Senin, 27 Oktober 2025

Bangsa Papua Akan Kalah Jika Terus Bertengkar di Dalam Kandang Penjajahan

Artikel: Tapol, Victor F Yeimo 
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Hati-hati pada penjajah yang selalu menciptakan panggung untuk menguras energi kita, panggung penuh amarah, penuh reaksi, tapi kosong dari kesadaran. Penjajah tahu, bangsa yang sibuk marah di dalam kandang penindasan tidak akan pernah sempat keluar utk menghancurkan jerujinya.

Maka mereka ciptakan ribuan panggung kecil agar kita sibuk berteriak satu sama lain: kita diadu lewat konflik pemilu, dipecah lewat perebutan jabatan, diadu lewat isu agama, disibukkan dengan penghinaan ras dan simbol budaya, dibenturkan lewat perebutan gaji, dana otsus, dan kursi kekuasaan,
diadu antar suku, antar gereja, antar tokoh, antar kelompok perjuangan.

Setiap kali kita ribut, mereka tertawa, karena itu berarti rakyat masih terjebak di arena yang mereka buat. Inilah politik pengalihan dan pementasan kolonial: membuat bangsa terjajah sibuk di arena kecil, agar tidak sempat melihat tangan besar yang mengatur semuanya dari atas.

Dalam bahasa Pierre Bourdieu menyebut mekanisme ini kekerasan simbolik: kekerasan yang tidak memukul, tetapi menundukkan lewat makna. Penjajah mengatur wacana dan nilai: apa yang tampak penting, apa yang layak diperdebatkan, siapa yang layak dimusuhi. Dengan cara itu, mereka memaksa kita berkelahi di ruang yang mereka desain. Membuat kita merasa sedang berjuang padahal sebenarnya hanya sedang diputar-putar dalam kandang yang sama.

Kalau dakam bahasa Frantz Fanon disebut penjajahan kesadaran: bangsa terjajah disibukkan deng pertengkaran kecil di bawah, sementara struktur penindasan di atasnya tetap kokoh. Atau Jean Baudrillard bilang penjajahan menciptakan “realitas palsu” (simulacra): dunia penuh drama dan simbol, agar rakyat melupakan realitas sebenarnya: operasi militer, pembunuhan, perampasan tanah, dan penghancuran ekologi.

Begitulah cara penjajah menjaga kekuasaannya: figur menjadikan rakyatnya sibuk marah dalam kandang. Mereka tahu, bangsa yang sibuk bertengkar tak sempat berstrategi; bangsa yang sibuk bereaksi tidak sempat berpikir.

Sementara kita sibuk debat di media sosial, mereka menandatangani kontrak Freeport.
Sementara kita ribut soal kursi jabatan, mereka memperluas PSN dan tambang. Sementara kita bertengkar karena agama, mereka buka hutan dan gusur kampung. Sementara kita marah pada penghinaan simbolik, mereka terus menembak dan membunuh, seperti 12 warga sipil yang dibatai di Soanggama.

Inilah siasat halus kolonialisme modern, mengalihkan energi rakyat dari struktur ke permukaan. Mereka biarkan kita berteriak keras, asal tidak menyentuh akar. Mereka biarkan kita marah, asal tidak sadar. 

Kita mesti tolak peran yang mereka tuliskan untuk kita: peran rakyat yang reaktif, emosional, dan mudah diprovokasi. Kita harus menulis naskah sendiri, memainkan drama kita sendiri: drama pembebasan sejati, bukan drama simbolik.

Setiap isu yang muncul jangan ditelan mentah. Bertanyalah: siapa yang diuntungkan dari semua ini? Siapa yang diam-diam mengambil tanah, tambang, dan sumber hidup kita saat kita sibuk berdebat?

Kita harus belajar membaca lapisan di balik setiap peristiwa. Karena di balik semua keributan insidental itu, selalu ada satu pola: pengalihan perhatian agar bangsa Papua tidak sempat melihat bahwa akar penindasan tetap sama: militerisme, kapitalisme kolonial, dan penguasaan atas tanah serta sumber daya.

Bangsa Papua harus keluar dari jebakan ini. Kita harus mengubah amarah reaksioner menjadi kesadaran revolusioner. Setiap isu sektoral harus kita gunakan sebagai cermin utk melihat struktur yang menindas. Setiap penghinaan kecil harus menjadi pintu menuju analisis besar. Setiap konflik harus diarahkan menjadi pemahaman politik, bukan permusuhan sosial.

Jangan lagi marah di panggung yang mereka buat. Marahlah di medan yang mereka takuti: medan kesadaran, organisasi, solidaritas, dan pembongkaran sistem. Bangsa Papua akan kalah jika terus bertengkar di dalam kandang penjajahan. Tapi bangsa Papua akan menang jika mulai berpikir bersama, bergerak bersama, dan menembus dinding kandang itu menuju pembebasan bangsa.

Pos. Admin 

DALAM AKSI PANGGUN KEADILAN, JUSTICE FOR TOBIAS SILAK Anggota Bawaslu Kabupaten Yahukimo

PERNYATAN SIKAP!!!
FORUM SOLIDARITAS MAHASISWA DAN PELAJAR PEDULI RAKYAT PAPUA (FSMP-PRP) MAKASSAR
 YANG TERGABUNG DALAM (JUSTICE FOR TOBIAS SILAK KOMITE KOTA MAKASSAR 
_________________________________________
DALAM AKSI PANGGUN KEADILAN JUSTICE FOR TOBIAS SILAK MENYATAKAN SIKAP DENGAN TEGAS!
 
Justice For Tobias Silak , Justice For Naro Dapla, Justice For Viktor Deyal ,Justice For All ! 
 
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Makasar - Melangkah Tanpa Alas Kaki- Kasuss Penembakan Terhadap Tobias Silak Staf Bawaslu Kabupaten Yahukimo (Meninggal ) dan Naro Dapla seorang anak bibawah umur (Luka berat ) pada 20 Agustus 2024, oleh gabungan Brimob Satuan Operasi Damai Cartenz di Jalan Sekla,Kab.Yahukimo Provinsi Papua Pegunungan merupakan satu dari sekian banyak kasus yang terjadi selama ini diatas Tanah Papua tanpa keadilan hukum. Papua menghadapi situasi hak asasi manusia yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. 
 
Konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun belum terselesaikan justru semakin meningkat. Sejak Desember 2018-2025 lonjakan pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan oleh aparat keamanan, terutama di wilayah konflik semakin buruk serta Kebebasan berekspresi tetap dibatasi, dengan pihak berwenang dan membubarkan protes damai. 
 
Tidak terlepas dari rangkaian peristiwa kekerasan di tanah Papua penembakan terhadap almarhum Tobias Silak dan Naro Dapla merupakan wujud nyata bahwa Papua menjadi daerah operasi militer. Berbagi operasi terus dilancarkan negara tanpa mempertimbangkan Hak Asasi Manusia, Dari praktek kekerasan terhadap warga sipil, Jakarta tidak punya niat untuk membangun Papua dan tegakan keadilan kecuali merampok sumber daya alam yang tersedia dengan jalan pembantaian, pemerkosaan, pembunuhan,dan penghilangan paksa. Hal tersebut terbukti dari pendekatan Jakarta dalam 5 Tahun terakhir pendropan militer organik dan non organik dalam jumlah yang besar di seluruh Tanah 
 
Kasus Penembakan terhadap Tobias Silak dan Naro Dapla pada tanggal 20 Agustus 2024 keluarga korban secara tegas bersama 12 Suku di Yahukimo menolak segala bentuk tawaran ( Bayar 
Kepala) kapolres Yahukimo dan menuntut pelaku diproses hukum sesuai perbuatanya. Kemudian Komnas HAM RI pada 24-26 September 2024 melakukan Investigasi kemudian hasil investigasinya diumumkan secara tertutup melalui keluarga korban pada tanggal 17 Desember 2024 . Selanjutnya Tim Penyidik Polda Papua telah pemeriksan saksi dan menyerahkan hasil BAP kepada kajati Papua pada pertengahan Juli dengan nomor:44/Pid.B/2025/PN.Wmn dan Perkara 45/Pid.B/2025/PN.Wmn. adapun korban Tobias Silak (meninggal dunia) dan Naro Dapla(Luka 
Berat) dengan terdawak Muh.Kurniawan Kudu,Fernando Aufa,Ferdi Koromoth dan Jatmiko 
 
Sidang di Pengadilan Negeri Wamena sudah digelar sebanyak 17 kali . Manjelis Hakim Pengadilan telah memeriksa sebanyak 18 saksi korban maupun pelaku,5 saksi ahli,dan 5 surat serta menyita 21 alat bukti. Sidang ke 17 akan digelar pada tanggal 2 Oktober 2025 mendatang dengan agenda Tuntutan JPU kepada 4 Terdakwa. 
Wamena 27 September 2025 Perkumpulan Pengacara HAM untuk Papua menyapaikan keprihatinan mendalam dan desakan tegas kepada Jaksa Penuntut Umum(JPU) agar menuntut pidana Maksimal terhadap kasus penembakan yang menewaskan Alm. Tobis Silak (staf Bawaslu Kab.Yahukimo) dan Melukai berat seorang anak Naro Dapla (17 Tahun) pada tanggal 20 agustus 2025 Pukul 21.21 WIT. Di Pos Brimob Sekla Kab.Yahukimo Berdasarkan fakta lapangan bahwa : 
• Terdawa Bribka.Muh Kurniawan Kudu terbukti melepaskan 8 tembakan dengan senjata AK-102 yang mengakibatkan korban Tobias Silak mengalami luka tembak di bagian kepala yang mengakibatkan meninggal dunia sementara Naro Dapla mengalami luka berat 
• Terdakwa Fernando Alexander Aufa,Jatmiko dan Ferdi Moses Koromat Turut serta dengan menyebar informasih palsu tentang “kontak tembak” yang memicu siaga dan aksi penembakan 
• Keterangan saksi korban,Saksi anggota Brimob,Ahli Forensik,Ahli Balestik serta barang bukti senjata dan selongsong peluru konsisten memperkuat keterlibatan para terdakwa 
• Fakta Persidangan membuktikan bahwa korban adalah sipil dan Anak dibawah umur bukan anggota bersenjata sebagai mana diklaim 
 
Dengan demikian kami Tim Kuasa Hukum Korban,Front Justice For Tobias Silak 12 Kota serta seluruh Masyarakat Yahukimo 12 Suku Besar Menyapaikan sikap tegs : 
 
1. Kami menuntut JPU memberikan Pidana Maksimal sesuai pasal 338 KUHP 80 Ayat 
(2) UU Pelindungan anak terhadap Terdakwa Bribka.Muh Kurniawan Kudu 
2. Kami menuntut JPU Pidana terhadap Fernando Alexander Aufa,Jatmiko dan Ferdi Moses Koromat berdasarkan pasal 338 KUHP Jo.55 KUHP dan Pasal 80 Ayat (2) UU No.35 Tahun 2024 Tentang perubahan UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo. Pasal 55 KUHP 
3. Kami menunut Majelis Hakim menjatuhkan hukuman setimpal serta menegaskan terhadap Pelindungan hukum bagi korban Anak 
4. Kami mendesak Komnas HAM dan Kejaksaan Agung membuka penyelidikan lanjutan untuk mengungkapkan keterlibatan atas pelaku Iptu.Irman Taliki (Danki Brimob) dan AKBP.Heru Hidayanto,S.sos.,M.M (Mantan Kapolres Yahukimo) 
5. Kami mendesak dan meminta Negara memberikan Restitusi,rahabilitasi dan kompensasi sesuai amanat UU Perlindungan Saks i dan korban 
6. Tarik Militer dari Yahukimo dan Seluruh Tanah Papua 
7. Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Papua Hentikan Proses Bayar Membayar kepala Manusia Papua dan mendesak DPRD.Kab Yahukimo segera bentuk PERDA Penyelesaian Masalah Pembunuhan Aparat kepada Warga sipil/ Penggaran HAM melalui jalur Hukum 
8. Segera Copot 4 Terdakwa dari Satuan Aparat Kepolsian Negera Republik Indonesia(Polri) 
9. Segera Tangkap,Pecat dan Adili Pelaku Pembunuhan Viktor Deyal dan Segera Copot Kapolres Yahukimo 
10. Tolak seluruh Peruaan Asing diatas Tanah Papua  
11. Tolak PSN di Marauke,Wamena,Yahukimo dan Seluruh Tanah Papua 
12. Buka Akses Jurnalis Di Tanah Papua 
13. Segara Usut Tuntas Kasus Penemabakan Pdt.Yeremiaz Zanambani 
14. Segera Bebas 4 Tahan Politik NRFB tanpa Syarat 
15. Mengecek kepada Pemerintah Indonesia atas seluruh Peristiwa Pelanggaran HAM diatas Tanah Papua dari 1961 hingaa kini 
16. Segara pulangkan 100 rb Pengungsi kekampung halaman 
17. Usut Tuntas Kasus BOM Molov di Kantor Jubi Papua 
18. Buka Ruang Demoktasi di seluruh Tanah Papua dan Indonesia 
 
Sekian ! 
 ____________________________________________ Justice For Tobias Silak Komite Kota makassar 
 ____________________________________________
Makassar,27 Oktober 2025 Part 5


Pos. Admin 

Minggu, 26 Oktober 2025

SATU ABAD "PERADABAN", MARI KITA PERGI KE KOTA EMAS, PAPUA BARU.

