Senin, 24 November 2025

KOMITMEN BUPATI TOLIKARA, TIDAK BOLEH ADA NYAWA YANG HILANG SIA SIA KARENA DITOLAK OLEH LAYANAN RUMAH SAKIT

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Tolikara -Melangka Tanpa Alas Kaki- 
 Tanah Injil Tolikara - Beberapa waktu lalu, Tanah Papua kembali berduka. Kita semua mendengar berita yang sangat menyakitkan tentang wafatnya seorang ibu hamil, almarhumah Irene Sokoy di Jayapura, yang diduga tidak segera mendapat pelayanan kesehatan akibat persoalan administrasi dan ketersediaan ruangan.

Tragedi tersebut mengguncang nurani kita semua. Gubernur Provinsi Papua, Bapak Matius D. Fakhiri, telah menyatakan langkah tegas untuk mencopot para direktur rumah sakit yang lalai memberikan pelayanan.

Namun, bagi kami di Tolikara, peristiwa ini menjadi peringatan keras bahwa tidak boleh ada satu nyawa pun yang hilang hanya karena kelalaian atau birokrasi yang gagal melindungi setiap nyawa warga OAP Tolikara karena kesulitan mendapatkan akses layanan kesehatan.. Sebagai Bupati, Kami Tidak membolehkan ada satu pun warga Tolikara yang ditolak rumah sakit mana pun ketika warga kami membutuhkan Perawatan Medis Rumah Sakit.. 

Di Tolak Oleh Rumah Sakit, karena alasan Tidak Ada Uang atau tidak ada Asuransi Kesehatan, itu Adalah kasus Yang Tidak boleh Terjadi Pada Warga Kami di Tolikara..

Bukti Komitmen 100 Hari Kerja: Melindungi Setiap Nyawa - Bukan Sekadar Janji

Ketika kami selaku Bupati, bersama Wakil Bupati Yotam Wonda memulai masa kepemimpinan ini diawal Tahun 2025, kami langsung mengambil langkah-langkah strategis untuk menata kembali pelayanan rujukan kesehatan bagi masyarakat Tolikara (terutama yang membutuhkan pelayanan rujukan ke Kota Jayapura atau Wamena)..

Dalam 100 hari kerja pertama, kami tidak mau hanya bicara pada perintah birokrasi seremonial.. Akan Tetapi Kami bekerja di lapangan, kami bergerak, kami turun langsung untuk menjamin kebutuhan layanan rujukan Rumah Sakit bagi OAP Tolikara terpenuhi tanpa merasa khawatir akan mengalami penolakan Rumah Sakit.. 

Salah satu langkah besar yang telah kami capai bersama adalah berhasil melakukan penandatanganan kerja sama rujukan kesehatan - dengan RS Dian Harapan di Jayapura, yang telah kami lakukan bersama Direktur RS Dian Harapan, dr. Jon C.F. Paat pada tanggal 3 Juni 2025 (sekitar 3 bulan 1 minggu setelah kami dilantik sebagai Bupati definitif oleh Presiden) ..

Gerak cepat - Eksekusi Kerja sama yang kami lakukan bersama Rumah Sakit di Jayapura, menjadi tonggak penting bagi masyarakat di Kabupaten Tolikara..
Kami pernah menyampaikan komitmen penting pada waktu penandatanganan kerjasama rujukan kesehatan di Jayapura dan di hari ini kami akan ulangi kembali komitmen itu, bahwa:  

Di Tanah Papua, satu nyawa itu sangat berharga. Setiap orang Tolikara harus mendapat jaminan pelayanan kesehatan, tanpa melihat dompetnya tebal atau tipis, tanpa melihat dia punya BPJS atau belum.

Dan kami sangat berterima kasih, karena RS Dian Harapan menyambut kerja sama ini dengan hati yang terbuka.. Pihak rumah sakit siap membantu masyarakat Tolikara mengurus BPJS, siap melayani mahasiswa kita di kota studi Jayapura, siap menolong pasien tanpa birokrasi kesehatan yang berbelit-belit..

Selain kerja sama kelembagaan, kami dan Wakil Bupati juga memastikan bahwa komunikasi antara Dinas Kesehatan Tolikara, RSUD Karubaga, dan RS Dian Harapan terjalin menjadi mitra strategis Pemda Tolikara, agar pasien OAP asal Tolikara tidak lagi tertahan hanya karena masalah kelengkapan data administrasi atau permintaan pembayaran dalam jumlah tertentu, yang seringkali menjadi hambatan dalam memberikan tindakan medis segera kepada rakyat kami yang membutuhkan pertolongan darurat kesehatan..

Bupati Tolikara Menjamin Konektivitas Udara: Penentu Kecepatan Layanan Kesehatan

Sebagai Bupati, kami juga menyadari betul bahwa Rentang Kendali Pelayanan untuk Masyarakat Tolikara terbentur dengan akses yang terbatas, terutama masih mengandalkan transportasi udara ketika kebutuhan pelayanan rujukan akan dilakukan ke Kota Utama seperti Jayapura.. 

Oleh karena Pelayanan rujukan tidak akan berjalan dengan baik tanpa konektivitas udara yang baik.. Itulah sebabnya, selaku Bupati, kami juga telah melakukan langkah strategis lainnya, yaitu menandatangani kerja sama Penerbangan - dengan PT. Eya Aviation Indonesia untuk membuka penerbangan perintis menggunakan pesawat Cessna Caravan, untuk memudahkan Masyarakat Tolikara dan Pemda Tolikara untuk melakukan mobilisasi pelayanan kesehatan darurat yang membutuhkan penanganan segera di Kota lainnya (contoh: ke Jayapura)..

Rute-rute penting seperti:
Karubaga–Wamena, Karubaga–Wina, Karubaga–Ndundu, Karubaga–Dow, Karubaga–Wari, dan sebaliknya (tentunya dari Karubaga - Sentani juga dipastikan rutenya terjamin dan disubsidi oleh Pemda Tolikara) telah dibuka secara reguler setiap minggu dengan harga tiket bersubsidi..

Kerja sama ini tidak hanya membuka isolasi wilayah-wilayah di Tolikara, tetapi juga menjadi jembatan penghubung yang menyelamatkan nyawa banyak warga OAP di Tolikara, khususnya: pasien gawat darurat, ibu hamil dengan risiko tinggi, pasien yang membutuhkan tindakan cepat, warga yang harus dirujuk ke RSUD Wamena atau rumah sakit di Jayapura..

Dengan adanya jaminan rute penerbangan perintis yang disubsidi oleh Pemda Tolikara, maka waktu tempuh menjadi jauh lebih cepat, memberikan kepastian pelayanan (tidak ada kekhawatiran masyarakat tidak mampu membayar biaya penerbangan), dan pasien bisa segera sampai di fasilitas rujukan untuk mendapatkan pertolongan medis..

Komitmen Tegas Bupati Tolikara Dihari ini
Pada Hari ini, di hadapan rakyat Tolikara (OAP di Tanah Papua), kami ingin menegaskan kembali komitmen Pemerintah Kabupaten Tolikara, dalam hal:

1. Tidak boleh ada warga Tolikara yang ditolak oleh rumah sakit mana pun - di Wamena, Jayapura, maupun kota lainnya.. Kami siap berdiri paling depan, jika ada rumah sakit yang menolak masyarakat kami, dengan alasan administrasi atau birokrasi, terlebih lagi karena alasan ketiadaan Finansial.. Jika hal tersebut masih menimpa warga Tolikara, maka kami selaku Bupati, akan melakukan evaluasi kerja sama tersebut dengan tegas - terhadap Rumah Sakit Rujukan yang ditunjuk oleh Pemda Tolikara.. 

2. Pemerintah Daerah Tolikara, akan menyediakan dukungan anggaran, pendampingan administrasi, hingga fasilitasi BPJS bagi warga OAP Tolikara yang membutuhkan layanan medis rujukan..

3. Setiap kepala distrik, kepala puskesmas, maupun Kepala RSUD Tolikara, wajib memastikan pasien rujukan diproses dengan cepat dan didampingi secara administrasi dan wajib di dampingi oleh Petugas Kesehatan (setiap kelalaian dalam memastikan jaminan kesehatan warga OAP, akan mendapatkan sanksi pencopotan jabatan)..

4. Pemerintah Daerah Tolikara, akan memperkuat RSUD Karubaga agar lebih mampu menangani kasus-kasus darurat sebelum dirujuk _(Selaku Bupati kami berkomitmen untuk menyediakan tenaga medis terbaik di Karubaga, dan juga memberikan kesempatan Beasiswa Terbaik kepada Para Dokter OAP yang hendak meningkatkan pendidikannya ke ranah spesialis).._

5. Kerja sama transportasi udara perintis akan terus diperluas untuk memastikan kecepatan layanan kesehatan yang efisien..

Selaku Bupati, Kami Hendak Menyampaikan pesan moral kepada seluruh Tenaga Pelayanan Kesehatan: bahwa Tugas Pemerintah bukan sekedar mengurus berkas, akan tetapi menyelamatkan nyawa.. Administrasi bisa menyusul, tetapi keselamatan nyawa tidak bisa menunggu.

Untuk itu, kami meminta kerja sama dari seluruh tenaga kesehatan, rumah sakit rujukan, dan seluruh pemangku kepentingan terkait: agar mari kita tempatkan kemanusiaan sebagai hal yang paling utama dalam pelayanan kelembagaan kesehatan di Tanah Papua.

Selama kami memimpin Tolikara, maka tidak boleh ada satu pun warga Tolikara yang merasa tidak diperhatikan dalam haknya mendapatkan layanan kesehatan..

Terima kasih kepada seluruh mitra rumah sakit, tenaga medis, pemerintah provinsi, DPRD Tolikara, dan seluruh masyarakat yang mendukung transformasi pelayanan kesehatan yang telah kami mulai diawal Tahun 2025 sampai hari ini..

Semoga Tuhan memberkati kita semua dalam tugas mulia ini..

Tuhan Yesus Memberkati Tanah Papua..

Syalom, Wa Wa, Waniambe, 
Yo Suba, Tabea Tabea, Matur Nuwun, Horas, Ya'ahowu.. 

WILLEM WANDIK S.Sos (BUPATI TOLIKARA 2025 -- 2030) - Sekretaris Badan Makan Bergizi APKASI Periode 2025 - 2030).

Pos. Admin 

Bapak Bupati Tolikara Wilem Wandik Menyampaikan Duka dan Kesedihan yang Paling Dalam.

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Tolikara -Melangka Tanpa Alas Kaki- Seorang ibu kita, seorang warga negara OAP yang terhormat, seorang Kaka perempuan kita yang sedang mengandung kehidupan baru, telah pergi meninggalkan kita semua dalam cara yang begitu menyayat hati.

