Prajurit TNI Diserang WNA China :Ancaman Simbolik Terhadap Kedaulatan Negara.

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Kalimantan - Sekitar 15 Warga Negara Asing (WNA) asal China diduga terlibat dalam insiden penyerangan terhadap lima prajurit TNI yang sedang bertugas di kawasan tambang emas milik PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM) di Ketapang, Kalimantan Barat. 
Pada 15 Desember 2025, Kejadian yang melibatkan agresi fisik tertuju kepada simbol kedaulatan negara itu mengejutkan publik karena tindakan ini menyalahi norma sosial dan hukum yang berlaku, serta menimbulkan pertanyaan mendalam perihal persepsi pelaku terhadap otoritas negara.

Insiden ini mengingatkan kembali keprihatinan yang pernah diungkap oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin, yakni kekhawatiran tentang munculnya kondisi yang disebutnya sebagai “negara dalam negara”, fenomena di mana kekuatan non-negara atau kekuatan ekonomi besar berjalan paralel dan bahkan bisa melampaui kontrol negara terhadap ruang strategis, seperti kawasan industri atau bandara tanpa otoritas penuh pemerintah. Pernyataan ini disampaikan usai kunjungannya ke kawasan industri di Morowali pada 19-20 November 2025, di mana ia menegaskan bahwa fasilitas seperti Bandara PT IMIP telah beroperasi selama beberapa tahun tanpa pengawasan Bea Cukai dan Imigrasi, yang memicu kekhawatiran tentang potensi ancaman terhadap kedaulatan ekonomi dan keamanan nasional. 

Fenomena Ketapang dan kekhawatiran negara dalam negara bukan hanya persoalan sekilas; ia membuka ruang kritik dan refleksi tentang bagaimana negara hadir secara psikologis dan institusional dalam situasi di mana aparatnya justru diserang. Apa makna psikologis di balik tindakan sedemikian rupa?

1. Runtuhnya Psychological Deterrence Negara

Dalam perspektif sosiologi politik dan psikologi sosial, salah satu fungsi utama negara modern adalah menciptakan daya gentar yang sah (legitimate deterrence) terhadap warganya maupun aktor asing melalui simbol-simbol kekuasaan seperti aparat berseragam. Max Weber mendefinisikan negara sebagai entitas yang memiliki monopoli atas kekuatan sah—yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis.

Ketika aparat negara seperti TNI diserang tanpa rasa takut terhadap konsekuensi hukum yang serius, ini mengindikasikan keruntuhan daya gentar psikologis itu. Negara seharusnya membangun keyakinan bahwa setiap tindak agresi terhadap simbol kedaulatannya akan menghadapi respons hukum yang konsisten dan tanpa kompromi. Tanpa deterrence ini, negara kehilangan salah satu mekanisme penting untuk menjaga keteraturan sosial dan supremasi hukum, sehingga lapangan kekuasaan dapat dipandang sebagai ruang yang bisa ditantang oleh aktor manapun yang merasa memiliki kekuatan ekonomi atau sosial tertentu—yang pada akhirnya merusak struktur legitimasi negara itu sendiri.

2. Tambang sebagai Perceived Safe Zone

Dalam psikologi lingkungan dan organisasi, terdapat konsep perceived safe zone, yaitu situasi di mana aturan formal dipersepsikan tidak berlaku secara ketat, sehingga pelaku merasa “aman” untuk melakukan tindakan ekstrim. Kawasan tambang seperti Ketapang, seringkali dipandang sebagai ruang semi-otonom karena pengawasan negara terbatas, sementara kontrol ekonomi oleh perusahaan atau pelaku asing terkesan dominan.

Sikap pelaku yang menyerang aparat bisa dilihat sebagai manifestasi dari keyakinan bahwa mereka berada dalam zona yang relatif “aman” dari penegakan hukum nasional. Dalam konteks ini, ketidakhadiran pengawasan reguler dari aparat sipil, lembaga imigrasi, atau penegak hukum lainnya menciptakan rasa aman yang salah bagi mereka. Kondisi semacam ini mencerminkan bahwa di daerah tertentu, hukum dan otoritas negara tidak dirasakan sebagai sesuatu yang selalu efektif, yang pada akhirnya mendorong tindakan berani yang justru bertentangan dengan legalitas negara.

3. Superioritas Ekonomi sebagai Superioritas Psikologis

Dominasi ekonomi sering kali memengaruhi struktur kekuasaan secara implisit. Pierre Bourdieu berbicara tentang symbolic power, bentuk kekuatan yang bekerja melalui persepsi dan legitimasi sosial, bukan hanya melalui mekanisme formal. Ketika aktor asing, terutama yang terkait dengan modal besar, secara ekonomi terlihat unggul dalam suatu kawasan strategis, muncul persepsi internal bahwa mereka memiliki posisi tawar yang kuat bahkan di hadapan negara.

Dalam kasus Ketapang, aktor asing yang terlibat dalam investasi pertambangan emas mungkin memandang aparatur sebagai penghalang operasional yang kurang penting. Hal ini dapat memunculkan rasa superioritas yang bersifat psikologis, dimana kekuatan ekonomi dipahami sebagai kekuatan yang mampu mengatasi atau setidaknya menantang otoritas negara. Ketika persepsi ini membesar, rasa hormat terhadap simbol-simbol kedaulatan mulai pudar, dan agresi terhadap aparat bukan lagi dianggap tabu secara psikologis.

