Oleh: Ⓐ - ANTIFA (Maksimus Syufi)
Sebuah Surat
Kata "engkau" atau "kamu", maksudnya bukanlah "engkau orang Indonesia", tetapi "engkau penjajah". Jika "aku" atau "kami solidaritas", juga "kami bangsa Papua yang bebas".
Aku akan segera bercerita kepadamu tentang kebesaran negeriku, yang membuat kami tetap berdiri tegak. Tetapi ini juga berarti bercerita kepadamu tentang keberanian macam apa yang kami kagumi, yang berbeda menurut ukuranmu. Sebab tidak sukar melakukan kekerasan sesudah dipersiapkan bertahun-tahun, dan juga tidak sukar melakukannya jika kekerasan bagimu lebih mendarah daging daripada berpikir. Sebaliknya, jauh lebih berat menghadapi siksaan dan maut dengan tabah, ketika kita menyadari bahwa kebencian dan kekerasan itu sia-sia dan tidak ada gunanya. Sungguh berat bertempur padahal kita memandang rendah peperangan. Sungguh berat menerima kenyataan bahwa kita akan kehilangan semuanya selama kita sedang membangun citra peradaban yang lebih tinggi. Inilah sebabnya kami telah berbuat lebih daripada kamu, karena kami harus membangun atas kekuatan kami sendiri. Bagimu segalanya lebih mudah, sebab engkau tidak perlu menguasai hati dan pikiranmu. Sedangkan kami menghadapi dua lawan. Kemenangan militer saja tidak cukup bagi kami, lain halnya dengan kamu yang tidak perlu menghadapi lawan apapun.
Kami harus benar-benar menahan diri dan yang paling utama, melawan godaan untuk meniru mu. Sebab dalam diri kami selalu ada sesuatu yang menggoda kami untuk menyerah pada naluri, untuk menolak pikiran sehat, dengan dalih efisiensi. Cita-cita kami yang mulia lama-kelamaan terasa melelahkan. Kami sering merasa malu karena terlalu menuruti akal sehat kami, sehingga tidak jarang merindukan suatu masyarakat barbar yang dapat memperoleh kebenaran tanpa usaha. Tapi untung hal ini mudah diatasi. Kalian menunjukkan kepada kami apa jadinya kalau angan-angan seperti itu diwujudkan. Dan kami pun maju terus. Kalau aku percaya akan fatalisme dalam sejarah, bisa saja aku menganggap bahwa kamu memang ditempatkan di sisi kami, menginjak-injak akal sehat untuk dijadikan bukti agar segalanya lebih mudah diterima bagi kami. Dan kami pun bangkit secara mental dan menjadi lebih tenang.
Kami harus mengatasi kelemahan-kelemahan kami sebagai manusia, citra yang selama ini terbentuk tentang martabat penuh damai, keyakinan kami yang mendalam yang tidak pernah terbayar oleh kemenangan apapun, sementara pembantaian umat manusia tidak dapat diterima. Kami harus mengambil jalan memutar, dan kami telah jauh ketinggalan di belakang, jalan putar yang menghargai kebenaran berdasarkan akal, jalan putar yang melindungi keadilan dan meletakkan kebenaran di pihak mereka yang mempertanyakan dirinya sendiri. Tak diragukan lagi, kami telah membayar mahal sekali untuk itu. Kami telah membayarnya dengan dihina dan bersikap diam, dengan pengalaman-pengalaman pahit, dengan penjara, dengan eksekusi menjelang fajar, dengan pembelotan dan pemisahan, dengan lapar yang menyiksa dari hari ke hari, dengan anak-anak yang terlantarkan, dan lebih dari itu, dengan penghinaan terhadap martabat kami sebagai manusia. Hampir seluruh waktu kami telah dihabiskan untuk mencari, apakah kami punya hak membunuh orang lain, apakah kami diizinkan menambah derita dunia yang mengerikan itu. Dan karena banyaknya waktu yang terbuang dan yang harus dikejar, kekalahan yang kami alami dan kami tumpuk, hutang-hutang yang harus dilunasi dengan darah, maka pantas jika kami berpendapat bahwa kami memasuki peperangan dengan tangan bersih-sebersih tangan korban. Dan kami akan keluar dari peperangan dengan tangan bersih pula, sambil membawa serta kemenangan besar atas ketidakadilan dan atas diri kami sendiri.
Kami akan menang. Camkan itu. Tetapi kami akan menang karena kekalahan yang kami derita dan kemajuan yang lamban dan lama untuk memperoleh pembenaran atas segala penderitaan kami, segala ketidakadilan nya, telah memberi kami pelajaran. Ia mengajar kami rahasia segala kemenangan, dan kalau kami pandai-pandai menggunakannya, kemenangan akhir pasti akan kami raih. Ia mengajar kami bahwa, berbeda dengan apa yang biasa dipikirkan, semangat melawan pedang tidak ada gunanya, tetapi semangat disertai pedang akan selalu menang atas pedang saja.
Aku mengetahui bahwa jika kebenaran jika diwujudkan dengan sungguh-sungguh, akan mengalahkan kepalsuan. Inilah yang memberi kami kekuatan untuk berjuang. Aku terdorong untuk menyatakannya padamu bahwa dalam hal ini kita sama-sama berjuang mempertahankan ciri pembedaan yang amat halus itu, namun merupakan ciri yang sama pentingnya dengan manusia itu sendiri. Kita sama-sama sedang berjuang membedakan antara pengorbanan dan mistisme, antara kekuatan dan kekerasan, antara kekuatan dan kegarangan. Bahkan kita sama-sama berjuang membedakan antara benar dan salah, antara manusia masa depan dengan dewa-dewa pengecut yang kalian puja-puji.