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Teluk Wondama - Melangkah Tanpa Alas - Wondama Hari ini, seratus yang lalu (25 Oktober 1925)—sekolah modern pertama didirikan di Bukit Aitumeri, Miei, Teluk Wondama yang tenang. Itu adalah hari yang sejuk ketika Misonaris Zending I.S Kijne mulai mendirikan sekolah modern bagi anak-anak kulit hitam rambut keriting yang bertelanjang kaki di tanah yang permai. Fajar menyinsing dan peradaban baru mulai merekah di tanah Papua. 

I.S Kijne bernama lengkap Domine Izaac Samuel Kijne dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1899 dari pasangan Hugorinus Kijne dan Maria Fige'e—seorang Yahudi yang bekerja sehari-hari sebagai guru sekolah. Ayahnya adalah tukang kayu di Vlaardingen, sebuah kota kecil di Negeri Belanda. 

Sejak kecil Kijne menunjukkan bakat yang luar biasa. Ia pandai berhitung dan cepat dalam membaca. Ayahnya mendaftarkan dia di sekolah dasar di kampung halaman mereka. Kemudian ia lanjut ke sekolah menengah pertama dan tamat pada tahun 1914. Pada tahun yang sama ia melanjutkan studi ke sekolah guru Klokenburg Nijmegen dan tamat tahun 1918. Setelah tamat, ia kembali ke Kota asalnya, Vlaardingen untuk menjadi guru. 

Saat itu arus ekonomi-politik sedang berkecamuk. Dunia sedang masuk dalam fase krisis paling parah yang berujung pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) antara kekuatan-kekuatan imperialis utama. Saat itu, Belanda telah jauh hari mematok kekuasaanya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), tetapi belum mengontrol sepenuhnya tanah orang-orang kulit hitam rambut keriting, yang dikenal sebagai Papua hari ini. 

Inggris dan Jerman terus memaksa dari arah Timur, mengancam merebut Papua secara keseluruhan. Tidak tinggal diam, Belanda kemudian merubah haluan dan mulai memperluas pengaruhnya di tanah itu. Pertama mereka mengirim Zeendlin Ottow dan Geissler pada tahun 1855, kemudian diikuti dengan para peniliti dan penjelajah untuk mengkafling tanah Papua. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan, maka Belanda memulai kampanye dengan perekrutan kaum muda untuk mengadi ke tanah Papua. Disinilah Kijne muda mulai tertarik dengan tanah Papua—sebuah pilihan yang kemudian ia cintai untuk selama-lamanya.

Pertama-tama, Kijne mulai melanjutkan studi Akta Kepala Sekolah (Acte Hoofdonderwijzer) selama 2 tahun (1918-1920,) dan kursus bahasa Melayu (1921) dengan memperoleh Akta Pengetahuan Berbahasa Melayu (Acte Maleis-Lan En Volkenkunde). Setelah lulus, ia kemudian dikirim ke Jerman untuk sekolah musik, seni suara, budaya, dan melukis. Lalu pada tahun 1921-22 ia masuk pusat Zending Oegstgeest sebelum akhirnya dikirim ke tanah Papua. 

II. Menuju Papua dan Sentuhan Awal.

Januari tahun 1923, bersama kedua rekannya F. Slump dan Eygendaal, I.S Kijne meninggalkan tanah kelahirannya dan menuju tanah yang jauh di seberang sana, yang ia tidak kenal sama sekali. Hari itu langit cerah dan kapal yang mereka tumpangi meninggalkan Roterdam Negeri Belanda menuju Guinea Afrika Barat, Batvia, sebelum sampai ke Mansinam. Butuh 5 bulan dalam perjalanan, dan pada tanggal 23 Juni 1923, ia tiba di Papua dengan selamat.

Tidak ada sambutan istimewa, semua hilir-mudik seperti biasa. Tetapi tujuan Kijne bukanlah pujian, melainkan pengabdian. Berdasarkan cerita dari temannya Willem Van Hasselt, anak dari F.J.F Hasselt Ketua Zending saat itu dan kenyataan yang ia saksikan sendiri, bahwa satu-satunya kebutuhan mendesak saat ini adalah pendidikan bagi anak-anak asli daerah agar kelak mereka menjadi tenaga-tenaga pembangun di atas tanahnya sendiri. Inilah yang kemudian membulatkan tekad I.S Kijne untuk secara serius membangun pendidikan di tanah Papua.

Saat itu di Mansinam, Ottow dan Geissler sudah mendirikan sebuah sekolah guru, tetapi ini tidak berjalan maksimal dan kualitasnya buruk. Ditambah dengan kesombongan dan ejekan dari orang-orang Kei, Ambon, Sanghie, dll yang saat itu juga berada di Mansinam, membuat anak-anak Papua tidak ingin pergi ke sekolah dan ingin tetap di luar saja. Melihat kondisi itu, Kijne mulai tergerak untuk mendirikan sekolah yang dikhususkan hanya bagi anak-anak Papua supaya kelak mereka "menjadi tuan di atas tanahnya sendiri" seperti yang dinubuatkan olehnya kemudian hari. 

Kijne kemudian mulai mempelajari karakter anak-anak Papua saat itu, seni mereka, keterampilan mereka, budaya mereka, watak dan gaya mereka lalu kemudian memutuskan untuk mendirikan sekolah bagi mereka. Tetapi tantangannya adalah apabila sekolah didirikan lagi di Mansinam, maka misinya untuk mendidik anak-anak Papua akan terganggu dengan kehadiran para migran yang mulai banyak saat itu. Disinilah jalan terbuka, atas usul dari dua Zendling D.B Starrenburg dan D.C.A Bout yang saat itu sudah bertugas di Wondama, bahwa tempat di sana sangat cocok bagi sekolah yang dimaksud oleh I.S Kijne. Inilah awal mula ia tahu tentang Wondama, teluk yang yang indah nan permai itu. 

III. Wondama.

Awal Januai 1925, I.S Kijne betolak ke Wondama dari Mansinam untuk melihat-lihat kondisi disana. Suasana Wondama sangat tenang dan teduh, tanahnya subur dan indah, serta kampung-kampungya berdekatan sehingga sangat cocok apabila para siswa berpraktek dan lansung berkontak dengan masyarakat sekitar. Juga, sangat bagus apabila sekolah berasrama ditempatkan disana. Kijne akhirnya memutuskan bahwa disinilah tempatnya, dan pusatnya akan ditempatkan di Bukit Aitumeri yang letaknya tidak jauh dari perkampungan warga.

Kemudian, pada pertengahan Januari ia kembali ke Mansinam dan mengumpulkan anak-anak Papua yang akan ia didik serta keperluan-keperluan lain. Delapan bulan kemudian, segala persiapan telah rampung dan I.S Kijne telah siap untuk kembali ke Wondama. Itulah, tanggal 25 Oktober 1925 ia tiba dengan 35 orang murid yang telah ia rekrut untuk disekolahkan. Mereka semua adalah anak-anak Papua dari berbagai latar belakang, dan merupakan bejana yang kosong dan siap dibentuk oleh tangan seniman yang handal. 

IV. Permulaan Pengetahuan dan Pengenalan Jati Diri Bangsa.

Setelah tiba di Bukit Aitumeri, keesokan harinya I.S Kijne berkiling bukit Aitumeri untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Dan disana ia menemukan satu buah batu besar, tempat yang akan ia jadikan untuk berdoa dan melatih anak-anak bermain musik, tarik suara, dan lain-lain. Di atas batu inilah, I.S Kijne menulis:

"DI ATAS BATU INI, SAYA MELETAKKAN PERADABAN ORANG PAPUA. SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT, TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.” 

Semua murid yang ada saat itu adalah anak-anak Papua dari berbagai daerah. Mulai dari Biak, Jayapura, Manokwari, Mairasi, Sorong, hingga beberapa daerah lain di Papua. Mereka berkumpul dan saling mengenal satu sama lain. Tidak ada lagi perbedaan, tidak ada lagi sekat-sekat, yang ada hanya satu, Papua. Disinilah kesadaran tentang satu ras, satu warna kulit, satu peradaban—mulai muncul. Inilah awal mula pengatahuan dan pengenalan jati diri bangsa, yang secara tepat oleh sejarawan disebut sebagai embrio nasionalisme Papua.

Murid-murid inilah yang kemudian menjadi intelektual-inteletual pertama di Papua. Mereka memainkan peran sebagai kembang-kembang yang membawa sinar kemana-mana, menyinari seluruh bangsa Papua. Hingga tahun 1932, I.S Kijne kembali ke Belanda untuk meminang kekasihnya, Ny. Johana Regina Uitenbogaard lalu bersamanya kembali ke Aitumeri untuk melanjutkan pelayanannya mendidik generasi bangsa Papua yang tengah bangkit hingga tahun 1941.

I.S Kijne lalu dipindahkan ke Joka, Jayapura sebagai Direktur di Institut Joka (1949-1951) sebelum akhirnya kembali negeri asalnya, Vlaardingen. Bersamaan dengan itu, sekolah di Aitumeri pun tutup. 

IV. Kemana Kita Harus Pergi?

 23 tahun setelah nubutan pertama di Bukit Aitumeri, di atas geladak kapal KM Zee Aen di Dermaga Serui medio September 1958, ketika I.S Kijne bersama kekasihnya Ny. Johana dipaksa meninggalkan tanah yang telah mereka garap sepenuh hati itu sebagai akibat dari nafsu Indonesia yang ingin menguasai Papua, I.S Kijne berkata:

"Aku pergi dengan keyakinan tanah dan bangsa Papua akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kepentingan politik atas segala kekayaan dan hasil tanah itu, tetapi mereka tidak akan membangun Papua dengan kasih sayang, sebab kebenaran dan keadilan akan diputar-balikkan serta banyak hal baru yang akan membuat orang Papua menyesal tetapi itu bukan maksud Tuhan, melainkan keinginan manusia."

Kapal Zee Aen meninggalkan Papua pergi untuk tidak kembali lagi. Tanggal 1 Mei 1963 Indonesia mengambil alih kontrol Papua secara penuh dan melancarkan serangkaian pembunuhan massal serta penipuan paling menjijikan yang belum dikenal sebumnya. Tahun 1969, setelah membunuh ribuan orang Papua dan merekayasa kesepakatan New York 1962, Indonesia secara resmi menduduki Papua pada tahun 1969 melalui Pepera yang penuh tipu daya dan tidak masuk akal.

Sejak saat itu dan sebelumnya, bangsa Papua yang dipersiapkan oleh Kijne berubah menjadi lautan darah, penuh kekerasan, dan tipu daya. Hutan-hutan alam dibabat tanpa ampun, bekas galian mengaga seperti luka busuk, dan manusianya dibunuh setiap hari seperti anjing di warung RW. Terbaru 12 orang warga sipil dibunuh dalam waktu hanya 3 jam di Kampung Soanggama Intan Jaya, dan pelakunya adalah bangsa asing yang ingin meguasai kekayaan alam seperti nubuatan I.S Kijne.

