urusan tidur. Iya, kan, Ri?" ujar Mas Andri sembari menepuk pundak adiknya itu.

"Iya, Mbak. Mbak gak usah repot-repot nyediain tempat, di sini pun sudah lebih dari cukup."

Aku tersenyum kaku menanggapi ucapan Ari. Entahlah, aku merasa sedikit risih pada pria itu. Sejak tadi, dia terus mencuri pandang padaku. Ataukah aku hanya kegeeran karena dia berondong? 

Kayaknya tidak. Aku tidak suka daun muda. 

Sementara mereka tengah beristirahat, aku memutuskan untuk memasak. Menyiapkan makanan untuk mertua beserta adik ipar.

"Rin, mau masak apa? Aku bantuin, ya?" 

Aku mengerutkan kening, merasa aneh dengan sikap Mas Andri. Tidak biasanya dia berbaik hati dengan membantuku di dapur. Sepertinya dia menginginkan sesuatu dariku.

"Tidak usah, Mas. Aku bisa sendiri," tolakku dengan jutek.

"Jangan gitu, dong, Rin. Aku kan sedang ingin membantumu, masa gak boleh, sih suami membantu istrinya."

Aku terdiam sejenak, melihat Mas Andri dengan sorot mata tidak suka. Aku benci dengan senyuman itu. 

"Nih, antarkan buah serta minuman segar ini saja, untuk Ibu. Setelah itu, aku tidak butuh bantuanmu lagi." Aku memberikan nampan kepada Mas Andri.

Dia pun mengambilnya dan segera membawa nampan itu ke kamar Ibu dan Ira.

Namun, sepertinya Mas Andri melupakan sesuatu. Ya, pisau yang seharusnya dia bawa untuk memotong buah, malah tertinggal di atas meja. Dengan malas, aku pun berjalan keluar dari dapur, berniat ke kamar Ibu.

Namun, saat akan mengetuk pintu, tidak sengaja telingaku mendengar percakapan Ibu dan anaknya. Mas Andri.

"Gimana dengan rencana kita, Andri?"

"Lancar, Bu. Semuanya berjalan seperti yang kita inginkan," jawab Mas Andri.

Rencana? Rencana apa yang mereka maksud? 

Jangan-jangan, mereka menyembunyikan sesuatu dariku.

"Hubunganmu dengan Hena gimana?" tanya Ibu lagi.

Aku semakin menajamkan pendengaran saat Ibu menyebut nama mantan menantunya itu.

"Baik, Bu. Semuanya baik-baik saja. Meskipun ... ya, Rini suka cemburuan."

"Ibu paham, tapi nanti juga biasa. Cemburu sama suami, itu wajar. Yang kurang ajar itu, jika istri minta cerai, nah itu baru kurang ajar."

"Iya, Bu benar," ujar Mas Andri membenarkan perkataan ibunya.

Jadi, di mata Ibu dan Mas Andri, aku ini istri yang kurang ajar, karena sudah minta cerai?

Baiklah, kalian akan lihat, bagaimana Arini yang kurang ajar ini bertindak. Membuka rahasia yang sedang kalian sembunyikan dariku.

"Mas, minta du*it, dong. Sekarang, Mas sudah kay*a, menikah dengan anak Juragan perahu. Gak mungkin, Mas gak punya du*it."

Mataku membulat mendengar ucapan Iriana alias Ira. Ternyata anak itu tidak sepolos yang aku kira. Berani minta uang juga ternyata.

"Tenang, untuk kalian sudah Mas sisihkan. Tapi tidak bisa sekarang, nanti kalau Arini sudah tidur, baru Mas bisa ambil uang itu."

"Memangnya, Mas menyembunyikan uang itu di mana?" tanya Ira lagi.

"Di dalam lemari," jawab Mas Andri.

Aku sungguh tercengang. Jadi selama ini Mas Andri selalu menyembunyikan uang dariku? 

Tidak bisa dibiarkan. 

Tadi dia bilang, di dalam lemari? Akan aku cari sekarang juga.

"Mas! Mas Andri!" Aku berteriak memanggil suamiku. 

Untuk melakukan pencarian, aku harus mengusir Mas Andri terlebih dahulu. Selain dia, tidak akan yang berani masuk ke kamarku.

"Apa, Sayang ...."

Rasanya aku ingin berubah menjadi ikan, dan berenang ke lautan. Agar tidak bisa lagi mendengar kata-kata manis dari bibirnya. 

"Tolong belikan udang, dong. Ibu ke sini, masa cuma disuguhkan ikan saja. Yang lebih spesial, boleh juga, kali, Mas."

Mata Mas Andri langsung berbinar. Dia senang aku memperlakukan keluarganya dengan baik. Tapi sayangnya, perlakuan dia padaku yang tidak baik.

"Boleh, Sayang, boleh banget. Yaudah, mana ua*ngnya." 

Aku memberikan ua*ng pecahan sera*tus r*ibu pada Mas Andri. Tidak menunggu lama, ia langsung pergi dengan semangat. 

Setelah Mas Andri pergi, aku pun mulai beraksi. Namun, sebelumnya aku ke dapur terlebih dahulu. Menyimpan pisau yang sedari tadi aku bawa, juga mengangkat gulai ikan tongkol dan memasukkannya ke dalam mangkuk.

Tadi bilang, Mas Andri menyembunyikan ua*ng di dalam lemari. Lemari mana? Lemariku, atau lemari pakaiannya?

Tanpa menunggu nanti, aku segera menggeledah semua lemari. Yang jadi tujuan utama, adalah lemari Mas Andri, karena kebetulan sebagian ruang sudah kosong. Pakaian Mas Andri yang aku keluarkan tadi, belum sempat aku masukkan lagi.

Namun, setelah aku mengeluarkan isi dari lemari Mas Andri, aku tidak menemukan apa-apa. Jangankan ua*ng, harumnya pun tidak tercium olehku.

Aku berhenti sejenak, memindai semua pakaian Mas Andri yang kini berserakan di lantai. Tanganku terulur mengambil satu persatu pakaian itu dan kembali membereskannya.

Saat aku akan membereskan alat solat milik Mas Andri, tiba-tiba aku merasa aneh ketika mengangkat dan mengambil dus sarung tenun milik Mas Andri.

"Kok, ringan?" kataku.

Penasaran, aku langsung membukanya, dan ... isinya mencengangkan. Ua*ng pecahan sera*tus rib*u menumpuk di dalam sana.

"Oh ... jadi ini simpanan Mas Andri? Kena, kamu, Mas."

Setelah mendapatkan apa yang aku cari, aku segera membereskan kekacauan yang aku buat. Kemudian, aku menyembunyikan uan*g itu di tempat yang paling aman menurutku.

Aku merebahkan diri di atas kasur, menghilangkan lelah dengan beristirahat sejenak. Karena sebentar lagi, Mas Andri akan pulang, dan aku akan kembali ke dapur untuk memasak udang yang dibawa Mas Andri.

"Mbak!"

"Astaghfirullahaladzim!"

Aku sangat kaget saat Ari masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. 

"Kamu ngapain masuk ke kamarku?" tanyaku dengan langsung duduk.

"Aku butuh energi, Mbak." Ari berjalan dengan menatapku tanpa berkedip.

Kurasakan jantung berdetak dengan cepat ketika melihat dia terus berjalan mendekatiku.

"Energi apa, maksudmu? Tidak sopan masuk ke kamar orang tanpa ketuk pintu," ujarku dengan tidak suka.

"Jangan marah-marah, Mbak. Aku hanya ingin bersenang-senang."

Deg!

Darahku berdesir panas mendengar kata terakhir yang dia ucapkan. 

Apa yang dimaksud bersenang-senang adalah ....

Bersambung

AN punya ipar meresahkan, Mak. Aduuuuuuhh, mau apa, ya kira-kira si ipar itu?

Penulis: Pena_Yuni
🍁🍁🍁

Bab 11 
Melintasi Waktu di Manokwari
Stevano Alfaro dijandro Hindom, mahasiswa Fakultas Sastra di Universitas Papua(UNIPA), adalah seorang pemuda yang memiliki hasrat besar terhadap sejarah dan sastra. Hobi membacanya membawa Stevano pada kisah-kisah masa lalu yang seringkali menghiasi lamunannya. Namun, tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia akan menjadi bagian dari kisah sejarah itu sendiri.

Pada suatu hari di tahun 2024, Stevano sedang meneliti tentang sejarah Papua Barat di perpustakaan kampusnya. Ia menemukan sebuah buku tua yang tersembunyi di pojok rak, tertarik dengan sampulnya yang usang dan judulnya yang misterius, "Manokwari: Jendela Masa Lalu". Buku itu tampaknya memanggilnya untuk membuka halaman-halamannya.

Saat jari-jarinya menyentuh lembaran buku tersebut, tiba-tiba ruangan di sekelilingnya berputar. Ketika semuanya kembali tenang, Stevano mendapati dirinya berdiri di tengah pasar ramai dengan langit yang lebih biru dan udara yang lebih segar. Ia berada di Manokwari, tapi bukan Manokwari yang ia kenal.  Semua terlihat lebih kuno, lebih sederhana. Langitnya tidak dipenuhi oleh pesawat, melainkan oleh burung-burung yang terbang bebas.

Stevano, yang kini sadar telah melakukan perjalanan waktu ke tahun 1968, merasa bingung namun terpesona. Ia berjalan menyusuri pasar, mencoba memahami apa yang telah terjadi padanya. Di antara keramaian, matanya tertuju pada seorang gadis yang sedang membantu ayahnya menjual ikan di sebuah para-para kecil.

Gadis itu bernama Insoraki Marlyn avalia Rumansara, seorang putri pribumi yang memiliki mata berbinar seperti mutiara yang terangkat dari lautan. Stevano terpaku, terpesona oleh keindahan alami dan kelembutan sikap Insoraki. Seiring dengan berjalannya waktu, Stevano dan Insoraki menjadi akrab. Mereka berbagi cerita, tawa, dan impian. Stevano mengajarinya tentang dunia di masa depan, sementara Insoraki menunjukkan kepadanya keindahan hidup yang sederhana dan nilai-nilai budaya yang kaya.

Hubungan mereka berkembang menjadi lebih dari sekadar pertemanan. Stevano merasakan cinta yang belum pernah ia alami sebelumnya, cinta yang tulus dan tanpa pamrih. Namun, di balik kebahagiaan itu, Stevano tahu bahwa ia tidak bisa tinggal selamanya di masa lalu. Ia juga menyadari bahwa cintanya pada Insoraki mungkin akan menyebabkan kerumitan pada garis waktu.

Dengan berat hati, Stevano memutuskan untuk mencari cara kembali ke tahun 2024. Insoraki, meskipun bersedih, mengerti bahwa Stevano bukanlah bagian dari dunianya. Sebelum berpisah, Stevano menjanjikan Insoraki bahwa cinta mereka akan abadi, melewati batas waktu dan ruang.

Stevano kembali ke perpustakaan UNIPA, di tahun 2024, dengan hati yang penuh rasa rindu. Ia kembali menjadi mahasiswa biasa, namun dengan kenangan yang akan ia genggam erat selamanya. Setiap kali ia melihat buku "Manokwari: Jendela Masa Lalu", ia tersenyum, mengingat gadis yang telah mengubah pandangannya tentang cinta dan kehidupan.

Stevano tidak tahu apakah perjalanan waktunya itu nyata atau hanya ilusi, tapi ia tahu satu hal: cintanya pada Insoraki Rumansara, gadis dari masa lalu, adalah nyata dan akan selalu hidup dalam setiap kata yang ia tulis dan setiap nafas yang ia hirup. Di kota Manokwari yang kini telah banyak berubah, ia menemukan inspirasi untuk menulis kembali kisah yang ia alami.

🍁🍁🍁

Bab 10
Pergi Keluar Kota
Cerita. Novel Ani
Setelah selesai membuat kopi, Pak Heru pergi ke ruang tamu sembari menikmati kopinya.

Pak Heru menyeruput kopinya, lalu menyalakan sebatang rokok.

“Sialan gara-gara Erna, gua jadi nggak bisa tidur.” Gumamnya merasa kesal, lalu kembali menghisap rokoknya.

Tak terasa sudah 1 jam Pak Heru duduk diruang tamu sambil menikmati kopi hitamnya.

Malam semakin larut, tak terasa sudah pukul 23:30 Malam.

Akhirnya Pak Heru mulai mengantuk. Setelah itu dia kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

******

Keesokan harinya...

Pukul 07.00 pagi.. Bu Mita sudah terbangun dari tidurnya.

Karena hari ini dia akan pergi keluar kota, Bu Mita bangun lebih awal, agar tidak terlambat.

Bu Mita bersiap-siap merapikan semua barang-barangnya, Bu Mita juga membawa beberapa pakaian ganti, karena ia akan menginap selama 3 hari disana.

Sementara Pak Heru masih tertidur pulas diatas tempat tidurnya, karena semalam Pak Heru begadang hingga larut malam.

Setelah semuanya siap, Bu Mita membangunkan suaminya untuk berpamitan, karena hari ini dia akan pergi ke luar kota bersama bossnya.

“Pah bangun, mamah mau berangkat sekarang.” Ujar Bu Mita sambil menggoyang-goyangkan bahu suaminya.

Tak lama Pak Heru terbangun dari tidurnya.

“Mamah mau berangkat sekarang?” Tanya Pak Heru lalu menggosok matanya karena masih sangat mengantuk.

“Ia pah, mamah mau berangkat sekarang.” Jawab Bu Mita lalu menatap wajah suaminya yang masih sangat mengantuk.

“Ya udah mamah hati-hati ya di jalannya.” Pesan Pak Heru.

“Papah hari ini masuk kantor nggak?” Tanya Bu Mita.

“Masuk mah, soalnya dikantor lagi banyak kerjaan, apalagi kemarin papah nggak masuk, pastinya kerjaan Papah makin menumpuk.”

“Ya sudah kalau gitu papah mandi dulu gih.” Kata Bu Mita.

“Ia mah.”