Ia datang ke pelayanan kesehatan mencari pertolongan. Ia merasakan sakit yang luar biasa menahan sesak napas, menahan pingsan, menahan rasa takut demi satu harapan: agar anaknya - generasi masa depan di Tanah ini, bisa lahir dengan selamat.

Sang Ibu menunggu dengan sabar, menahan sakit dan getirnya maut, berharap rujukan layanan kesehatan bisa segera diberikan, bukan untuk keselamatan dirinya - melainkan keselamatan anak yang ada dalam rahimnya.

Sang ibu yang penuh kasih percaya bahwa negara ini, bahwa daerah ini, bahwa kita semua akan menjaganya.

Namun pada akhirnya, ia ditolak.

Dalam keadaan yang paling lemah, dalam waktu yang paling menentukan, ia tidak mendapatkan pelayanan yang seharusnya ia terima sebagai seorang manusia, sebagai seorang ibu, dan sebagai seorang warga negara yang lemah.

Sebagai Bupati, sebagai seorang anak Papua, dan sebagai seorang manusia, saya merasa sangat terpukul dan bersedih hati.

Kematian sang ibu yang penuh kasih ini adalah luka bagi keluarga, tetapi juga menjadi luka bagi saya dan seluruh pemerintah daerah di Tanah Papua..

Ada rasa malu yang tidak terlukiskan di hati dan pikiran saya... Mengapa di negeri ini, di Tanah ini, masih ada seorang Ibu yang penuh kasih sayang mempertahankan kehidupan anak yang dikandungnya - menjadi calon penerus setiap jejak kehidupan di Tanah Papua, harus wafat karena kesombongan, ketamakan, ketidakpedulian orang orang yang digaji oleh pajak negara, diberi pendidikan terbaik oleh negara, orang orang yang di sumpah untuk melindungi setiap nyawa (pasien) dengan sumpah hipokrates dan terhadap Tuhan yang menyaksikan ikrar mereka itu.

Tidak ada alasan yang dapat menghapuskan kenyataan pahit bahwa seorang ibu yang datang meminta diselamatkan, justru kehilangan nyawanya sebelum mendapatkan pertolongan yang layak.

Saya ingin keluarga yang ditinggalkan tahu:

Saya dan kita semua yang memiliki hati nurani di Tanah Papua, merasakan duka kalian semua yang merasakan kehilangan (termasuk bagi keluarga yang di tinggalkan).. Saya berdiri bersama kalian.. Dan saya berjanji bahwa kematian ini tidak akan sia-sia..

Peristiwa ini menjadi panggilan bagi saya sebagai salah seorang Pemimpin Daerah (Bupati) — sebagai panggilan untuk memperbaiki, mempertegas, dan membenahi seluruh sistem rujukan dan pelayanan kesehatan bagi rakyat kami di Tanah Papua, khususnya kepada warga kami di Tolikara.

Saya tidak mau melihat lagi peristiwa tragis dan memilukan seperti ini terulang, khususnya terhadap kejadian buruk yang akan menimpa Ibu Ibu, Kakak Perempuan, dan Calon Generasi penerus di wilayah yang kami pimpin di Tolikara.. Dan saya tidak akan membiarkan ada warga Tolikara, terutama ibu hamil, yang datang meminta tolong lalu ditolak oleh rumah sakit, entah di mana pun itu berada..

Kita harus berubah.
Kita harus lebih sigap.
Kita harus memastikan bahwa setiap ibu yang datang dalam keadaan darurat, setiap warga yang membutuhkan rujukan diseluruh Puskesmas, Rumah Sakit dan Layanan Kesehatan lainnya, harus segera ditangani dengan cepat, manusiawi, dan tanpa diskriminasi..

Untuk ibu dan Kaka Perempuan beserta Bayi yang telah pergi, semoga Tuhan menerima engkau dalam damai-Nya.

Hari ini saya berduka, Tanah Papua Berduka, Rakyat di Tolikara juga ikut berduka.

Tetapi dari duka ini, kita akan berdiri dan memastikan tragedi yang sama tidak terulang lagi dimasa depan.

Syalom, Wa Wa, Waniambe, Onomi Foi, Koya’o.., Jo Suba, Tabea Tabea, Matur Nuwun, Horas, Ya'ahowu.. 🙏🏽

WILLEM WANDIK S.Sos (BUPATI TOLIKARA 2025 -- 2030) - Sekretaris Badan Makan Bergizi APKASI Periode 2025 - 2030)..

Pos. Admin 

Minggu, 23 November 2025

WHEN A SHEPHERD WAS KILLED:THE NATION'S SAD FAREWELL TO PASTOR BOBBI PASCHAL

Mother's Tears-Old Town-Africa -Rare Barefoot-The African President must be held responsible for the murder of Pastor Bobby, The dawn of Wednesday, November 19 2025, was not illuminated by light, but was illuminated by sorrow so heavy that it bent the soul. 
Father Bobbi Pascal, a gentle priest of Kaduna Archdiocese, a man who carried God's love like a candle in the night, has been murdered by his kidnappers. 
He was kidnapped on Monday, November 17, along with several others, by armed men who have turned our country into a valley of sorrow. 

Today…
Nigeria mourns. 
The church is bleeding. 
Heaven accepts broken offerings. 

A Heart Too Kind for This Cruel World

It's impossible to talk about Father Bobbi without feeling something collapse in your chest. 
He didn't hurt anyone. He did not commit any violation. 
He was a priest; A healer, a shepherd, a father to fatherless children, a quiet glimmer of hope amidst an increasingly dark nation. 

However, his life was taken away… not because of a mistake, not because of wealth,
not because of conflict... 
but only because he stood at the altar of Christ. 

What a painful truth. What an unspeakable wound. It is a shame for a nation that is unable to protect its prophets. “Nigeria has failed you, Father Bobbi, but Heaven has not.”

Many times we say, "It's OK," but today, it's NOT OK. There is nothing okay about this. 
Father Bobbi,
your country failed you. The system that is supposed to protect you actually leaves you exposed. The land you pray for becomes the land that swallows you. But the God you serve, with your hands, with your voice, with your whole life,
will never let you down. 

Like Saint Paul, you fight the good fight. Like the early martyrs, you carry your cross. And like Christ, you were torn apart by violence, but your soul remained untouched by their darkness. 

Tears of the Nation, Heaven's Welcome

My heart trembles when I write. My hands can barely hold these words. Too painful, too fresh. A priest... a servant of love who was struck by disaster. 

Father Bobbi, may the Angels who stand beside you in your suffering take you gently into God's arms. May the Saints rise to welcome. 

Christian legacy in Nigeria NIGER has forced a Catholic priest to serve Mass with an AK-47 cross on his back and a microphone in his other hand. 
scared after being killed by a priest in a rectory on Nigerian soil, ironically enough what happens in Africa is that a priest can be killed for no reason. 


Version:

KETIKA SEORANG GEMBALA DIBUNUH: 
PERPISAHAN YANG MENYEDIHKAN BANGSA KEPADA PASTOR BOBBI PASCHAL
Fajar Rabu, 19 November 2025, bukan disinari cahaya, melainkan disinari duka yang begitu berat hingga membengkokkan jiwa.
Pastor Bobbi Pascal, seorang imam yang lembut hati dari Keuskupan Agung Kaduna, seorang pria yang membawa kasih Tuhan bagai lilin di malam hari, telah dibunuh oleh para penculiknya.
Ia diculik pada Senin, 17 November, bersama beberapa orang lainnya, oleh orang-orang bersenjata yang telah mengubah negeri kami menjadi lembah duka.

Hari ini…
Nigeria berduka.
Gereja berdarah.
Surga menerima persembahan yang hancur.

Hati yang Terlalu Baik untuk Dunia yang Kejam Ini

Mustahil berbicara tentang Romo Bobbi tanpa merasakan sesuatu yang runtuh di dalam dada.
Ia tidak menyakiti siapa pun. Ia tidak melakukan pelanggaran apa pun.
Ia adalah seorang imam; Seorang penyembuh, seorang gembala, seorang ayah bagi anak-anak yatim, secercah harapan yang tenang di tengah bangsa yang semakin gelap.

Namun, nyawanya direnggut… bukan karena kesalahan, bukan karena kekayaan,
bukan karena konflik…
melainkan hanya karena ia berdiri di altar Kristus.

Sungguh kebenaran yang menyakitkan. Sungguh luka yang tak terucapkan. Sungguh memalukan bagi bangsa yang tidak mampu melindungi para nabinya. "Nigeria telah mengecewakanmu, Romo Bobbi, tetapi Surga tidak."

Berkali-kali kita berkata, "Baik-baik saja," tetapi hari ini, TIDAK baik-baik saja. Tidak ada yang baik-baik saja dalam hal ini.
Romo Bobbi,
negaramu mengecewakanmu. Sistem yang seharusnya melindungimu justru membuatmu terekspos. Tanah yang kau doakan justru menjadi tanah yang menelanmu. Tetapi Tuhan yang kau layani, dengan tanganmu, dengan suaramu, dengan seluruh hidupmu,
tidak akan pernah mengecewakanmu.

Seperti Santo Paulus, kau berjuang dalam perjuangan yang baik. Seperti para martir masa awal, kau memikul salibmu. Dan seperti Kristus, engkau direnggut oleh kekerasan, tetapi jiwamu tetap tak tersentuh oleh kegelapan mereka.

Air Mata Bangsa, Sambutan Surga

Hatiku bergetar saat menulis. Tanganku hampir tak mampu menahan kata-kata ini. Terlalu menyakitkan, terlalu segar. Seorang imam... seorang hamba kasih yang tertimpa musibah.

Romo Bobbi, semoga para Malaikat yang berdiri di sampingmu dalam penderitaanmu membawamu dengan lembut ke dalam pelukan Tuhan. Semoga para Kudus bangkit untuk menyambut.
peninggalan umat Kristiani di Nigeria NIGER telah memaksa seorang pendeta Katolik untuk melayani Misa dengan salib AK-47 di punggungnya dan mikrofon di tangan lainnya. 
ketakutan setelah dapat dibunuh seorang pastor di sebuah Pastoran di tanah Nigeria, cukup ironis yang terjadi di Afrika seorang pastor dapat dibunuh tanpa alasan.

Pos.Admin

Sabtu, 22 November 2025

Setelah Meninggal IBu Irene Sokoy dan Anak di Kandungan, Hanya Mencari PERHATIAN Gubernur Papua

Jika Masyarakat Asli Papua harus bayar Rumah sakit. Triliunan rupiah Dana Otonomi khusus Papua untuk siapa..? Dan untuk apa...?, 
Seluruh Gubernur Bupati dan walikota diatas Tanah Papua harus belajar definisi Otonomi khusus Papua, Agar tidak salah.
Tetesan Ait Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Melangkah Tanpa Alas Kaki- Gubernur Papua Matius D. Fakhiri (MDF) didampingi istri Ny. Eva Mathius D. Fakhiri dan Pj. Sekda Papua L. Christian Sohilait mengunjungi keluarga duka Almarhumah Irene Sokoy di atas Dermaga Kuning, Kampung Hobong, tepi Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, pada Jumat malam, 21 November 2025 pukul 18.30 WIT. 

