Minggu, 26 Oktober 2025

SATU ABAD "PERADABAN", MARI KITA PERGI KE KOTA EMAS, PAPUA BARU.

Hari ini, seratus Tahun yang lalu (25 Oktober 1925)—sekolah modern pertama didirikan di Bukit Aitumeri, Miei, Teluk Wondama yang tenang. Itu adalah hari yang sejuk ketika Misonaris Zending I.S Kijne mulai mendirikan sekolah modern bagi anak-anak kulit hitam rambut keriting yang bertelanjang kaki di tanah yang permai. Fajar menyinsing dan peradaban baru mulai merekah di tanah Papua. 

I.S Kijne bernama lengkap Domine Izaac Samuel Kijne dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1899 dari pasangan Hugorinus Kijne dan Maria Fige'e—seorang Yahudi yang bekerja sehari-hari sebagai guru sekolah. Ayahnya adalah tukang kayu di Vlaardingen, sebuah kota kecil di Negeri Belanda. 

Sejak kecil Kijne menunjukkan bakat yang luar biasa. Ia pandai berhitung dan cepat dalam membaca. Ayahnya mendaftarkan dia di sekolah dasar di kampung halaman mereka. Kemudian ia lanjut ke sekolah menengah pertama dan tamat pada tahun 1914. Pada tahun yang sama ia melanjutkan studi ke sekolah guru Klokenburg Nijmegen dan tamat tahun 1918. Setelah tamat, ia kembali ke Kota asalnya, Vlaardingen untuk menjadi guru. 

Saat itu arus ekonomi-politik sedang berkecamuk. Dunia sedang masuk dalam fase krisis paling parah yang berujung pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) antara kekuatan-kekuatan imperialis utama. Saat itu, Belanda telah jauh hari mematok kekuasaanya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), tetapi belum mengontrol sepenuhnya tanah orang-orang kulit hitam rambut keriting, yang dikenal sebagai Papua hari ini. 

Inggris dan Jerman terus memaksa dari arah Timur, mengancam merebut Papua secara keseluruhan. Tidak tinggal diam, Belanda kemudian merubah haluan dan mulai memperluas pengaruhnya di tanah itu. Pertama mereka mengirim Zeendlin Ottow dan Geissler pada tahun 1855, kemudian diikuti dengan para peniliti dan penjelajah untuk mengkafling tanah Papua. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan, maka Belanda memulai kampanye dengan perekrutan kaum muda untuk mengadi ke tanah Papua. Disinilah Kijne muda mulai tertarik dengan tanah Papua—sebuah pilihan yang kemudian ia cintai untuk selama-lamanya.

Pertama-tama, Kijne mulai melanjutkan studi Akta Kepala Sekolah (Acte Hoofdonderwijzer) selama 2 tahun (1918-1920,) dan kursus bahasa Melayu (1921) dengan memperoleh Akta Pengetahuan Berbahasa Melayu (Acte Maleis-Lan En Volkenkunde). Setelah lulus, ia kemudian dikirim ke Jerman untuk sekolah musik, seni suara, budaya, dan melukis. Lalu pada tahun 1921-22 ia masuk pusat Zending Oegstgeest sebelum akhirnya dikirim ke tanah Papua. 

II. Menuju Papua dan Sentuhan Awal.

Januari tahun 1923, bersama kedua rekannya F. Slump dan Eygendaal, I.S Kijne meninggalkan tanah kelahirannya dan menuju tanah yang jauh di seberang sana, yang ia tidak kenal sama sekali. Hari itu langit cerah dan kapal yang mereka tumpangi meninggalkan Roterdam Negeri Belanda menuju Guinea Afrika Barat, Batvia, sebelum sampai ke Mansinam. Butuh 5 bulan dalam perjalanan, dan pada tanggal 23 Juni 1923, ia tiba di Papua dengan selamat.