“Ya udah mamah berangkat sekarang ya.” Ujar Bu Mita lalu mencium tangan suaminya.

“Mamah jaga kesehatannya ya.” Pesan Pak Heru.

“Ia pah.”

Setelah berpamitan, Bu Mita pergi keluar sambil menyeret kopernya.

Sesampainya di luar, Bu Mita pergi ke depan rumahnya untuk menunggu Taxi yang biasa lewat di depan rumahnya.

Saat Bu Mita sedang berdiri di depan pintu gerbang rumahnya, tak lama Mobil sedan berwarna putih datang menghampirinya.

Tiiin....Tiiin.... Suara Klakson mobil..

Tak lama kaca jendela mobilnya terbuka.

Bu Mita sontak kaget ketika melihat Bosnya tiba-tiba berhenti di depan gerbang rumahnya.

“Pak Roger.” Ujar Bu Mita.

“Ayo Mita cepat masuk.” Kata Pak Roger, lalu melihat Bu Mita yang masih berdiri disamping pintu mobilnya.

Bu Mita lalu masuk kedalam mobilnya, kemudian duduk di depan bersama Bosnya.

“Bapak nggak perlu repot-repot jemput saya, saya bisa naik Taxi kok.” Kata Bu Mita, karena merasa tidak enak dengan Bosnya.

“Kelamaan Mita, saya takut kena macet.” Ujar Pak Roger lalu mengemudikan mobilnya.

“Ia sih Pak.” Sahutnya.

“Kamu sudah izin belum sama suami kamu?” Tanya Pak Roger sembari mengemudikan mobilnya.

“Udah Pak.”

“Oh ya Mita angkat dong rok nya.” Pinta Pak Roger sembari terus mengemudikan mobilnya.

“Pak jangan disini bahaya, saya takut ada yang melihatnya.” Kata Bu Mita merasa takut, karena situasi jalan cukup ramai.

“Sebentar aja sayang, cepetan saya lagi pengen banget nih.” Kata Pak Roger sedikit memaksa.

Bu Mita dan Pak Roger sudah sangat lama memiliki hubungan spesial.

Pak Roger sangat tergila-gila dengan Bu Mita, karena Bu Mita memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang sangat seksi. Sehingga Pak Roger ingin selalu menikmati tubuh Asistennya.

Selama ini Pak Heru tidak mengetahui hubungan istrinya itu dengan bosnya, karena memang Pak Heru sangat sibuk dengan pekerjaannya, hingga ia tidak memikirkan hal itu.

Pak Heru juga sangat percaya kepada istrinya, kalau istrinya itu sangat Setia kepadanya.

Bu Mita kembali berkata.

“Saya mohon Pak nanti aja kalau sudah sampai di lokasi.” Sahut Bu Mita lalu memasang wajah memohon.

“Ya sudah kalau begitu, nanti sebelum main kita minum-minum dulu ya, biar lebih puas.” Kata Pak Roger.

“Ia Pak.” Sahutnya patuh.

Setelah 7 jam perjalanan, Akhirnya mereka pun tiba di lokasi.

“Akhirnya kita sampai juga Mita.” Ujar Pak Roger lalu menarik napas panjang karena perjalanannya sangat melelahkan.

Pak Roger sengaja tidak mengajak sopirnya karena ingin lebih leluasa berduaan bersama Asistennya.

“Ia pak akhirnya kita sampai juga.” Sahut Bu Mita lalu melepaskan sabuk pengamannya.

“Ya udah yuk kita masuk dulu.” Ajak Pak Roger lalu keluar dari mobilnya.

“Ia Pak.”

Setelah itu mereka berdua langsung masuk ke dalam Villa yang sudah dipesan oleh Pak Roger.

Setelah tiba di dalam, Pak Roger langsung membantingkan tubuhnya diatas sofa, karena tubuhnya terasa lelah.

“Oh ya Mita tolong ambilkan minumannya dong.” Kata Pak Roger.

“Baik Pak.” Bu Mita kemudian pergi keluar untuk mengambil beberapa botol minuman yang disimpan di bagasi mobil.

Setibanya di depan Bu Mita langsung membuka bagasi mobilnya, lalu mengambil beberapa botol minumannya, setelah itu Bu Mita kembali lagi ke Villa.

“Ini Pak minumannya.” Ujar Bu Mita lalu meletakkan botol minumannya di atas meja.

“Tolong ambilkan gelasnya sayang.” Kata Pak Roger.

“Baik Pak.” Bu Mita lalu pergi ke dapur untuk mengambil gelasnya, Sementara Pak Roger sedang membuka botol minumannya.

Tak lama Bu Mita kembali lalu menaruh gelasnya di samping botol minumannya.

“Ini Pak gelasnya.” Kata Bu Mita.

“Terima kasih sayang.” Kata Pak Roger lalu menuangkan minumannya ke dalam gelas.

“Iya Pak sama-sama.” Sahutnya

Pak Roger lalu meneguk minumannya hingga kering, karena memang tenggorokannya sudah sangat kering, dan Pak Roger juga ingin segera terbang ke atas awan.

Setelah itu Pak Roger kembali menuangkan minumannya ke dalam gelas, lalu Ia berikan minumannya kepada Bu Mita, agar Bu Mita bisa ikut terbang bersamanya ke awan.

“Ayo sayang diminum dulu.” Ujar Pak Roger.

“Terima kasih Pak.” Sahut Bu Mita lalu meneguk minumnya hingga kering.

Awalnya Bu Mita tidak suka minum, karena rasanya sangat pahit.

Namun semakin lama ia meminumnya, Bu Mita mulai terbiasa dan akhirnya Bu Mita juga mulai menikmatinya.

Pak Roger kembali menuangkan minumannya ke dalam gelas yang sudah kering, lalu kembali meneguknya.

Tak terasa sudah 1 jam Pak Roger dan Bu Mita menikmati minumannya, hingga akhirnya mereka berdua sudah mulai teler.

Pak Roger lalu meminta Bu Mita untuk mengunci pintu Villanya, agar tidak ada satu orang pun yang mengganggunya.

“Sayang kunci dulu pintunya.” Kata Pak Roger lalu membuka seluruh pakaiannya, Karena sudah tidak sabar ingin secepatnya menikmati tubuhnya Bu Mita.

“Baik Pak.” Bu Mita lalu pergi ke depan untuk mengunci pintu Villanya, setelah itu ia kembali ke ruang tamu lalu duduk di samping bosnya.

“Ayo Sayang buka baju kamu.” Kata Pak Roger yang sudah tidak kuat lagi menahan hasratnya.

“Ia Pak.” Sahutnya patuh lalu membuka semua pakaiannya.

🍁🍁🍁

Bab 9 
MEMBAWA CINTA KE PAPUA

(Mr. Nomen Douw)
 
Wanita Sunda Melayu, kelahiran tanah Jakarta, namanya Mitta. Ia harus ke Papua bertemu dengan cintanya. Mitta belajar tentang ilmu sosial selamah lima tahun dikampus dan Ia banyak membaca buku umum seperti bapanya seorang jurnalistik senior di korang Tempo. Mitta berkeinginan menulis tentang Papua setelah Ia menyelesaikan pendidikan S1 di kampus ternama di Kota Metropolitan Jakarta, Universitas Nasional [UNAS]. 

Setiap saat Ia memburu perkembangan ekonomi politik yang terjadi di Papua melalui media online. Sakin tertariknya terhadap dunia Papua, Mitta berteman dekat dengan Yosep, hanya Dia orang asli Papua di angkatan mereka kuliah di kampus Unas. Yosep anak asli Papua asal Kampung Puay Sentani yang menempu Pendidikan bersama Mitta, Yosep suka membaca buku.

Satu Minggu terakhir sebelum Mitta pergi ke Papua, dirumah, Mitta harus berdebat dengan mamanya, mamanya melarang Mitta berangkat ke Papua:

“Mama satu minggu lagi saya akan berangkat ke Papua,” Kata Mitta sambil melepas sepatu masuk kerumah. 

“Untuk apa ke Papua, disana daerah kongflik,” Larang mamanya.

“Saya mau bertemu Cinta,” Balas Mitta

“Mitta, kamu gila?,” Marah mamanya melarang Mitta. 

“Cukup mama, hidup besok adalah hidup saya,” Ucap Mitta kepada mamanya dan masuk kamar. 

“Ini mama, dengar Mitta,” Balas mamanya mengejar Mitta ke kamar.

“Cukup mama, satu Minggu Lagi, Bye...!!,” Balas Mitta sambil menutup pintu kamar dan diam.

Mitta lahir 22 Oktober 1993, lahir di ibu kota Indonesia, Jakarta. Bapaknya telah almarhum pada sepuluh tahun yang lalu. Seluruh hidup bapaknya habis didunia kertas dan pena, hidupnya berakhir dengan jurnalistik tempo yang dikenal terbaik. Mita Ingin menjadi bapaknya.

Mama Mitta seorang pengusaha yang cukup sukses di wilayah Jakarta, memiliki rumah yang bagus dan memiliki mobil dan motor lebih dari satu, tapi mamanya telah menikah dengan pria keturunan tionghoa di Jakarta, seorang pengusaha kelas satu diwilayah ibu kota Indonesia, mereka miliki beberapa ruko dan hotel berbintang lima di Jakarta. Tapi lain bagi Mitta, pikiran Mitta biasa saja, Ia ingin hidup sederhana seperti kata-kata bapaknya sebelum meninggal. 

Hari sabtu malam Mitta sudah siap rapi, beberapa buku bacaan sudah dalam tas, baju tidak banyak, secukupnya. Ia akan tinggalkan rumah bersama mamanya demi cinta yang perna hadir walaupun hanya singkat dalam waktu yang tidak diduga: 

“Mama, sudah satu minggu lewat dan saya harus berangkat,” Jelas Mitta tanpa ragu kepada mamanya. 

“Mitta kamu mau cari apa di Papua, bahaya disana,” Jelas mamanya menahan Mitta tidak ke Papua.

“Sudahlah mama, saya ingin hidup disana,” Balas Mitta kepada mamanya.

“Oke, nanti pulang cepat kalau ada apapa, bentar nanti cek, mama nanti krim uang jalan,” Balas mamanya biarkan Mitta ke Papua.

“oke mama, makasih, da...da...mama.” Balas Mitta pamit dari rumah naik mobil. 

Mitta sudah kenal sama Yosep selamah lima tahun, anak Papua yang suka buku sosial juga, Yosep satu jurusan dengan Mitta di kampus Unas. Selamah mereka kuliah, mereka sering diskusi di cafe tentang ilmu sosial dan pengetahuan umum. Setelah mereka berpisah dua tahun lebih dari Jakarta. Yosep sudah lama di Papua menikah dengan perempuan Papua namum berpisah karena maut yang datang tak dipangil, rupanya mereka akan bertemu di Papua dan itu janji di malam terakhir sebelum paginya Yosep akan berangkat dari kos warna biru nomor 05:

Telfon masuk di hpnya Yosep, “Halo Mitta,”.

“Saya sudah dalam pesawat tujuan Jayapura”, Jelas Mitta kepada Yosep.

“Serius ini?,” Kaget Yosep.

“Yosep, ia Ini serius, besok pagi jemput saya,” Balas Mitta, singkat.

“Ya..Mitta, sama siapa?,” Tanya Yosep lagi.
“Sendiri,” balas Mitta.  
  
“Kenapa kamu datang?, nanti tinggal dimana?,” Tanya lagi Yosep. 

“Sudah jemput saya besok pagi, ini janji kita Yosep, igat kan?”, Singkat Mitta.

“Ia baik,” Yosep.

Pagi jam 09:23 Waktu di Sentani Papua, cuaca sungguh baik menyambut Mitta injak tanah Papua. Yosep sudah berdiri di pintu keluar di gedung Bandar Udara Sentani, Jayapura, Papua. Penampilan Yosep berubah selamah dua tahun lebih di Papua, Dia jarang merapikan rambut dan jenggot selayaknya di Jakarta waktu kuliah. Yosep kebanyakan tinggal di kampung, jarang ke kota dan Yosep suka kesunyian di kampung Puay Sentani Timur, Jayapura, Papua. Kampung yang menempel dibibir Danau Sentani.

Mata Yosep melihat Mitta keluar memegang coper dan gendong tas yang sering Mitta pakai dulu semasa kuliah di Jakarta,“Hey..Mitta,” tiga kali Yosep memanggil, hampir Mitta lupa pada Yosep: 

“Hai, Yosep”, Balas Mitta melihat Yosep, Mitta Memeluk.

"Kamu sudah berubah Yosep, " Ucap Mitta melempar senyuman pertama. 

"Ia, begitulah," Balas Yosep membalas tersyenyum. 

Yosep membantu pegang coper”, Ayo kita jalan”, ajak Yosep ke Mitta. 

“Ayo, Mobilmu dimana?”, Tanya Mitta.

Kaget Yosep, “Ya..Mitta, saya tidak punya mobil, saya hanya punya motor Jupiter lama”, balas Yosep.

“Okey, Ayo, " Balas Mitta dengan semangat. 

Motor yang sedikit lambat, tidak seperti beberapa motor yang kuat di kota Jayapura. Sampai di parkiran Motor:

Yosep menunjukkan motornya,” Lihat Mitta, ini motor saya, kamu harus pake Mobil nanti saya sesuaikan dengan motor”

“Yosep, kamu pikir apa?, lima tahun kita bersama dikampus Unas di Jakarta, Kamu kan sudah tau saya, kan saya suka hal-hal yang sederhana begini, apapun kita bersama disini” Jelas Mitta kepada Yosep.

Ajak Yosep,”Ayo, kita berangkat”

Coper coklat berdiri memanjang di depan, Yosep menyetir motor, kota Jayapura cerah, melaju pelang, Yosep dan Mitta. Yosep masih bigung dan merasah aneh, Mitta akan kemana dan urusan apa ke Papua, Ia lupa kalau malam terakkir mereka tidur di kos adalah malam yang sangat special untuk Mitta, Yosep hanya biasa saja:

“Mitta, saya antar kamu kemana?, saya harus pergi ke kampung saya, bapa saya sakit di kampung”, Tanya Yosep setelah bertanya-tanya dalam hati.