Sekarang pertanyaannya, harus kemana bangsa Papua? I.S Kijne sudah mengatakan dengan jelas bahwa "sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, marifat dan akal budi, tidak akan mampu memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri." Kata-kata itu dengan jelas merujuk bahwa bangsa lain, termasuk bangsa Indonesia, tidak akan dapat mampu membangun bangsa Papua, KECUALI BANGSA PAPUA BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.

Pengalaman kita 60an tahun bersama Indonesia sudah memberikan bukti-bukti yang kuat. Bahwa alih-alih bergerak maju, kita semakin hancur dan terseok-seok di atas tanah kita sendiri. Manusianya semakin hari semakin minoritas, sementara penduduk asing semakin mendominasi. Air kita diracuni, mahkota kita dibakar, hutan dibabat, tanah dikeruk, lalu kita tetap dalam keadaan miskin dan teraniya. 

Kalimat "BANGKIT MEMIMPIN DIRINYA" sendiri jelas menunjukkan bahwa bangsa Papua dan hanya bangsa Papua yang dapat memimpin dirinya sendiri. Ini berarti semua bangsa asing, termasuk Indonesia harus angkat kaki dari tanah Papua. Kalimat ini jelas merujuk pada tujuan yang jelas, Papua harus lepas dari kekangan bangsa asing (Indonesia) dan merdeka-berdaulat di atas tanah airnya. Papua Baru, Papua Merdeka!

=<>=

Ditulis oleh Musell M Safkaur, memperingati I Abad "Peradaban" Papua, 25 Oktober 2025.

_______

Sumber:

1. Hanz Wanma, "Domine Izak Samuel Kijne, Mengenang Hidup dan Karyanya Untuk Tanah dan Bangsa Papua", JW Press, 2016.

2. Yason Ngelia, "Gerakan Mahasiswa Papua", Apro Publisher 2019.

3. P.J Drooglever, "Tindakkan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri", Kanisius 2010.

4. Panita Jubelium Emas 150 Tahun Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua, "Hidup dan Karya Rasul Papua Gotlob Geissler", 2005.

5. Jemaat GKI Diaspora Papua, "I.S Kijne Cita dan Pengorbanannya Untuk Bangsa Kulit Hitam di Timur Lautan Teduh", 2022.

6. Albert Rumbekwan, "Seratus Tahun Nubuatan D.S I.S Kijne, Refleksi Seabad Iman dan Enam Puluh Sembilan Tahun GKI di Tanah Papua", 2025.

Terlampir foto-foto koleksi dari penulis.

Oleh: Elius Heluka.

Pos. Admin 


SATU ABAD "PERADABAN", MARI KITA PERGI KE KOTA EMAS, PAPUA BARU.

Hari ini, seratus Tahun yang lalu (25 Oktober 1925)—sekolah modern pertama didirikan di Bukit Aitumeri, Miei, Teluk Wondama yang tenang. Itu adalah hari yang sejuk ketika Misonaris Zending I.S Kijne mulai mendirikan sekolah modern bagi anak-anak kulit hitam rambut keriting yang bertelanjang kaki di tanah yang permai. Fajar menyinsing dan peradaban baru mulai merekah di tanah Papua. 

I.S Kijne bernama lengkap Domine Izaac Samuel Kijne dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1899 dari pasangan Hugorinus Kijne dan Maria Fige'e—seorang Yahudi yang bekerja sehari-hari sebagai guru sekolah. Ayahnya adalah tukang kayu di Vlaardingen, sebuah kota kecil di Negeri Belanda. 

Sejak kecil Kijne menunjukkan bakat yang luar biasa. Ia pandai berhitung dan cepat dalam membaca. Ayahnya mendaftarkan dia di sekolah dasar di kampung halaman mereka. Kemudian ia lanjut ke sekolah menengah pertama dan tamat pada tahun 1914. Pada tahun yang sama ia melanjutkan studi ke sekolah guru Klokenburg Nijmegen dan tamat tahun 1918. Setelah tamat, ia kembali ke Kota asalnya, Vlaardingen untuk menjadi guru. 

Saat itu arus ekonomi-politik sedang berkecamuk. Dunia sedang masuk dalam fase krisis paling parah yang berujung pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) antara kekuatan-kekuatan imperialis utama. Saat itu, Belanda telah jauh hari mematok kekuasaanya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), tetapi belum mengontrol sepenuhnya tanah orang-orang kulit hitam rambut keriting, yang dikenal sebagai Papua hari ini. 

Inggris dan Jerman terus memaksa dari arah Timur, mengancam merebut Papua secara keseluruhan. Tidak tinggal diam, Belanda kemudian merubah haluan dan mulai memperluas pengaruhnya di tanah itu. Pertama mereka mengirim Zeendlin Ottow dan Geissler pada tahun 1855, kemudian diikuti dengan para peniliti dan penjelajah untuk mengkafling tanah Papua. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan, maka Belanda memulai kampanye dengan perekrutan kaum muda untuk mengadi ke tanah Papua. Disinilah Kijne muda mulai tertarik dengan tanah Papua—sebuah pilihan yang kemudian ia cintai untuk selama-lamanya.

Pertama-tama, Kijne mulai melanjutkan studi Akta Kepala Sekolah (Acte Hoofdonderwijzer) selama 2 tahun (1918-1920,) dan kursus bahasa Melayu (1921) dengan memperoleh Akta Pengetahuan Berbahasa Melayu (Acte Maleis-Lan En Volkenkunde). Setelah lulus, ia kemudian dikirim ke Jerman untuk sekolah musik, seni suara, budaya, dan melukis. Lalu pada tahun 1921-22 ia masuk pusat Zending Oegstgeest sebelum akhirnya dikirim ke tanah Papua. 

II. Menuju Papua dan Sentuhan Awal.

Januari tahun 1923, bersama kedua rekannya F. Slump dan Eygendaal, I.S Kijne meninggalkan tanah kelahirannya dan menuju tanah yang jauh di seberang sana, yang ia tidak kenal sama sekali. Hari itu langit cerah dan kapal yang mereka tumpangi meninggalkan Roterdam Negeri Belanda menuju Guinea Afrika Barat, Batvia, sebelum sampai ke Mansinam. Butuh 5 bulan dalam perjalanan, dan pada tanggal 23 Juni 1923, ia tiba di Papua dengan selamat.

Tidak ada sambutan istimewa, semua hilir-mudik seperti biasa. Tetapi tujuan Kijne bukanlah pujian, melainkan pengabdian. Berdasarkan cerita dari temannya Willem Van Hasselt, anak dari F.J.F Hasselt Ketua Zending saat itu dan kenyataan yang ia saksikan sendiri, bahwa satu-satunya kebutuhan mendesak saat ini adalah pendidikan bagi anak-anak asli daerah agar kelak mereka menjadi tenaga-tenaga pembangun di atas tanahnya sendiri. Inilah yang kemudian membulatkan tekad I.S Kijne untuk secara serius membangun pendidikan di tanah Papua.

Saat itu di Mansinam, Ottow dan Geissler sudah mendirikan sebuah sekolah guru, tetapi ini tidak berjalan maksimal dan kualitasnya buruk. Ditambah dengan kesombongan dan ejekan dari orang-orang Kei, Ambon, Sanghie, dll yang saat itu juga berada di Mansinam, membuat anak-anak Papua tidak ingin pergi ke sekolah dan ingin tetap di luar saja. Melihat kondisi itu, Kijne mulai tergerak untuk mendirikan sekolah yang dikhususkan hanya bagi anak-anak Papua supaya kelak mereka "menjadi tuan di atas tanahnya sendiri" seperti yang dinubuatkan olehnya kemudian hari. 

Kijne kemudian mulai mempelajari karakter anak-anak Papua saat itu, seni mereka, keterampilan mereka, budaya mereka, watak dan gaya mereka lalu kemudian memutuskan untuk mendirikan sekolah bagi mereka. Tetapi tantangannya adalah apabila sekolah didirikan lagi di Mansinam, maka misinya untuk mendidik anak-anak Papua akan terganggu dengan kehadiran para migran yang mulai banyak saat itu. Disinilah jalan terbuka, atas usul dari dua Zendling D.B Starrenburg dan D.C.A Bout yang saat itu sudah bertugas di Wondama, bahwa tempat di sana sangat cocok bagi sekolah yang dimaksud oleh I.S Kijne. Inilah awal mula ia tahu tentang Wondama, teluk yang yang indah nan permai itu. 

III. Wondama.

Awal Januai 1925, I.S Kijne betolak ke Wondama dari Mansinam untuk melihat-lihat kondisi disana. Suasana Wondama sangat tenang dan teduh, tanahnya subur dan indah, serta kampung-kampungya berdekatan sehingga sangat cocok apabila para siswa berpraktek dan lansung berkontak dengan masyarakat sekitar. Juga, sangat bagus apabila sekolah berasrama ditempatkan disana. Kijne akhirnya memutuskan bahwa disinilah tempatnya, dan pusatnya akan ditempatkan di Bukit Aitumeri yang letaknya tidak jauh dari perkampungan warga.

Kemudian, pada pertengahan Januari ia kembali ke Mansinam dan mengumpulkan anak-anak Papua yang akan ia didik serta keperluan-keperluan lain. Delapan bulan kemudian, segala persiapan telah rampung dan I.S Kijne telah siap untuk kembali ke Wondama. Itulah, tanggal 25 Oktober 1925 ia tiba dengan 35 orang murid yang telah ia rekrut untuk disekolahkan. Mereka semua adalah anak-anak Papua dari berbagai latar belakang, dan merupakan bejana yang kosong dan siap dibentuk oleh tangan seniman yang handal. 

IV. Permulaan Pengetahuan dan Pengenalan Jati Diri Bangsa.

Setelah tiba di Bukit Aitumeri, keesokan harinya I.S Kijne berkiling bukit Aitumeri untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Dan disana ia menemukan satu buah batu besar, tempat yang akan ia jadikan untuk berdoa dan melatih anak-anak bermain musik, tarik suara, dan lain-lain. Di atas batu inilah, I.S Kijne menulis:

"DI ATAS BATU INI, SAYA MELETAKKAN PERADABAN ORANG PAPUA. SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT, TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.” 

Semua murid yang ada saat itu adalah anak-anak Papua dari berbagai daerah. Mulai dari Biak, Jayapura, Manokwari, Mairasi, Sorong, hingga beberapa daerah lain di Papua. Mereka berkumpul dan saling mengenal satu sama lain. Tidak ada lagi perbedaan, tidak ada lagi sekat-sekat, yang ada hanya satu, Papua. Disinilah kesadaran tentang satu ras, satu warna kulit, satu peradaban—mulai muncul. Inilah awal mula pengatahuan dan pengenalan jati diri bangsa, yang secara tepat oleh sejarawan disebut sebagai embrio nasionalisme Papua.

Murid-murid inilah yang kemudian menjadi intelektual-inteletual pertama di Papua. Mereka memainkan peran sebagai kembang-kembang yang membawa sinar kemana-mana, menyinari seluruh bangsa Papua. Hingga tahun 1932, I.S Kijne kembali ke Belanda untuk meminang kekasihnya, Ny. Johana Regina Uitenbogaard lalu bersamanya kembali ke Aitumeri untuk melanjutkan pelayanannya mendidik generasi bangsa Papua yang tengah bangkit hingga tahun 1941.

I.S Kijne lalu dipindahkan ke Joka, Jayapura sebagai Direktur di Institut Joka (1949-1951) sebelum akhirnya kembali negeri asalnya, Vlaardingen. Bersamaan dengan itu, sekolah di Aitumeri pun tutup. 

IV. Kemana Kita Harus Pergi?

 23 tahun setelah nubutan pertama di Bukit Aitumeri, di atas geladak kapal KM Zee Aen di Dermaga Serui medio September 1958, ketika I.S Kijne bersama kekasihnya Ny. Johana dipaksa meninggalkan tanah yang telah mereka garap sepenuh hati itu sebagai akibat dari nafsu Indonesia yang ingin menguasai Papua, I.S Kijne berkata:

"Aku pergi dengan keyakinan tanah dan bangsa Papua akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kepentingan politik atas segala kekayaan dan hasil tanah itu, tetapi mereka tidak akan membangun Papua dengan kasih sayang, sebab kebenaran dan keadilan akan diputar-balikkan serta banyak hal baru yang akan membuat orang Papua menyesal tetapi itu bukan maksud Tuhan, melainkan keinginan manusia."