Tidak ada sambutan istimewa, semua hilir-mudik seperti biasa. Tetapi tujuan Kijne bukanlah pujian, melainkan pengabdian. Berdasarkan cerita dari temannya Willem Van Hasselt, anak dari F.J.F Hasselt Ketua Zending saat itu dan kenyataan yang ia saksikan sendiri, bahwa satu-satunya kebutuhan mendesak saat ini adalah pendidikan bagi anak-anak asli daerah agar kelak mereka menjadi tenaga-tenaga pembangun di atas tanahnya sendiri. Inilah yang kemudian membulatkan tekad I.S Kijne untuk secara serius membangun pendidikan di tanah Papua.

Saat itu di Mansinam, Ottow dan Geissler sudah mendirikan sebuah sekolah guru, tetapi ini tidak berjalan maksimal dan kualitasnya buruk. Ditambah dengan kesombongan dan ejekan dari orang-orang Kei, Ambon, Sanghie, dll yang saat itu juga berada di Mansinam, membuat anak-anak Papua tidak ingin pergi ke sekolah dan ingin tetap di luar saja. Melihat kondisi itu, Kijne mulai tergerak untuk mendirikan sekolah yang dikhususkan hanya bagi anak-anak Papua supaya kelak mereka "menjadi tuan di atas tanahnya sendiri" seperti yang dinubuatkan olehnya kemudian hari. 

Kijne kemudian mulai mempelajari karakter anak-anak Papua saat itu, seni mereka, keterampilan mereka, budaya mereka, watak dan gaya mereka lalu kemudian memutuskan untuk mendirikan sekolah bagi mereka. Tetapi tantangannya adalah apabila sekolah didirikan lagi di Mansinam, maka misinya untuk mendidik anak-anak Papua akan terganggu dengan kehadiran para migran yang mulai banyak saat itu. Disinilah jalan terbuka, atas usul dari dua Zendling D.B Starrenburg dan D.C.A Bout yang saat itu sudah bertugas di Wondama, bahwa tempat di sana sangat cocok bagi sekolah yang dimaksud oleh I.S Kijne. Inilah awal mula ia tahu tentang Wondama, teluk yang yang indah nan permai itu. 

III. Wondama.

Awal Januai 1925, I.S Kijne betolak ke Wondama dari Mansinam untuk melihat-lihat kondisi disana. Suasana Wondama sangat tenang dan teduh, tanahnya subur dan indah, serta kampung-kampungya berdekatan sehingga sangat cocok apabila para siswa berpraktek dan lansung berkontak dengan masyarakat sekitar. Juga, sangat bagus apabila sekolah berasrama ditempatkan disana. Kijne akhirnya memutuskan bahwa disinilah tempatnya, dan pusatnya akan ditempatkan di Bukit Aitumeri yang letaknya tidak jauh dari perkampungan warga.

Kemudian, pada pertengahan Januari ia kembali ke Mansinam dan mengumpulkan anak-anak Papua yang akan ia didik serta keperluan-keperluan lain. Delapan bulan kemudian, segala persiapan telah rampung dan I.S Kijne telah siap untuk kembali ke Wondama. Itulah, tanggal 25 Oktober 1925 ia tiba dengan 35 orang murid yang telah ia rekrut untuk disekolahkan. Mereka semua adalah anak-anak Papua dari berbagai latar belakang, dan merupakan bejana yang kosong dan siap dibentuk oleh tangan seniman yang handal. 

IV. Permulaan Pengetahuan dan Pengenalan Jati Diri Bangsa.

Setelah tiba di Bukit Aitumeri, keesokan harinya I.S Kijne berkiling bukit Aitumeri untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Dan disana ia menemukan satu buah batu besar, tempat yang akan ia jadikan untuk berdoa dan melatih anak-anak bermain musik, tarik suara, dan lain-lain. Di atas batu inilah, I.S Kijne menulis:

"DI ATAS BATU INI, SAYA MELETAKKAN PERADABAN ORANG PAPUA. SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT, TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.” 