Singkat Mitta, “Saya ikut kamu Yosep”

Yosep bertanya,” kamu ke Papua urusan apa?”

“Yosep, kamu dengar, saya ini temanmu, saya hanya lagi belajar jatuh cinta dengan orang Papua, Emanya tidak boleh saya jatuh cinta sama orang Papua”, Tegas Mitta.

Yosep kaget dan berbisik dalam hati, ternyata Mitta cari cinta di Papua tapi tidak, bagi Mitta Yosep adalah cintanya, Ia ke Papu demi Yosep setelah melihat story Yosep, Ia lajang setelah Istri dua anak itu meninggal karena musibah longsor di Kaki gunung Siklop Sentani. Aduh saya suka Mitta dari dulu waktu di Jakarta, tapi saya punya anak satu, Istri saya sudah meninggal terkena musibah longsor. Rumah saya jauh dari sederhana, gubuk dengan papan tripleks dan sebagian daun seng bekas.

Balas Yosep,”Okey tapi rumah saya tidak layang Mitta, kamu bisa munta-munta disana”

Balas Mitta, “Dimana pun layak bagi kamu Yosep, itulah saya bisa tinggal disana”, 

“Mitta kamu tinggal di Hotel saja?,” Minta Yosep. 

“Tidak Yosep, kita kerumahmu saja,” Minta Mitta tetap ke rumahnya Yosep.

Rumah Yosep di Kampung Puay Sentani Timur, kampung yang menempel di danau Sentani, tempat Yosep lahir dan besar disana. Yosep perna memiliki Istri namun meninggal tertimbung longsor pada 16 Maret 2019 sementara Istrinya pergi bermalam dikeluarga bersama anak keduanya yang masih balita, meninggal bersama balita dibelukan mamanya.

Yosep tinggal bersama bapaknya yang telah lansia berumur 79tahun dan anak pertama Yosep yang sudah empat tahun:

“Rumah agak jauh dan sunyi dari kota,” Jelas Yosep. 

“Saya suka Yosep, ramai salah satu alasan saya tinggalkan Jakarta,” Balas Mitta. 

Setelah satu jam diatas motor menuju kampung, Yosep dan Mitta sampailah dirumah, di kampung Puay yang sunyi dibibir Danau Sentani. 
Bapa Yosep sedang duduk makan pinang depan teras rumah:

”Siang anak,” balas bapa Yosep setelah Yosep dan Mitta beri salam dari pintu masuk mata jalan. 

“Lihat Mitta, inilah gubuk kami yang tidak layak, seharusnya kamu harus nginap tempat yang lebih baik,”. Jelas Yosep sambil menunjukkan kondisi rumah.

“Yosep, cukup kamu bicara begitu, saya sudah bilang tadi, ini yang saya suka,” Tegas Mitta kepada Yosep lagi.

Yosep terdiam dan menggajak Mitta memandanggi danau yang teduh dan cantik dibalik rumah. Mitta kagum dengan wajah danau sentani: 

“Cantik sekali danau Sentani, " Mitta merasah jiwanya terobati. 

“Ia, inilah danau sentani, " Singkat Yosep. 

“Yosep anak mu yang ditinggalkan Ibunya dimana?,” Tanya Mitta setelah duduk. 

Yosep kaget dan berkata dalam pikiranya, Mitta tahu darimana tentang ini semua, Yosep ingin menyembunyikan semua itu tapi tidak, Mitta sudah tahu: 

"Kok, Mitta tau?,” Tanya heran, Yosep. 

“Ia tahulah, jejakmu berlebihan di facebook,” Balas Mitta. 

Nampaknya Mitta sudah ikuti Yosep di platform media facebook: 

“O...ia begitulah,” Balas Yosep memandanggi danau, sedih. 

“Kamu tunggu disini saya siapkan papeda kita makan”, Yosep berdiri dan masuk kerumah, dapurnya.

Bapaknya sudah menanti untuk bertanya di dapur:

“Yosep, Itu perempuan apa yang kamu bawah datang, suruh Dia pulang bapa tidak punya Uang Yosep,” Tanya bapaknya dengan tegas.

“Bapa itu saya punya teman kuliah dulu di Jakarta,” Jelas Yosep. 

“O.....ia pikir ko punya maitua baru jadi bapa bilang,” Balas bapaknya.

“Kalau maitua kenapa jadi bapa?,” Tanya Yosep gegas menyiapkan papeda untuk makanan siang.

“Yosep, ko igat, jangan sentu Dia, bapa tidak punya Uang dan tidak mau malu depan banyak orang,” Jelas bapaknya kepada Yosep.

“Bapa Dia itu anaknya orang kaya di Jakarta, mamanya pengusaha besar di Jakarta dan bapa keduanya orang China, pengusaha sukses juga,” jelas Yosep.

“Makanya itu, pasti mereka tidak setuju sama kau Yosep,kamu hanya anak kampung dan tidak punya apapa, rumah hanya di kampung, dapat uang lima ribu saja tidak mampu sehari, Yosep Igat, kita ini keluarga yang miskin,” Bapa Yosep berkata keras dalam sedih. Yosep terdiam:

“Bapa mantu sudah cukup, saya suka kehidupan yang sederhana seperti ini walaupun bapa dan mama saya orang kaya di Jakarta. Ayahku seorang yang hidup sederhana seperti kalian tapi mama saya tidak, bapa saya sudah meninggal waktu saya kecil, mama saya menika lagi dengan pria china yang kaya raya, Ayah saya mendidik saya harus mencintai yang sederhana dan saya suka suka Yosep sejak kami kuliah di Jakarta dan saya sudah mencintai Yosep bapa,” Jelas Mitta membela diskusi serius antara Yosep dan bapaknya di dapur, Ia mendegar dibalik pintu dan Mitta tersentu dan Ia harus menjelaskan perasahanya ke bapanya dengan bercucur linang air mata. Yosep dan bapaknya terpaku diam. Dengan sedih yang mendalam, Mitta memeluk Yosep:

“Yosep, saya punya Uang di rekening, mama selalu krim setiap minggu, saya punya banyak uang direkening hari ini. Tapi tidak Yosep, perasahaan saya tidak mampu saya amputasi dengan uang, sudah lama saya suka kamu dan puncaknya dimalam itu, itulah alasan utama saya harus bertemu kamu dan tinggal disini bersama,” Jelas Mitta sambil memegang tanggan Yosep. 

Yosep diam terkunci, tidak menduka hal ini, tapi Dia ingat waktu masa kuliah selalu bersama Mitta semenjak semester satu, Ia Ingat perna bersama Mitta, tidur di kosnya sebelum Yosep pulang jedah satu minggu ke Papua. Yosep menjadi orang pertama yang menyentu tubuh Mitta. Mitta sulit melupakan Yosep selain Ia sakit hati waktu Yosep mempostin photo bersama istrinya di facebook: 

“Bapa, besok kita renovasi rumah dan kita lengkapi semua,” Jelas Mitta kepada bapanya Yosep.

“Makasih anak, tapi kamu tidak pura-pura mencintai Yosep?,” Tanya bapaknya Yosep.

“Tidak bapa, Yosep cinta pertama saya, Dia mengganjari saya hal-hal yang berbedah dan tidak lama lagi kita menikah,” Balas Mitta sambil melihat Yosep, Yosep tersyum. 

Anak Yosep namanya Lena pulang dari sekolah, Ia menyapa selayaknya anak sekolah pulang kerumah: 

“Bapa sudah pulang,” Pangil Lena memeluk Yosep, bapaknya. 

“Itu siapa bapa?,” Tanya Lena kecil setelah wajah mengarah ke Mitta. 

“Mari peluk mama,” Sambut Mitta kepada Lena kecil. 

Lena kecil langsung memeluk Mitta, Lena sudah lama rindu seorang mama seperti mamanya yang telah lama pergi karena musibah bersama adik kecil Lena. Dalam pelukanya Lena, Mitta berkata, kita akan hidup bersama Lena, saya mama kamu, hidup dalam natural alam bersama kesederhanaan hidup kita disini. Inilah keluarga yang saling mencintai kebahagiaan dan masa sulit nantinya. 

Satu bulan lamanya mereka hidup di kampung Puay seperti satu keluarga yang telah kembali bertemu. Mitta sudah renovasi rumah serta melengkapi isinya. Mitta juga membeli motor untuk akses ke kota. 

Sore matahari mulai tenggelam di pundak perbukitan Papua diseberang danau Sentani, diatas kota Sentani. Yosep dan Mitta duduk di pinggiran danau sentani:

“Yosep, saya sudah hamil lima bulan, saatnya saya harus beritahu orang tua saya di Jakarta,” Kata Mitta memandanggi wajah berjengot, Yosep.

“Ayo, telfon sekarang,” Balas Yosep memeluk Mitta. 

Telfon masuk ke handphone mamanya, trik...trik...trikk.

“Mitta ayo pulang, sudah lama kamu di Papua, bahaya lho, " Jelas mamanya. 

“Mama, Mitta minta maaf, saya sepertinya mencintai Papua dari Jakarta dan mama tahu, saya ke Papua mencari Cinta Sejahtiku,” Jelas Mitta kepada mamanya.

Mamanya kaget,”Apa, Mitta mencari cinta Sejatinya?,”

“Ia mama, saya ke Papua bukan karena Ilmu saya sebagai seorang sarjana antropologi tapi, saya ke Papua mencari Cintaku waktu kami kuliah, Dia Pria hitam yang sederhana, saya cinta lebih dari segalanya,” Balas Mitta kepada mamanya.

Mamanya sedikit aneh dan bertanya, “Jadi, Cintamu laki-laki Papua,”

“Ia mama benar, saya mencintainya”, Balas Mitta sambil memandanggi Yosep dari dalam pelukanya. 

Mamanya terdiam dan Mitta berkata lagi:

”Mama pasti tidak bisa lupakan bapa yang sudah meninggal tinggalkan saya karena Dia pria pertama bagi mama,”

“Ia Mitta benar,” Balas mamanya dengan lembut. 

“Mitta juga demikian, dan itulah saya ke Papua demi cintaku,” Jelas Mitta kepada mamanya.

“Saya minta maaf mama, saya sudah hamil lima bulan dan ini cucu dari mama, Dia akan memanggil nene,”, Jelas Mita.

Mamanya kembali heran dan bertanya,” kamu hamil?,”

“Ia mama,” Balas Mitta. 

“Mana Bapanya yang kamu cinta itu,” Tanya mamanya.

Minta memberikan handphone kepada Yosep:

 ”Hallo mama, saya minta maaf,” Kata Yosep. 

“Kamu pria hebat, kita akan berjumpa,” Singkat mamanya Mitta kepada Yosep dan mamanya langsung matikan hanphone. 

Mitta menelpon lagi ke mamanya:

” Hallo Mitta,” Balas mamanya. 

“Mama marah saya dan Yosep?, Ini bukti cinta kita mama,” Jelas Mitta kepada mamanya.

“Mitta, mama akan ke Papua,” Singkat mamanya.

“Ia mama, kami dua harus menikah secepatnya,” Balas Mitta. 

“Mama akan urus semua dan jaga bayi kecil kita,” Jelas mamanya sambil Ia memimpin rapat di kantor perusahaanya di Jakarta. 

“Makasih mamaku,” Singkat Mitta. 

“Ia,” Tutup mamanya. 

Dua minggu kemudian, mamanya tiba di Papua, Ia memanggil Mitta ke penginapan, di hotel Green Abe. Mitta bersama Yosep berangkat ke Abe. Mamanya salam Yosep tak berkata apapun, Mama Mitta perintakan untuk menikah dua hari kedepan karena mamanya harus kembali Jakarta secepatnya.

Hari Rabu pagi, semua teman Yosep dan warga di kampung menghadiri acara pernikahaan antara Yosep dan Mitta di kampung Puay, sangat meriah. Mitta menggubah hidup Yosep lebih baik bersama kadar cinta yang Ia miliki. 

Beberapa kampung disekitar kampunya bersama telah merayakan. Besoknya mama Mitta akan kembali ke Jakarta, Ia meninggalkan 40milyar untuk Mitta dan Yosep:

“Mitta, nanti buat usaha dan hidupkan beberapa kaluarga untuk kemajuan ekonomi micro di daerah sini,” Kata mamanya kepada Mitta dan Yosep. 

“Nanti telfon jika perlu,” Kata mamanya sambil Ia naik mobil kembali ke penginapan.

Cinta Mitta mengubah beberapa kampung di sekitar kampunya Yosep, jalan-jalan dibagun menggunakan Uang pribadi dari Mitta dan Yosep, beberapa kios dibinah oleh Yayasan Ekonomi yang Mittal dan Yosep bangun untuk warga kampung dari beberapa kampung yang bisa muda dijangkau. Anak mereka lahir, anak laki-laki, nenenya memberi nama PABUTA artinya PAPUA BUTUH CINTA. Nenenya berharap dengan kekayaan mamanya yang akan jatuh ke tanggan Mitta dapat menggubah Papua dari hati dan pikiran.

“Hey,..PABUTA, pemimpin masa depan Papua yang lahir dari rahim perempuan melayu,” Gemas nenenya dirumah sakit Dok dua Hollandia Jayapura Papua. 

 🍁🍁🍁


Bab 8 
DIAM-DIAM SUAMIKU MASIH MENJALIN HUBUNGAN DENGAN CINTA PERTAMANYA. AKU TAK MARAH, JUSTRU INI YANG KULAKUKAN PADANYA 
"Tiga minggu, Bu. Dihitung dari terakhir masa haid," ucap bidan yang kukunjungi. 

Aku memandang testpack di tangan tanpa berkedip, langsung mengucap syukur. Meskipun sebelumnya aku sudah mengetahui kehamilan ini, tetapi tetap saja rasanya seperti tertusuk ribuan jarum yang tak kasat mata karena aku mengandung tanpa sepengetahuan papa dari anak ini. Itulah alasannya.