4. Normalisasi Impunitas dan Hilangnya Batas Moral

Teori psikologi moral menggarisbawahi proses di mana individu membenarkan pelanggaran hukum dalam konteks tertentu. Albert Bandura memperkenalkan konsep moral disengagement, suatu mekanisme psikologis di mana seseorang memutus hubungan antara tindakan mereka dengan konsekuensi moralnya.

Dalam situasi di mana pelanggaran hukum kecil tidak ditindak tegas, pelaku mendapatkan sinyal bahwa hukum bisa dinegosiasikan atau diabaikan. Seiring waktu, ini dapat berubah menjadi normalisasi impunitas, yang kemudian mengikis batas moral internal pelaku. Dalam konteks Ketapang, jika pelanggaran izin tinggal atau dokumen kerja tidak ditindak, atau jika adanya kompromi antara pihak investasi dan aparat mengaburkan batas hukum, maka agresi terhadap simbol negara pun bisa dianggap sebagai sesuatu yang “dibenarkan” secara internal oleh pelaku, meskipun jelas secara hukum adalah tindakan kriminal.

5. Aparat sebagai “Tamu Berseragam”

Legitimasi negara dalam konteks domain lokal sangat bergantung pada kehadiran berkelanjutan aparat negara, baik secara fisik maupun simbolis. David Easton menyebut pentingnya dukungan psikologis (diffuse support) terhadap otoritas negara untuk memastikan stabilitas sistem politik. Ketika aparat hanya hadir sesekali, tanpa pengawasan yang konsisten dan tanpa keterlibatan dalam kehidupan sosial ekonomi lokal, legitimasi itu rapuh.

Dalam situasi Ketapang, ada kemungkinan bahwa aparat negara hadir hanya dalam momen tertentu, tanpa kontrol administratif yang kontinu, sehingga secara psikologis mereka dipersepsikan sebagai “tamu berseragam” di wilayah yang sebenarnya merupakan bagian dari negara. Ketika simbol negara dipandang sebagai tamu, bukan sebagai pemilik sah wilayah, maka penghormatan terhadap simbol tersebut akan melemah, bahkan hilang.

6. Efek Domino terhadap Keamanan Sipil

Fenomena psikologis di mana simbol negara tidak lagi dihormati memiliki implikasi yang luas terhadap persepsi keamanan sipil. Ulrich Beck dalam teori risk society menunjukkan bahwa ketika institusi dianggap tidak efektif dalam mengelola risiko strategis, ketakutan dan ketidakpastian sosial meningkat. Ketika publik melihat simbol negara, yang mestinya menjadi sumber rasa aman, dapat diserang, hal ini menciptakan persepsi bahwa negara tidak sepenuhnya mampu melindungi warga sipilnya.

Akibatnya, warga sipil menjadi lebih rentan terhadap rasa tidak aman psikologis dan mungkin mengambil tindakan yang tidak stabil secara sosial. Ketidakadaan deterrence yang efektif dapat memicu konflik horizontal, di mana warga saling mencurigai dan memperkuat ketegangan sosial, sehingga memperlemah kohesi nasional.

7. Soal Martabat Negara, Bukan Sentimen Kebangsaan

Kajian ini bukan tentang xenofobia atau antipati terhadap warga negara asing dari negara mana pun. Fokusnya adalah masalah martabat institusional negara, bukan kebangsaan pelaku. Teoretikus politik seperti Carl Schmitt menekankan bahwa kedaulatan diuji dalam situasi ekstrem ketika negara harus menunjukkan kapasitasnya mempertahankan tatanan hukum dan otoritasnya di wilayahnya.

Jika negara ragu menegakkan hukum demi alasan ekonomi atau diplomatik, maka marwah kedaulatan itu sendiri tergerus. Insiden Ketapang, seperti kekhawatiran Menhan atas fenomena negara dalam negara, menunjukkan bahwa kompromi yang terlalu besar terhadap kekuatan ekonomi atau kepentingan investasi dapat merusak martabat negara sebagai pengendali tertinggi dalam semua ranah: politik, hukum, ekonomi, dan keamanan. 

Penutup

Keberanian menyerang simbol negara seperti yang terjadi di Ketapang pada 15 Desember 2025 adalah lebih dari sekadar insiden kriminal; ia adalah cerminan dari ketidakhadiran psikologis negara di ruang-ruang strategis di wilayahnya sendiri. Ketika aparat negara tidak lagi dihormati sebagai representasi tertinggi dari legitimasi hukum dan kedaulatan, negara menghadapi bahaya yang jauh lebih besar daripada sekadar ancaman fisik, yakni ancaman terhadap norma dan wibawa institusional itu sendiri.

Kekhawatiran Menhan Sjafrie Sjamsoeddin tentang “negara dalam negara” di kawasan industri sendiri bukan sekadar retorika, tetapi peringatan serius bahwa kedaulatan negara harus direbut kembali, bukan hanya di buku undang-undang, tetapi dalam persepsi dan praktik sosial-psikologis di lapangan. Negara yang dihormati oleh warganya dan oleh aktor asing bukan hanya negara yang kuat secara militer, tetapi negara yang hadir secara konsisten dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan hukum.

Tanpa upaya sadar untuk mengembalikan dan memperkuat wibawa negara, baik secara psikologis maupun institusional, kedaulatan hanya akan menjadi simbol kosong, dan tindakan agresi terhadap otoritas negara akan semakin mungkin terjadi.

Pos. Admin 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia, Orang Sulawesi yang Mengklaim Diri Sebagai “Anak Papua”

TPNPB Kodap VIII Intan Jaya Kembali Baku Tembak Dan TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel Tetapkan Wilayah Pengungsi

JEJAK, KATA DAN KISAH, CINTA, PUISI, SANJAK