Kunjungan itu dilakukan setelah Irene Sokoy seorang ibu muda bersama bayi yang dikandungnya meninggal dunia akibat ditolak dan terlambat ditangani sejumlah rumah sakit di Jayapura sejak Minggu, 16 November 2025.

Kunjungan itu terlihat sebagai sebuah sensasi publik, mencari perhatian, dan penyesalan atas kesalahan kepemimpinan dalam bingkai daerah otonomi khusus Papua.

Dihadapan keluarga besar Kabey–Sokoy yang masih berduka, Gubernur MDF secara terbuka menyampaikan permintaan maaf mendalam atas nama pribadi dan Pemerintah Provinsi Papua. 
“Peristiwa ini telah menunjukkan kebodohan yang luar biasa dilakukan pemerintah dan seluruh bawahan kami,” ujarnya dengan nada geram. 

Ia menyebut tragedi ini sebagai potret nyata kerusakan sistem pelayanan kesehatan di Papua dan berjanji akan segera menertibkan seluruh rumah sakit di bawah kewenangan provinsi, termasuk mengganti seluruh direktur rumah sakit milik pemerintah yang ada serta memperbaiki peralatan dan sistem layanan yang selama ini terbengkalai.

Ibu Irene Sokoy dan Anaknya yang dikandungan meninggal karena sejumlah rumah sakit di Jayapura Papua harus dibayar masyarakat asli PAPUA. Lalu otonomi khusus Papua untuk apa..? dan untuk siapa..?
Menurut informasi, almarhumah Irene mulai merasakan kontraksi pada Minggu malam. Setelah ketuban pecah, keluarga membawanya dengan speedboat melintasi Danau Sentani menuju RSUD Yowari, namun dokter tidak berada di tempat dan surat rujukan tak kunjung dibuat hingga larut malam. 

Ambulans baru tiba pukul 01.00 dini hari. Perjalanan panjang berlanjut ke RS Dian Harapan di Waena, Distrik Heram kemudian ke RSUD Abepura di Kampwolker lalu ke RS Bhayangkara di Kotaraja Abepura, dan RSUD Jayapura, namun di setiap rumah sakit keluarga mengalami penolakan atau keterlambatan penanganan dengan alasan kamar BPJS penuh, diminta uang muka, atau dokter tidak ada. 

Irene akhirnya meninggal dunia bersama bayinya pada pukul 05.00 WIT saat tiba kembali di RS Bhayangkara.
Kepala Kampung Hobong Abraham Kabey dan suami almarhumah Neil Kabey menyampaikan kekecewaan mendalam.

Dana Triliunan rupiah otonomi khusus Papua ternyata bukan untuk bangsa Papua tetapi untuk Pejabat Papua dan jajarannya mulai dari Jakarta hingga PAPUA.


Pos. Admin 

Jumat, 21 November 2025

Otsus Papua dan Penanganan Konflik Berkepanjangan di Tanah Papua


Oleh: MedKamp 
Sejak diberlakukannya Otonomi Khusus (Otsus) pada tahun 2001 dan direvisi melalui Otsus Jilid II pada 2021 kini sudah berusia 24 tahun, Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan puluhan triliun rupiah untuk mendorong pembangunan di Tanah Papua. Jalan, jembatan, sekolah, bandara, hingga beasiswa pendidikan mulai terlihat. Namun di balik berbagai capaian fisik tersebut, Papua tetap menjadi wilayah dengan konflik bersenjata paling berkepanjangan di Indonesia, dengan pengungsian massal, korban sipil, dan ketidakpastian keamanan yang terus berulang.

Pertanyaannya kini semakin mendesak,
Mengapa konflik tidak kunjung selesai meski Otsus sudah berjalan dua dekade?
Dan bagaimana seharusnya negara menangani konflik yang telah menahun ini?

Otsus, Pembangunan Fisik Tanpa Penyembuhan Luka Sosial

Secara formal, Otsus Papua dirancang sebagai mekanisme untuk:
1). mengurangi ketimpangan pembangunan,
2). meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP),
3). menghargai hak-hak budaya dan adat,
4). serta membuka ruang politik bagi pemerintah daerah.

Namun realitas di lapangan menunjukkan paradoks. Pembangunan fisik maju, tetapi luka sosial tetap menganga.
Pengalaman pengungsian, operasi keamanan, kekerasan masa lalu, dan rasa tidak didengar membuat kepercayaan masyarakat Papua terhadap negara tetap rapuh.

Otsus memang memperbaiki infrastruktur, tetapi tidak menyentuh problem martabat, identitas, dan rasa keadilan.
Dan tanpa menjawab tiga hal itu, pembangunan apa pun tidak akan dapat meredakan konflik.

Konflik yang Terus Berulang, Siklus Tanpa Akhir

Di berbagai wilayah seperti Nduga, Puncak, Intan Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Maybrat, konflik terus berulang dalam pola yang konsisten:
1. Tindak kekerasan terjadi antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata.
2. Masyarakat sipil menjadi korban utama jatuh korban jiwa, rumah terbakar, sekolah ditutup, masyarakat mengungsi ke hutan atau daerah lain.
3. Pemerintah merespons dengan operasi keamanan lebih intensif.
4. Siklus ini memunculkan resistensi dan ketidakpercayaan dari masyarakat lokal.
5. Konflik kemudian muncul lagi dalam bentuk baru.

Model ini sudah berlangsung selama lebih dari 50 tahun, tetapi belum pernah diputus dengan pendekatan dialogis yang komprehensif.

Mengapa Otsus Tidak Menyelesaikan Konflik?

1. Akar Konflik Politik Tidak Pernah Ditempatkan di Meja Dialog

Sejarah politik Papua dari Perjanjian New York, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, hingga militarisasi sejak 1970 an menyisakan narasi ketidakadilan yang belum pernah dibicarakan secara jujur antara negara dan rakyat Papua.

Otsus berbicara tentang pembangunan, tetapi konflik Papua adalah konflik identitas dan sejarah, bukan hanya konflik ekonomi.
Selama akar sejarah tidak dibicarakan, Otsus hanya menjadi solusi teknokratik untuk masalah yang bersifat politis.

2. Kelemahan Tata Kelola, Otsus Banyak Dikelola Elite, Bukan Rakyat

Berbagai laporan pemerintah dan audit BPK menunjukkan adanya:
1). korupsi,
2). ketidakefisienan anggaran,
3). proyek fiktif,
4). serta monopoli program oleh elite politik lokal dan Nasional.

Jika dana Otsus mengalir dari pusat tetapi berhenti di meja elite (Lokal/Nasional), maka masyarakat kampung tetap hidup dalam kemiskinan.
Hal ini menciptakan dua kekecewaan,
kepada Jakarta yang dianggap tidak adil, dan kepada pemerintah lokal yang dinilai tidak amanah.

3. Pendekatan Keamanan Lebih Dominan Dibanding Pendekatan Kemanusiaan

Dalam banyak kasus, penyelesaian konflik lebih sering dilakukan dengan:
1). peningkatan operasi keamanan,
2). pembentukan pos-pos baru,
3). patroli bersenjata di kawasan pemukiman,
4). atau operasi penegakan hukum yang tidak jarang menyebabkan korban sipil.

Walau negara berkewajiban menjaga keamanan, model penanganan yang tidak sensitif terhadap konteks sosial justru memperdalam trauma masyarakat.

Pendekatan keamanan penting untuk melindungi warga, tetapi harus selaras dengan pendekatan Hak Asasi Manusia dan Dialog, bukan menggantikannya.

4. Ketimpangan Ekonomi yang Tidak Berkurang

Meskipun Papua merupakan wilayah kaya sumber daya alam, masyarakat Papua tetap menjadi minoritas dalam ekonomi modern kota.
Sumber daya alam seperti emas, kayu, gas, dan perkebunan lebih banyak berada dalam kendali perusahaan nasional dan investor luar.

Otsus belum cukup kuat untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi kepada OAP.
Tanpa penguatan ekonomi lokal, pembangunan hanya menciptakan kemakmuran untuk segelintir orang namun meninggalkan mayoritas warga adat dalam ketertinggalan.

Apa yang Harus Dilakukan?

1. Negara Harus Mendorong Dialog Damai yang Terstruktur

Papua membutuhkan dialog damai nasional, Internasional yang dimediasi oleh Pihak ketiga yang netral bukan sekadar pertemuan seremonial.
Dialog harus melibatkan berbagai pihak:
1). Pemerintah pusat
2). Pemerintah provinsi dan kabupaten
3). Gereja dan tokoh agama
4). Tokoh perempuan Papua
5). Masyarakat adat
6). Akademisi
7). Kelompok pemuda
8) Perwakilan kelompok bersenjata atau Kelompok berseberangan dengan Negara 

Dialog bukan sekadar mencari siapa benar, tetapi mencari jalan damai untuk hidup bersama.
Tanpa dialog, konflik akan terus berganti nama tetapi tetap berlangsung dalam substansi yang sama.

2. Reformasi Tata Kelola Otsus Secara Menyeluruh

Beberapa pembenahan yang sangat mendesak:

a. Transparansi Anggaran Berbasis Audit Publik

Semua dana Otsus harus diawasi secara independen, misalnya melalui:
1). audit tahunan terbuka,
2). keterlibatan perguruan tinggi,
3). partisipasi masyarakat sipil,
4). laporan dana secara digital dan real time.

b. Prioritas pada Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi Rakyat

Dana Otsus harus benar-benar menyentuh:
1). sekolah kampung,
2). puskesmas terpencil,
3). fasilitas persalinan aman,
4). bisnis lokal,
5). pertanian, perikanan, dan industri adat.

c. Penguatan Kapasitas OAP

Termasuk beasiswa, pelatihan profesi, dan pengelolaan ekonomi berbasis komunitas adat.

3. Reformasi Pendekatan Keamanan

Penanganan konflik harus berprinsip:
1). prioritaskan perlindungan warga sipil,
2). minimalkan operasi di daerah pemukiman,
3). tinjau ulang pos-pos keamanan di dekat sekolah atau gereja,
4). perkuat kehadiran negara dalam bentuk pelayanan publik, bukan aparat keamanan.

Negara harus memastikan bahwa setiap tindakan keamanan dilakukan secara kemanusiaan.