Inilah yang ingin aku katakan kepadamu, bukan saja diluar pergolakan ini, melainkan justru ditengah kancah pergolakan tersebut. Itu sebabnya aku tidak kehilangan harapan. Kami yang setengah abad lebih yang kau jajah, sekarang menyatakan kepadamu, kepada semua orang di zaman ini di seluruh Asia, dan di segenap penjuru dunia: "Aku berasal dari suatu bangsa yang terhormat dan tetap utuh, yang dengan segala kekeliruan dan kelemahannya masih memiliki ide yang merupakan kebesarannya. Rakyatnya selalu mencoba, dan juga pemimpin-pemimpinnya kadang-kadang mencoba, mengungkapkan ide-ide itu, bahkan secara lebih jelas. Aku berasal dari bangsa yang selama setengah abad lebih terakhir ini mulai meluruskan kembali arah seluruh sejarahnya, dan yang pelan-pelan namun pasti bangkit dari keruntuhannya untuk mengambil peran. Negeri itu layak mendapat cintaku yang musykil dan sarat dengan tuntutan. Dan aku percaya bahwa memiliki nilai yang layak diperjuangkan, karena memang patut dicintai dengan cinta yang lebih besar. Dan ku sampaikan pula padamu bahwa, di pihak lain, bangsamu telah memperoleh cinta yang memang sepantasnya diperoleh dari cinta yang buta. Suatu bangsa tidak dapat dibenarkan memperoleh cinta semacam itu.
(Cat. Seorang Anarkis).
***
Bukan kami yang memulai perang. Kami hanya melawan balik. Selembar puisi yang tajam, menempar setengah abad lebih cakar Garuda di Tanah Cenderawasih.
PUISI:
PAPUA YANG HILANG
Namaku Papua!
Aku yang mungkin lupa diucapkan oleh aksara dan rasa!
Aku yang mungkin lupa ditulis oleh kamus-kamus penderita!
Aku yang mungkin lupa dilantungkan oleh melodi melodi luka!
Aku yang mungkin lupa, dipuisikan di panggung-panggung merdeka!
Aku yang mungkin lupa, diceritakan dalam ruang-ruang kelas terbuka!
Aku yang mungkin lupa, dilukiskan dalam pameran-pameran persimpangan kota!
Aku yang mungkin, juga dilupakan di ujung ucapan-ucapan doa!
Aku tau, Palestina lebih layak dikobarkan daripada aku!
Aku tau, kasus Pemilu lebih layak dinarasikan daripada Wamena Berdarah, Biak Berdarah, Wasior Berdarah, Paniai Berdarah, dan darah darah lainnya yang berhamburan
Aku tau, Pemekaran dan Otsus lebih penting diutamakan daripada Arnold Ap, Kelly Kwalik, Theys Eluay, Pendeta Yeremia Zanambani, dan kematian-kematian lainnya di Papua.
Aku tau, Indonesia Raya lebih pantas dikobarkan daripada Nyanyian Sunyi Arnold Ap!
Aku Tau, Proklamasi Soekarno lebih didengarkan, daripada Kibaran Bintang Kejora 1 Desember 1961 yang silam!
Aku Tau, Janji Jokowi lebih didengarkan daripada Pesan Theys Eluay, Filep Karma, Musa Mako Tabuni!
Aku Tau, Pidato Puan Maharani lebih didengarkan daripada tangis Mama Yosepha Alomang di hutan Kamoro dan Amungme!
Aku Tau, excavator dan senjata lebih berguna daripada tubuh yang dipotong-potong
Aku Tau, Tentara dan Polisi lebih penting daripada Guru dan Dokter
Peluru lebih layak daripada Pena dan Buku Tulis.
Aku tau, Merah Putih lebih dulu dikibarkan, daripada nasib ribuan pengungsi di belantara Papua
Aku tau, Beras lebih layak daripada Sagu!
Mie Instan dan Ikan Kaleng lebih layak daripada Ubi dan Wam.
Aku Tau, Sawit lebih berguna daripada hutan sagu
Aku tau, aku hanyalah anjing peliharaan para tuan-tuan serakah. Yang mungkin besok, atau sebentar akan menembak ku mati.
Sebelum tubuh ini ditembak dan terkapar di antara timbunan kematian lainnya,
Aku bertanya kepada tuan-tuan itu, itukah kau? NKRI ?
Engkau yang menyuruh militer-militer itu membakar rumah, mengusir dan menembak saudara-saudaraku ?
Engkau yang menyuruh mesin-mesin baja itu menggusur hutan saguku?
Engkau yang memaksa kami mengibarkan merah putih ?
Apakah engkau yang membakar catatan catatan 1 Desember ?
Apakah engkau yang menangkap, menyiksa dan mengurung saudara-saudaraku di Biak 1998 silam?
Apakah engkau yang menembak 4 pelajar di Paniai ?
Apakah engkau yang memotong saudara-saudaraku di Timika ?
Apakah engkau yang menyebut saudara-saudaraku monyet?
Itukah kau? NKRI ?
Pos. Admin
Komentar
Posting Komentar