Semua murid yang ada saat itu adalah anak-anak Papua dari berbagai daerah. Mulai dari Biak, Jayapura, Manokwari, Mairasi, Sorong, hingga beberapa daerah lain di Papua. Mereka berkumpul dan saling mengenal satu sama lain. Tidak ada lagi perbedaan, tidak ada lagi sekat-sekat, yang ada hanya satu, Papua. Disinilah kesadaran tentang satu ras, satu warna kulit, satu peradaban—mulai muncul. Inilah awal mula pengatahuan dan pengenalan jati diri bangsa, yang secara tepat oleh sejarawan disebut sebagai embrio nasionalisme Papua.

Murid-murid inilah yang kemudian menjadi intelektual-inteletual pertama di Papua. Mereka memainkan peran sebagai kembang-kembang yang membawa sinar kemana-mana, menyinari seluruh bangsa Papua. Hingga tahun 1932, I.S Kijne kembali ke Belanda untuk meminang kekasihnya, Ny. Johana Regina Uitenbogaard lalu bersamanya kembali ke Aitumeri untuk melanjutkan pelayanannya mendidik generasi bangsa Papua yang tengah bangkit hingga tahun 1941.

I.S Kijne lalu dipindahkan ke Joka, Jayapura sebagai Direktur di Institut Joka (1949-1951) sebelum akhirnya kembali negeri asalnya, Vlaardingen. Bersamaan dengan itu, sekolah di Aitumeri pun tutup. 

IV. Kemana Kita Harus Pergi?

 23 tahun setelah nubutan pertama di Bukit Aitumeri, di atas geladak kapal KM Zee Aen di Dermaga Serui medio September 1958, ketika I.S Kijne bersama kekasihnya Ny. Johana dipaksa meninggalkan tanah yang telah mereka garap sepenuh hati itu sebagai akibat dari nafsu Indonesia yang ingin menguasai Papua, I.S Kijne berkata:

"Aku pergi dengan keyakinan tanah dan bangsa Papua akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kepentingan politik atas segala kekayaan dan hasil tanah itu, tetapi mereka tidak akan membangun Papua dengan kasih sayang, sebab kebenaran dan keadilan akan diputar-balikkan serta banyak hal baru yang akan membuat orang Papua menyesal tetapi itu bukan maksud Tuhan, melainkan keinginan manusia."

Kapal Zee Aen meninggalkan Papua pergi untuk tidak kembali lagi. Tanggal 1 Mei 1963 Indonesia mengambil alih kontrol Papua secara penuh dan melancarkan serangkaian pembunuhan massal serta penipuan paling menjijikan yang belum dikenal sebumnya. Tahun 1969, setelah membunuh ribuan orang Papua dan merekayasa kesepakatan New York 1962, Indonesia secara resmi menduduki Papua pada tahun 1969 melalui Pepera yang penuh tipu daya dan tidak masuk akal.

Sejak saat itu dan sebelumnya, bangsa Papua yang dipersiapkan oleh Kijne berubah menjadi lautan darah, penuh kekerasan, dan tipu daya. Hutan-hutan alam dibabat tanpa ampun, bekas galian mengaga seperti luka busuk, dan manusianya dibunuh setiap hari seperti anjing di warung RW. Terbaru 12 orang warga sipil dibunuh dalam waktu hanya 3 jam di Kampung Soanggama Intan Jaya, dan pelakunya adalah bangsa asing yang ingin meguasai kekayaan alam seperti nubuatan I.S Kijne.

Sekarang pertanyaannya, harus kemana bangsa Papua? I.S Kijne sudah mengatakan dengan jelas bahwa "sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, marifat dan akal budi, tidak akan mampu memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri." Kata-kata itu dengan jelas merujuk bahwa bangsa lain, termasuk bangsa Indonesia, tidak akan dapat mampu membangun bangsa Papua, KECUALI BANGSA PAPUA BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.

Pengalaman kita 60an tahun bersama Indonesia sudah memberikan bukti-bukti yang kuat. Bahwa alih-alih bergerak maju, kita semakin hancur dan terseok-seok di atas tanah kita sendiri. Manusianya semakin hari semakin minoritas, sementara penduduk asing semakin mendominasi. Air kita diracuni, mahkota kita dibakar, hutan dibabat, tanah dikeruk, lalu kita tetap dalam keadaan miskin dan teraniya. 