Aku tidak menyesal akan kehadiran anak ini. Tetapi yang aku sayangkan adalah kehadirannya yang tidak tepat waktu. 

Aku pulang begitu selesai pemeriksaan. Tak lupa membeli vitamin yang disarankan oleh bidan tadi.

Tak ada alasan lain yang membuatku bertahan, terkecuali harapan akan bertemu dengan bayi yang sedang kukandung. Tak mengapa jika papanya tak tahu. Kalaupun mas Randi mengetahui, belum tentu dia senang dengan kehadiran buah hatinya.

**

Tak terasa, sudah dua bulan aku meninggalkan rumah. Menjauh dari kehidupan yang sebenarnya bergelimang harta.

Meskipun aku kini hidup dengan pas-pasan, tetapi ada ketenangan di hati ini. Setidaknya aku tak perlu lagi menahan sakit hati karena berulangkali menahan beban akibat kelakuan mas Randi.

Aku hanya perlu memikirkan bagaimana kehidupan kami setelah ini. Tak kuperdulikan lagi papanya yang mungkin saat ini tengah berbahagia, karena tidak ada lagi orang yang membebaninya.

Bukannya aku tidak bersyukur hidup serba kecukupannya saat bersama mas Randi, tetapi siapa pun orangnya akan memilih mengalah apabila sang suami jelas-jelas lebih memihak wanita lain.

Untuk apa bersanding dengan laki-laki yang tidak bisa melupakan cinta masa lalunya? Akan lebih baik jika aku menyingkir. Dengan begitu, aku merasa lebih nyaman dan mas Randi pun terbebas dari beban.

"Mbak Nisa, tolong bawa ini ke etalase. Tolong bantu-bantu di depan juga ya, Mbak," ucap mbak Hana, pemilik toko kue tempatku bekerja.

"Baik, Mbak."

Kuangkat sebuah nampan berisi kue yang baru keluar dari oven. 

Dua hari ini memang sedang ada acara gathering di perusahan samping toko kue mbak Hana. Kami sampai kerepotan karena mendapat pesanan. Belum lagi para karyawan yang mampir untuk membeli kue untuk oleh-oleh.

Aku dipercaya membantu membuat adonan. Masih karyawan baru, jadi aku diberi tugas yang ringan-ringan lebih dulu.

Kadang-kadang jika keadaan toko sedang ramai begini, barulah ada tugas tambahan, yaitu membantu karyawan yang tugasnya di depan.

Seperti hari ini, ada banyak sekali pembeli yang harus dilayani. Terlalu ramai hingga para pembeli harus berjubelan dan rela mengantri.

"Bu Anisa kan?"

Seorang pembeli ternyata ada yang mengenaliku saat aku membungkus pesanannya.

Aku memastikan diri wanita yang baru saja memanggil. Wajahnya seperti tak asing lagi. Tapi ... siapa ya? 

Aku lupa meski berusaha mengingat-ingatnya.

"Bu Nisa lupa denganku?" tanyanya lagi.

"Siapa ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Saya Firni, Bu, istrinya mas Aryo. Bu Nisa pernah datang ke acara resepsi pernikahan kami bersama pak Randi. Ibu ingat?"

"Oh, iya. Saya ingat. Oya, ini pesanannya." Aku menyerahkan box yang berisi kue pesanannya, kemudian melayani pembeli yang lain.

Dia mengenaliku karena suaminya adalah bawahan mas Randi. Untuk itu, aku tidak ingin terlibat perbincangan dengannya. Takut terpancing.

"Bu Nisa, bisa kita bicara sebentar?"

Aku yang disibukkan membungkus kue tidak terlalu menanggapi permintaan Firni.

"Bu," panggilnya.

"Maaf, saya sibuk sekali," jawabku.

"Sebentar saja. Ini soal pak Randi." Mendengar nama itu disebut, aku menghentikan aktivitas.

Aku meliriknya, wanita ini terlihat serius sekali. Apa dia tau tentang persoalanku dengan mas Randi?

"Sekali lagi maaf, saya sedang sibuk."

Aku berpindah tempat untuk melayani pembeli lain. Tujuanku agar Firni tidak lagi memohon untuk berbicara denganku. Dia mungkin akan membahas masalah mas Randi.

Setelah beberapa saat aku sengaja sibuk, Firni pergi dengan sendirinya.

*

Jam sembilan malam aku keluar dari toko kue ini. Di hari-hari biasanya hanya sampai jam lima. Aku sengaja mengambil lembur dengan bayaran yang lumayan. Karena jarang-jarang toko ini lembur kalau bukan waktu-waktu ramai begini.

Jalanan masih ramai. Maklum, malam ini adalah malam minggu, ditambah lagi malam puncak acara di perusahaan samping toko kue. 

Aku harus menunggu ojek online yang sudah kupesan. Sambil menunggunya, aku pun memilih duduk di sebuah kursi, masih di depan toko kue ini.

Saat aku baru saja mengenyakkan tubuh, entah dari mana sangkanya seseorang sudah berdiri di hadapanku. 

"Nisa," sebutnya.

Panggilannya tentu saja membuatku sangat terkejut. Tanpa perlu melihat wajahnya, aku bisa menebak siapa pemiliknya. Untuk memastikan, aku pun mendongak.

"Mas Randi?"

Di tengah keterkejutanku, tiba-tiba tanganku ditariknya.

"Ayo, kita pulang!"

"Lepaskan!" tolakku masih dalam posisi duduk.

"Jangan lari dari masalah. Ayo kita pulang sekarang!"

Mas Randi menarikku kembali. Kali ini lebih kuat sehingga aku terpaksa dibuatnya berdiri.

"Aku akan pulang, tapi tidak ke rumahmu."

"Jangan bercanda. Kamu masih istri sahku."

"Istri katamu, Mas? Sejak kapan kamu menyadari kalau aku ini istrimu? Sejak aku pergikah?"

"Nisa! Kenapa kamu jadi pembangkang begini?" Mas Randi membentakku. Bahkan seruannya di dengar oleh beberapa pejalan kaki yang kebetulan sedang lewat.

"Sudahlah, Mas. Aku sudah capek. Aku ingin kita hidup sendiri-sendiri. Bukankah selama dua bulan ini kamu bisa hidup tanpa ada aku?"

Mas Randi melepas tangannya. Tetapi berganti memandang dengan sorot matanya yang tajam.

"Apa kamu pikir begitu, Nisa? Kamu bisa bebas pergi tanpa memikirkan perasaanku?"

Aku tercengang.

Perasaan katanya?

"Kamu mikir, nggak, selama dua bulan ini aku seperti orang yang nggak waras karena selalu gagal mencarimu?" Ucapannya seperti bukan mas Randi yang kukenal.

Benarkah pria yang sedang berhadapan denganku ini adalah suamiku? Benarkah dia merasa begitu? 

🍁🍁🍁

Bab 7 
L A N C A N G!, Menjauh! Menjauh! Menjauh dari-Ku! 
Tiba-tiba saja terasa ada tangan yang menepuk-nepuk pipiku dengan kasar. Aku terperanjat. Merasa kebingungan. Hilda sudah ada di sebelahku. Teman-teman lain juga melihatku panik, dengan tatapan heran. 

"Ada apa, Nin? Apa bermimpi buruk?"

"Eh, i--tu. Tadi ada nenek-nenek. Itu di sana," jawabku gemetaran. 

Hilda, Reno dan teman-temanku yang lain menatap ke arah jendela. Tak ada apa pun, atau siapa pun. 

Apa benar aku bermimpi? Jika bermimpi, mengapa rasanya begitu nyata? 

"Banyakin istighfar, Nina. Enggak ada apa-apa di sana. Sedari tadi kamu tidur. Itu pasti mimpi," ucap Hilda sambil memberikan minuman kepadaku. 

Tanganku masih gemetaran. Meminumnya hingga tandas. Lalu, beristighfar sebanyak-banyaknya. 

Menarik napas panjang berkali-kali. 

Tenang Nina, itu mimpi. Hanya mimpi. Sosok nenek-nenek menyeramkan itu tidak ada. Ingat, itu hanya mimpi!"

***

Rombongan kami ada sebanyak 11 orang, lima perempuan dan enam laki-laki. Namun, yang aku kenal adalah Reno dan Hilda, mereka adalah teman kampus se-falkutas. 

Sementara sisanya adalah teman-teman Reno. 

Kejadian di malam itu, membuatku menjadi lebih pendiam. 

Perjalanan kembali di lanjutkan karena Pak Supir berhasil menghubungi rekannya yang berprofesi sebagai montir. Mobil yang kami tumpangin berhasil diperbaiki. 

Ada satu yang mengganjal. Jejak bekas telapak tangan! Yang tercap dari luar jendela mobil. 

"Telapak tangan ini," lirihku. 

Benar! Aku tidak bermimpi. Semuanya nyata adanya! Sosok nenek-nenek itu memang nyata. Dada kembali kembang kempis, dengan keringat yang bercucuran. Aku menahan ketakutan. 

Hendak bercerita, tapi pasti tak ada yang percaya. 

Sebenarnya ada apa? Mengapa nenek itu melarang kami untuk pergi?"

"Hil, aku yakin bahwa tadi aku tidak sedang bermimpi."

Hilda langsung menatapku dengan serius. 

"Lalu, apa yang kamu lihat? Kenapa berteriak seperti ketakutan?" tanyanya lirih. 

"Ada seorang nenek-nenek. Dia meminta kita untuk tidak melanjutkan perjalanan. Aku serius, Hil. Aku juga punya firasat buruk. Kita harus kembali, Hil."

"Nina ... tenang. Itu hanya halusinasi. Lagi pula, semalaman aku berada di sampingmu. Kamu terus berteriak dengan mata terpejam. Kamu pasti bermimpi. Hanya mimpi buruk. Tak perlu cemas, karena mimpi adalah bunga tidur."

"Tapi, Hil---"

"Dengar, aku dan Reno sudah berkali-kali melakukan pendakian ke Gunung Lawu. Ini bukan pertama kalinya, Nina. Dan, sebelumnya tidak pernah ada kejadian buruk. Jadi, jangan khawatir, ya."

"Aku enggak bohong, Hil. Coba lihat ini, coba lihat. Dari luar jendela ada---" ucapanku tergantung. 

Jejak telapak tangan itu tiba-tiba menghilang. Sontak, bulu kuduk merinding seketika. Hari sudah mulai pagi, tapi aku masih saja mengalami ketakutan-ketakutan yang tak biasa. 

Hilda terkekeh. Jelas! Ia pasti tak percaya dengan semua perkataanku. 

"Sudah, percaya deh. Semua akan baik-baik saja. Sebentar lagi kita akan sampai," ucapnya lagi. 

Semoga semua yang dikatakan oleh Nina itu benar. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi. 

Berharap bahwa ini hanyalah ketakutanku saja. 

***

Sesampainya di tempat. Reno menjelaskan banyak hal kepada kami. Bahwasanya, kami akan mengambil jalur pendakian dari Cemoro Sewu. 

Jalur favorit para pendaki, karena rute jalannya dikenal lebih cepat untuk mencapai puncak. 

Bukan hanya itu, Reno pun menjelaskan, bahwa jalur pendakian dari Cemoro Sewu sudah tertata oleh bebatuan, sehingga tidaklah ekstrim. 

Reno sengaja memilih jalur yang mudah, karena ia paham, bahwa banyak dari rombongannya yang belum memiliki pengalaman mendaki. Termasuk diriku. 

"Baiklah, kita istirahat bentaran, ya. Setelah semua siap, kita mulai mendaki, mumpung hari masih pagi," ujar Reno. 

Semuanya mengiyakan. Beberapa dari kami menghabiskan waktu masing-masing. Ada yang mengecek barang bawaan, menyiapkan kamera dan lain sebagainya. 

Hilda dan aku juga sibuk berfoto, karena pemandangan di sekitar sana sangatlah indah. 

Namun, tak berselang lama, ada keributan. Para pendaki lain berbondong-bondong melihat sesuatu. 

Kami merasa penasaran. 

Turut melihat apa yang terjadi. 

"Sepertinya memang korban tabrak lari."

"Iya benar, kasihan sekali."

Aku pun celingukan melihat kerumunan yang ada di pinggiran jalan. Mencoba menembus orang-orang yang bergerombol itu, untuk memastikan apa yang terjadi.

Mataku terbelalak. 

Tidak salah lagi. Bocah itu! Bocah penggembala kambing yang semalam melihatku dengan tatapan penuh kesedihan. 

Tubuhnya bersimbah darah. Dengan jasad kambing kecil yang ada di sampingnya. 

DEG! 

Aku beringsut mundur. Dengan jantung berdegup kencang, mengeluarkan botol air dengan tangan gemetaran. 

Jelas semua itu bukan mimpi! Bukan mimpi! Aku tidak berhalusinasi. Itu nyata. 

Apa yang terjadi? Mengapa semua kebetulan ini tampak sangat menyeramkan?

Apakah kami benar-benar sudah diperingatkan? Aku tak boleh diam saja, aku harus bercerita kepasa Reno dan yang lainnya juga. 

🍁🍁🍁

Bab 6 
KUBUAT MEREKA KEPANASAN KARENA SUDAH MEREMEHKANKU 
"Iya, kamu benar, Jelita. Mas Jhoni pasti sudah bermain api di belakangku, kurang ajar sekali! Siapa wanita yang membuatnya sampai kehilangan arah? Berani-beraninya dia mengabaikan tanggungjawab-nya sebagai seorang suami dan Ayah, awas kamu, Mas Jhoni!" geram Tika, tangannya mengepal kuat bersamaan dengan giginya yang terdengar gemeletuk.

"Ya, kamu harus selidiki sekarang, kalau terbukti Jhoni berselingkuh, maka saya akan memecatnya dari pekerjaannya saat itu juga!" tegas Mas Ridwan.

"Kok dipecat sih, Mas? Kasihan anak-anaknya kalau Jhoni tidak bekerja," ucapku.

