(Musik sebagai Senjata Rakyat Tertindas.)
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Jeruk 🍊 -Melangka Tanpa Alas Kaki- Dalam sejarah perjuangan rakyat Papua, musik bukan hanya hiburan, tetapi telah menjadi alat perjuangan politik yang revolusioner.
Hal ini diperlihatkan secara terang oleh grup musik legendaris Black Brothers, yang menjadikan musik sebagai media penyadaran rakyat dan senjata melawan kolonialisme Indonesia. Di tengah tekanan militer, pembungkaman suara, dan penindasan struktural, musik menjadi ruang aman dan terbuka untuk menyuarakan luka, marah, dan harapan rakyat Papua.
Momentum 28 Juli 1965 adalah peristiwa penting di mana rakyat Papua mulai secara terbuka menyatakan penolakan terhadap integrasi paksa dengan Indonesia dan menegaskan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri. Suara-suara perjuangan itu tidak hanya lahir dari medan politik dan organisasi, tetapi juga dari panggung-panggung kecil dan lirik lagu, yang dimainkan dan didendangkan oleh anak-anak muda Papua.
Black Brothers, dalam semangat inilah, menjadi penerus suara politik 28 Juli 1965, membawa pesan itu dari kampung ke kota, dari Papua ke dunia internasional melalui lagu-lagu perjuangan mereka.
Lagu “Yamewero (Mars Papua Merdeka) Biar Posko Dibongkar, Pasti Papua Merdeka” — Simbol Keteguhan Rakyat
Lagu ini tidak hanya bernyanyi tentang penindasan—tetapi meneriakkan harapan dan keteguhan rakyat Papua. Ia menyampaikan pesan bahwa penindasan fisik, pembongkaran posko, intimidasi militer, dan represi negara tidak akan mampu menghentikan keyakinan rakyat Papua untuk merdeka. Ini adalah simbol perlawanan moral dan spiritual, yang mengakar kuat dalam ingatan dan perjuangan rakyat.
Lagu ini juga menjadi pengikat solidaritas dan identitas nasional Papua, menyatukan semangat rakyat bahwa meskipun tempat perjuangan mereka dibubarkan, api kemerdekaan tetap menyala dalam jiwa.
Di saat negara membungkam sejarah Papua melalui narasi tunggal tentang integrasi, lagu-lagu Black Brothers justru menjadi kontra-narasi sejarah yang jujur dan autentik. Mereka merekam apa yang tidak tertulis di buku pelajaran atau pidato negara: tentang penjajahan, kehilangan, dan perlawanan. Lagu mereka membongkar ilusi “Papua damai” dan mengangkat kenyataan bahwa di balik senyapnya gunung dan lembah, ada suara rakyat yang belum didengar.
Momen 28 Juli 1965 dan lagu “Biar Posko Dibongkar, Pasti Papua Merdeka” adalah dua sisi dari mata uang yang sama: keduanya merepresentasikan tekad rakyat Papua untuk bebas dari kolonialisme Indonesia. Di satu sisi, sejarah mencatat deklarasi politik yang menggugah. Di sisi lain, musik mencatat jeritan hati dan semangat perlawanan yang terus hidup hingga kini.
Black Brothers telah membuktikan bahwa musik adalah senjata. Bahwa perlawanan bukan hanya milik tentara dan diplomat, tetapi juga milik seniman, penyair, dan pemusik yang menyuarakan kebenaran di tengah represi.
Peringatan 28 Juli seharusnya tidak hanya mengenang masa lalu, tapi juga menegaskan komitmen rakyat Papua untuk terus menyanyi, melawan, dan memperjuangkan hak mereka yang sah — hak untuk merdeka, menentukan nasib sendiri, dan hidup sebagai manusia yang bermartabat.
Pos. Admin
Komentar
Posting Komentar