4. Memperkuat Ekonomi Orang Papua

Tidak ada perdamaian tanpa kesejahteraan yang adil.
Negara perlu memastikan:
1). koperasi masyarakat adat mendapat dukungan penuh,
2). industri lokal (kopi, sagu, ikan, kerajinan, hasil hutan) berkembang,
3). ekonomi kampung diperkuat dengan akses pasar dan modal,
4) generasi muda Papua mendapatkan kesempatan kerja layak.

Ekonomi OAP harus menjadi prioritas, bukan efek samping pembangunan.

Papua Butuh Keadilan untuk Mendapatkan Perdamaian

Otsus adalah kebijakan penting, tetapi tidak cukup untuk menyelesaikan konflik panjang di Papua.
Papua membutuhkan perubahan paradigma, dari pendekatan keamanan menuju pendekatan kemanusiaan, dari pembangunan fisik menuju pembangunan martabat, dan dari pengabaian sejarah menuju rekonsiliasi yang jujur.

Selama negara belum berani membuka ruang dialog, mengakui luka sejarah, dan menempatkan masyarakat asli Papua sebagai subjek utama pembangunan, maka konflik akan terus mengulang dirinya dalam bentuk yang berbeda tetapi dengan penderitaan yang sama.

Papua tidak hanya membutuhkan dana dan pembangunan.
Papua membutuhkan keadilan, pengakuan, dan kedamaian yang lahir dari kemanusiaan.

Pos. Admin 


Ebenius Tabuni Dalam Aksi Damai Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas-kaki -Kronologis korban Luka Tembak Peluru Karet pada kawan Ebenius Tabuni 
Dalam Aksi Damai Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat pada Rabu, 15 Oktober 2025.

Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat menggelar Aksi Damai dengan tema dan aspirasi:
“Tolak Militerisme, Tolak Investasi di Seluruh Tanah Papua, dan Bebaskan Tahanan Politik.”
Aspirasi ini ditujukan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua.

Kronologis dimulai pada Rabu, pukul 07.38 WIT, massa aksi berangkat dari Sekretariat BEM & DPM FKIP menuju Gapura Uncen Bawah dan tiba pukul 07.43 WIT. Setibanya di lokasi, koordinator lapangan (korlap) mengarahkan massa untuk berorasi dengan tema Darurat Militer dan Investasi di Tanah Papua.

Sekitar pukul 08.24 WIT, kawan Ebenius Tabuni bergabung di titik Gapura Uncen Bawah. Aksi berlangsung hingga pukul 09.55 WIT, sebelum massa dari USTJ dan beberapa titik lain bergabung dan bersama-sama bergerak ke Lampu Merah Abepura pukul 10.20 WIT.

Massa dari berbagai titik kemudian berkumpul di Lingkaran Abepura sekitar pukul 11.45 WIT. Setelah berkoordinasi dengan PBH LBH dan aparat keamanan, massa diarahkan untuk berpindah ke arah Mata Jalan Biak. Awalnya proses pemindahan berjalan baik di bawah komando korlap, namun situasi mulai memanas ketika puluhan anggota Brimob dengan senjata dan pentungan membentuk formasi melingkar di sekitar massa.

Desakan dari aparat membuat situasi semakin tegang. Massa sempat meminta aparat untuk berjalan “pelan” agar tidak saling dorong, namun desakan terus berlanjut hingga akhirnya terjadi pelemparan batu oleh beberapa massa sebagai respons terhadap tindakan aparat. Kejadian ini dibalas dengan tembakan gas air mata, water canon, dan p3lurv tajam.

Dalam kejadian tersebut, kawan Ebenius Tabuni terkena tembakan senj4t4 4pi — pelvrv masuk melalui bagian dada dan keluar di tangan. Ia segera dievakuasi ke Rumah Sakit Abepura dan menjalani operasi mulai pukul 14.30 WIT hingga sekitar pukul 00.00 WIT.

Puji Tuhan, operasi berjalan dengan baik dan kondisi kawan Ebenius berangsur membaik. Pihak keluarga memutuskan untuk membawanya pulang sekitar pukul 13.00 WIT ke rumah karena kondisi di rumah sakit dinilai kurang nyaman. Meski pelvrv telah berhasil dikeluarkan, pihak rumah sakit menahan barang bukti tersebut dengan alasan keamanan.

Saat ini, kawan Ebenius Tabuni sedang dalam pemulihan di rumah. Kami memohon dukungan doa dari seluruh rakyat dan pejuang Tanah Papua, agar proses pemulihan berjalan lancar dan keadilan dapat ditegakkan atas tindakan represif aparat terhadap massa aksi damai.

Kami juga memohon maaf jika laporan kronologis ini disampaikan sedikit terlambat.

Dengan ini kami meminta Kapolda Papua untuk segera mengambil langkah tegas dan bertanggung jawab atas situasi keamanan yang terjadi di Tanah Papua.

1. Segera lakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh anggota kepolisian sipil yang bertugas di Kota Jayapura maupun di wilayah lain di Tanah Papua. Banyak tindakan aparat di lapangan yang tidak mencerminkan sikap profesional, humanis, dan berkeadilan. Evaluasi ini penting agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian dapat dipulihkan.

2. Kapolda Papua harus menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap mahasiswa dan pelajar yang hendak menyampaikan pendapat di muka umum. Menyuarakan aspirasi adalah hak yang dijamin undang-undang, bukan kejahatan. Apalagi jika aparat membawa atau menggunakan senj4t4 4pi terhadap pendemo, hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, kami menegaskan bahwa Kapolda Papua adalah aktor utama di balik kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil di Tanah Papua.

Dengan demikian

Tetap semangat dan solid dalam perjuangan.
Hidup rakyat Papua! Hidup mahasiswa!

Pos. Admin 

THE IMMORTAL GIANTS OF PAN-AFRICA , Raksasa Pan Afrika ✊🏾

🔥🌍 RAKSASA KEKAL PAN-AFRIKA ✊🏾
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua-Kota Kota- Afrika-Sepanjang sejarah Afrika, beberapa orang berdiri begitu tinggi sehingga nama mereka menjadi revolusioner abadi yang mengguncang kerajaan, menginspirasi generasi, dan menulis kisah Afrika dengan darah, keringat, dan keberanian yang tak terpatahkan. 

Berikut adalah para revolusioner Pan-Afrika yang mengubah jalannya sejarah selamanya:

KWAME NKRUMAH – Ghana
Bapak Pan-Afrikaisme modern. 

Pertama yang mendeklarasikan kemerdekaan di Afrika sub-Sahara, Nkrumah memimpikan Afrika Amerika Serikat, satu bendera, satu tentara, satu takdir. Suaranya masih bergemuruh dalam gerakan pembebasan hingga saat ini. 🕊️

CGTN PATRICE LUMUMBA – DRC
Singa Kongo yang tak kenal kompromi. Di usianya yang baru 35 tahun, Lumumba berani menolak neo-kolonialisme Belgia dan menyatakan martabat Afrika tidak dapat dinegosiasikan. 

Pembunuhannya menjadikannya seorang martir, simbol kedaulatan Afrika yang tak lekang oleh waktu. 🩸

🇧🇫 THOMAS SANKARA – Burkina Faso
“Che Guevara dari Afrika.” Hanya dalam 4 tahun, ia mengubah Volta Atas menjadi Tanah Orang-Orang Jujur di Burkina Faso. Sankara memerangi korupsi, imperialisme, dan mengangkat hak-hak perempuan sebelum pengkhianatan merenggut nyawanya. Semangatnya mendorong revolusi pemuda Afrika. 🔥

AZAM NELSON MANDELA – Afrika Selatan.

Perjuangan Mandela lebih dari sekadar mengakhiri apartheid, namun juga memulihkan kemanusiaan di Afrika. 

Dari penjara hingga menjadi presiden, ia memadukan perlawanan dengan rekonsiliasi, sehingga menjadi ikon global keadilan dan pengampunan. 🌈

AZ SAMOA MACHEL – Mozambik
Komandan, revolusioner, dan presiden pertama Mozambik yang merdeka. 

Machel memimpin perjuangan melawan pemerintahan Portugis, membawa obor sosialisme yang berakar pada nilai-nilai Afrika hingga kematiannya yang tragis pada tahun 1986. 💪

🇱🇾 MUAMMAR GADDAFI – Libya
Kontroversial namun tak henti-hentinya, Gaddafi memimpikan Afrika Bersatu di bawah satu mata uang, satu tentara, dan satu takdir. 

Seruannya untuk merdeka dari kendali Barat mengguncang tatanan global dan membuat api Pan-Afrika tetap menyala. 🦅

Media sensasi Afrika

Pos Admin 

Jumat, 14 November 2025

Sebanyak 83 Warga Sipil Mengungsi di Hutan Kabupaten Yahukimo Papua

Air Mata Ibunda-Kota Tua- Yahukimo- Melangkah Tanpa Alas Kaki- Siaran Pers Berita KNPB News, Wilayah Yahukimo Sebayak 83 Warga Sipil di Yahukimo Mengungsi dan Menatap di Tangah Hutan setelah Himbauan Umum Operasi Militer Indonesia dikeluarkan pada Rabu tertanggal 12 November 2015 lalu.

Himbauan Operasi Militer itu telah menjadi asumsi publik, lebih khusus bagi warga sipil di jalan gunung sehingga warga sipil yang menetap di jalan gunung ibu kota Dekai kab Yahukimo telah Mengungsi ke kota dan sebagian besar Mengungsi di hutan. 
Dalam pengungsian terdapat banyak jumlah anak-anak dan ibu² hamil serta 31 anak pelajar SD SMP dan SMA, bahkan ada juga bapa" dan ibu". Mereka yang bertahan di hutan tanpa ada penanganan medis dan makanan.

Rencana operasi militer Indonesia ini di himbaukan tanpa mempersiapkan tempat pengungsian warga sipil dan tanpa melengkapi kebutuhan pokok seperti makanan, minuman dan obat-obatan. sehingga rakyat yang Mengungsi mengalami kesulitan mulai dari tempat tinggal dan makan minum. 
Bagi warga sipil yang Mengungsi ke dalam hutan sangat kesal dan mereka menilai bahwa ini kelalaian pemerintah pusat dan daerah yang gagal mengayomi dan melindungi masyarakat sipil sebagai warga negara Indonesia. 
Dan untuk saat ini sesuai instruksi atau Himbauan militer Indonesia bahwasanya dalam kurun waktu 2 Minggu area jalan gunung harus di kosongkan maka rakyat sipil sejak tanggal 12 sudah pengungsi ke hutan dan sampai hari ini mereka tidak bisa kembali ke rumah masing-masing. 