Kapal Zee Aen meninggalkan Papua pergi untuk tidak kembali lagi. Tanggal 1 Mei 1963 Indonesia mengambil alih kontrol Papua secara penuh dan melancarkan serangkaian pembunuhan massal serta penipuan paling menjijikan yang belum dikenal sebumnya. Tahun 1969, setelah membunuh ribuan orang Papua dan merekayasa kesepakatan New York 1962, Indonesia secara resmi menduduki Papua pada tahun 1969 melalui Pepera yang penuh tipu daya dan tidak masuk akal.

Sejak saat itu dan sebelumnya, bangsa Papua yang dipersiapkan oleh Kijne berubah menjadi lautan darah, penuh kekerasan, dan tipu daya. Hutan-hutan alam dibabat tanpa ampun, bekas galian mengaga seperti luka busuk, dan manusianya dibunuh setiap hari seperti anjing di warung RW. Terbaru 12 orang warga sipil dibunuh dalam waktu hanya 3 jam di Kampung Soanggama Intan Jaya, dan pelakunya adalah bangsa asing yang ingin meguasai kekayaan alam seperti nubuatan I.S Kijne.

Sekarang pertanyaannya, harus kemana bangsa Papua? I.S Kijne sudah mengatakan dengan jelas bahwa "sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, marifat dan akal budi, tidak akan mampu memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri." Kata-kata itu dengan jelas merujuk bahwa bangsa lain, termasuk bangsa Indonesia, tidak akan dapat mampu membangun bangsa Papua, KECUALI BANGSA PAPUA BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.

Pengalaman kita 60an tahun bersama Indonesia sudah memberikan bukti-bukti yang kuat. Bahwa alih-alih bergerak maju, kita semakin hancur dan terseok-seok di atas tanah kita sendiri. Manusianya semakin hari semakin minoritas, sementara penduduk asing semakin mendominasi. Air kita diracuni, mahkota kita dibakar, hutan dibabat, tanah dikeruk, lalu kita tetap dalam keadaan miskin dan teraniya. 

Kalimat "BANGKIT MEMIMPIN DIRINYA" sendiri jelas menunjukkan bahwa bangsa Papua dan hanya bangsa Papua yang dapat memimpin dirinya sendiri. Ini berarti semua bangsa asing, termasuk Indonesia harus angkat kaki dari tanah Papua. Kalimat ini jelas merujuk pada tujuan yang jelas, Papua harus lepas dari kekangan bangsa asing (Indonesia) dan merdeka-berdaulat di atas tanah airnya. Papua Baru, Papua Merdeka!

=<>=

Ditulis oleh Musell M Safkaur, memperingati I Abad "Peradaban" Papua, 25 Oktober 2025.

_______

Sumber:

1. Hanz Wanma, "Domine Izak Samuel Kijne, Mengenang Hidup dan Karyanya Untuk Tanah dan Bangsa Papua", JW Press, 2016.

2. Yason Ngelia, "Gerakan Mahasiswa Papua", Apro Publisher 2019.

3. P.J Drooglever, "Tindakkan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri", Kanisius 2010.

4. Panita Jubelium Emas 150 Tahun Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua, "Hidup dan Karya Rasul Papua Gotlob Geissler", 2005.

5. Jemaat GKI Diaspora Papua, "I.S Kijne Cita dan Pengorbanannya Untuk Bangsa Kulit Hitam di Timur Lautan Teduh", 2022.

6. Albert Rumbekwan, "Seratus Tahun Nubuatan D.S I.S Kijne, Refleksi Seabad Iman dan Enam Puluh Sembilan Tahun GKI di Tanah Papua", 2025.

Kutipan inspiratif, Victor Yeimo 

Post Kaka Victor Yeimo 

Hari ini, genap satu abad nubuat I.S. Kijne, jika dibahasakan lugas: "kolonialisme tidak akan membangun bangsa Papua. Papua hanya akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri ketika rakyat berani berjuang menentukan nasibnya sendiri". Bukan politisasi, tapi karena memang Kijne mengatakan itu di tengah kolonialisme Belanda (Eropa) yang merasa pemilik peradaban, dan kini kolonialisme Indonesia. 

Inti pesan nubuat tidak berubah: bangsa Papua tidak bisa dibangun oleh bangsa lain. Setiap bentuk “pembangunan” yang dikendalikan oleh kekuasaan luar hanyalah alat untuk memperpanjang ketergantungan dan menundukkan rakyat. Peradaban Papua hanya akan tumbuh dari tangan rakyatnya sendiri, ketika mereka berani berpikir, bertindak, dan berdiri atas kaki sendiri.

Hari ini, bangsa Papua hidup dalam sistem kolonialisme yang menyamar sebagai pembangunan. Negara menguasai tanah, hutan, dan laut dengan dalih kesejahteraan, tetapi sesungguhnya memperkuat eksploitasi. Kekerasan militer, proyek infrastruktur, dan ekspansi investasi bekerja bersama untuk melemahkan kontrol rakyat atas ruang hidup mereka. Pendidikan dibentuk untuk mencetak buruh, bukan pemimpin; media dibungkam agar rakyat kehilangan arah; dan elit lokal dipelihara untuk menjadi juru bicara kolonial di hadapan bangsanya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, rakyat Papua harus membangun sistem sosial, politik, dan ekonomi yang sepenuhnya berakar pada nilai dan kekuatan lokal. Kemandirian politik berarti rakyat menentukan arah perjuangan sendiri tanpa menunggu izin kekuasaan. Kemandirian ekonomi berarti rakyat mengelola tanah, hasil hutan, laut, dan tambang untuk kepentingan bersama, bukan bagi modal asing. Dan kemandirian budaya berarti rakyat menulis, bernyanyi, dan berkarya dengan kebanggaan atas jati diri sendiri, bukan meniru gaya kolonial.

Kebangkitan Papua juga menuntut gerakan literasi nasional Papua sebagai senjata utama melawan penjajahan intelektual. Penindasan tidak hanya terjadi di tanah, tetapi juga dalam pikiran. Kurikulum kolonial menanamkan rasa rendah diri dan meniadakan sejarah perjuangan. Karena itu, gerakan literasi Papua harus dibangun untuk menulis sejarah dari perspektif rakyat sendiri, menggali filosofi dan nilai adat, serta menumbuhkan pemikiran kritis di setiap kampung, sekolah, dan gereja.

Gerakan ini harus melahirkan dekolonisasi intelektual, yakni pembebasan pikiran dari pengetahuan dan nilai-nilai yang menindas. Intelektual Papua harus berhenti mengulang teori dari luar yang tidak memahami realitas bangsanya. Kita harus menulis, meneliti, dan berbicara dengan kesadaran perjuangan, bukan demi karier akademik dalam sistem kolonial. Setiap karya ilmiah, puisi, lagu, film, atau tulisan harus menjadi alat perjuangan, bukan alat penyesuaian terhadap kekuasaan.

Bangsa Papua perlu mengangkat kembali karya-karya intelektualnya sendiri: tulisan, musik, dan seni yang lahir dari pengalaman penindasan dan harapan. Tokoh-tokoh pemikir dan seniman Papua harus dihormati sebagai penjaga kesadaran bangsa. Karya kita bukan sekadar ekspresi budaya, tetapi fondasi bagi kesadaran nasional. Melalui literasi dan seni, rakyat Papua dapat membangun narasi tandingan, narasi yang menolak stigmatisasi kolonial dan menegaskan martabat bangsa.

Di saat yang sama, perjuangan ini menuntut persatuan nasional Papua. Politik pemekaran, otsus, dan infiltrasi pendatang hanyalah strategi pecah-belah kolonial. Rakyat Papua harus menyadari bahwa kekuatan sejati terletak pada kesatuan. Dari pesisir hingga pegunungan, setiap perbedaan bahasa, suku, dan adat harus menjadi kekuatan, bukan pemisah. Persatuan adalah perisai dari serangan ideologis dan militer kolonial.

Gerakan perlawanan juga harus menumbuhkan budaya perlawanan melalui seni, lagu, musik, dan penampilan bergaya Papua sendiri. Kolonialisme berusaha mematikan ekspresi budaya agar rakyat kehilangan rasa bangga terhadap identitasnya. Tetapi musik, tarian, dan seni Papua justru menjadi cara paling kuat untuk menegaskan keberadaan bangsa ini di tengah penindasan. Seni adalah senjata moral; lagu adalah nyanyian pembebasan; dan gaya hidup Papua adalah pernyataan bahwa bangsa ini belum mati.

Semua ini hanya akan bermakna jika diarahkan pada satu tujuan: pembebasan nasional Papua. Rakyat harus sadar bahwa perjuangan tidak akan dimenangkan oleh diplomasi yang bergantung pada belas kasihan luar negeri atau nasihat asing yang menumpulkan daya pikir sendiri. Kemerdekaan sejati tidak datang dari luar, tetapi dari kekuatan internal bangsa. Setiap langkah kemandirian dalam berpikir, mengatur ekonomi, mempertahankan wilayah, dan menulis sejarah sendiri adalah bentuk konkret dari perjuangan melawan kolonialisme.

Nubuat Kijne bisa jadi peta ideologis bagi perjuangan pembebasan nasional Papua. Ia memanggil untuk berpikir bebas, bersatu, menghormati karya bangsanya, menolak manipulasi kolonial, dan membangun peradaban dari dalam dirinya sendiri. Kolonialisme tidak akan membangun Papua, karena ia hidup dari penindasan. Tetapi Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri ketika rakyat berani berpikir, menulis, bernyanyi, dan berjuang dengan kesadaran penuh bahwa kita adalah satu bangsa, satu tanah, satu tujuan: kemerdekaan dan martabat di atas batu karang sejarahnya sendiri.

Terlampir foto-foto koleksi dari penulis.

Pos. Atmin

TPNPB Kodap VIII Intan Jaya Kembali Baku Tembak Dan TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel Tetapkan Wilayah Pengungsi

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Intan jaya Melangkah Tanpa Alas Kaki- Siaran Pers Ke II Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB Per Minggu, 26 Oktober 2025.

Silahkan Ikuti Laporan Dibawa Ini.!

Manajeman Markas Pusat KOMNAS TPNPB telah menerima laporan resmi dari Kolonel Apeni Kobogau dari medan perang di Intan Jaya bahwa pada hari Minggu, 26 Oktober 2025 telah terjadi baku tembak antara pasukan TPNPB Kodap VIII Intan Jaya melawan aparat militer indonesia di Kamage dan belum diketahui jatuhnya korban jiwa dari aparat militer indonesia. Sementara pasukan TPNPB Kodap VIII Intan Jaya dalam keadaam aman.

Kolonel Apeni Kobogau juga menegaskan kepada aparat militer indonesia bahwa jika aparat militer indonesia masih terus menduduki pemukiman warga sipil di seluruh wilayah Intan Jaya maka pasukan TPNPB siap duduki pusat kota Sugapa dan menegaskan kepada intelektual Intan Jaya yang sedang membuka jalan trans untuk kepentingan mobilisasi militer indonesia maka kami berikan warning. Dan saya juga menyampaikan turut berduka cita atas wafatnya Brigjend Undius Kogoya dan Brigjend Lamek Taplo yang gugur terkena ledakan bom aparat militer indonesia di Kiwirok.

Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB juga telah menerima laporan resmi dari pasukan TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel bahwa disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Panglima TNI untuk segera hentikan serangan bom dari udara di Kiwirok, terlebih khususnya di tempat-tempat pengungsian. Karena pertempuran meningkat sejak bulan September 2025 aparat militer indonesia terus melakukan serangan bom udara, penembakan brutal menggunakan senjata mesin dari pesawat dan helikopter militer mengakibatkan warga sipil banyak manjadi korban dan pengungsian meningkat dan masih berada di hutan-hutan.