"Lebih baik begitu, Jelita, dari pada masih bekerja tapi tanggungjawab dia sebagai suami dan Ayah tidak ada sama sekali, akan kutunggu kepulangannya nanti." Tidak ada kesedihan diwajah Tika saat mengatakan itu. Syukurlah, memang lebih baik begitu daripada menangis dan meratapi nasibnya.

"Kamu yang sabar, ya? Semoga segala urusanmu cepat terselesaikan," ucapku sambil menyerahkan segelas air putih ke tangan Tika.

"Terima kasih, Jelita, sekarang aku harus pulang, aku ingin menanyakan kepada abang iparku, siapa tahu dia tahu sesuatu tentang, Mas Jhoni." Setelah menghabiskan minumnya Tika berujar.

Tring!

Ponsel Tika berbunyi.

"Aku pulang dulu, ya, Kakakku sudah menjemput dan menunggu di depan," ucap Tika.

Tika memanggil anak-anaknya yang sedang asik menonton bersama Ibu dan kedua adikku. Mereka berpamitan untuk pulang. Tidak lupa Mas Ridwan memintaku untuk memberikan uang jajan untuk anaknya Tika.

"Idih! Malam-malam bertamu ke rumah orang ngapain? Hati-hati lho, Jelita, jaman sekarang itu banyak pelakor! Jangan pernah mengundang teman ke rumah saat ada suami, kamu nggak takut suamimu direbut pelakor?" 

Tante Dira langsung berceloteh saat aku baru membuka pintu.

"Tante kebiasaan banget jadi orang, bisa tidak kalau ke rumah orang itu jangan mengendap-endap seperti maling?" ucapku spontan.

Entah sejak kapan Tante Dira berada di depan pintu? Jangan-jangan, Tante Dira ingin menguping pembicaraan kami.

"E eh, kurang ajar sekali kamu menyebut adik Ibumu maling, di mana sopan santunmu, Jelita?!" Suara Tante Dira mulai meninggi di akhir kalimatnya.

"Katanya tidak punya saudara seperti ibuku, kok sekarang ngaku-ngaku adiknya, Ibu?" timpal Rindu.

"Kamu lihat sendiri gimana didikanmu, Mbak Jeni? Anak-anakmu tidak punya sopan santun sama sekali padaku."

"Aku pulang dulu, Jelita, terima kasih jamuan makan malamnya," ucap Tika berpamitan. Gara-gara Tante Dira, aku menjadi tidak enak hati pada Tika.

"Hati-hati, Tika." Tika mengangguk sembari membawa langkah menuju mobil yang sudah menunggunya di pinggir jalan.

"Ayo, saatnya istirahat," ajak Ibu sambil berlalu masuk ke dalam rumah. Tante Dira mengerucutkan bibirnya saat melihat ibuku sama sekali tidak mempedulikan ucapannya.

"Yah, dianggurin!" ejekku lalu menutup pintu.

"Sia*lan!" umpat Tante Dira. Aku dan Rindu menutup mulut karena menahan tawa.

______

"Ibu, Mbak Mayang dan adik-adik Ridwan mau datang ke sini besok, besok Ridwan dan Jelita akan menjemput mereka di bandara. Tapi, Ibu jangan tersinggung ya? Soalnya, di sini sepertinya kekurangan kasur, jadi Ridwan mau membelinya untuk kedatangan mereka besok," ucap Mas Ridwan.

"Ibu tidak tersinggung, Nak, Ibu senang keluarga kamu mau datang, karena mereka belum pernah datang ke rumah Ibu, apa tidak apa-apa kalau rumahnya tanpa adanya pendingin ruangan? Ibu hanya takut keluargamu tidak nyaman kalau tidur di rumah Ibu ini," sahut Ibu.

"Mereka nginap di hotel saja, Mas, di sini ada hotel terdekat dari sini, Ibu benar, takutnya keluargamu tidak nyaman tidur di sini," timpalku, membenarkan kekhawatiran yang ibuku rasakan.

Sebab, keluarga Mas Ridwan hampir tidak pernah terkena matahari, bisa dikatakan setiap harinya mereka hanya berada di ruang ber-AC saja.

"Kami pernah hidup susah sebelum menjadi seperti sekarang ini, Bu. Jadi, Ibu jangan khawatir," ucap Mas Ridwan.

"Baik lah kalau begitu, Ibu mau pergi ke pasar, kita akan memasak banyak untuk menyambut kedatangan keluargamu," kata Ibu sambil bangkit dari duduknya.

"Biar kami yang berbelanja, Bu, Ibu di rumah saja." Aku beranjak pergi ke kamar untuk memakai jilbab instan.

"Jangan lupa dompetnya," ucap Mas Ridwan.

Hampir saja aku lupa kalau Mas Ridwan tidak mengingatkan. Dasarnya aku memang pelupa. Untung tidak lupa kalau sudah punya suami. He-he-he.

"Ranti, Rindu, kalian berdua mau makan apa? Biar sekalian dibeliin."

"Aku mau sate padang," sahut Rindu.

"Kalau aku mau martabak telor sama es buah," timpal Ranti.

"Ibu mau makan apa, Bu?" tanyaku pada Ibu.

"Terserah saja, apa pun pasti Ibu makan," jawab Ibu sembari mengulas senyum.

"Oke, Jelita pergi dulu, ya, Bu," pamitku dan melangkah menuju teras.

"Mau ke mana, Jelita?" tanya Tante Dira.

"Mau ke pasar, Tante."

"Titip ya, beliin rawit sama bawang satu kilo, kalo ada ikan segar, ikan apa saja, kamu beliin juga satu kilo," pesan Tante Dira.

Aku melangkah menuju ke arahnya. "Duitnya mana?" Aku menadahkan tangan ke arahnya.

"Pakai dulu uangmu, Tante malas mau masuk ke rumah, kamu lihat sendiri ini, Tante lagi nyiramin bunga, sudah sana, jangan lupa dibeli," ucap Tante Dira.

Aku tersenyum kecut melihatnya, giliran ada maunya aja, suaranya bukan maen lembutnya. Enak saja mau nitip tapi tidak memberikan duitnya.

Tidak ingin membuang-buang waktu, aku pun pergi meninggalkan Tante Dira yang sedang bersenandung sambil menyirami tanaman bunganya.

Mungkin, karena dibeliin motor sama menantunya. Jadi, Tante Dira tampak bahagia dari biasanya. Syukurlah, setidaknya Tante Dira tidak cerewet seperti hari-hari biasanya.

_______

"Kasur kingnya dua, bantal masing-masing empat, ada yang lain lagi, Mbak?" tanya karyawan toko perlengkapan perabot rumah itu padaku.

"Itu saja," jawabku singkat.

"Tambah kulkas dua pintu yang itu, dan tolong antarkan ke alamat ini, ya, Pak? Di rumah, Ibu saya sudah menunggu," ucap Mas Ridwan.

"Siap, Bos!"

"Mas, kulkas di rumah sudah ada, kenapa beli lagi?" tanyaku sambil berbisik.

"Ranti bilang kulkasnya sudah beberapa kali di servis, mending beli baru saja," jawabnya enteng seraya mengusap kepalaku dengan sayang.

Setelah itu, kami pun menuju pasar. Berbelanja untuk keperluan rumah, serta sayur-mayur, ikan dan ayam. Keluarga Mas Ridwan tidak menyukai daging karena alergi, makanya aku tidak membeli daging.

Tujuan terakhir adalah tempat perbumbuan dan perbawangan. Saat melihat cabe rawit, aku teringat dengan pesanan Tante Dira.

'Beli tidak ya?' gumamku. Sepertinya tidak perlu, untuk apa aku membelinya? Ujung-ujungnya duitnya tidak diganti, kalau Tante Dira baik, aku pasti tidak akan perhitungan dengannya.

Memang sih, membalas perbuatan orang yang jahatin kita itu tidak baik, tapi aku lagi malas berbuat baik. Sesekali jahat tidak apa-apa lah ya?

Setelah memilih bawang dan cabai rawit, aku pun membayarnya cepat. Karena kasihan dengan suamiku yang sudah keberatan dengan tentengan belanjaan.

"Sudah, Mas, yuk," ajakku sambil meraih satu kantong dari tangan kirinya.

"Sebentar, itu seperti Jhoni," ucap Mas Ridwan sambil memandang ke arah seberang jalan.

"Mana, Mas?" tanyaku sambil melihat ke arah matanya yang masih terus memandang ke seberang jalan.

"Itu, yang di samping sepupumu itu, yang berdiri itu," ucap Mas Ridwan, berusaha menunjuk lewat tatapan matanya, karena kedua tangannya penuh dengan tentengan belanjaan.

"Oh, itu Zahra sama suaminya yang konglomerat itu, terus Jhoni yang mana? Pakai baju apa dia?"

"Itu, suaminya Zahra? Jhoni?" ucap Mas Ridwan, membuatku mengerutkan kening mendengarnya.

"Sultan, Mas, bukan Jhoni."

"Bukan Sultan, itu Jhoni suaminya Tika!" 

"Maksudmu, Jhoni itu Sultan? Sultan itu Jhoni?" tanyaku yang masih tidak paham alias kebingungan.

"Jhoni Darmawan Sultan. Itu nama kepanjangannya," jelas Mas Ridwan, yang langsung membuat mulutku terbuka karena masih tidak percaya.

"Kamu tidak lagi main-main, 'kan, Mas? Memangnya kemarin-kemarin kamu tidak melihat suaminya Zahra?" Lagi, aku bertanya sambil mengikuti langkah kaki Mas Ridwan menuju parkiran.

"Seharusnya aku melihatnya dari awal, kenapa baru sekarang aku melihatnya? Ternyata, begini aslinya Jhoni, berpakaian layaknya orang kantoran walau pergi ke pasar, jangan-jangan, sepupumu itu sudah ditipu dengan casing palsunya itu," ucap Mas Ridwan. Tangannya cekatan membuka bagasi mobil dan meletakkan semua belanjaan di sana.

"Kalau gitu, aku akan meminta Tika untuk datang malam ini ke rumah Ibu, akan kita beri kejutan yang mengejutkan jantung untuk Sultan konglomerat itu!" ucapku begitu bersemangat.

Aku ingin melihat reaksi Zahra, terutama Tante Dira. Aku tidak dapat membayangkan wajah Tante Dira yang entah seperti apa nantinya? 

Kalau Tante Dira tahu siapa Sultan yang katanya seorang konglomerat, yang punya perusahaan di mana-mana, yang selalu dibanding-bandingkan dengan suamiku itu. Ternyata aslinya adalah karyawan suamiku.
🍁🍁🍁

BAB 5 
KELUARGA SOK KAYA KENA MENTAL
“Kenapa hanya diam saja! Jawab, Ven!” sentak Kokom, karena Veni tak juga memberikan jawaban. Veni justru berkaca-kaca, karena bentakan ibunya. Ternyata orang jahat bisa menangis juga.

“Ayo keluar, dan bicara sama mereka. Harga diri kita diinjak-injak Ven.” Kokom menarik tangan anaknya dan berjalan ke arah ruang tamu, di mana Widya dan Kumala duduk santai menunggu Rangga yang masih membersihkan diri di kamar mandi.

“Mau apa lagi, kalian?” Baru saja mereka sampai, Widya sudah bertanya demikian membuat Kokom meradang.

“Bu Widya yang terhormat, terlepas dari kesalahan Veni anak saya, Ibu tidak bisa berbuat seenaknya seperti ini. Menikahkan Rangga dengan wanita lain, bukanlah solusi yang tepat untuk kalian membalas dendam pada Veni. Setidaknya, lihatlah, Nazira cucu Anda.”

“Oh, iya? Kalian itu sudah jahat pada Kumala, masih juga tidak punya malu berbicara begitu. Anak itu, bukan cucu yang saya mau. Saya hanya menginginkan cucu dari Kumala dan Rangga, bukan dari anak kamu yang liar ini.” Widya menunjuk-nunjuk wajah Veni dengan geram.

“Mbak Veni, jika keberatan dimadu, Mbak bisa lepas dari mas Rangga kok. Aku hanya mengambil, yang memang menjadi hakku, Mbak. Kamu merebut mas Rangga dengan cara curang, jadi aku akan mengambilnya kembali. Aku sama sekali tidak peduli dengan perasaanmu itu, Mbak.”

“Aku hanya memperjuangkan perasaanku, Kumala. Aku tidak rela, jika mas Rangga menikah dengan perempuan lain, karena saat itu, aku sangat mencintainya. Aku hanya mengajaknya mabuk, sampai dosa semalam itu kami lakukan dengan tidak sadar.”

“Lalu? Aku harus memakluminya, Mbak? Pernikahan yang seharusnya, aku sebagai mempelai wanitanya, tapi kamu mengubah rencana kami, Mbak. Kamu hamil, dan mas Rangga mau tak mau menikahimu.” Jelas sorot mata Kumala, memperlihatkan kepedihannya selama ini. Mendapat restu sepenuhnya dari ibunya Rangga, membuatnya nekat, dijadikan istri kedua Rangga.

 seharusnya kamu relakan sana mas Rangga bersamaku! Masih banyak laki-laki di luar sana yang belum punya pasangan. Jangan ambil mas Rangga dariku! Aku tidak sudi berbagi cintanya mas Rangga denganmu.”

“Oh, jahat kamu Mbak. Mbak bisa bicara begitu, sedang Mbak sendiri dulu mengambil laki-laki yang sudah memiliki pasangan, bahkan sudah memiliki calon istri.”

“Diam kamu wanita jalang! Pernikahan Veni dengan Rangga itu sudah takdir. Kami tidak bisa menyalahkan anakku terus.” Kokom tidak terima karena anaknya kini tersudut.

“Diam! Anakmu yang jalang, bukan Kumala. Rangga akan menikah dengan Kumala. Kalian keberatan sekali pun, tidak ada yang peduli. Jika kalian sampai berani mengacaukan acaranya nanti, bersiaplah aku bongkar semua kebusukanmu di depan para tamu undangan, Veni Larasati.”