Kalimat "BANGKIT MEMIMPIN DIRINYA" sendiri jelas menunjukkan bahwa bangsa Papua dan hanya bangsa Papua yang dapat memimpin dirinya sendiri. Ini berarti semua bangsa asing, termasuk Indonesia harus angkat kaki dari tanah Papua. Kalimat ini jelas merujuk pada tujuan yang jelas, Papua harus lepas dari kekangan bangsa asing (Indonesia) dan merdeka-berdaulat di atas tanah airnya. Papua Baru, Papua Merdeka!

=<>=

Ditulis oleh Musell M Safkaur, memperingati I Abad "Peradaban" Papua, 25 Oktober 2025.

_______

Sumber:

1. Hanz Wanma, "Domine Izak Samuel Kijne, Mengenang Hidup dan Karyanya Untuk Tanah dan Bangsa Papua", JW Press, 2016.

2. Yason Ngelia, "Gerakan Mahasiswa Papua", Apro Publisher 2019.

3. P.J Drooglever, "Tindakkan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri", Kanisius 2010.

4. Panita Jubelium Emas 150 Tahun Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua, "Hidup dan Karya Rasul Papua Gotlob Geissler", 2005.

5. Jemaat GKI Diaspora Papua, "I.S Kijne Cita dan Pengorbanannya Untuk Bangsa Kulit Hitam di Timur Lautan Teduh", 2022.

6. Albert Rumbekwan, "Seratus Tahun Nubuatan D.S I.S Kijne, Refleksi Seabad Iman dan Enam Puluh Sembilan Tahun GKI di Tanah Papua", 2025.

Kutipan inspiratif, Victor Yeimo 

Post Kaka Victor Yeimo 

Hari ini, genap satu abad nubuat I.S. Kijne, jika dibahasakan lugas: "kolonialisme tidak akan membangun bangsa Papua. Papua hanya akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri ketika rakyat berani berjuang menentukan nasibnya sendiri". Bukan politisasi, tapi karena memang Kijne mengatakan itu di tengah kolonialisme Belanda (Eropa) yang merasa pemilik peradaban, dan kini kolonialisme Indonesia. 

Inti pesan nubuat tidak berubah: bangsa Papua tidak bisa dibangun oleh bangsa lain. Setiap bentuk “pembangunan” yang dikendalikan oleh kekuasaan luar hanyalah alat untuk memperpanjang ketergantungan dan menundukkan rakyat. Peradaban Papua hanya akan tumbuh dari tangan rakyatnya sendiri, ketika mereka berani berpikir, bertindak, dan berdiri atas kaki sendiri.

Hari ini, bangsa Papua hidup dalam sistem kolonialisme yang menyamar sebagai pembangunan. Negara menguasai tanah, hutan, dan laut dengan dalih kesejahteraan, tetapi sesungguhnya memperkuat eksploitasi. Kekerasan militer, proyek infrastruktur, dan ekspansi investasi bekerja bersama untuk melemahkan kontrol rakyat atas ruang hidup mereka. Pendidikan dibentuk untuk mencetak buruh, bukan pemimpin; media dibungkam agar rakyat kehilangan arah; dan elit lokal dipelihara untuk menjadi juru bicara kolonial di hadapan bangsanya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, rakyat Papua harus membangun sistem sosial, politik, dan ekonomi yang sepenuhnya berakar pada nilai dan kekuatan lokal. Kemandirian politik berarti rakyat menentukan arah perjuangan sendiri tanpa menunggu izin kekuasaan. Kemandirian ekonomi berarti rakyat mengelola tanah, hasil hutan, laut, dan tambang untuk kepentingan bersama, bukan bagi modal asing. Dan kemandirian budaya berarti rakyat menulis, bernyanyi, dan berkarya dengan kebanggaan atas jati diri sendiri, bukan meniru gaya kolonial.