Pasukan TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel juga melaporkan bahwa situasi bagi warga pengungsi di Kiwirok semakin memburuk karena kurangnya akses makanan dan obat-obatan bagi warg sipil. Sehingga disampaikan kepada Palang Merah Internasional untuk dapat membantu warga sipil yang terkena dampak konflik bersenjata dan sedang mengungsi di hutan-hutan, wilayah pengungsi kami sudah tetapkan sehingga aparat militer indonesia diminta untuk tidak melakukan serangan bom melalui roket, drone dan pesawat tempur serta helikopter militer dengan sembarangan.

Demikian Siaran Pers Ke II Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB Per Minggu, 26 Oktober 2025 oleh Sebby Sambom Jubir TPNPB OPM.

Penanggung Jawab Komando Markas Pusat Komando Nasional TPNPB-OPM

Jenderal Goliat Tabuni
Panglima Tinggi TPNPB-OPM

Letnan Jenderal Melkisedek Awom
Wakil Panglima TPNPB-OPM

Mayor Jenderal Terianus Satto
Kepala Staf Umum TPNPB-OPM

Mayor Jenderal Lekagak Telenggen
Komandan Operasi Umum TPNPB-OPM

Pos. Admin 

Kesadaran ini Muncul Ketika Kamu Melatih Otak untuk Membaca Sinyal Emosi, Bukan Melawannya

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua-Kota Jakarta- Melangkah Tanpa Alas Kaki- Ada yang menarik dari otak manusia: ia bisa berpikir jernih, tapi juga mudah terbakar oleh emosi. Semakin tinggi sensitivitas tanpa diimbangi kesadaran, semakin rapuh kemampuan berpikir. 

Dalam riset yang dilakukan oleh Daniel Goleman, pakar emotional intelligence dari Harvard, ditemukan bahwa 80% keberhasilan seseorang ditentukan bukan oleh IQ, tetapi oleh kemampuan mengelola emosi. Artinya, seberapa kuat otakmu bukan diukur dari hafalan dan logika, tapi dari seberapa stabil kamu saat dunia menekanmu dari segala arah.

Kita hidup di era komentar cepat dan opini instan. Seseorang tersinggung hanya karena nada pesan yang salah, ekspresi yang dianggap sinis, atau postingan yang tak sesuai selera. Otak yang lemah bereaksi secara otomatis: menyerang, menolak, atau merasa jadi korban. Sedangkan otak yang kuat menunda reaksi, membaca konteks, lalu memutuskan dengan sadar. Daya pikir emosional adalah kemampuan untuk menunda respon emosional agar logika sempat bekerja. Inilah seni berpikir yang tidak diajarkan di sekolah, tapi menentukan kedewasaan berpikir seseorang.

1. Emosi bukan musuh, tapi sinyal

Banyak orang mengira bahwa menjadi kuat berarti menekan emosi. Padahal, justru sebaliknya: orang yang sehat emosinya bukan yang tidak marah, tapi yang tahu kenapa ia marah. Emosi adalah sinyal biologis, bukan musuh yang harus dimusnahkan. Dalam konteks otak, amigdala adalah pusat emosi yang sering kali bereaksi lebih cepat dari neokorteks, bagian otak yang berpikir.

Contoh sederhana, ketika seseorang mengkritikmu di depan umum, otak otomatis menganggap itu ancaman. Tapi jika kamu memberi jeda, kamu akan sadar bahwa mungkin kritik itu benar, atau sekadar cara bicara orang yang kasar. Kesadaran ini muncul ketika kamu melatih otak untuk membaca sinyal emosi, bukan melawannya. Di Logika Filsuf, pembahasan seperti ini sering dielaborasi lebih dalam untuk membantu kamu mengenali pola reaksi emosional dan mengubahnya jadi kekuatan berpikir.

2. Otak lemah bereaksi, otak kuat merespons

Reaksi adalah tindakan spontan yang lahir tanpa pikir panjang. Respons adalah hasil dari jeda sadar. Orang yang tersinggung cepat biasanya dikuasai oleh sistem saraf simpatik: tubuh siap melawan. Tapi orang yang kuat emosionalnya menenangkan sistem itu dulu sebelum bertindak. Ia tidak menolak rasa tersinggung, tapi mengolahnya agar tidak menguasai pikiran.

Dalam kehidupan sehari-hari, ini tampak ketika seseorang disindir di media sosial. Otak lemah langsung membalas dengan sindiran balik. Otak kuat memilih diam, menunggu, lalu menjawab dengan logika. Saat kamu melatih kemampuan menunda reaksi, kamu sedang memperkuat hubungan antara bagian emosional dan rasional di otakmu.

3. Daya pikir emosional lahir dari kesadaran diri

Seseorang tidak bisa mengendalikan apa yang tidak ia sadari. Itulah kenapa kesadaran diri adalah pondasi dari kecerdasan emosional. Ketika kamu tahu pola emosimu—kapan kamu cenderung tersinggung, apa pemicunya, dan apa narasi di kepalamu—maka kamu tidak lagi jadi budak dari emosimu sendiri.

Misalnya, kamu menyadari bahwa kamu mudah marah saat lelah. Dengan kesadaran itu, kamu bisa memilih untuk tidak berdebat ketika tubuhmu sedang tidak stabil. Ini bukan sekadar kontrol diri, tapi bentuk kecerdasan emosional yang matang. Kesadaran membuatmu mampu berpikir lebih jernih karena kamu mengerti dirimu sebelum menilai orang lain.

4. Emosi yang tidak dikelola akan menipu logika

Saat marah, otakmu menipu dirimu sendiri. Ia membuatmu percaya bahwa kamu benar dan orang lain salah. Inilah yang disebut amygdala hijack oleh Goleman, ketika emosi mengambil alih fungsi rasional. Akibatnya, keputusan yang dibuat di bawah tekanan emosional hampir selalu buruk.

Contoh nyatanya terlihat dalam hubungan kerja. Seorang atasan yang tersinggung oleh kritik bawahannya bisa menganggap kritik itu sebagai bentuk pembangkangan, padahal mungkin itu masukan konstruktif. Ketika logika dikuasai emosi, realitas menjadi kabur. Latihan daya pikir emosional adalah tentang mengembalikan kendali itu ke tangan kesadaran.

5. Ketenangan bukan lemah, tapi bentuk kekuatan berpikir

Dalam budaya yang mengagungkan respon cepat, diam dianggap kalah. Padahal, diam sering kali adalah strategi tertinggi dari pikiran yang kuat. Otak yang mampu menahan diri berarti otak yang telah terlatih membaca situasi sebelum mengambil tindakan.

Coba lihat orang-orang besar dalam sejarah: Marcus Aurelius, Buddha, bahkan Nelson Mandela. Mereka tidak mudah bereaksi pada hinaan atau ketidakadilan. Mereka mengolahnya menjadi tindakan sadar. Daya pikir emosional bukan tentang menahan amarah, tapi mengubah energi emosional menjadi kebijaksanaan tindakan.

6. Pikiran tenang adalah pikiran tajam

Ketika emosi reda, otak berpikir dengan kapasitas penuh. Fokus meningkat, perspektif meluas, dan keputusan jadi lebih objektif. Itulah sebabnya mengapa orang yang tenang terlihat lebih “pintar” dalam menyelesaikan masalah. Otak yang jernih bekerja efisien, sementara otak yang gelisah menguras energi.

Contoh kecilnya terjadi dalam diskusi yang memanas. Mereka yang emosional sering kehilangan arah argumen. Sementara yang tenang mampu mengurai masalah inti dengan logis. Ketenangan bukan bawaan lahir, tapi hasil latihan kesadaran berpikir. Dan ini salah satu hal yang bisa kamu latih lewat pemahaman psikologi berpikir yang kami bahas secara mendalam di Logika Filsuf.

7. Otak kuat bukan yang tak tersinggung, tapi yang cepat pulih

Tidak ada manusia yang benar-benar kebal dari rasa tersinggung. Bedanya, otak yang kuat bisa bangkit lebih cepat dari luka emosional. Ia tidak berlama-lama dalam perasaan menjadi korban. Ia belajar dari pengalaman dan memperkuat sistem mentalnya untuk menghadapi serangan berikutnya.

Dalam konteks psikologi modern, ini disebut resilience, kemampuan otak untuk pulih dari stres. Setiap kali kamu menenangkan dirimu setelah marah, kamu sedang membangun otot kognitif baru. Daya pikir emosional tumbuh lewat latihan kecil yang konsisten bukan lewat teori, tapi pengalaman sadar dalam menghadapi diri sendiri.

Otak yang kuat bukan berarti dingin, tapi sadar. Bukan berarti tak merasa, tapi tahu kapan perasaan harus berbicara dan kapan harus diam. Karena pada akhirnya, berpikir jernih bukan tentang seberapa tinggi IQ-mu, tapi seberapa dalam kamu mengenali emosimu.

Menurutmu, apakah seseorang bisa benar-benar mengendalikan emosinya, atau hanya bisa belajar berdamai dengannya? Tulis pandanganmu di kolom komentar dan bagikan tulisan ini agar lebih banyak orang belajar memperkuat otaknya, bukan menumpulkan hatinya.

Pos. admin 

Kamis, 23 Oktober 2025

Surat Terbuka untuk Pimpinan TPNPB-OPM, Pangdam, Kapolda, Bupati serta DPRD.

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Sorong Melangkah Tanpa Alas Kaki- Sorong Redaksi Tetesan Air Mata menerima surat terbuka dari Pastor Pemerhati Kemanusiaan Papua, RD. Izaak Bame Keuskupan Manokwari Sorong. Surat terbuka ini ditujukan kepada TPN-OPM, Pangdam dan Kapolda, Bupati dan DPRD untuk mengambil sikap demi NKRI. Isi suratnya demikian:

Kepada Yth

1. Pimpinan TPNPB-OPM wilayah Sorong Raya.
2. Pangdam Kasuari.
3. Kapolda Papua Barat dan Papua Barat Daya.
4. Dandim Kab Teluk Bintuni dan Maybrat.
5. Bupati Kabupaten Teluk Bintuni dan Maybrat.
6. Ketua DPRD Kabupaten Maybrat dan Teluk Bintuni.

Di Tempat.

Salam cinta Tanah Air dan Kemanusiaan. Lewat kesempatan ini, saya Pastor Izaak Bame, Pastor Gereja Katolik Keuskupan Manokwari-Sorong, kembali menyapa anda semua terkait pengungsian kemanusian di Distrik Muyeba Kabupaten Teluk Bintuni dan Distrik Aifat Timur Jauh kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya.
Sejak awal dan pertengahan Oktober 2025, terjadi penembakan, pembunuhan dan perampasan senjata oleh pihak TPNPB-OPM pimpinan Manfred Fatem dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya pengungsian besar-besaran oleh warga masyarakat sipil di dua Distrik wilayah pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Maybrat.
Terkait dengan peristiwa itu, saya Pastor Izaak Bame, Pastor Gereja Katolik Keuskupan Manokwari-Sorong memohon :

Pertama: Pihak TPNPB-OPM hentikan tindakan membunuh APARAT TNI-POLRI Indonesia tanpa perang antara TNI-POLRI dengan pihak TPNPB-OPM.
Karena dengan tindakan sepihak bukan karena suasana perang menimbulkan kemarahan ditubuh TNI-POLRI untuk membalas dan pembalasannya belum tentu dengan TPNPB-OPM, tapi masyarakat SIPIL.

Kedua: Dari sudut pandang kemanusian TNI-POLRI mengejar TPNPB-OPM adalah benar karena ketenangan mereka terganggu oleh tindakan TPNPB-OPM. Masalahnya pasti TNI-POLRI tidak ketemu pelaku utama yaitu TPNPB-OPM. Maka masyarakat sipil lah yang jadi korban.
Ketiga: Kepala Distrik dan Kepala Kampung harus tampil sebagai pemimpin memberikan informasi yang baik dan benar kepada pimpinan TNI-POLRI dan sangat diharapkan pimpinan TNI-POLRI menerina informasi sebagai sebuah berita yang benar bukan menaruh kecurigaan yang berlebihan.
Siapa pun dia pasti setuju bahwa TNI-POLRI, berdiri atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga Negara kesatuan Republik Indonesia di seluruh tanah air temasuk Inofina yang saat ini lagi terjadi pengungsian.
Keempat : Mohon kepada Presiden, Kapolri, DPR RI, PanglIma TNI, Pangdam Kasuari Gubernur Papua Barat dan Papua Barat Daya agar berbicara bersama untuk kembalikan masyarakat di kampung-kampung mereka. Hanya dengan cara itu masyarakat akan merasa aman dan nyaman dalam menjalani hidup mereka.