Lalu masyarakat sipil yang Mengungsi ke hutan berada di sekitaran 3 lokasi dan 9 Kem, untuk kebutuhan makan minum mereka sulit didapatkan maka mereka hanya bisa makan apa adanya. Untuk itu sementara ini mereka minta dukungan doa dari semua pihak. 
Terkahir,rencana operasi militer TNI POLRI akan di laksanakan hari apapun, kapan pun ketika mereka menginginkan untuk melakukan operasi dan penyisiran di jalan gunung ibu kota Dekai kab Yahukimo sehingga kami minta kepada semua pihak pembela kemanusiaan untuk terus memantau situasi kota Yahukimo. 

Sekian info selanjutnya akan kami update..!
sumber: aktivis kemanusiaan

West Papua National Comitte News Human Rights Monitor Suara Papua JUBI KNPB Wilayah Yahukimo

Kami bisa pengungsi ke kota tapi Bupati sebagai kepala daerah perintahkan kepada Aparat Gabungan TNI-Polri untuk menangkap orang dan membunuh orang sehingga kami takut trauma dan Mengungsi ke hutan.

 Ujar seorang warga sipil di tempat pengungsian.
West Papua National Comitte News  
  Wednesday, November 12 2015. 


version: 

A total of 83 Civilians Refugeed in the Forest of Yahukimo Regency, Papua
Mother's Tears-Old City- Yahukimo- Stepping Barefoot- Press release KNPB News : The appeal for military operations has become a public assumption, more specifically for civilians on mountain roads, so that civilians who live on mountain roads in the capital city of Dekai, Yahukimo district have fled to cities and most of them have taken refuge in the forest. 

In the refugee camps there were a large number of children and pregnant women as well as 31 elementary school, middle and high school students, there were even fathers and mothers. They survive in the forest without any medical treatment or food. 

The plan for the Indonesian military operation was proposed without preparing refugee camps for civilians and without providing basic necessities such as food, drink and medicine. so that the displaced people experience difficulties starting with housing and eating and drinking. 

The civilians who fled into the forest were very upset and they considered that this was negligence by the central and regional governments who had failed to protect and protect civilians as Indonesian citizens. 

And currently, according to instructions or appeals from the Indonesian military, within 2 weeks the mountain road area must be vacated, so since the 12th the civilians have been displaced to the forest and to this day they cannot return to their homes. 
Then the civilians who fled to the forest are located around 3 locations and 9 camps, their food and drink needs are difficult to find so they can only eat what they have. For this reason, they are currently asking for prayer support from all parties. 

Finally, the TNI POLRI military operation plan will be carried out any day, whenever they want to carry out operations and sweeps on the mountain roads of the capital city of Dekai, Yahukimo district, so we ask all humanitarian defenders to continue to monitor the situation in the city of Yahukimo. 

That's all, we will update the further information...! 
source: humanitarian activists
West Papua National Committee News Human Rights Monitor Suara Papua JUBI KNPB Yahukimo Region.

Kami bisa pengungsi ke kota tapi Bupati sebagai kepala daerah perintahkan kepada Aparat Gabungan TNI-Polri untuk menangkap orang dan membunuh orang sehingga kami takut trauma dan Mengungsi ke hutan.

 Ujar seorang warga sipil di tempat pengungsian.

West Papua National Comitte News  
YahukimoDaruratMiliter
IndonesiasegeraLakukanGecatanSenjata
 Human Rights Monitor Suara Papua

Sabtu, 08 November 2025

EVALUASI KRITIS 63 TAHUN UNCEN: PENGETAHUAN, KEKUASAAN, DAN PENJAJAHAN

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Karena sering saya dituduh provokator mahasiswa Uncen, maka saya mau pertegas kritik kepada Uncen pada ulang tahunnya ke 63, juga mengenang 24 tahun pembunuhan pemimpin bangsa Theys H. Eluay, Bagi saya, seharusnya kampus menjadi ruang di mana manusia memuliakan akal, membebaskan pikiran, dan menantang kebodohan yang memelihara kekuasaan. Tetapi di bawah sistem kolonial, universitas kehilangan jiwanya. Ia tidak lagi menjadi rumah kebebasan, melainkan pabrik ideologi kekuasaan. Ilmu pengetahuan yang mestinya membebaskan kini menjadi alat legitimasi penindasan. Seperti dikatakan Edward Said dalam Orientalism, “Tidak ada ilmu yang netral di tanah yang dijajah; setiap pengetahuan adalah posisi.”

Di Papua, simbol paling nyata dari paradoks itu adalah Universitas Cenderawasih (Uncen). Didirikan pada 10 November 1962, hanya tiga bulan setelah Perjanjian New York, Uncen tidak lahir dari kesadaran bangsa Papua, tetapi dari rahim kekuasaan kolonial Indonesia. Sejak awal, ia dibangun bukan untuk mencerdaskan, tetapi untuk menaklukkan; bukan untuk membebaskan, tetapi untuk menundukkan. Dalam bahasa Michel Foucault, pengetahuan selalu berkaitan dengan kekuasaan. Di Papua, Uncen menjadi medan tempat kekuasaan beroperasi dalam bentuk ilmiah, kolonialisme yang berwajah akademik. 

Sejak awal berdirinya, Uncen adalah bagian dari proyek besar integrasi Irian Barat. Dokumen arsip Departemen PTIP tahun 1962 menyebut tujuan pendiriannya sebagai upaya mempercepat integrasi wilayah melalui pendidikan tinggi. Dengan kata lain, universitas ini didirikan sebagai alat ideologis negara untuk memperhalus kekuasaan kolonial. Ngugi wa Thiong’o pernah menulis dalam Decolonising the Mind bahwa kolonialisme pengetahuan bekerja bukan dengan kekerasan, melainkan dengan membuat kebohongan tampak seperti kebenaran. Uncen mengajarkan Papua untuk mencintai penjajahan dengan bahasa pembangunan.

Kurikulumnya dibentuk dalam paradigma pembangunan nasional, yang oleh Arturo Escobar disebut sebagai discourse of development, sebuah wacana yang tampak modern tetapi sejatinya melestarikan struktur kolonial. Mahasiswa Papua diajarkan bahwa pembangunan adalah penyelamat, bukan alat eksploitasi. Bahwa integrasi adalah kasih, bukan aneksasi. Bahwa kemajuan adalah kewajiban, bukan tipu daya kekuasaan. Melalui kelas dan seminar, penjajahan menjadi tampak rasional, bahkan ilmiah. Uncen tidak mengajarkan rakyat Papua untuk berpikir kritis terhadap struktur penindasan, tetapi untuk beradaptasi dan menjadi warga yang baik dalam sistem penjajahan. Ia mencetak intelektual yang taat, bukan intelektual yang bebas.

Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menggambarkan sistem pendidikan kolonial sebagai model “bank”, di mana penguasa menyetor pengetahuan ke pikiran kosong rakyat agar mereka belajar taat, bukan berpikir. Uncen menjadi contoh sempurna dari pendidikan semacam itu. Ia memproduksi kepatuhan dalam bentuk ilmiah. Ngugi wa Thiong’o menulis bahwa kolonialisme yang paling kuat bukanlah ketika tubuh dijajah, tetapi ketika pikiran dijadikan alat penjajahan itu sendiri. Uncen hari ini adalah puncak dari penjajahan pikiran itu.

Tanggal 10 November 2001 menjadi titik sejarah yang membekas di Papua. Malam itu, Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua, menghadiri undangan makan malam di markas militer Tribuana, Hamadi. Ia tidak pernah pulang. Keesokan harinya tubuhnya ditemukan tewas, dibunuh oleh anggota Kopassus. Ironinya, tanggal itu bertepatan dengan hari ulang tahun Uncen, universitas yang pada saat yang sama menjadi pabrik legitimasi bagi kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang baru disahkan.

Dua bulan sebelum pembunuhan Theys, pemerintah Indonesia meluncurkan Otsus sebagai “jalan damai Papua.” Namun “jalan damai” itu disusun oleh para akademisi Uncen yang duduk dalam tim pakar dan perumus kebijakan. Mereka menulis laporan dan rekomendasi, menyebut Otsus sebagai kompromi ilmiah untuk kemajuan Papua. Padahal, seperti diingatkan Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth, setiap kolonialisme modern menciptakan elite terjajah untuk menyalurkan kekuasaan penjajah. Otsus adalah contoh sempurna dari strategi itu.

Pada hari ulang tahun Uncen, simbol bangsa dibunuh. Pada hari yang sama ketika universitas kolonial dirayakan, simbol perlawanan dihabisi. Sejarah mencatatnya sebagai kebetulan; tetapi bagi rakyat Papua, itu adalah tanda: satu universitas kolonial dirayakan, satu pemimpin bangsa dikorbankan.

Dalam dua dekade terakhir, Uncen semakin meneguhkan perannya sebagai benteng ideologi negara. Riset-riset sosial diarahkan untuk memperkuat Otsus, bukan untuk membongkar kolonialisme. Seminar-seminar kampus lebih banyak membahas strategi percepatan pembangunan daripada sejarah perlawanan rakyat. Banyak dosen menjadi konsultan proyek negara, menulis kajian tentang “optimalisasi dana Otsus” sambil menutup mata pada militerisasi dan kekerasan yang terus berlangsung. Universitas yang seharusnya kritis berubah menjadi birokrasi akademik yang jinak.

Puncak kemunduran moral akademik itu terlihat ketika pihak rektorat Uncen menandatangani nota kesepahaman dengan Kepolisian Daerah Papua. Perjanjian itu diklaim demi menjaga keamanan kampus, tetapi pada praktiknya, menjadi izin bagi aparat untuk memasuki lingkungan akademik, memantau mahasiswa, dan membubarkan aksi-aksi yang dianggap “mengganggu ketertiban.” Sejak saat itu, polisi kerap berpatroli di dalam kampus, menghadiri diskusi, dan mengintimidasi mahasiswa yang berbicara soal HAM dan kemerdekaan Papua. Bahkan, menurut pengakuan seorang dosen di FISIP, aparat pernah meminta pihak fakultas mengawasi topik penelitian mahasiswa yang dianggap “sensitif”.

Kerja sama antara rektor dan kepolisian ini menjadikan Uncen kehilangan kedaulatannya sebagai lembaga akademik. Kampus yang seharusnya menjadi ruang bebas kini menjadi perpanjangan tangan negara. Louis Althusser menjelaskan, ketika lembaga pendidikan tunduk pada kekuasaan, ia berubah dari aparatus ideologis menjadi aparatus represif. Uncen kini menjalankan dua fungsi sekaligus: menundukkan pikiran dan menakut-nakuti tubuh. Seorang mahasiswa berkata, “Kami tidak lagi belajar di universitas, kami hidup di barak pengawasan.”