Veni benar-benar merasa sial hari ini. Ia pun masih tidak menyangka jika Kumala dan ibu mertuanya mengetahui kebusukannya selama ini. Pantas saja, sikap Widya terhadapnya tidak pernah membuatnya nyaman. Bahkan Widya tidak mau mengakuinya sebagai menantu. Dulu Rangga sangat mencintai Veni karena dosa semalam itu, namun, setelah mengetahui perempuan yang mengacaukan rencana pernikahannya dengan Kumala, ia pun murka.

“Rangga sudah siap, ayo kita jalan sekarang!”

Mereka pun pergi tanpa berpamitan pada Veni atau pun Kokom. Veni merasa cemburu sekaligus marah melihat suaminya jalan dengan wanita lain, yang sebentar lagi akan dinikahi suaminya.

*****

“Kenapa mereka, Mak? Lestari dengar dari tadi kok kayak ribut? Terus dengar suara tangisan?” Lestari yang menemani Rukmini menonton televisi, pun menanyakan keadaan sebelah rumahnya.

“Jangan kepo sama urusan mereka. Tidak penting, Nduk,” sahut Rukmini membuat Lestari tidak bertanya lagi. Mereka pun menonton televisi sembari memakan camilan yang tersisa.

*****

Dari pada bosan, dan kamu ke pikiran terus sama masalah ini, mending kita ke sebelah,” usul Kokom.

“Mau apa ke sebelah, Bu? Enggak level kumpul sama pembantu, Bu. Nanti badan kita gatal-gatal sentuhan sama orang miskin.”

“Ya, kita maki saja mereka seperti biasanya. Mereka itu, kerja di sebelah, karena enggak bisa jauh dari kita. Mereka ketagihan dengan hinaan yang selalu kita lontarkan.”

“Hei, para pembantu, kok enak kalian malah menonton televisi sambil ngemil? Nanti bos tiba-tiba datang, panik.” Kokom selalu saja mengacau. Kali ini Kokom membawa Veni dan juga Nazira ke rumah Lestari.

“Siapa yang kalian katai pembantu? Istri dan mamak mertuaku?” tanya Firman yang nongol dari dapur.

“Ya iyalah, siapa lagi? Kalian kok bisa melamar jadi pembantu di sini? Sengaja biar dekat dan bisa meminta bantuanku kalau kalian enggak punya uang?” Lagi-lagi Kokom bertanya tanpa berpikir.

“Mohon maaf, kami tidak menerima tamu julid. Urusan masing-masing saja, Bude.” Lestari menyela karena kesal dengan Kokom yang sok tahu dan sok kaya itu.

“Sudahlah, Buk. Percuma ngomong sama orang susah, enggak akan nyambung. Kita tunggu saja pemilik rumah ini datang, baru kira kesini lagi. Ayo pulang, Bu. Nazira kayaknya juga enggak betah, dekat sama manusia-manusia miskin ini.”

“Enggak punya bakat lain ya kalian selain menghina? Dasar sok kaya!” Lestari kelepasan. Perempuan yang tengah hamil muda itu, mudah sekali emosi. Apalagi jika sudah bertemu dengan dua manusia sok kaya itu.

“Loh memang kita kaya. Kenapa? Iri, ya? Gaji kalian jadi babu, enggak akan bisa menyaingi kita,” sahut Veni dengan pongahnya.

“Kekayaan tidak harus dipamerkan. Kalian menghina orang yang aku cintai. Rumah ini, milik istriku. Restoran yang kemarin mengundang kalian makan-makan, itu juga milik istriku. Lantas, masih pantaskah kalian menghinanya? Ingat, harta hanya titipan.” Firman sudah tidak bisa lagi menunda membuka semuanya pada mereka. Membalas orang sombong dengan kesombongan juga.

“Kalian pikir, kita percaya? Yang punya rumah ini dan restoran, itu pengusaha muda kaya raya. Suami Lestari saja enggak jelas asal-usulnya kok.”

“Mending urus urusan kalian. Baru juga selesai ribut, sudah mau menghakimi orang saja. Kekurangan orang selalu kalian jadikan bahan menghakimi. Orang lain juga punya mata dan bisa melihat kekurangan kalian. Mau mencela kalian juga bisa. mata masih sembab, saatnya tobat, bukan menambah maksiat,” omel Lestari.

“Enggak usah mengurusi urusan orang, Tari. Rumah tanggamu saja enggak jelas kok, enggak mengurusi masalah rumah tanggaku!”

“Oh, jadi masalah rumah tangga yang kalian ributkan? Aku tidak menyebutkannya, kamu yang membeberkannya sendiri. Kenapa? Suami kamu selingkuh?” cecar Lestari dengan tangan bersedekap di dada.

‘Bodoh! Kenapa keceplosan terus,’ batin Veni.
🍁🍁🍁


Bab 4 
Jatah Suami Orang 
“Omong kosong macam apa ini!” teriakku mengeluarkan amarahku yang memuncak. Istriku sedang hamil besar, lelucon ini sama sekali tidak lucu. Bagaimana Nadia bisa hamil sendirian sedangkan aku tidak pernah menyentuhnya selama dua tahun penuh. 
Hamil? Ya Tuhan yang benar saja. Aku mengacak rambutku dengan frustasi.

Aku menatap penuh kecewa kepada istriku yang sekarang sedang menangis dan dia masih merentangkan kedua tanganya berharap aku memeluknya.

“Mas, aku bisa menjelaskannya padamu. Aku..aku..” ujar Nadia dengan terbata-bata sambil terduduk lemas di lantai. 

Mendrama sekali jika situasinya tidak sama mungkin aku sudah ikut terduduk lalu memeluknya dan menenangkan istriku yang sedang menangis. Tapi itu tidak akan terjadi sekarang.

“Tidak ada yang perlu di jelaskan lagi, Nad. Bukankah ini sudah menjelaskan semuanya,” jawabku merasa kesal dengan menahan air mata kecewaku agar tidak turun. 

Aku mendegus kesal, ini jelas pengkhiatan. Aku mengepalkan kedua tanganku karena melihat Nadia sedang terduduk menangis. 

Rasa kecewa, marah, sedih bergabung menjadi satu. Aku sama sekali tidak kasihan pada Nadia yang menangis sambil terisak di lantai. Seharusnya aku yang menangis tetapi dengan drama baru yang ia ciptakan malah Nadia yang menangis meraung seolah olah aku telah melakukan dosa besar yang paling di benci Tuhan. 

Aku sama sekali tidak menyangka kepulanganku setelah bersusah payah menyelamatkan perusahaan ternyata membuat istriku berselingkuh hingga hamil bersama pria lain. Istriku memberikan ‘jatah’ pada pria lain selama aku pergi.

Istri yang amat kucintai ternyata bermain gila dengan pria lain hingga hamil besar dan kuyakini Nadia sebentar lagi akan segera melahirkan. 

Ah, aku teringat sesuatu yang membuatku kembali tertawa sumbang, pantas saja ketika kami melakukan panggilan vidio Nadia selalu menampakan wajahnya saja. 

Dan aku hanya bisa tertawa karena dia sengaja menjauh dari rumah keluargaku dan rumah keluarganya sendiri. Ku pikir karena rumah dan butik lumayan dekat mangkanya dia meminta pindah ternyata Nadia sengaja menyembunyikan bangkai yang pada akhirnya ketahuan juga.

Aku tersenyum miring jadi inilah alasan Nadia menolak hadir dan tidak pernah berkunjung bahkan ikut acara di rumah keluarga besar.

Aku awalnya tidak pernah memusingkannya karena kupikir Nadia sangat sibuk dengan pekerjaanya mangkanya selalu menolak hadir di acara yang diadakan keluarga besarku maupun keluarganya. 

Aku kerap kali mendapat keluhan dari mama dan juga ibu mertuaku karena istriku tidak pernah hadir dan membantu acara di rumah kami. Dan lebih bodahnya lagi aku malah membela Nadia dengan berkata ‘Nadia punya dunia dan pekerjaannya sendiri, tolong dimaklumi’ Haha tai! Dunia sendiri? Ya, benar sekali. Dunia Nadia dan selingkuhannya. 

Aku sungguh benar-benar bodoh sekali karena sama sekali tidak menyadari perubahan istriku sendiri. 
Mungkin Jika aku tidak kembali maka Nadia akan melahirkan tanpa sepengetahuanku lalu berpura-pura memungut atau mungkin meletakan bayinya ke panti asuhan. Siapa yang tahu, bukan mana tahu Nadia pergi ke tempat selingkuhannya lalu menikah diam-diam sehingga Nadia mempunyai 2 suami. Mungkin.

“Jadi kamu sudah berselingkuh di belakangku selama ini?” ujarku menyimpulkan semua yang sudah terjadi. 

“Mas, aku tidak selingkuh,” jawab Nadia membuatku tertawa kencang membuat Nadia merinding mendengar tawaku. 
“Kamu ini lucu sekali, Nad. Tidak selingkuh tapi sudah hamil sebesar ini. Jangan membuatku tertawa. Kamu bicara seolah menutupi bangkai namun kamu tidak sadar bau bangkai dan bangkai itu sudah terlihat sangat jelas.”
Nadia terdiam membeku di tempatnya. Aku hanya tersenyum sinis

“Aku Khilaf, Mas.” Nadia berusaha mendatangi dan memelukku namun aku segera menghindar. 

“Khilaf? Yang benar saja. Khilaf kok sampai hamil!” ini puncak komedi yang terus ingin membuatku tertawa. Dengan rasa percaya dirinya Nadia berkata demikian.
“Mas, aku...”
“Berhenti menangis! Semakin kau menangis semakin tidak jelas suaramu.” ujarku bersuara dingin.

“Mas, kamu berubah. Kamu tidak sama seperti dulu, aku takut, mas.”

Aku tertawa kencang sehingga suara tawaku memenuhi ruangan.

“Heh! Wajar saja aku berubah lihatlah dirimu sekarang. Aku memang mencintaimu sangat banyak, tapi itu dulu. Sekarang jangankan cinta melihat dirimu saja aku sudah tidak mau lagi.” aku berkata sambil geleng-geleng kepala melihat Nadia yang semakin menangis. 

“Mas, tolong maafkan aku sekali ini saja. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku mohon, mas.”

Perkataan Nadia membuatku ingin tertawa dengan keras. Memaafkan? Yang benar saja. Tidak ada maaf untuk istri yang sudah berselingkuh apa lagi sudah memiliki anak dengan pria lain.

Jujur saja aku sangat jijik pada Nadia karena sudah di sentuh pria lain sampai hamil lagi. Nadia sangat murahan sehingga membuatku mual hingga ingin muntah. 

“Mas, aku sungguh menyesal. Haruskah aku bersujud di kakimu agar kamu mau memaafkanku,” ujar Nadia hendak bersujud di kakiku namun aku segera menyingkirkan kakiku. Aku tidak sudi di sentuh oleh Nadia.

“Kamu pikir dengan kamu bersujud di kakiku aku akan memaafkanmu? Oh tentu saja tidak. Tidak ada maaf untuk perselingkuhan,” ujarku dengan menekan suaraku. 

“Mas, maafkan aku. Aku sungguh khilaf, mas. Selama mas tidak ada aku merindukan sentuhan dari mas dan kebetulan dia datang. Aku bersumpah aku sudah menolaknyanya mas. Namun, dia memaksaku. Aku..”

“Aku sudah kerap kali menyuruhmu untuk datang ke New York namun kamu selalu menolaknya. Merindukan sentuhan? Jangan konyol!” aku sungguh muak mendengar penjelasan dari Nadia. Sungguh tidak tahu malu sekali, bukan. Aku bahkan sampai kehilangan kata-kata.

“Menolak sampai hamil, hm?” ujarku lagi sambil tertawa garing sambil menatap Nadia dengan nanar. 

“Mas..” perkataan Nadia tercekat membuatku malas menatapnya. Penyelasan? Sungguh sudah terlambat.

“Mas..”
“Mas Lucas, maafkan aku..” Nadia merengek hendak menyentuh tanganku namun segera kutepiskan. 
“Anak Siapa?” tanyaku menolak dengar rengekan dari Nadia. 

🍁🍁🍁

Bab 3 
SEMUA BERUBAH HANYA DALAM SATU MALAM. SEBENARNYA IBUKU KERJA APA? (6)
Hingga matahari semakin naik ke ufuk timur, ibu tak juga kembali. Aku sudah mencoba menghubungi hingga ratusan kali, tapi tak ada satu pun yang berhasil tersambung. 

Aku harus mencari ibu kemana? 

Akhirnya aku putuskan untuk mendatangi rumah Pak Rahmadi, kepala desa Jaya Bangun yang rumahnya berjarak 500 meter dari rumah ibu. Dengan langkah tergesa aku menuju ke sana. Beruntung Pak Rahmadi sedang duduk di teras rumah bersama Bu Halimah; istrinya. 

"Assalamualaikum," ujarku mengucap salam. 

"Waalaikumsalam, eh, Danayu, masuk masuk sini. Tumben, ada apa?" Pak Rahmadi menjawab ramah, tapi tidak dengan Bu Halimah. Tatapannya seolah tak menyukai kedatanganku.

"Duduk di sini, Yu." Kembali Pak Rahmadi mempersilahkan aku menempati kursi yang kosong. 

"Eh, iya, Pak. Terima kasih."

"Kenapa, Yu? Ada yang bisa bapak bantu?"

Sebenarnya aku bingung, apakah tindakanku tepat jika datang ke sini. Kalau aku bilang ibuku tidak pulang sejak semalam, bisa-bisa warga desa kembali menyebar fitnah terhadap aku dan ibuku. Tapi jika tidak kesini, aku tak tahu lagi harus minta tolong pada siapa. 

"Lah, kok malah bengong. Kenapa, Yu? Ibumu mana?" Pak Rahmadi kembali bertanya. 

"Eng, begini Pak. Saya mau minta tolong. Ibu saya... belum pulang sejak tadi malam."

"Memangnya ibu kamu kemana, Yu?" tanya Bu Halimah kini. Tatapannya membuat aku sedikit ragu untuk melanjutkan cerita. 