Kiranya berapa hal yang saya sampaikan, ini boleh memberi manfaat kepada semua pihak terutama pihak yang sedang berada dalam pengungsian. Salam hormat Pastor Izaak Bame (*)

Pos. Admin, Monitoring PAPUA 



Rabu, 22 Oktober 2025

Markas Pusat Komnas TPNPB Umumkan Duka Nasional Atas Meninggalnya Brigjend Undius Kogoya

Siaran Pers Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB Per Rabu, 22 Oktober 2025

Silahkan Ikuti Laporan Dibawa Ini.!

Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB telah menerima laporan resmi dari pasukan TPNPB Kodap VIII Intan Jaya dari Markas TPNPB pada hari Rabu, 22 Oktober 2025 bahwa; Panglima TPNPB Kodap VIII Intan Jaya, Brigjend Undius Kogoya telah meninggal dunia pada hari ini karena sakit.

Dalam hal tersebut, Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB secara resmi menggumumkan duka nasional kepada seluruh pasukan TPNPB di 36 Komando Daerah Pertahanan di seluruh Tanah Papua dan kepada diplomat Papua Merdeka diseluruh dunia.

Brigjend Undius Kogoya adalah sosok pejuang sejati dan Patriot bangsa Papua yang berani berperang melawan melawan aparat militer indonesia dalam medan perang dari Tembagapura, Timika, Intan Jaya dan Paniai demi merebut kembali kemerdekaan bangsa Papua dari jajahan kolonial indonesia.

Demikian Siaran Pers Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB Per Rabu, 22 Oktober 2025 oleh Sebby Sambom Jubir TPNPB OPM.

Penanggung Jawab Komando Markas Pusat Komando Nasional TPNPB-OPM

Jenderal Goliat Tabuni
Panglima Tinggi TPNPB-OPM

Letnan Jenderal Melkisedek Awom
Wakil Panglima TPNPB-OPM

Mayor Jenderal Terianus Satto
Kepala Staf Umum TPNPB-OPM

Mayor Jenderal Lekagak Telenggen
Komandan Operasi Umum TPNPB-OPM

Pos. Admin 

Dokumen 

Mahkota Cenderawasih Bukan Sekadar Hiasan, tetapi Simbol Kehormatan, Identitas, dan Kebanggaan. BUKAN UNTUK KESOMBONGAN

BACA SAMPAI SELESAI  SAYA RASA INI SUDAH PALING KOMPLIT UNTUK DI BACA DAN DI PAHAMI.
Membakar Mahkota Cenderawasih apakah Solusi atau Luka Baru untuk kami orang Papua ?

Hari ini masyarakat Papua dan pengguna media sosial di seluruh Papua dihebohkan dengan tindakan salah satu dinas pemerintah yang mengumpulkan dan membakar mahkota Cenderawasih.
Mahkota-mahkota tersebut terbuat dari bulu burung Cenderawasih, dan beberapa burung endemik Papua. Burung Cenderawasih sendiri dikenal sebagai Bird of Paradise.
Alasan pemerintah melakukan pembakaran ini adalah untuk membatasi perburuan liar dan perdagangan bulu Cenderawasih, yang dianggap mengancam kelestarian spesiesnya.

Namun, tindakan itu justru memicu perdebatan dan kemarahan masyarakat Papua dan saya juga secara pribadi tidak setuju dan mengutuk keras tindak tersebut , dan sudah pasti untuk masyarakat adat Papua. Karena mahkota Cenderawasih bukan sekadar hiasan, tapi simbol kehormatan, identitas, dan kebanggaan.
( BUKAN UNTUK KESOMBONGAN )

Dalam tradisi masyarakat Papua, mahkota Cenderawasih memiliki nilai adat yang sangat tinggi. Mahkota ini dipakai oleh kepala suku, tokoh adat, atau diberikan kepada tamu terhormat sebagai tanda penghormatan dan kebanggaan.

Jadi, bulu Cenderawasih yang telah dijadikan mahkota bukan lagi sekadar bagian dari hewan, tetapi telah berubah menjadi simbol nilai budaya dan identitas.
Membakar mahkota seperti itu bagi banyak orang Papua bukan hanya membakar benda, tetapi melukai simbol kehormatan dan jati diri kami. 

Kalau mau bicara pelestarian Satwa Endemik saya rasa kalian harus belajar dari negara Lain

Banyak negara di dunia berhasil melestarikan hewan langka mereka sambil tetap mempertahankan penggunaannya secara simbolik atau budaya contohnya :

1. Amerika Serikat – Bulu elang 
(bald eagle feathers) digunakan dalam upacara adat suku-suku Indian, tapi hanya boleh dipakai oleh anggota suku yang memiliki izin khusus. Pemerintah menyediakan bulu elang dari program konservasi, bukan dari perburuan liar.

 
2. Selandia Baru – Bulu burung Kiwi dan Huia (sebelum punah) dulu digunakan oleh suku Māori dalam ritual adat. Kini, penggunaannya hanya melalui izin adat dan hasil konservasi.

3. Kanada – Suku First Nations tetap memakai bulu elang dan hewan endemik lain dalam acara spiritual, tetapi diatur ketat agar tidak merugikan populasi hewan tersebut.

4. Samoa & Hawaii – Bulu burung tropis dipakai untuk mahkota raja dan tarian adat, tapi bahan diambil dari bulu burung yang sudah rontok atau dari program konservasi yang berizin.

5. PNG penggunaan dibolehkan hanya untuk orang-khusus/adat” itu dalam konteks adat/tradisi, ada peningkatan perhatian konservasi karena dampak tradisi terhadap populasi spesies tertentu (contoh: penggunaan bulu Pesquet’s Parrot di PNG).
Namun mereka tidak pernah melakukan ( PEMBAKARAN TERHADAP AKSESORIS )
Apapun itu alasannya. 

Artinya, pelestarian dan penghormatan budaya bisa berjalan berdampingan, asal ada pendekatan yang bijak dan regulasi yang adil.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa daerah yang juga menggunakan bagian tubuh hewan endemik dalam simbol adat, tapi kini mulai diarahkan agar tidak merusak populasi hewan.
Tapi tidak dengan cara “DIBAKAR”

DiKalimantan Suku Dayak memakai bulu enggang dalam hiasan kepala. Kini, banyak komunitas yang beralih menggunakan replika bulu sintetis atau bulu hasil konservasi.
Jadi, pelestarian satwa dan penghormatan budaya tidak harus saling meniadakan, tapi harus disinergikan dengan kebijakan yang menghargai kedua sisi.

pemerintah harus sadar dan jangan mabuk bahwa melihat Permasalahan Sosial dan Ekonomi di Papua. 

Masyarakat Papua yang menangkap burung Cenderawasih bukan tanpa alasan.
Bagi sebagian warga, menjual bulu atau mahkota menjadi sumber penghasilan ekonomi di tengah keterbatasan lapangan kerja.

INI FAKTA YANG SEBENARNYA MEREKA ( OKNUM DALAM PEMERINTAHAN) TAHU TAPI PURA PURA TULI DAN BUTA KARENA MEREKA ADALAH MANUSIA RAKUS YANG HANYA MENCARI DIMANA LETAK PELUANG 
UNTUK MEMUNCULKAN STEREOTIP & DISKRIMINATIF YANG MEMUNCULKAN API YANG MEMBAKAR SOLIDARITAS INTERNAL 
OAP VS OAP 

Ini merupakan dampak nyata dari stereotip dan kebijakan diskriminatif. Stereotip yang menilai masyarakat Papua tanpa memahami konteks budayanya telah memecah persaudaraan, menciptakan perasaan saling curiga, dan menyalakan konflik horizontal di antara orang asli Papua sendiri.

Ketika pemerintah melarang perburuan dan kemudian membakar hasil karya mereka, muncul pertanyaan besar:

“Lalu, dari mana mereka akan hidup?”
Inilah inti persoalan. Pelarangan tanpa solusi ekonomi alternatif hanya akan menimbulkan kekecewaan dan ketegangan sosial.

Saya pernah di tawarkan oleh seorang Bapak yang menjual burung cenderawasih yang sudah di awetkan dengan alasan menjual karena anaknya mau wisuda. Kemudian ada juga yang menjual karena anaknya mau tes Polisi, tes masuk TNI dll tapi tidak punya uang untuk biaya tiket dan biaya lain lain. 
Kalau sudah seperti ini, saya harus bgamana?

INI FAKTA YANG BUKAN HANYA SAYA TEMUI TAPI PASTI DI ANTARA KALIAN YANG BACA PERNAH KETEMU. 

INGATAN!!!
Membakar mahkota bukanlah solusi. Yang dibutuhkan adalah pendekatan manusiawi, edukatif, dan berkelanjutan.

Pendekatan Budaya & Sosialisasi Langsung
Pemerintah perlu datang ke masyarakat, berdialog dengan tokoh adat dan kepala suku, menjelaskan pentingnya pelestarian Cenderawasih, dan menyepakati batas-batas penggunaannya.

Legalitas Adat Terbatas.
Beri izin adat khusus agar bulu atau mahkota hanya dipakai untuk upacara adat atau oleh tokoh tertentu bukan untuk diperjualbelikan bebas.

Program Ekonomi Alternatif
Bangun program ekonomi pengganti, seperti:

•Pelatihan pembuatan mahkota replika dari bahan sintetis atau daur ulang.

•Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pariwisata, seni budaya, atau ekowisata Cenderawasih.
 
•Insentif bagi masyarakat yang terlibat dalam pelestarian burung di alam liar.

Konservasi Berbasis Masyarakat.
Libatkan masyarakat adat dalam menjaga habitat burung Cenderawasih.
Mereka menjadi penjaga alam 
(community rangers), bukan pemburu.

Pendekatan Edukasi dan Media.
Gunakan media sosial, sekolah, dan gereja lokal untuk menyampaikan pesan bahwa menjaga Cenderawasih berarti menjaga simbol Papua itu sendiri.

Membakar mahkota mungkin dimaksudkan sebagai simbol pelestarian, tetapi tanpa memahami konteks budaya dan ekonomi, tindakan itu justru bisa menjadi luka baru bagi masyarakat Papua.
Burung Cenderawasih adalah simbol kebanggaan “roh keindahan dari Tanah Papua.”
Namun, mahkota Cenderawasih juga adalah simbol martabat manusia Papua.
Oleh karena itu, pelestarian hewan endemik dan penghormatan budaya, unsur ekonomi harus berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.

---------------------------------------------------------

Burung Surga sebagai Simbol Kecantikan, Jati Diri Budaya, dan Kehormatan Perempuan dalam Narasi Melanesia.

Kutipan, Herman Wainggai 
Burung Surga adalah ikon visual yang sering dikaitkan dengan wilayah Melanesia, khususnya Melanesia Barat ( Papua Barat) dan daerah sekitarnya. Dalam tradisi budayanya yang beragam, julukan “Wanita Melanesia” untuk burung ini dipahami sebagai simbol budaya yang merayakan kecantikan, keanggunan, dan peran perempuan dalam identitas adat dan komunal.

Penting untuk menekankan bahwa label ini bukan klaim biologis atau universal untuk semua kelompok Melanesia; interpretasi simbolis ini berakar dalam bahasa lokal, ritual, estetika, dan sejarah yang berbeda antar komunitas.

Dalam konteks narasi kebangsaan Republik Melanesia Barat, simbol ini dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan terhadap beragam peran perempuan dalam menjaga adat istiadat, bahasa, seni, dan aspirasi komunal. Antara lain:

1. Lambang Kecantikan dan Anugerah

The Bird of Paradise menonjol karena bulunya yang berwarna-warni, pola yang menawan, dan tarian kawin yang dinamis. Kualitas keindahan dan gerakan cairan ini sering didukung sebagai cita-cita estetika dalam banyak tradisi Melanesia.