Represi terhadap pengetahuan Papua sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum kerja sama ini. Empat puluh tahun lalu, Arnold Clemens Ap, antropolog dan budayawan Uncen, dibunuh karena membangkitkan kesadaran Melanesia melalui musik Mambesak. Ia ditangkap, disiksa, dan ditembak mati di Pantai Base-G pada April 1984. Arnold dibunuh bukan karena membawa senjata, tetapi karena membawa kebenaran. Kematian Arnold adalah bukti nyata dari apa yang disebut Boaventura de Sousa Santos sebagai epistemicide, pembunuhan terhadap cara tahu non-Barat. Di Papua, epistemicide dilakukan bukan hanya dengan membunuh manusia, tetapi dengan membunuh pengetahuan yang lahir dari tanah dan budaya sendiri. Jika Theys dibunuh karena membangkitkan kesadaran politik, Arnold dibunuh karena membangkitkan kesadaran epistemik. Dua pembunuhan itu menunjukkan dua sisi dari kolonialisme yang sama: pembungkaman bangsa melalui pembungkaman ilmu.

Gerakan mahasiswa Uncen yang dulu menjadi tulang punggung perlawanan kini dijinakkan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. BEM diarahkan menjadi mitra pemerintah. Banyak mantan aktivis mahasiswa kini menjadi pengurus partai politik Indonesia, KNPI, atau pejabat dalam proyek Otsus. Gerakan mahasiswa telah berubah dari kekuatan moral menjadi sarana kaderisasi kolonial. Antonio Gramsci menulis, hegemoni bekerja ketika kaum terdidik dari bangsa tertindas ikut menjadi alat negara untuk menundukkan bangsanya sendiri.

Di ruang kuliah, kualitas pendidikan pun merosot. Laporan FISIP Uncen tahun 2021 mencatat 718 dari 918 mahasiswa mendapat nilai D dan hanya 20 yang mendapat nilai A. Angka ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Papua bukan dirancang untuk mencerdaskan, melainkan untuk menyaring dan melemahkan. PapuaTimes mencatat, dari 91.000 alumni Uncen hingga 2024, sebagian besar bekerja di birokrasi kolonial, lembaga proyek, atau perusahaan tambang. Mereka menjadi kelas menengah kolonial, terdidik tapi terpenjara. Seperti dikatakan Achille Mbembe dalam Critique of Black Reason, kolonialisme modern tidak lagi menindas melalui perbudakan fisik, tetapi melalui perbudakan aspirasi.

Bangsa yang dijajah tidak akan merdeka sebelum merebut kembali pengetahuannya. Dekolonisasi kampus berarti membongkar struktur pengetahuan kolonial yang menindas. Ia bukan reformasi akademik, melainkan revolusi epistemik. Dekolonisasi berarti menulis ilmu dari pengalaman rakyat Papua, menghapus dominasi kurikulum nasional, menarik aparat dari kampus, dan menghidupkan kembali warisan intelektual Arnold Ap dan Theys Eluay. Arnold mengajarkan bahwa pengetahuan bisa menjadi senjata, dan Theys mengingatkan bahwa politik tanpa kebenaran adalah pengkhianatan. Keduanya dibunuh karena berpihak pada bangsanya. Kini, generasi baru Papua memikul tanggung jawab itu: merebut kembali universitas, menjadikannya bukan alat penjajah, tetapi alat pembebasan bangsa.

Selama Uncen berada di bawah logika kolonial Indonesia, ia akan tetap menjadi mesin penundukan. Namun jika suatu hari kampus itu kembali ke tangan rakyat, menjadi tempat di mana ilmu berpihak pada keadilan dan kebenaran, maka di sanalah Papua akan menemukan kembali jiwanya: pengetahuan sebagai perlawanan.

Pengetahuan yang membebaskan bukan hanya tentang berpikir, tetapi juga tentang berpihak. Dan selama pengetahuan masih menjadi alat penjajah, setiap ruang belajar di Papua adalah medan perang.

Halte Putaran P3, Waena 
9 November 2025


Pos. Admin 

Jumat, 07 November 2025

Kekuatan dibalik Thakta,Mbiyu Koinange adalah tangan tak kasat mata yang menandatangani sesuatu yang tak seorang pun melihatnya menulis.

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kenya Melangkah Tanpa Alas Kaki- Untuk memahami pemerintahan pertama Kenya, Anda tidak perlu mengunjungi Gedung Negara, Anda hanya perlu melihat ke arah mana mobil Koinange melaju di pagi hari

Mbiyu Koinange adalah tangan tak kasat mata yang menandatangani sesuatu yang tak seorang pun melihatnya menulis. Para sejarawan menyebutnya sebagai “kekuatan di balik takhta”. Namun sebenarnya, dia adalah mesin takhta yang senyap, presisi, berminyak, dan alergi terhadap mikrofon. 

Lahir pada tahun 1907 di Kiambu (Anda tahu bahwa masa kanak-kanak presiden, miliarder, dan sakit kepala politik kita yang gelisah). Koinange tumbuh dengan fasih berbahasa Inggris dan pengaruh. Pada saat kemerdekaan tiba, dia telah membaca lebih banyak rahasia kolonial dibandingkan beberapa orang Inggris yang menulisnya. Jomo Kenyatta mengangkatnya menjadi Menteri Negara, sebuah posisi yang sangat samar-samar sehingga terdengar seperti “Menteri Segala Sesuatu yang Penting tetapi Tidak Dibicarakan di Depan Umum.”

Dia adalah seorang Kissinger di Kenya yang tenang, halus, dan sangat rapi. Mereka memanggilnya Muthera, “yang bersih.” Pakaiannya tajam. Bahkan musuh-musuhnya pun menghormati keterampilan menyetrikanya. 

Selama penyelidikan pembunuhan JM Kariuki tahun 1975, namanya muncul. Kenyatta dilaporkan berkata, “Jika Anda mencantumkan nama Koinange di sana, sebaiknya Anda juga mencantumkan nama saya.” Parlemen menerima isyarat bahwa kedua nama tersebut menghilang lebih cepat dibandingkan keadilan JM. Saat itulah masyarakat menyadari bahwa Koinange tidak hanya dekat dengan kekuasaan; dia adalah kata sandi manusianya. 

Namun ironi dari kekuasaan adalah semakin tinggi Anda mendaki, semakin pelan suara Anda. Berbeda dengan Kenyatta, Koinange tidak berteriak, berkampanye, atau menari di podium. 

Pengaruhnya memakai sarung tangan. Dia tidak flamboyan, tidak mengendarai mobil besar, dan berbicara kepada wartawan seperti brankas bank mengungkapkan rasa ingin tahunya. Bahkan Freemason harus mengiriminya panggilan resmi untuk menghadiri pertemuan dengan sarung tangan putih, jaket makan malam, tepat pukul 6:30. 

Bayangkan menjadi begitu kuat sehingga bahkan perkumpulan rahasia Anda pun menghormati jadwal Anda. 

Kisahnya dengan Kenyatta dimulai pada tahun 1930an di Inggris, dua pria di pengasingan berbagi mimpi. Mereka bertemu ketika Kenyatta masih bernama Johnstone Kamau, sebuah nama yang lebih terdengar seperti seorang penjahit daripada seorang revolusioner. 

Bersama-sama, mereka membentuk “Jomo Kenyatta”. Nama yang mereka ucapkan, berasal dari kata Kikuyu yang berarti “mencabut pedang”. Jadi nama yang kemudian menguasai Kenya sebenarnya lahir dari eksperimen tata bahasa antara dua pria di suatu malam Inggris yang dingin. 

Kembali ke rumah, persahabatan mereka berubah menjadi kekerabatan. Adik Koinange, Grace Wanjiku, menikah dengan Kenyatta dan mengubah kekuasaan menjadi bisnis keluarga. Saat Grace meninggal, Kenyatta menikah dengan Ngina Muhoho. Namun saat itu, Koinange sudah lebih dari sekadar saudara ipar. Dia adalah firewall nasional. 

Di Kabinet, Koinange adalah sosok yang ditakuti semua orang namun tak seorang pun memahaminya. 

Shikuku pernah bercanda bahwa dia bahkan tidak tahu apa pekerjaan Koinange, hanya saja ketika dia memasuki ruangan, para menteri menyesuaikan arsip dan hati nurani mereka. 

Ketika Kenyatta meninggal pada tahun 1978, Daniel arap Moi mewarisi jabatan presiden dan masalah apa yang harus dilakukan terhadap orang yang sudah terlalu lama mengetahui banyak hal. 

Dia diam-diam memindahkan Koinange ke Kementerian Lingkungan Hidup, seorang pengasingan sopan yang menyamar sebagai portofolio. Dari “Menteri Negara” menjadi “Menteri Pepohonan.” Begitulah cara Anda memensiunkan seorang legenda tanpa membuatnya tampak seperti kudeta. 

Pada tahun 1979, Njenga Karume, raja furnitur, menggulingkannya di Kiambaa. Kissinger Kenya yang perkasa dikalahkan oleh seorang penjual kursi. Sejarah bisa jadi kejam. 

Dua tahun kemudian, pada tanggal 2 September 1981, jantung Koinange berhenti berdetak. Dokter menyebutnya serangan jantung. Hati yang selama ini membawa terlalu banyak rahasia, terlalu banyak diam, dan terlalu banyak presiden akhirnya bosan dengan diplomasi. 

Charles Njonjo menyebutnya “seorang perfeksionis, nasionalis, dan kemanusiaan.” Namun mereka yang mengenalnya lebih baik mengatakan bahwa dia adalah sosok yang berbeda: arsitek DNA politik kita yang pendiam, halus, setia, ditakuti, dan disalahpahami. 

Tragedi dari kisah Koinange adalah dia menguasai keheningan di negeri yang hanya menghargai kebisingan. Ketika dia meninggal, mikrofon kembali terdengar lebih keras, lebih lapar, dan kurang cerdas.

-------------------= English -------------

To understand Kenya’s first government, you did not need to visit State House you just had to watch which direction Koinange’s car went in the morning.

Mbiyu Koinange was the invisible hand that signed things no one saw him write. Historians call him “the power behind the throne.” But in truth, he was the throne’s engine quiet, precise, well-oiled, and allergic to microphones.

Born in 1907 in Kiambu (you know that our restless nursery of presidents, billionaires, and political headaches) . Koinange grew up fluent in both English and influence. By the time independence came, he had read more colonial secrets than some of the British who wrote them. Jomo Kenyatta made him Minister of State, a position so vague that it sounded like “Minister of Everything Important but Not to Be Discussed in Public.”

He was Kenya’s own Kissinger calm, polished, terrifyingly neat. They called him Muthera, “the clean one.” His suits were sharp. Even his enemies respected his ironing skills.

During the JM Kariuki murder inquiry of 1975, his name came up. Kenyatta reportedly thundered, “If you put Koinange’s name there, you might as well put mine.” Parliament took the hint both names disappeared faster than JM’s justice. That’s when people realized Koinange wasn’t just close to power; he was its human password.