"Yu, kok bengong terus. Ibu kamu kemana?"

"Saya... nggak tahu, Pak. Semalam ibu pamit bekerja, katanya akan pulang. Tapi sampai sekarang belum sampai rumah. Ponselnya pun tidak aktif. Saya jadi cemas dan bingung mau minta tolong pada siapa."

"Jadi yang digosipkan warga desa kita itu benar ya, Yu? Ibumu sekarang suka keluyuran saat malam dengan dandanan cetar?"

Kulihat Pak Rahmadi menyikut istrinya agar tak ikut berbicara. 

"Ibu saya bukan bekerja seperti itu kok, Bu." Aku berusaha membela. Andai saja saat ini aku tak membutuhkan bantuan, rasanya ingin pergi saja dari sini daripada menimbulkan berita yang tidak-tidak nantinya. 

"Ibumu nggak bilang mau kemana, Yu?"

Aku hanya menggeleng menimpali pertanyaan Pak Rahmadi. "Saya harus gimana ya, Pak? Saya takut terjadi apa-apa pada ibu. Ibu bilang dia akan pulang, tapi ternyata tidak. Ibu nggak pernah mengingkari ucapannya, Pak."

"Makanya Danayu, jadi anak itu harus tau diri. Ibumu itu sudah susah mengurus kamu sendirian dari bayi, tanpa suami. Jangan bikin repot. Sudah umur segini harusnya kamu bisa bantu-bantu ibumu itu mencari uang. Ya terserah mau kerja apa saja, jadi tukang cuci kek, penjaja kue keliling kek, apa aja. Asalkan jangan ju al di ri."

"Ibu!" Pak Rahmadi tampak menegur istrinya itu. "Jangan bicara seperti itu."

"Loh, salah ibu apa, Pak? Hampir semua warga desa sekarang membicarakan Sawitri. Bahkan semalam Bu Yayu bilang kalau pesanannya ditolak oleh Sawitri karena dia nggak bisa buat kue malam lagi. Kan dia udah punya kerjaan baru. Simpenan laki-laki."

Cukup sudah. Tanpa berpikir panjang aku memilih untuk meninggalkan rumah Pak Rahmadi dan Bu Halimah. Ternyata aku datang kepada orang yang salah. Bukannya membantuku, mereka justru semakin menjelek-jelekkan ibuku. 

Aku tak menghiraukan teriakan Pak Rahmadi yang menyerukan namaku. Aku hanya ingin sampai dirumah secepatnya, dan mencari jalan keluar yang lain. 

Tapi ternyata, saat aku sampai di rumah, ada ibu disana, sedang menyapu. Pakaiannya pun sudah berubah menjadi daster kebanggaan dengan banyak tambalan di sabar sini.  

"Ibu!"

Aku berteriak dan berlari memeluk ibuku. Aku menangis lega, karena ibuku baik-baik saja. 

"Lah, kamu kenapa, Yu?"

"Aku khawatir karena ibu nggak pulang tadi malam." Suara tangisku semakin kencang. Mungkin ini pelampiasan karena aku terlalu lega melihat ibu kembali dalam keadaan sehat. 

"Maaf ibu buat kamu khawatir, Yu. Ada sesuatu hal yang terjadi. Jadi ibu baru bisa pulang sekarang."

"Bu, maaf. Karena khawatir, baru saja aku pergi ke rumah Pak Rahmadi. Niatku ingin meminta bantuan untuk mencari ibu, tapi...."

Aku menggantungkan kalimatku. Bingung bagaimana cara menyampaikannya pada ibu. 

"Sudah sudah. Nggak apa-apa. Ibu yang minta maaf karena telah membuatmu khawatir. Mulai sekarang, kamu nggak perlu pusing dengan omongan tetangga. Besok kita akan pindah ke kota. Ada rumah sahabat ibu yang kosong, kita bisa tinggal di sana. Sekalian kamu bisa kuliah nggak jauh dari rumah."

"Maksud ibu, kita akan pindah ke kota, Bu? Ibu? Dan juga aku?" Mataku semakin berbinar. 

Ibu mengangguk mantap. Lalu menarik tanganku agar mengikutinya masuk ke dalam kamar. Kulihat di atas meja ibu ada sebuah buku kecil. Ibu mengambil benda itu dan menyerahkannya kepadaku. 

Dengan alis yang bertaut, aku mengambil benda yang ternyata buku t4bungan. Aku buka, atas namaku, Danayu Prameswari. Dan betapa terkejutnya aku saat melihat nominal yang tertera di dalamnya, 200 jut4 rupi4h. 

"Bu, ini u4ng siapa?"

"U4ngmu, Yu."

"Darimana, Bu?"

Aku benar-benar tak mengerti apa yang sedang ibu lakukan. Bagaimana mungkin dalam waktu satu malam, ibu bisa mendapatkan u4ng dengan jumlah yang sangat fantastis. 

Ibu tersenyum, lalu menangis dan menarikku ke dalam dekapannya. 

"Percayalah pada ibumu ini, Yu. Ibu hanya melakukan yang terbaik untukmu. Untuk saat ini jangan tanya dari mana, dan apa yang ibu kerjakan. Tugasmu hanya yakin dan percaya pada ibumu ini. Mungkin inah saatnya ibu untuk membahagiakanmu. Suatu saat kamu pasti akan tau, Yu."

Tak ada lagi kata yang bisa aku ucapkan. Tapi setidaknya aku tahu apa yang harus aku lakukan. Jika tak ada orang yang percaya pada ibu, maka tugasku adalah berdiri di sisinya, dan percaya dengan segala ucapannya. Mengapa? Karena dia adalah ibuku. 

❃❃❃❃❃

Rumah ini cukup besar untuk sekadar kami tempati berdua. Tapi aku sangat bahagia. Setelah hampir 20 tahun hidup susah dan tinggal di sebuah rumah kecil dengan atap yang selalu bocor saat hujan datang, pindah ke rumah ini bagaikan mimpi bagiku. 

Kamarku ada di lantai dua. Masih ada satu kamar kosong di sebelah kamarku, tapi ibu memilih untuk menempati kamar utama yang lebih besar di lantai dasar. Aku tak keberatan, asalkan ibu nyaman. 

Hari ini aku akan kembali ke GunaDarma untuk melakukan pendaftaran. U4ng yang ibu berikan sudah sangat lebih dari cukup. Sejak hari itu, ibu selalu rutin pergi bekerja saat malam. Aku memilih percaya dan tak ikut campur terlalu dalam terhadap urusan ibu. Seperti hari ini. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi ibu belum menampakkan batang hidungnya. Beberapa hari ini ibu memang sering pulang pagi. Kata ibu, ada beberapa masalah yang membuatnya terpaksa pulang terlambat. 

Saat akan keluar, aku melihat sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah. Karena merasa asing, aku mengintip dari balik jendela untuk melihat siapa yang datang, dan kulihat ibuku turun dari sana, bersama seorang pria, dan mereka berpisah setelah melepaskan cium4n lembut di bibir mereka. 

🍁🍁🍁

Bab 2 
KETIKA AKU BERHENTI MEMINTA NAFKAH 
"Kamu pikir aku perempuan murah- an yang akan menggadaikan harga diriku demi u4ng? Aku masih punya pikiran, Mas! Setidaknya meski aku kau anggap bodoh, aku tidak akan mempermalukan diri sendiri," kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Ririn!" pekik ibu mertuaku dari ambang pintu melihat pertengkaran kami. 

Bagaimana caranya masuk kedalam rumah kami? Sedangkan aku sudah mengunci pintu saat tadi Mas Zikwan masuk.

Ibu mertuaku lalu mendekati kami, kali ini tangannya yang melesat ke pipiku. Aku menatap dua orang ini bergantian. Tanpa bertanya ibu menamparku.

"Kau pikir, kau hebat bisa melakukan kekerasan kepada anakku? Dia aku besarkan penuh kasih sayang, sejentikpun aku tidak pernah menyakitinya," ucap ibu tanpa berpikir dengan apa yang sudah dilakukan oleh anaknya.

"Lalu, ibu pikir orang tuaku pernah melakukan ini? Anakmu menuduhku menju-al diri, Bu ..."

"Ooh ... Bisa saja memang begitu kan?" Selanya ikut membenarkan apa yang di katakan Mas Zikwan.

Mataku nanar, aku harusnya tahu dia tidak akan mungkin membelaku. Sedangkan selama ini dia yang menjadi api sehingga rumah tanggaku dan Mas Zikwan terasa hambar.

"Kalian berdua benar-benar keterlaluan. Tiga bulan kau abai dengan nafkah untukku dan An4kmu, Mas. Dan selama empat tahun kau tidak memberikan nafkah layak, apa aku pernah protes, Mas? Jika anakmu suami yang baik, dia tidak akan seperti ini kepadaku, Bu! Aku tahu ibu tidak menyukaiku, tapi harusnya ibu tidak ikut campur masalah rumah tangga kami jika hanya ingin membuat kami terus bersitegang." Suaraku meninggi menatap ibu.

Plaak!!

Kali ini Mas Zikwan yang menamparku lagi.

"Jaga bicaramu kepada ibuku! Dia orang tuaku dan harus kau hormati," sergahnya.

Aku terdiam dengan napas kempang kempis. Mereka berdua seakan sedang mendikteku.

"Kalau begitu, dari mana kau dapatkan u4ng selama tiga bulan ini? Pekerjaan yang paling gampang hanya itu, Ririn! Tidak perlu keluar tenaga," lanjutnya masih saja dengan pikiran kotornya.

"Aku bekerja, Mas! Aku bekerja. Jadi berhenti menuduhku yang bukan-bukan. Aku bekerja di rumah Salma. Itu kenapa kau melihatku pulang telat malam ini. Aku tidak mungkin membiarkan anakku kelaparan sedangkan kau dan keluargamu bisa berpesta makanan di rumah ibumu. Aku tidak mungkin membiarkan anakku menginginkan jajan sedangkan anak seumurannya menenteng satu plastik jajanan. Kalau kau tidak bisa menafkahi kami, jadi jangan memintaku untuk berhenti bekerja," ucapku dengan suara bergetar.

Kutinggalkan ruang makan yang menyatu dengan ruang tamu ini dan menuju kamar Zahra. Dia pasti mendengarkan pertengkaran ayah dan bundanya. Maafkan Bunda, Nak. Lagi-lagi bunda harus menciptakan trauma hanya karena tidak ingin membuatmu kehilangan ayahmu.

Saat membuka kamar Zahra, anakku meringkuk di sudut tempat tidur. Ia lalu berhamburan dan langsung memelukku. Tuhan, anak ini masih sangat kecil, jika kami masih tetap di sini aku yakin akan ada banyak luka yang tercipta untuknya.

"Bunda, aku takut," ucapnya.

Jantungku berdegup, aku langsung menggendong gadis kecilku. Matanya terlihat sembab, sepertinya tadi dia menangis.

"Maafkan Bunda, ya Nak. Besok kita pulang ke rumah nenek," ujarku sekedar untuk menghiburnya.

Ia mengangguk, "Zahra lapar, Sayang? tanyaku.

Dia hanya menggelengkan kepala, sore tadi memang dia makan cukup banyak di rumah Salma karena ada banyak makanan di sana dan dia bebas untuk makan seberapapun.

Aku lalu membawa Zahra ke tempat tidur dan menidurinya. Dia pasti lelah karena seharian berlarian di rumah Salma dan malamnya harus mendengar orang tuanya bertengkar. Setelah memastikan anakku pulas, aku lalu keluar dari kamar itu. Ternyata Mas Zikwan masih berada di depan tivi. Tak ku hiraukan, aku langsung menuju kamar kami. Membersihkan diri sebelum beristirahat. Kata-kata menyakitkan itu masih terus menggelitik benakku.

"Kau sudah tidur?" tanyanya saat masuk kamar melihatku sudah berbaring.

"Hhmmm ..." Hanya itu jawabanku.

"Mulai besok, berhenti bekerja. Aku akan memberikan u4ng kepadamu," ucapnya tiba-tiba.

Aku langsung duduk, menatap jengah wajah lelaki yang selama empat tahun ini aku anggap suami. Dia masih saja sama tak mengizinkan aku bekerja. Tapi kali ini aku tidak akan mendengarkan apa yang ia katakan.

"Dua puluh ribu?" tanyaku.

"Tidak, Ririn. Aku akan tambah sepuluh ribu lagi. Itu sudah cukup untuk membeli lauk, lagi pula kalian ..."

"Hanya berdua di rumah dan kau tidak makan di sini," selaku.

"Simpan saja u4ngmu, aku tidak lagi butuh. Kalau kau masih saja tidak ingin menghargai ku aku sebagai istrimu, lebih baik kita berpisah saja," ucapku penuh dengan keyakinan.

Laki-laki itu langsung duduk di sebelahku, ia menarik tangan ini dan menatap wajah yang sudah sangat lelah ini.

"Jangan sembarangan bicara! Apa kau tidak memikirkan an4kmu?"

"Lalu, kau apa memikirkannya? Empat tahun ini, apa kau pernah merasa sikapmu baik kepada anakmu sendiri?" tanyaku.

Mas Zikwan lalu memalingkan wajahnya. Ia terlihat kesal dengan apa yang aku ucapkan. Ini bukan lagi main-main, aku benar-benar ingin berpisah untuk anakku.

"Aku tidak akan menceraikan kamu, sampai kapanpun," ucapnya. "Semua ini salahmu, kalau saja kau bisa menjaga lisanmu kepada orang tuaku, tentu saja aku tidak akan seperti ini kepadamu," lanjutnya masih menyalahkan aku.

🍁🍁🍁

Bab 1 
Dicintai Pangeran dari Alam Lain
Tiga hari sudah Emak dirawat dan hari ini diperbolehkan pulang. Mereka bertiga pulang dijemput menggunakan mobil pak kepala desa. Ayah Kang Angga ini memang pemimpin yang peduli pada warganya, apalagi warga miskin seperti keluarga Kinanti.