Di banyak komunitas, wanita dipandang sebagai simbol kecantikan, kelembutan, dan status sosial, peran yang tercermin dalam upacara, ekspresi artistik, dan kepemimpinan tradisional. Oleh karena itu, burung ini sering digunakan sebagai representasi visual keindahan dan keanggunan dalam tarian, ornamen, hiasan kepala, atau benda ritual.

Namun, sangat penting untuk menyoroti bahwa interpretasi yang menghubungkan simbol ini dengan feminitas tidak seragam: arti keindahan bervariasi dari satu suku ke suku lainnya, tergantung pada nilai-nilai, kisah leluhur, dan norma-norma adat yang hidup dari setiap komunitas.

2. Lambang kekudusan dan keunikan

Penampilan yang relatif langka dari Bird of Paradise, khusus untuk daerah tertentu, membuatnya dipandang istimewa dan hampir sakral dalam banyak tradisi Melanesia.

Dalam pandangan dunia adat, keunikan dan kemurnian alam seringkali dikaitkan dengan tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan lingkungan, menegakkan nilai-nilai tradisional, dan menjaga keselarasan masyarakat.

Perempuan, dalam banyak budaya Melanesia, memainkan peran kunci sebagai penjaga tradisi, penjaga bahasa, dan pewaris pengetahuan leluhur.

Dengan demikian, gagasan tentang burung ini yang melambangkan kesucian atau kehormatan komunal mencerminkan komitmen bersama untuk menjaga kesejahteraan sosial dan lingkungan. Perbedaan budaya berarti tidak semua kelompok Melanesia mengartikan simbol ini secara identik; beberapa mungkin menekankan unsur spiritual, yang lain berhubungan dengan tanah, air, atau warisan budaya.

3. Penanda identitas dan kebanggaan budaya

Di banyak bagian Melanesia, gambar dan simbol dari Bird of Paradise muncul dalam upacara tradisional, tutup kepala, karya seni, dan sebagai lambang identitas masyarakat.

Simbol-simbol tersebut berfungsi sebagai jangkar budaya: mereka membantu menjelaskan siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita menjaga bahasa, kebiasaan, dan pengetahuan lokal.

Dalam narasi “Republik Melanesia Barat”, menyebut burung sebagai “Wanita Melanesia” dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan terhadap kontribusi perempuan dalam menjaga identitas budaya, sekaligus mengakui bahwa identitas budaya dibentuk oleh peran laki-laki, keluarga, pemimpin tradisional, dan masyarakat sebagai sebuah Seluruhnya.

Oleh karena itu, narasi seperti itu harus menyoroti upaya kolaborasi antar jenis kelamin dan generasi dalam menjaga warisan budaya.

4. Representasi Feminin di Alam

Seni, cerita rakyat, dan mitologi sering menggunakan alam sebagai kiasan untuk kualitas feminin, seperti kelembutan, keragaman warna-warni, dan daya tarik. Burung Surga, dengan warna yang semarak dan gerakannya yang memukau, sering digunakan untuk melambangkan keindahan alam yang intim yang terhubung dengan kehidupan manusia.

Namun, penting untuk menghindari mengurangi wanita menjadi sifat belaka seperti kerapian atau daya tarik visual. Dalam konteks modern, narasi seperti itu harus diperkaya dengan pengakuan peran perempuan dalam kepemimpinan tradisional, pelestarian bahasa, seni, pendidikan, kesehatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi.

Representasi simbolis tidak harus membatasi perempuan pada peran pasif, tetapi juga harus menghubungkan mereka dengan kekuatan, kebijaksanaan, dan otonomi pribadi.

Kesimpulan:

Mengacu pada Bird of Paradise sebagai “Wanita Melanesia” merupakan bentuk penghormatan budaya terhadap kecantikan, peran, dan nilai-nilai perempuan dalam masyarakat Melanesia.

Ini tidak hanya mewakili keindahan visual, tetapi juga kekuatan budaya, identitas, dan warisan yang didukung oleh perempuan di wilayah tersebut, khususnya di Republik Melanesia Barat (West Papua).

--------------------------------------------------

Budaya Itu Bukan Benda Mati yang Dibekukan, Melainkan Hasil Dari Interaksi Dinamis Antara Manusia dan Lingkungannya (Malinowski, Geertz).

Kutipan:  Victor Yeimo 
Yang harus dipahami, mahkota bulu cenderawasih itu hasil dari relasi kosmologis dan ekologis antara manusia dan alam Papua. Budaya itu bukan benda mati yang dibekukan, melainkan hasil dari interaksi dinamis antara manusia dan lingkungannya (Malinowski, Geertz). Ia selalu berubah mengikuti kondisi ekologis, sosial, dan spiritual. Ketika alam berubah, budaya pun bertransformasi. Karena itu, mempertahankan bentuk lama budaya di tengah perubahan ekologi yang drastis adalah ilusi romantik. Kita tidak  bisa paksa makna lama hidup dalam dunia yang habitatnya telah hancur.

Hari ini, mahkota cenderawasih kehilangan maknanya karena relasi yang melahirkannya suda rusak. Kolonialisme, kapitalisme ekstraktif, dan logika antroposentris telah mengganti hubungan spiritual dengan hubungan komoditas. Hutan dijadikan sumber proyek, satwa dijadikan barang pajangan, dan budaya dijadikan alat pamer kekuasaan. Ini yang disebut wajah antroposentrisme destruktif, yaitu menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta, jadi termasuk burung cenderawasih, diukur dengan nilai guna bagi manusia. Kita harus tau, kolonialisme akan slalu menjajah cara berpikir bangsa Papua tentang alam dan budayanya sendiri.

Kita tidak boleh terjebak dalam kesadaran palsu, yang dalam bahasa Frantz Fanon, bangsa terjajah sering kali mencintai simbol yang diciptakan penindasnya. Kita marah pada pembakaran mahkota, tapi diam ketika hutan dibakar dan satwa diburu untuk pasar. Kita seolah mempertahankan budaya, padahal yang dipertahankan adalah bentuk kosong dari budaya yg sedang hilang dari sumber kehidupannya. Budaya yang kehilangan relasi dengan alam bukan lagi kebanggaan, tapi itu kepunahan.

Padahal secara ekologi politik dan antropologi lingkungan (Escobar, Ingold), budaya sejati adalah praktik kehidupan yang tumbuh dari interaksi manusia dengan lingkungan tempatnya hidup. Ia adalah proses kreatif yang bergerak bersama ritme alam, bukan warisan beku yang dipuja tanpa konteks. Karena itu, mempertahankan budaya tudak berarti mengulang masa lalu, melainkan menciptakan bentuk baru yang setia pada keseimbangan antara manusia dan alam. Bila hutan berubah, bila burung cenderawasih terancam, maka cara kita menghormatinya juga harus berubah. Budaya tidak bisa hidup dalam ruang kosong; ia hidup hanya jika relasi ekologisnya hidup.

Bangsa Papua harus paham, pertahankan budaya berarti pertahankan ekosistem yang melahirkannya. Tanpa hutan, tanpa cenderawasih, tidak ada mahkota yang bermakna. Kemegahan manusia di atas kematian alam hanyalah kesombongan kolonial yang kita warisi tanpa sadar. 

Karena itu, marah kita harus naik menjadi kesadaran: bahwa membela budaya berarti membela kehidupan, bukan simbol; membela mahkota berarti menjaga cenderawasih; dan membela bangsa berarti memulihkan kembali hubungan suci antara manusia dan tanah leluhur.


Mohon maaf, dan izin saya untuk menggunakan foto atau gambar itu.


Hasil Potret ( Khemal Burumi ) 📷

Pos. Admin 

KEBAKARAN CENDERAWASIH IALAH KEGAGALAN MRP DI TANAH PAPUA.

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua-Kota Jeruk 🍊 -Melangka Tanpa Alas Kaki- Majelis Rakyat Papua Ialah lembaga bagaikan tembok pelindung rakyat papua terakhir di era otsus Papua, Peran dan fungsi lembaga ini menjadi dasar kekuatan manusia dan alam papua dari ancaman manusia dan pempunahan alam warisan leluhur moyang. 

MRP memiliki tugas dan peran untuk mengurus manusia dan alam serta segala kekayaan yang menjadi hak milik rakyat papua termasuk burung cenderawasih, burung mambruk, burung kasuari. Segala kekayaan yang ada di tanah papua ialah milik orang papua yang terdaftar dalam hukum adat seluruh 7 wilayah adat papua.

Dasar hukum utama yang melindungi burung cenderawasih di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 

• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990:
• Undang-undang ini mengatur konservasi sumber daya alam hayati, termasuk larangan penangkapan, perburuan, pemilikan, atau perdagangan satwa yang dilindungi.
• Pasal 21 ayat (2) secara eksplisit melarang setiap orang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Dengan dasar hukum di atas ini kami merasa oknum atau lembaga yang membakar simbol² milik rakyat papua ialah manusia atau lembaga harus bertanggung jawab dengan dasar alasan jelas kepada rakyat papua,, rakyat papua mengutuk keras dan menuntut agar seluruh elemen atau lembaga untuk memintai keterangan kepada oknum atau lembaga yang telah membakar simbol rakyat papua. 

Fungsi dan peran MRP sangat bergantung pada konteks: dalam manufaktur, Material Requirements Planning (MRP) adalah sistem perencanaan produksi yang mengelola kebutuhan bahan baku untuk memenuhi jadwal produksi, sementara Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah lembaga kultural yang berperan mewakili dan melindungi hak-hak Orang Asli Papua (OAP) melalui pertimbangan kebijakan, penyaluran aspirasi, dan pemberdayaan. 
Dalam konteks manufaktur (Material Requirements Planning/MRP)
• Fungsi: 
Mengelola kebutuhan material secara otomatis untuk memastikan ketersediaan komponen yang tepat pada waktu yang tepat dan dalam jumlah yang tepat. 
• Peran:
• Perencanaan Produksi: Menghitung berapa banyak bahan yang dibutuhkan, kapan harus dipesan, dan kapan harus diterima untuk memenuhi pesanan dan jadwal produksi. 
• Manajemen Persediaan: Mencegah kelebihan persediaan atau kekurangan bahan, sehingga mengoptimalkan biaya dan menjaga kelancaran produksi. 
• Peningkatan Efisiensi: Meningkatkan produktivitas dan efisiensi operasional dengan memastikan semua material yang dibutuhkan tersedia. 
Dalam konteks politik Papua (Majelis Rakyat Papua/MRP)
• Fungsi: 
Bertindak sebagai representasi kultural Orang Asli Papua untuk melindungi hak-hak mereka, dengan landasan penghormatan terhadap adat, budaya, perempuan, dan kerukunan beragama. 
• Peran:
• Pemberian Pertimbangan: Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon gubernur/wakil gubernur, rancangan Perdasus, dan rencana kerja sama yang menyangkut hak-hak OAP. 
• Penyaluran Aspirasi: Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, dan perempuan terkait hak-hak OAP. 
• Perlindungan Hak: Berperan strategis dalam menjaga dan memperjuangkan hak-hak dasar OAP, termasuk hak atas sumber daya alam dan kesejahteraan. 
• Pembentukan Kebijakan: Memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak OAP kepada lembaga pemerintahan. 

Semoga MRP tidak butah dan tuli memimpin lembaga cultur setanah papua. 
.........Semoga.....


Tindakan Brutal Militer Indonesia untuk Mengelabuhi Kejahatan, Barang Bukti yang Negara Tunjukan Sangat Tidk Valid dan Tidak Sesuai Dengan Apa yang Terjadi.