But the irony of power is that the higher you climb, the quieter your voice becomes. Unlike Kenyatta, Koinange didn’t shout, campaign, or dance on podiums. 

His influence wore gloves. He was not flamboyant, didn’t drive big cars, and spoke to journalists the way a bank vault speaks to curiosity. Even the Freemasons had to send him a formal summons to attend meetings white gloves, dinner jacket, 6:30 sharp.

 Imagine being so powerful that even your secret society respects your schedule.

His story with Kenyatta began in the 1930s in England two men in exile shared dreams. They met when Kenyatta was still Johnstone Kamau, a name that sounded more like a tailor than a revolutionary.

 Together, they forged “Jomo Kenyatta” . That name they say, came from the Kikuyu word for “pulling out a sword.” So the name that later ruled Kenya was literally born out of a grammar experiment between two men in a cold English evening.

Back home, their friendship turned to kinship. Koinange’s sister, Grace Wanjiku, married Kenyatta turning power into a family business. When Grace died, Kenyatta married Ngina Muhoho. But by then, Koinange was already more than a brother-in-law. He was the national firewall.

In Cabinet, Koinange was that one man everyone feared but no one understood.

 Shikuku once joked that he didn’t even know what Koinange’s job was just that when he entered a room, ministers adjusted their files and their consciences.

When Kenyatta died in 1978, Daniel arap Moi inherited both the presidency and the problem of what to do with a man who had known too much for too long. 

He quietly shifted Koinange to the Ministry of Environment a polite exile disguised as a portfolio. From “Minister of State” to “Minister of Trees.” That’s how you retire a legend without making it look like a coup.

In 1979, Njenga Karume, the furniture magnate, unseated him in Kiambaa. The mighty Kissinger of Kenya defeated by a man who sold chairs. History can be cruel.

Two years later, on September 2, 1981, Koinange’s heart stopped. The doctor called it a heart attack. A heart that had carried too many secrets, too many silences, and too many presidents finally tired of diplomacy.

Charles Njonjo called him “a perfectionist, nationalist, and humanitarian.” But those who knew him better said he was something else: the quiet architect of our political DNA , polished, loyal, feared and misunderstood.

The tragedy of Koinange’s story is that he mastered silence in a land that only rewards noise.When he died, the microphones came back louder, hungrier, less intelligent.

-------------------
Untuk memahami pemerintahan pertama Kenya, Anda tidak perlu mengunjungi Gedung Negara, Anda hanya perlu melihat ke arah mana mobil Koinange melaju di pagi hari. 
Mbiyu Koinange adalah tangan tak kasat mata yang menandatangani sesuatu yang tak seorang pun melihatnya menulis. Para sejarawan menyebutnya sebagai “kekuatan di balik takhta”. Namun sebenarnya, dia adalah mesin takhta yang senyap, presisi, berminyak, dan alergi terhadap mikrofon. 

Lahir pada tahun 1907 di Kiambu (Anda tahu bahwa masa kanak-kanak presiden, miliarder, dan sakit kepala politik kita yang gelisah). Koinange tumbuh dengan fasih berbahasa Inggris dan pengaruh. Pada saat kemerdekaan tiba, dia telah membaca lebih banyak rahasia kolonial dibandingkan beberapa orang Inggris yang menulisnya. Jomo Kenyatta mengangkatnya menjadi Menteri Negara, sebuah posisi yang sangat samar-samar sehingga terdengar seperti “Menteri Segala Sesuatu yang Penting tetapi Tidak Dibicarakan di Depan Umum.”

Dia adalah seorang Kissinger di Kenya yang tenang, halus, dan sangat rapi. Mereka memanggilnya Muthera, “yang bersih.” Pakaiannya tajam. Bahkan musuh-musuhnya pun menghormati keterampilan menyetrikanya. 

Selama penyelidikan pembunuhan JM Kariuki tahun 1975, namanya muncul. Kenyatta dilaporkan berkata, “Jika Anda mencantumkan nama Koinange di sana, sebaiknya Anda juga mencantumkan nama saya.” Parlemen menerima isyarat bahwa kedua nama tersebut menghilang lebih cepat dibandingkan keadilan JM. Saat itulah masyarakat menyadari bahwa Koinange tidak hanya dekat dengan kekuasaan; dia adalah kata sandi manusianya. 

Namun ironi dari kekuasaan adalah semakin tinggi Anda mendaki, semakin pelan suara Anda. Berbeda dengan Kenyatta, Koinange tidak berteriak, berkampanye, atau menari di podium. 

Pengaruhnya memakai sarung tangan. Dia tidak flamboyan, tidak mengendarai mobil besar, dan berbicara kepada wartawan seperti brankas bank mengungkapkan rasa ingin tahunya. Bahkan Freemason harus mengiriminya panggilan resmi untuk menghadiri pertemuan dengan sarung tangan putih, jaket makan malam, tepat pukul 6:30. 

Bayangkan menjadi begitu kuat sehingga bahkan perkumpulan rahasia Anda pun menghormati jadwal Anda. 

Kisahnya dengan Kenyatta dimulai pada tahun 1930an di Inggris, dua pria di pengasingan berbagi mimpi. Mereka bertemu ketika Kenyatta masih bernama Johnstone Kamau, sebuah nama yang lebih terdengar seperti seorang penjahit daripada seorang revolusioner. 

Bersama-sama, mereka membentuk “Jomo Kenyatta”. Nama yang mereka ucapkan, berasal dari kata Kikuyu yang berarti “mencabut pedang”. Jadi nama yang kemudian menguasai Kenya sebenarnya lahir dari eksperimen tata bahasa antara dua pria di suatu malam Inggris yang dingin. 

Kembali ke rumah, persahabatan mereka berubah menjadi kekerabatan. Adik Koinange, Grace Wanjiku, menikah dengan Kenyatta dan mengubah kekuasaan menjadi bisnis keluarga. Saat Grace meninggal, Kenyatta menikah dengan Ngina Muhoho. Namun saat itu, Koinange sudah lebih dari sekadar saudara ipar. Dia adalah firewall nasional. 

Di Kabinet, Koinange adalah sosok yang ditakuti semua orang namun tak seorang pun memahaminya. 

Shikuku pernah bercanda bahwa dia bahkan tidak tahu apa pekerjaan Koinange, hanya saja ketika dia memasuki ruangan, para menteri menyesuaikan arsip dan hati nurani mereka. 

Ketika Kenyatta meninggal pada tahun 1978, Daniel arap Moi mewarisi jabatan presiden dan masalah apa yang harus dilakukan terhadap orang yang sudah terlalu lama mengetahui banyak hal. 

Dia diam-diam memindahkan Koinange ke Kementerian Lingkungan Hidup, seorang pengasingan sopan yang menyamar sebagai portofolio. Dari “Menteri Negara” menjadi “Menteri Pepohonan.” Begitulah cara Anda memensiunkan seorang legenda tanpa membuatnya tampak seperti kudeta. 

Pada tahun 1979, Njenga Karume, raja furnitur, menggulingkannya di Kiambaa. Kissinger Kenya yang perkasa dikalahkan oleh seorang penjual kursi. Sejarah bisa jadi kejam. 

Dua tahun kemudian, pada tanggal 2 September 1981, jantung Koinange berhenti berdetak. Dokter menyebutnya serangan jantung. Hati yang selama ini membawa terlalu banyak rahasia, terlalu banyak diam, dan terlalu banyak presiden akhirnya bosan dengan diplomasi. 

Charles Njonjo menyebutnya “seorang perfeksionis, nasionalis, dan kemanusiaan.” Namun mereka yang mengenalnya lebih baik mengatakan bahwa dia adalah sosok yang berbeda: arsitek DNA politik kita yang pendiam, halus, setia, ditakuti, dan disalahpahami. 

Tragedi dari kisah Koinange adalah dia menguasai keheningan di negeri yang hanya menghargai kebisingan. Ketika dia meninggal, mikrofon kembali terdengar lebih keras, lebih lapar, dan kurang cerdas.
 
Pos. Admin 

TPNPB Umumkan Duka Nasional Atas Gugurnya Tena Mom

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Yahukimo melangkah tanpa alas kaki -Siaran Pers Ke III Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB Per Jumat, 7 November 2025

Silahkan Ikuti Laporan Dibawa Ini.!

Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB telah menerima laporan resmi dari pasukan TPNPB dari Kabupaten Puncak bahwa aparat militer indonesia telah melakukan penembakan terhadap satu anggota TPNPB atas nama Tena Mom pada hari Jumat, 7 November 2025 hingga gugur.

Atas gugurnya Tena Mom, Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB secara resmi menggumumkan duka nasional kepada seluruh pasukan TPNPB di 36 Komando Daerah Pertahanan di seluruh tanah Papua dan menghimbau kepada seluruh pasukan TPNPB di wilayah pertahanan masing-masing agar tetap siaga di dan tingkatkan penjagaan di Markas TPNPB dalam mengantisipasi operasi darat dan udara oleh aparat militer indonesia.

Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB juga menegaskan kepada seluruh pasukan TPNPB di 36 Komando Daerah Pertahanan di seluruh Tanah Papua agar tidak keluar dengan sembarangan membeli rokok, gula dan kopi serta makanan instan di pusat-pusat Kota. Dan jika ke kota hanya tujuan perang melawan aparat militer indonesia selain dari itu diminta untuk tingkatkan siaga.

Demikian Siaran Pers Ke II Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB Per Jumat, 7 November 2025 oleh Sebby Sambom Jubir TPNPB OPM.

Penanggung Jawab Komando Markas Pusat Komando Nasional TPNPB-OPM

Jenderal Goliat Tabuni
Panglima Tinggi TPNPB-OPM

Letnan Jenderal Melkisedek Awom
Wakil Panglima TPNPB-OPM

Mayor Jenderal Terianus Satto
Kepala Staf Umum TPNPB-OPM

Mayor Jenderal Lekagak Telenggen
Komandan Operasi Umum TPNPB-OPM

Pos. Admin 

Selasa, 04 November 2025

Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP KNPB) menyampaikan klarifikasi resmi terkait pernyataan publik Juru Bicara Tentara Nasional Papua Barat Sebby Sambom

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- KnpbNews, !Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP KNPB) menyampaikan klarifikasi resmi terkait pernyataan publik yang dikeluarkan oleh Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), Sebby Sambom, pada 1 November 2025.

Dalam pernyataan tersebut, Sebby menyerukan dukungan politik terhadap satu faksi dan ajakan untuk membubarkan organisasi lain. Sikap ini dinilai oleh KNPB telah menimbulkan kebingungan serta perpecahan di tengah rakyat dan seluruh spektrum perjuangan bangsa Papua.

KNPB Klarifikasi dan Tegaskan Prinsip Perjuangan Kolektif

Human & Safety
KNPB menegaskan bahwa perjuangan pembebasan bangsa Papua Barat merupakan bagian dari revolusi demokratik nasional dan hak penentuan nasib sendiri yang tidak dapat dijalankan secara sepihak atau melalui klaim personal.