Kang Angga menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu membantu Kinan memapah Emak menuju rumah. Jarak dari jalan raya kerumah paling hanya enam meter, terhalang satu rumah tetangga yang berada tepat di samping jalan raya.

"Terima kasih sekali, Kang, sudah menjemput kami. Maaf lagi-lagi Kinan merepotkan Akang."

"Aku senang bisa membantu, Kinan. Tak ada yang direpotkan. Emak cepat sembuh ya, Angga pamit. Assalamualaikum," pamit Kang Angga.

"Waalaikumsallam, terima kasih Den Angga," sahut Emak.

Tak lama setelah itu tetangga berdatangan untuk menjenguk Emak, bahagianya hidup di kampung, sesama tetangga masih sangat saling peduli.

Mereka tidak datang dengan tangan kosong, ada yang membawa makanan bahkan ada yang memberi amplop berisi uang. 

Kinanti dan abahnya tidak enak dan berusaha menolak, tapi tetangga mereka teramat baik, mereka memaksa Kinanti dan abah menerima uang pemberian itu.

Sudah hampir dua minggu abah tidak pergi ke huma, rumput-rumput pasti sudah meninggi. Entah tanaman kami masih utuh atau sudah dimakan si monyong ( babi hutan).

"Abah besok mau ke huma, kamu dan emak di rumah saja. Nanti kalau Emak sudah betul-betul sehat, baru kita tinggal di hutan lagi."

"Iya,Bah."

Abah berangkat pagi sekali, usai Sholat Subuh. Kinanti membekali abah sebungkus nasi timbel dan lauk seadanya.

Selesai beres-beres, Kinan mencuci baju di belakang rumah. Baju-baju kotor dan selimut yang dipakai Emak di rumah sakit.

Saat sedang membilas pakaian Kinanti mendengar desis ular, dia terdiam, memastikan jika salah dengar. Kinan kembali membilas pakaian yang lainnya, lalu terdengar desis-an lagi.

Gadis polos itu berdiri hendak mengambil langkah seribu, tapi saat berbalik tubuh kokoh menghalangi jalannya. Kinanti mendongak melihat wajahnya.

"Raden Sangga!" ucap Kinanti.

Lelaki tampan itu tersenyum lalu melepaskan kedua tangannya dari kedua lengan Kinanti.

"Kenapa, masih takut? Aku sudah berjanji tidak akan menunjukan wujud asliku lagi, di depanmu."

"Maaf, Raden, mendengar desis ular saja aku merinding dan ketakutan."

"Desisan itu pertanda kedatanganku, kamu tidak perlu takut. Aku membawa obat untuk emakmu, rebuslah daun ini!"

"Ini daun apa, Raden?" tanyaku, penasaran.

"Daun panjang umur, entah apa di alam-mu, namanya. Rebus dan berikan airnya pada emak, nanti beliau cepat sembuh."

"Terima kasih, Raden baik sekali."

"Setelah emak sembuh, aku akan menunggumu di hutan. Kita akan bersenang-senang."

"Aku tidak bisa, Raden."

"Kenapa?"

"Kemarin saja aku hanya menginap sehari, tapi nyatanya aku menghilang selama hampir satu minggu."

"Aku tidak akan membawamu ke negeriku, kita hanya akan bermain di sekitaran hutan saja."

"Baiklah, aku hanya tak ingin abah dan emak kembali khawatir."

"Aku mengerti, lanjutkan pekerjaanmu!" 

Dengan sekejap pria gagah nan tampan itu menghilang dari hadapan Kinanti.

__________

Sesuai saran dari Raden Sangga Kinanti merebus beberapa lembar daun berukuran kecil itu, daun itu direbus hingga airnya tersisa setengah gelas. Setelah air rebusannya tidak terlalu panas segera Kinanti berikan pada emak.

"Air apa ini, Kinan?" tanya emak.

"Jamu Mak, obat herbal."

"Herbal teh apa, Geulis?"

"Herbal itu alami, Mak, dari tumbuh-tumbuhan."

Emak mencium aroma dari gelas yang masih mengepul itu lalu ditiupnya, perlahan.

"Emak! gak usah takut, gak pahit kok."

Setelah diyakinkan, akhirnya emak meminum air rebusan daun panjang umur itu. Emak tertidur pulas, dengkuran halusnya terdengar mengalun sekarang.

Sambil menunggui emak yang tertidur Kinan mencabuti rumput di halaman. Sudah lumayan lama tak terpelihara, rumput yang meninggi dan perdu yang mulai menjalari bunga-bunga di dalam pot tanah.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Kang Angga."

"Bagaimana keadaan emak sekarang?"

"Alhamdulillah, Kang, mulai membaik. Sekarang tidurnya juga sudah bisa pulas tidak seperti waktu di rumah sakit."

Kinanti dan Kang Angga duduk di bale-bale rumah. Kang Angga menawakan program persamaan paket C pada Kinanti, di balai desa. 

Dia sangat tahu sejak dulu Kinanti ingin melanjutkan sekolah. Kinanti juga termasuk siswa berprestasi tapi karena alasan biaya semua asanya terhenti.

"Gak usah khawatir, bayarnya mah nanti, Kinan. Setelah selesai ujian."

"Nanti Kinan tanya abah dan emak dulu ya, Kang?"

"Ini formulir pendaftarannya. Jika berminat, setelah dilengkapi antar formulirnya ke rumahku."

" Iya, Kang. Kinanti terima kasih sekali sama Akang."

"AssalamuaIaikum." Angga hanya mengangguk sambil berlalu meninggalkan pelataran rumah Kinanti.

*****

Emak sudah mulai sehat, sudah bangun dan bisa berjalan. Namun, terpaksa hari ini Kinanti harus menitipkan Emak pada Ceu Imas, tetangga sebelah rumah.

Kinanti harus mengantar perbekalan untuk abah. Seperti biasa dia membawa, beras, telur, teh, minyak goreng, dan berapa bungkus mi instan.

Tepat di bawah pohon mahoni besar itu dia menarik napas panjang, mengambil langkah lebih cepat agar cepat sampai.

"Kinanti!"

Suara seseorang memanggil, Kinanti kenal betul itu suara Raden Sangga. Netranya menjelajah, mencari keberadaan si mpunya suara.

"Raden! Raden Sangga di mana?" panggil Kinanti.

"Aku di sini." Suara bariton itu berasal dari atas pohon mahoni.

Kinanti mendongak, melihat ke atas pohon. Ternyata lelaki gagah itu tengah duduk ongkang kaki di salah satu dahan pohon, yang cukup besar.

Dia melompat dari ketinggian dan mendarat dengan sempurna tepat di hadapan Kinanti.

"Bekal untuk abah biar Sentanu yang antar," pinta Raden Sangga.

Sentanu adalah seorang abdi yang selalu setia mengantar sang pangeran kemanapun.

"Nanti abah bingung, Raden, jika orang yang mengantar bekalnya orang asing."

"Kami bangsa siluman, bisa jadi apa saja, Kinan dan siapa saja. Kami berbeda dengan manusia sepertimu. Lihatlah Sentanu!" tunjuk Raden Sangga.

"Astagaaa!" Kinanti sangat kaget melihat wujud Sentanu yang berubah menjadi dirinya.

Seperti anak kembar, tak sedikitpun di temukan perbedaan antara Kinanti dan Sentanu saat ini.

Dari bentuk tubuh, pakaian, suara, bahkan wajah sangat persis. Bak pinang dibelah dua.

"Kamu tidak usah khawatir, Sentanu akan mengantarkan bekal pada abah. Kamu cepat pulang, kasihan Emak."

Kinanti tersenyum, rasanya seperti mimpi. Bahagia sepertinya, jika punya kembaran seperti Sentanu, pekerjaan bisa selesai lebih cepat.

Kinanti berbalik arah untuk pulang kembali, meniti jalan menuju kampung. Ditemani Raden Sangga, menyusuri padang ilalang, menapaki liukan pematang sawah yang luas.

"Raden!" panggil Kinanti.

"Iya," sahut sang Raden, senyum Raden Sangga mengembang.

"Apa orang-orang yang sedang membajak di sawah itu bisa melihat Raden?"

"Memangnya kenapa dengan mereka?" Raden Sangga balik bertanya.

"Mereka seperti aneh melihatku."

"Tidak, Kinan. Jangan takut, mereka tak bisa melihatku. Hanya kamu dan kerbau-kerbau itu saja yang bisa melihatku."

"Kenapa aku dan kerbau? Raden jangan sama-kan aku dan kerbau juga."

"Hahahha ...." Tawa Raden Sangga membahana. "Itu memang kenyataannya, Kinan, pandangan hewan memang lebih peka."

"Mataku seperti hewan, dong," gumam Kinanti.

"Bukan itu, tapi kamu memang
gadis istimewa, Kinanti. Enam belas tahun lalu kamu digigit ular, tapi kamu tidak meninggal." 

"Benarkah? Emak dan abah tidak pernah cerita perihal itu."

"Sejak peristiwa enam belas tahun silam itu, aku selalu mengikutimu. Aku ingin tahu, kenapa kamu sekuat itu."

"Apa Raden yang menggigitku dan ayah?"

"Ular yang menggigit Ayahmu bukan dari jenisku tapi ular hitam pekat yang sangat berbisa. Ular besar sejenisku tidak mengigit, Kinan, tapi melilit hingga orang yang dililit mati."

"Andai saja saat itu aku digigit hingga meninggal, aku pasti bersama Ayah sekarang," keluh Kinanti.

"Umurmu sudah ditentukan, pertemuan kita sudah ditakdirkan, maka suatu saat perpisahan kitapun sudah dituliskan. Kapan dan dimana? itu semua rahasia Yang Kuasa, Kinanti."

Kinanti hanya bisa tertunduk mendengar nasihat dari lelaki gagah itu. Gadis itu harusnya bersyukur masih diberi kesempatan hidup bahagia bersama abah dan juga emaknya.

Post. Admind 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SETELAH DENGAR HASIL UJIAN PAKAIAN SISWA/I SMA Kelas XII Di NABIRE DIWARNAI BINTANG KEJORA POLISI MEMUKUL Mince Heluka, BEBERAPA ORANG MENANGKAP POLISI

Siswi SMA kelas XII,Foto Mince heluka dapat pukul dari Polisi Nabire. Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Jeruk 🍊 -Melangkah Tanpa Alas Kaki- Nabire Siswa/i SMA kelas 3 dengar hasil ujian, mereka mewarnai pakeyan abu putih dirubah Bendera Identitas diri Papua Barat, Bendera Bintang Kejora/Bintang Fajar Polisi Melakukan pukulan dan penangkapan terhadap siswa/Siswi. Dengan melihat Siswa Mewarnai dengan warna Identitas sehingga beberapa orang anggota polisi dan ada pula yang dapat pukulan dari Polisi pada Senin 06/05/2024. Kata M.D melalui Handphone genggamnya. Penangkapan dan pemukulan dari polisi terhadap teman-teman SMA yang turun pawai kebahagiaan setelah mendengar kelulusan mereka, namun kami merasa kecewa karena polisi-polisi yang berada di Nabire melarang kegiatan kami, Lanjutnya. Kronologis yang Terjadi  Pukul 16: 7 wp. Kurang lebih 9 orang pelajar dikejar oleh 2 orang polisi berpakaian preman dengan kendaraan beroda 2 pengejaran tersebut lokasi da

SEPOTONG PERAHU KERTAS

Kecewakan mu  Di dalam hati yang terluka,   Kata-kata itu menggema.   Pahit getirnya rasa kecewa,   Menyatu erat dalam jiwa. Seperti bayangan yang tak pernah hilang,   Begitu juga rasa kecewa yang terpahat.   Sekali tersakiti, hatimu rapuh,   Dikhianati sekali, cintamu terus meragu. Siapa pun yang mengecewakanmu,   Tidak akan luput dari pandanganmu.   Setiap detik, setiap waktu,   Luka itu tetap merayap dalam ingatan. Namun di balik kekecewaan yang mendalam,   Tersembunyi pelajaran berharga.   Jangan biarkan rasa itu membelenggu,   Biarkan ia menjadi bekal untuk tumbuh lebih kuat. Eko-Vinsent  🍁🍁🍁 SEPIH Sekali lagi sepi Tanpa suaramu  Tak ada kata-kata manismu Hanya hening yang terasa  Sekali lagi sendiri  Merenungi semua rindu ini Menatap langit dengan tatapan hampa  Menyebut namamu tanpa sahutan Sekali lagi hanya diam Menanti sapa itu hadir lagi Membiarkan malam dan siang terlewati Tanpamu dan tanpa kita bercengkrama  Ly SMy  19.9.24 🍁🍁🍁 Se𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 

Adat-Mu Itulah yang Disebut Identitas-Mu, & Kebiasaan Itulan Adat-Mu & Itu-lah Sumber Hukum

Artikel. Oleh. Yegema Megolah sala satu identitas diri yg disebut (Kagane) Tetesan Air Mata Ibunda-kota Tua Paniai ---Melangkah Tanpa Alas Kaki -Kagane merupakan salah satu identitas diri yang diwariskan oleh moyang sejak saya dan kamu tiada. Barang atau benda itu telah ada sebelum manusia dipenuhi di muka bumi ini. Mereka mengolah Adat sesuai keinginan sesuai kepercayaan yang dimiliki setiap daerah termasuk tiga atau empat Wilayah adat Papua, termasuk Wilayah Meepago. Kebiasaan ini tidak bisa berubah dengan bentuk apapun dan bentuk bagimanapun alasan-Nya. Siapapun merasa berubah itulah yang disebut menggagalkan usaha yang diwariskan oleh nenek moyang dan tete moyang kita. Kebiasaan-kebiasaan merubah tampilan maupun warna dan bentuk maka Merusak wajah anda dan  telah menemukan Runtuhnya Manusia.  Ko lupa itulah ko lupa sejarah, akhirnya dibilang Rumah-Mu Runtuh Tapa sebab akibat. Adat-Mu Itulah yang Disebut Identitas-Mu, & Kebiasaan Itulan Adat-Mu & Itu-lah Sumber H