Rilis Pers , 21 Oktober 2025

 Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Holandia Jayapura-Melangkah Tanpa Alas Kaki— Konferensi pers terbuka pernyataan sikap dan tuntutan KNPB , menyikapi situasi di Tanah Papua , dikeluarkan oleh Badan Pekerja Pusat – Komite Nasional Papua Barat ( BPP – KNPB ) , melalu Juru Bicara Nasional KNPB Pusat Ogram Wanimbo.
 Berikut isi pernyataan sikap dan tuntutan silahkan diikuti bersama :
1. Menyikapi siituasi Papua Darurat Militer, Konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI-Polri dimana penggunaan senjata yang tidak seimbang antara kombatan TPNPB dan TNI-Polri adalah pelanggaran Hukum humaniter Internasional ( HHI ) . penggunaan Bom oleh Militer Indonesia untuk menyerang TPNPB dengan persenjataan seadanya seperti panah dan senjata api standar sangatlah tidak seimbang . sehingga kami mendesak kepada Militer Pemerintah Indonesia untuk berhenti menggunakan senjata Bom fosfor, Bom Tanda yang ditembak menggunakan Drone melalui udara,juga menggunakan Pesawat Tempur, penggunaan senjata kimia Bom dan alat tempur lainnya  yang juga efeknya akan sangat  mengancam keselamatan hidup warga sipil di wilayah Konflik bersenjata , menghancurkan hutan dan lain sebagainya yang tentu adalah pelanggaran , dalam hal ini Militer Pemerintah Indonesia telah melanggar Konvensi   Convention on Cluster Munitions ( CCM ) . KNPB menekankan bahwa penggunaan Bom tidak sebaning dengan perlawanan TPNPB yang sedang melawan Kolonial Indonesia , negara telah melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM Berat , negara Indonesia hari ini menggunakan perang tidak hanya menggunakan senjata dengan kekuatanyang seimbang , tetapi juga dengan berbagai cara melalui udara dengan pesawat tempur,drone dan menjatuhkan Bom di Wilayah onflik bersenjata yang terdapat warga sipil sehingga juga mengorbankan warga sipil dan tidak epat sasaran pada TPNPB itu sendiri. Sehingga KNPB mengutuk keras tindakan militersime Indonesia sebagai Tindakan yang sangat brutal da, tidak manusiawi .
2. KNPB menyikapi situasi pengungsiaan di beberapa daerah konflik yang tidak diperhatikan sama sekali, antara lain ppengungsian di Nduga,Intan Jya,Pegunungan Bintang, Maybrat Yahukimo,dan Teluk Bintuni ,sangat membutuhkan perhatian dari semua pihak Kemanusiaan
3. Menyikapi penembakan terhadap 4 wawarga sipil di Dogiyai pada 20 Oktober 2025, sebagai kejahatan kemanusian hal ini sudah diluar prosedur mereka ( Militer Indonesia ) menggunakan alat negarabukan untuk mengayomi Rayat Papua tetapi membunuh warga sipil yang tidak berdosa.militer Indonesia sudah melakukan pembakan terahdap warga sipil diluar dari prosedur hukum yang berlaku di negara ini .  
4. KNPB juga mengutuk keras pembantain 15 orang di Soanggama, Intan Jaya yang dimana 12 diantaranya adalah murni warga sipil yang dibantai oleh Militer Indonesia , operasi militer yang dilakukan adalah dipemukiman warga sipil, sehngga kami meminta kepada pihak internasional untuk Intervensi atau mengirim Tim Investigasi dari Internaional langsung ke daerah-daera konflik berenjata , untuk melihat langsung masyarakat sipil yang ada di Kamp-kamp pengungsian di seluruh tanah papua.
5. KNPB juga mengutuk keras Tindakan oknum orang yang menewaskan salah satu Ibu Guru di Holuwon, Yahukimo. Kami menegaskan kepada pihak aparat untuk jangan menuduh siapapun tetapi cari pelaku sebenarnya atau orangnya yang sudah diketahui. Aparat keamanan ( TNI-Polri ) jangan menuduh TPNPB atau masyarakat sipil yang ada di Distrik tersebut dan mengkorbankan masyarakat sipil di Holuwon. Tapi cari Pelakunya sesuai dengan hasil investigasi yang sudah diketahui oleh Publik .
 
6. KNPB menghimbau kepada rakyat West papua dari Sorong sampai Merauke agar rakyat jangan hanya melihat situasi hari ini di Papua baik-baik saja, tetapi situasi hari ini mengancam alam dan manusia orang Papua seutuhnya . maka orang Papua jangan pernah diam dan duduk menonton kebiadaban dan kekerasan yang dilakukan oleh negara ini tapi bagaiman kami Bersatu dan melawan ketidakadilan di atas tanah air kami .  
 Di waktu yang sama Agus Kossay selaku Ketua Umum KNPB juga menambahkan beberapa point penting yang perlu menjadi perhatian public dan seluruh rakyat Papua. Bahwa :
Sitasi kemanusiaan adalah perhatian semua makhluk hidup, termasuk Lembaga-lembaga pemerhati kemanusiaan internasional dan Lembaga yang ada untuk melihat situasi kemanuisaan di Papua itu yang menjadi focus utama dari seluruh pemerhati kemanusiaan seluruh belahan dunia. Karena akibat dari konflik bersenjata yang terjadi di Papua, berdampak pada Tindakan impunitas bagi para pelaku  tanpa penyelesaian , juga terhadap pengungsian dimana-mana .
Pengungsian bukan hanya terjadi di tahun 2000-an tetapi juga semenjak tahun 60-an sampai dengan hari ini, orang Papua mngungsi dimana-mana 10ribu warga sipil di Papua New Guinea , dan 3ribu di Belanda , bahkan di papua mencapai pengungsian internal sudah mencapai lebih dari 100ribu jiwa yang mengungsi, tetapi negara indonesia  mengabaikan begitu saja.
Yang kedua, pembantaian terhadap waga sipil, mulai dari Puncak Jaya,Lanny Jaya,Nduga,Intan jaya yang dimana 12 orang itu adalah benar-benar warga sipil dibantai  atau dieksekusi oleh Satgas Habema Rajawali II , merka mengeksekusi warga sipil dan mengklaim bahwa itu TPNPB , hal ini sangat tidak bisa dan tidak benar, tanpa adanya Investigasi yang bak , lalu secara asal-asalan tidak bisa klaim, karena Barang bukti yang negara tunjukan sangat tidk valid dan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Atas kematian warga Sipil tidak boleh ada Tindakan seweang-wenang di sampaikan tanpa Investigasi yang benar dan mendalam
Yang keberikut lagi adalah , bahwa sesuai dengan Juru Bicara sampaikan bahwa penggunaan alat senjata yang tidak berimbang dalam konflik bersenjata di Papua, TPNPB hanya menggunkan senjata standar tapi negara ( Militer Indonesia ) menggunakan alat dengan kekuatan full, drone,Bom,bahkan pesaat-pesawat tempur untuk melakukan bombardier di markas-markas Kombatan TPNPB. Hal ini menjadi perhatian oleh kita semua .
Kami juga mendesak internasional supaya badan-badan yang berbicara tentang kemanuisaan , Lembaga-lembaga Inddependen , bahkan Media Internasional yang bisa meliput semua peristiwa di Papua secara independent itu punya tanggung jawab untuk masuk ke Papua dan investigasi setiap kasus , karena pembunuhan Orang Papua itu setiap waktu,setiap hari, terjadi dengan berbagai cara, sehingga kami mendesak hal tersebut.
Yang keberikut adalah Prabowo sudah memimpin satu tahun kepemimpinan , namun hari ini tidak ada Langkah maju terhadap persolaan di papua. Kita tidak bisa selesaikaan persoalan papua dengan pendekatan militer tapi bagaiman pendekatan humanis dan dialogis untuk menyelesaikan konflik di Papua, orang papua tidak membutuhkan pembangunan , jalan ataupun lainnya tetapi kami membutuhkan solusi damai untuk menyelesaikan persoalan di papua, terutama KNPB selalu menyampaikan bahwa Refereendum menjadi jalan damai untuk menyelesaikan konflik di Papua.
 
 
Peanggung Jawab :
 
 
 
Ogram Wanimbo
Juru Bicara Nasional KNPB

Senin, 20 Oktober 2025

Konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI Kabupaten Bintuni Papua Barat, Memicu Pengungsian Besar-besaran Warga

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kabupaten Bintuni -Melangka Tanpa Alas Kaki- Konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI di Kampung Moyeba, Distrik Moskona Utara, telah memicu pengungsian besar-besaran warga sipil dari sembilan kampung di dua distrik, pada 11 Oktober 2025.Insiden baku tembak TPNPB dengan militer Indonesia di Bintuni, diketahui setelah manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB menerima laporan resmi dari Mayor Manfred Fatem bersama Manuel Aimau serta Komandan Kowip 1, Ruftis Bernabas Muuk dari medan perang di Teluk Bintuni.

Lebih dari 194 jiwa termasuk anak-anak dan perempuan terpaksa bertahan di hutan tanpa makanan, air bersih, atau layanan kesehatan. Rumah, sekolah, dan gereja mereka ditinggalkan dan sebagian dilaporkan mengalami perusakan akibat operasi militer.

Kami menegaskan bahwa kehadiran militer Indonesia (TNI) di wilayah sipil tidak dapat dibenarkan dan telah menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat. Warga menolak kembali karena takut intimidasi, penangkapan, dan kekerasan dari aparat keamanan.

Kondisi ini bukan sekadar krisis kemanusiaan, tetapi krisis keadilan dan kemanusiaan bangsa. Negara seharusnya memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh rakyatnya, bukan menakuti mereka.

Oleh karena itu, Kami menuntut:

1.Hentikan segera operasi militer di wilayah sipil di Teluk Bintuni dan seluruh Tanah Papua.

2.Tarik pasukan TNI dari wilayah pemukiman warga di Moskona.

3.Buka akses bagi lembaga kemanusiaan independen dan media untuk memantau kondisi para pengungsi.

4.Jamin keselamatan dan perlindungan hukum bagi semua warga sipil yang terdampak.

5.Hentikan Penyisiran dan Penangkapan sewenang-wenang terhadap Masyarakat Adat di Moskono, teluk Bintuni. 

Kami mengajak gereja, advokat, pemerhati HAM, organisasi kemanusiaan, akademisi, dan masyarakat sipil di seluruh Indonesia dan dunia untuk bersolidaritas dan mengawal situasi ini secara kritis.

Suara publik adalah benteng terakhir kemanusiaan. Diam berarti membiarkan kekerasan terus berulang.
Mari berdiri bersama rakyat Papua untuk menghentikan kekerasan, menegakkan kemanusiaan, dan memulihkan martabat manusia.

English Version:

Stop Military Operations in Teluk Bintuni! Protect Civilians, Open Humanitarian Access Now!

Teluk Bintuni, October 20, 2025

An armed clash between the West Papua National Liberation Army (TPNPB) and the Indonesian National Armed Forces (TNI) on October 11, 2025, in Moyeba Village, Moskona Utara District, has triggered a mass displacement of civilians from nine villages across two districts.

As of now, more than 194 people, including children and women, have been forced to take refuge in the forest without access to food, clean water, or medical care. Their homes, schools, and churches have been abandoned, and several have reportedly been damaged or destroyed as a result of ongoing military operations.

We firmly state that the presence of Indonesian military forces (TNI) in civilian areas cannot be justified and has caused deep trauma among local communities. Many residents refuse to return to their villages out of fear of intimidation, arbitrary arrests, and violence by security forces.

This situation represents not only a humanitarian crisis but also a crisis of justice and humanity within the nation. The State has a constitutional obligation to protect all of its citizens—not to instill fear or perpetuate violence against them.

Therefore, we demand:

1.An immediate end to all military operations in civilian areas in Teluk Bintuni and across West Papua.

2.Withdrawal of Indonesian military forces (TNI) from residential areas, particularly in the Moskona region.

3.Unrestricted access for independent humanitarian organizations and the media to monitor the condition of displaced civilians and deliver emergency aid.

4.Guarantees of safety and legal protection for all civilians affected by the conflict.

5.An immediate halt to arbitrary raids and arrests of Indigenous Papuans in the Moskona area, Teluk Bintuni.

We call upon churches, human rights defenders, humanitarian organizations, academics, and civil society groups across Indonesia and around the world to stand in solidarity and critically monitor this situation.

The voice of the public is the last defense of humanity. Silence means allowing violence to continue. Let us stand with the people of Papua to end militarization, uphold humanity, and restore human dignity.

pos. Admin 

DPR Papua Tengah Paulus Mote, Mengatakan Atas Nama Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Provinsi Jangan Merusak Hutan yang Ada

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Jeruk 🍊 -Melangka Tanpa Alas Kaki - DPR Papua Tengah Paulus Mote: Mengatakan bahwa, Jang...