Simo Hayha: Sniper Paling Mematikan dalam Sejarah, Separuh Wajahnya Hancur
Tetes air mata Ibunda- Melangkah Tanpa Alas Kaki- Salju setinggi pinggang di belantara Karelia bukan sekadar hamparan putih yang menenangkan, melainkan labirin maut bagi siapa pun yang berani mengusik kedaulatan Finlandia pada musim dingin 1939.
Di tengah suhu ekstrem yang merosot hingga -20°C, keheningan hutan sering kali dipecahkan bukan oleh deru mesin, melainkan oleh desing peluru tunggal yang datang tanpa peringatan. Bagi ribuan serdadu Tentara Merah Uni Soviet, setiap gumpalan salju bisa jadi merupakan tempat persembunyian malaikat maut yang tidak menyisakan ruang untuk bernegosiasi.
Sejarah militer mencatat bahwa efisiensi seorang prajurit sering kali diukur melalui statistik yang dingin. Sebuah penelitian di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa pada Perang Dunia I, dibutuhkan rata-rata 7.000 tembakan untuk mencabut satu nyawa, sementara pada Perang Vietnam angka tersebut membengkak menjadi 25.000 peluru.
Namun, di garis depan Kollaa, seorang petani bertubuh mungil menjungkirbalikkan semua hukum probabilitas tersebut dengan akurasi yang hampir mustahil dinalar akal sehat.
Bagaimana mungkin seorang pria dengan tinggi badan hanya 160 cm mampu menciptakan rasio kematian yang begitu tinggi hingga memaksa militer raksasa mengirimkan seluruh divisi hanya untuk memburunya? Dan apa yang sebenarnya terjadi ketika "peluru keberuntungan" musuh akhirnya berhasil merobek separuh wajahnya di hari-hari terakhir pertempuran?
Sang Petani dan Filosofi "Kematian Putih"
Lahir pada 17 Desember 1905 di dusun Kiiskinen, Rautjärvi, Simo Häyhä (atau Simo Hayha) dibesarkan dalam kerasnya alam Karelia. Sebagai putra dari pasangan Juho dan Katriina Häyhä, Simo menjalani kehidupan sebagai petani dan pemburu yang mahir bermain ski.
Pengalaman masa mudanya mengejar burung-burung liar di hutan mendidik penglihatannya menjadi setajam elang. Ia belajar bahwa setiap gerakan kecil atau suara ranting patah adalah pengkhianatan terhadap keberadaan diri. Bakat ini semakin terasah saat ia bergabung dengan Garda Sipil pada usia 17 tahun, di mana ia mampu mengenai target kecil enam kali berturut-turut dalam satu menit dari jarak 150 meter menggunakan senapan bolt-action.
Ketika Winter War (Perang Musim Dingin) meletus pada 1939, Finlandia yang hanya berpenduduk 4 juta jiwa harus menghadapi raksasa Soviet dengan populasi 150 juta orang. Analisis matematis saat itu, menurut warfarehistorynetwork.com, memprediksi Finlandia akan hancur dalam hitungan hari.
Namun, Simo yang saat itu berusia 34 tahun maju membela tanah airnya dengan prinsip yang sederhana: membela negara adalah tanggung jawab yang harus dipikul sendiri jika ingin merdeka. Selama 98 hari di Batalyon ke-6, Resimen Infanteri 34, ia menjadi hantu bagi pasukan Soviet.
Berdasarkan data dari historyextra.com, jika menggunakan rasio peluru di Perang Vietnam sebagai pembanding, 505 korban jiwa yang dicatatkan Simo akan membutuhkan setidaknya 13.550.000 peluru—sebuah angka yang mustahil, namun Simo melakukannya dengan efisiensi yang mengerikan.
Pos. Admin
Komentar
Posting Komentar