“Perjuangan kemerdekaan adalah milik kolektif seluruh rakyat Papua mencakup semua elemen perjuangan, baik politik, diplomasi, militer, adat, maupun sipil yang setara dalam cita-cita nasional untuk bebas dari kolonialisme dan membangun masa depan yang berdaulat, adil, dan demokratis,” tegas KNPB dalam pernyataannya kepada media ini, Senin (3/11).

Sebagai media gerakan perjuangan rakyat Papua, KNPB menegaskan perannya sebagai wadah rakyat untuk menyatukan pandangan dan langkah perjuangan menuju kemerdekaan sejati. Organisasi ini menolak dipolitisasi oleh pihak manapun dan menolak segala bentuk intervensi politik faksional.

“KNPB bukan lembaga kekuasaan atau alat faksi politik, melainkan wadah rakyat yang berfungsi menyatukan pandangan dan langkah perjuangan bangsa menuju kemerdekaan sejati,” lanjut pernyataan itu.

TPNPB Bukan Alat Politik

Dalam klarifikasi tersebut, KNPB juga menyoroti posisi dan peran TPNPB dalam struktur perjuangan nasional.

“TPNPB adalah pagar bangsa, bukan alat politik bagi kepentingan kelompok tertentu. Tugas TPNPB adalah menjaga keamanan nasional perjuangan, bukan menentukan arah politik atau kepemimpinan bangsa,” tegas KNPB.

KNPB menilai, pernyataan publik yang keluar tanpa mekanisme resmi Dewan Militer dan tanpa persetujuan bersama dari 36 Komando Daerah Pertahanan (Kodap) tidak sah secara kelembagaan dan dapat menimbulkan kesalahpahaman di tengah rakyat.

Seruan Disiplin Organisasi dan Mekanisme Kolektif

Sebagai tindak lanjut, KNPB telah mengirimkan surat resmi kepada Manajemen TPNPB, Dewan Militer, dan seluruh 36 Kodap di Tanah Papua. Isi surat tersebut menegaskan pentingnya disiplin organisasi serta mekanisme komunikasi kolektif dalam perjuangan nasional.

Menurut KNPB, setiap pernyataan publik yang keluar dari struktur perjuangan bersenjata harus melalui mekanisme resmi dan tidak boleh berpihak kepada kepentingan politik tertentu.

“Perjuangan nasional harus berlandaskan disiplin, struktur, dan kesadaran kolektif. Langkah sepihak hanya akan memperdalam perpecahan dan menghilangkan legitimasi perjuangan di mata rakyat maupun dunia internasional,” tegas KNPB.

Tiga Tahapan Strategis Revolusi Demokratik, KNPB menegaskan bahwa perjuangan bangsa Papua harus berjalan dalam tiga tahapan strategis revolusi demokratik dan penentuan nasib sendiri, yakni:

Fase Demokrasi Terbuka — fase di mana seluruh rakyat Papua diberikan ruang berpikir kritis, berdialog, dan mengemukakan pandangan politik secara bebas dan setara.
Fase Demokrasi Terpimpin — masa untuk menyatukan arah politik nasional dan membangun kepemimpinan kolektif melalui musyawarah, bukan melalui ambisi pribadi atau tekanan eksternal.
Fase Konsensus Nasional — tahap penyatuan seluruh kekuatan perjuangan politik, diplomasi, dan militer dalam wadah politik bangsa yang sah, demokratis, dan diakui oleh rakyat.
Menurut KNPB, melangkahi proses ini dengan tindakan sepihak akan memperdalam perpecahan dan menghilangkan legitimasi perjuangan di mata rakyat dan dunia internasional. Karena itu, KNPB menyerukan agar seluruh elemen perjuangan bangsa kembali ke garis revolusi demokratik yang disiplin dan memperkuat persatuan demokratik sebagai dasar menuju pembentukan wadah nasional bangsa Papua.

Seruan Persatuan dan Kesadaran Politik Rakyat

Dalam pernyataannya, KNPB mengajak seluruh kekuatan perjuangan bangsa untuk meninggalkan ego, ambisi pribadi, dan kepentingan kelompok sempit demi menjaga arah perjuangan yang murni dan kolektif.

“Persatuan sejati bukan tunduk pada individu, tetapi tunduk pada satu cita-cita bersama: kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua Barat,” tegas Juru Bicara KNPB, Ogram Wanimbo, yang turut menandatangani rilis resmi tersebut bersama Ketua Umum Agus Kossay.

KNPB juga mengimbau rakyat Papua agar tidak mudah terprovokasi oleh pernyataan individu yang tidak mewakili lembaga resmi perjuangan. Masyarakat diimbau memperkuat kesadaran politik, memperluas jaringan diplomasi internasional, serta melanjutkan perjuangan melalui jalan damai, terorganisir, dan revolusioner.

“Rakyat Papua harus tetap berjuang dengan cara yang damai, disiplin, dan terarah. Hanya dengan persatuan sejati kita dapat mewujudkan kemerdekaan bangsa Papua Barat,” pungkas Ogram Wanimbo.



Pos. Admin 

Kolonialisme Pemukiman Penindasan Harga Diri Pemilik Tanah

𝐊𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐏𝐞𝐦𝐮𝐤𝐢𝐦 (𝐒𝐞𝐭𝐭𝐥𝐞𝐫 𝐂𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦)

Artikel, Yegema 
Konsep kolonialisme pemukim dapat didefinisikan sebagai sistem penindasan yang didasarkan pada genosida dan kolonialisme, yang bertujuan untuk menggusur populasi suatu bangsa (seringkali penduduk asli) dan menggantinya dengan populasi pemukim baru. Kolonialisme pemukim menemukan fondasinya pada sistem kekuasaan yang diabadikan oleh para pemukim yang menekan hak dan budaya penduduk asli dengan menghapusnya dan menggantinya dengan budaya mereka sendiri.

Kolonialisme pemukim didasarkan pada pencurian dan eksploitasi tanah dan sumber dayamilik penduduk asli. Sejarah dan konfl ik saat ini telah menunjukkan bahwa sistem penindasan yang sedang berlangsung ini sebagian besar didasarkan pada rasisme dan supremasi kulit putih.

Seringkali, kolonialisme pemukim bersifat Eurosentris: ia berasumsi bahwa orang Eropadan nilai-nilai mereka lebih unggul dibandingkan budaya pribumi lainnya, dan oleh karena itu sah-sah saja untuk menghancurkan hak-hak masyarakat pribumi dengan mencuri tanah mereka dan menghapus tradisi mereka.

Kolonialisme pemukim berbeda dari kolonialisme klasik dalam hal berikut: di satu sisi, kolonialisme adalah tindakan kekuasaan dan dominasi satu bangsa, dengan memperoleh atau mempertahankan kendali politik penuh atau sebagian atas bangsa berdaulat lainnya . Di sisi lain, kolonialisme pemukim memiliki kriteria tambahan yaitu penghancuran dan penggantian total penduduk asli dan budaya mereka oleh pemukim sendiri untuk menjadikan diri mereka sebagai penduduk yang sah. Oleh karena itu, pemukim tidak hanya mengeksploitasi tanah dan sumber daya penduduk asli, tetapi mereka juga menggusur mereka, mengubah nama kota dan tempat yang mereka jajah untuk menghapus jejak penduduk asli sepenuhnya.

Berbagai bentuk kolonialisme pemukim meliputi: Apartheid,pendudukan militer,kebijakan asimilasi nasional atau perang biologis.

Patrick Wolfe mendefinisikan kolonialisme pemukim sebagai sebuah sistem, bukansebuah peristiwa sejarah, yang melanggengkan penghapusan dan penghancuran penduduk asli sebagai prasyarat bagi kolonialisme pemukim dan perampasan tanah dan sumber daya (Wolfe, Patrick. Settler Colonialism and the Elimination of the Native. Journalof Genocide Research, Desember 2006, hlm. 387-409).

Contoh kolonialisme pemukim dapat ditemukan dalam Sejarah Aljazair. Antara tahun 1830 dan 1962 (tanggal kemerdekaan Aljazair), Aljazair dianggap sebagai “Departemen Prancis.”

Tidak seperti koloni Prancis lainnya (Haiti, Pantai Gading,dll.), Aljazair dianeksasi dan secara resmi menjadi bagian dari Prancis pada tahun 1848. Tujuan Prancis adalah menjadikan Aljazair bagian dari Prancis dengan menghapus hak-hak penduduk asli dan mengusir mereka dari tanah mereka. Kejahatan yang kejam dilakukan oleh otoritas kolonial Prancisdi Aljazair selama 132 tahun penjajahan. Lima juta penduduk asli Aljazair terbunuh dankejahatan termasuk penyiksaan,pembunuhan,pemerkosaan, pengusiran penduduk asli,uji coba nuklir, pencurian tanah, dan penolakan hak-hak paling dasar dilakukan terhadap penduduk asli.

Banyak kota di Aljazair yang namanya diubah agar bisa "di-Francisasi" (yakni dipaksa mengadopsi adat istiadat dan bahasa Prancis). Misalnya, nama ibu kota Aljazair, Algiers (dalam bahasa Arab Al-Jazaïr) diubah menjadi La Pointe-Pescade. Contoh lainnya adalah sebagai berikut: Bologine menjadi Saint-Eugène, Tamanrasset menjadi Fort-Laperrine, dan Tadjena menjadi Fromentin. Ini menunjukkan bahwa tujuan utama kolonialisme pemukim adalah menghapus budaya penduduk asli dan menghancurkan warisan mereka.

Hukum Prancis yang berlaku di Aljazair
mendiskriminasi bangsa Pribumi dan mengutamakan hak-hak orang Eropa kulit putih di atas hak-hak mayoritas bangsa Pribumi. Faktanya, hukum yang berbeda berlaku untuk Muslim di Aljazair, yang misalnya tidak diizinkan untuk memilih, sedangkan orang Prancis kulit putih diizinkan untuk memilih.

"Salam Masyarakat Adat Papua"

Selamatkan Tanah Adat dan Manusia Papua

Suara Masyarakat Adat Independent 
Komati Papua 
MAI-P Komite Sorong Raya 
MAI-P Komite Kota Timika 
MAI P Komite Kota Timika 
MAI-P Komite Kota Merauke 
MAI-P Komite Kota Agamua 


Pos. Admin 

KOMITMEN BUPATI TOLIKARA, TIDAK BOLEH ADA NYAWA YANG HILANG SIA SIA KARENA DITOLAK OLEH LAYANAN RUMAH SAKIT

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Tolikara -Melangka Tanpa Alas Kaki-    Tanah Injil Tolikara - Beberapa waktu lalu, Tanah Papua...