Kebangkitan Papua juga menuntut gerakan literasi nasional Papua sebagai senjata utama melawan penjajahan intelektual. Penindasan tidak hanya terjadi di tanah, tetapi juga dalam pikiran. Kurikulum kolonial menanamkan rasa rendah diri dan meniadakan sejarah perjuangan. Karena itu, gerakan literasi Papua harus dibangun untuk menulis sejarah dari perspektif rakyat sendiri, menggali filosofi dan nilai adat, serta menumbuhkan pemikiran kritis di setiap kampung, sekolah, dan gereja.

Gerakan ini harus melahirkan dekolonisasi intelektual, yakni pembebasan pikiran dari pengetahuan dan nilai-nilai yang menindas. Intelektual Papua harus berhenti mengulang teori dari luar yang tidak memahami realitas bangsanya. Kita harus menulis, meneliti, dan berbicara dengan kesadaran perjuangan, bukan demi karier akademik dalam sistem kolonial. Setiap karya ilmiah, puisi, lagu, film, atau tulisan harus menjadi alat perjuangan, bukan alat penyesuaian terhadap kekuasaan.

Bangsa Papua perlu mengangkat kembali karya-karya intelektualnya sendiri: tulisan, musik, dan seni yang lahir dari pengalaman penindasan dan harapan. Tokoh-tokoh pemikir dan seniman Papua harus dihormati sebagai penjaga kesadaran bangsa. Karya kita bukan sekadar ekspresi budaya, tetapi fondasi bagi kesadaran nasional. Melalui literasi dan seni, rakyat Papua dapat membangun narasi tandingan, narasi yang menolak stigmatisasi kolonial dan menegaskan martabat bangsa.

Di saat yang sama, perjuangan ini menuntut persatuan nasional Papua. Politik pemekaran, otsus, dan infiltrasi pendatang hanyalah strategi pecah-belah kolonial. Rakyat Papua harus menyadari bahwa kekuatan sejati terletak pada kesatuan. Dari pesisir hingga pegunungan, setiap perbedaan bahasa, suku, dan adat harus menjadi kekuatan, bukan pemisah. Persatuan adalah perisai dari serangan ideologis dan militer kolonial.

Gerakan perlawanan juga harus menumbuhkan budaya perlawanan melalui seni, lagu, musik, dan penampilan bergaya Papua sendiri. Kolonialisme berusaha mematikan ekspresi budaya agar rakyat kehilangan rasa bangga terhadap identitasnya. Tetapi musik, tarian, dan seni Papua justru menjadi cara paling kuat untuk menegaskan keberadaan bangsa ini di tengah penindasan. Seni adalah senjata moral; lagu adalah nyanyian pembebasan; dan gaya hidup Papua adalah pernyataan bahwa bangsa ini belum mati.

Semua ini hanya akan bermakna jika diarahkan pada satu tujuan: pembebasan nasional Papua. Rakyat harus sadar bahwa perjuangan tidak akan dimenangkan oleh diplomasi yang bergantung pada belas kasihan luar negeri atau nasihat asing yang menumpulkan daya pikir sendiri. Kemerdekaan sejati tidak datang dari luar, tetapi dari kekuatan internal bangsa. Setiap langkah kemandirian dalam berpikir, mengatur ekonomi, mempertahankan wilayah, dan menulis sejarah sendiri adalah bentuk konkret dari perjuangan melawan kolonialisme.

Nubuat Kijne bisa jadi peta ideologis bagi perjuangan pembebasan nasional Papua. Ia memanggil untuk berpikir bebas, bersatu, menghormati karya bangsanya, menolak manipulasi kolonial, dan membangun peradaban dari dalam dirinya sendiri. Kolonialisme tidak akan membangun Papua, karena ia hidup dari penindasan. Tetapi Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri ketika rakyat berani berpikir, menulis, bernyanyi, dan berjuang dengan kesadaran penuh bahwa kita adalah satu bangsa, satu tanah, satu tujuan: kemerdekaan dan martabat di atas batu karang sejarahnya sendiri.

Terlampir foto-foto koleksi dari penulis.

Pos. Atmin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bangsa Papua Akan Kalah Jika Terus Bertengkar di Dalam Kandang Penjajahan

Artikel: Tapol, Victor F Yeimo  Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Hati-hati pada p...